Selasa, 13 Maret 2012

Cinta Terakhir : part 1

*lanjutan dari cerbung : Aku dan Rinai



Pernikahanku dengan Wahyu berlangsung seminggu setelah peristiwa di bandara itu. Mama sibuk menyiapkan banyak hal, memesan ini-itu. Cukup mewah, Mama ingin pernikahanku terlihat glamour. Tapi sayang, aku tidak sependapat dengan Mama. Aku memanyunkan bibir, memprotes.

“Batalin aja, Ma. Mita nggak suka mewah-mewahan.” Aku menahan tangannya yang hendak menelepon even organizer. Mama mengerutkan dahi.

“Wahyu juga lebih memilih untuk mengundang kerabat terdekat saja,” ucapku meyakinkan. Mama menghela nafas, mengurungkan niatnya, meletakkan kembali gagang telepon. Aku tersenyum melihat Mama akhirnya mau membatalkan rencananya.

“Kamu kan anak Mama satu-satunya. Mama cuma pengen kali ini jadi momen yang berkesan.” Mama duduk di sofa, kecewa. Aku ikut duduk disampingnya.

“Yang terpenting kan ijabnya, Ma.” Aku merangkulnya. Mama balas mengecup keningku.

***

“Ma, terlalu menor nggak sih?” Aku mematut-matut diri didepan cermin. Mengingat tadi aku nurut-nurut saja saat Mama rusuh memakaikan lipstik dengan warna mencolok, berikut juga dengan bedak yang tebal. Belum lagi dipaksa untuk memakai bulu mata. Mengenakan kebaya yang ketat berwarna putih gading. Tak kalah, high heels terbilang 11-12cm. Aku menyeka dahi, untung kemarin aku sudah belajar berjalan menggunakan high heels milik Mama. Untuk kali ini, aku menurut saja. Hari ini aku ingin kebahagiaan Mama menjadi sempurna.

“Pas kok Mit. Cantik!” Mama menyentuh bahuku. Aku masih duduk didepan cermin. Ragu-ragu. Menggigit bibir, takut berdiri. Aku memegang tangan Mama kuat-kuat saat aku menuruni anak tangga. Aku melangkah pelan. Mama mendampingi, senantiasa mengulum senyum. Dalam hati aku was-was. Takut jika terpeleset-lah, keseleo-lah, dan yang terburuk adalah jatuh tersuruk-suruk. Aku membuang jauh-jauh pikiran itu saat aku sudah sampai dihadapan Wahyu. Aku tersenyum takzim. Wahyu berdiri menyambutku. Ada Rinai yang berdiri disamping Wahyu. Aku duduk didekat Wahyu. Mama memakaikan selendang putih yang sempurna menutup kepalaku dan Wahyu. Dan, prosesi itu berlangsung dengan sakral.

Semua acara itu selesai dengan sesi foto bersama. Tertawa riang. Saat-saat yang menyenangkan meskipun hanya sesederhana ini. Aku tak akan pernah melupakannya. Ada yang sedikit membuatku takut. Hari itu juga aku ikut Wahyu pulang ke rumahnya. Aku tidak bisa menolaknya. Tanganku gemetar menggandeng tangan Rinai.

“Ayo, masuk. Kok malah diam disitu.” Wahyu menegur, mendekatiku yang berdiri mematung di teras.

“Eh, iya. Maaf ngelamun sebentar.” Aku melangkah dibelakangnya. Wahyu membuka pintu. Tanpa disuruh aku langsung mengantar Rinai ke kamarnya. Membacakannya dongeng sebentar. Setelah melihat Rinai pulas, aku pun keluar. Menguap lebar. Bergegas menuju kamar.


Aku gugup saat memutar gagang pintu. Pintu terbuka. Mataku menyapu seluruh kamar. Mawar-mawar sempurna menghiasi ranjang. Tapi mana Wahyu? Aku menutup pintu kembali. Urung masuk kamar. Aku melangkah menuruni anak tangga. Aku menyibak gorden di salah satu jendela. Ternyata Wahyu ada di halaman belakang. Sedang apa? Itu yang membuatku penasaran. Aku menghampirinya. Mencoba tidak membuat suara tetapi gagal, dia tahu jika aku berdiri di belakangnya.
Aku nyengir, “Sedang apa?”
“Cari angin doang. Kamu ngapain disini?” selidiknya menoleh kepadaku.

“Ng... Ikutan cari angin,” jawabku asal. Wahyu memicingkan mata, tertawa kecil.

“Kenapa tertawa?” tanyaku tak mengerti.

“Serius, kamu lucu. Kenapa daritadi belum ganti baju?” ucapnya menahan tawa. Aku menyeka dahi, melihat sendiri kebaya yang menempel ditubuhku. Aku menepuk jidat.

“Aduh, kok bisa lupa ya.” Aku mengeluh dalam hati. Belum tua juga udah pikun!


Wahyu ikut masuk kamar bersamaku. Barangkali dia sudah mengantuk. Aku garuk-garuk kepala, bingung mau pakai baju apa.

“Kenapa?” tegurnya melihatku heran.

“Bingung mau pakai baju apa.” Aku menutup lemari dengan sebal.

“Kamu nggak pakai baju tetap cantik kok.” Wahyu berbisik, mendekat, tersenyum jahil. Aku pura-pura ingin memukulnya, dengan cepat dia menangkap tanganku. Aku jatuh dalam dekapannya. Wahyu memelukku sangat erat. Bagaimanalah? Malam itu terasa sangat sempurna.


Pagi sekali, aku terbangun tiba-tiba, bergegas menyingkap selimut. Buru-buru aku mengenakan piyama. Aku melihat Wahyu masih terlelap. Aku berlari kecil menuruni anak tangga. Aku baru ingat, hari ini hari pertama Rinai masuk di Sekolah khusus. Aku membujuk Rinai untuk lekas bangun. Aku membantunya mematut diri. Setelah Rinai mandi, aku menyisir rambut panjangnya. Memakaikan bando pink. Rinai tiba-tiba menyentuh tanganku.
“Rinai bahagia, Bun.” Rinai tersenyum. Aku balas mengecup pipinya, “Bunda juga bahagia melihat hari ini Rinai sekolah lagi.”


Aku menarik kursi, membantu Rinai duduk. Bergegas menuju dapur, mengambil roti tawar beserta selai, mengaduk segelas susu hangat untuk Rinai. Cukup cekatan aku membawa nampan itu, aku menaruhnya dihadapan Rinai. Rinai cukup mandiri untuk menghabiskan sarapannya sendiri. Aku ingin menyuapinya, namun ia menolak.

“Kok aku nggak dibangunin?” Wahyu sudah rapi dengan kemejanya menuruni anak tangga.

“Bunda tadi ngurusin Rinai dulu, ‘Yah.” Rinai memotong, mulutnya penuh roti. Wahyu tersenyum memaklumi.

“Mau dibuatin sarapan apa?” tawarku. Dalam hati aku membatin. Jangan sampai Wahyu minta sarapan yang aneh-aneh karena aku belum banyak belajar memasak pada Mama.

“Nanti sarapan di kantor saja. Buru-buru nih,” ucap Wahyu duduk di sofa, sibuk memakai sepatunya. Aku membantu Rinai memakai tasnya setelah ia selesai sarapan. Rinai berangkat bersama Wahyu. Aku mengecup tangan Wahyu, dia balas mencium keningku. Aku mengantar sampai depan, mendadah sampai mobil Wahyu hilang di kelokan.


Siang hari aku memutuskan untuk menjemput Rinai. Hari ini aku sedikit merubah penampilan. Memakai rok dengan atasan blues. Ini juga karena tadi pagi Mama menelepon, menasehati, rusuh mengomentari gaya busanaku yang maskulin, sibuk memprotes banyak hal. Dan lagi-lagi aku mengikuti kemauan Mama. Baiklah, ini juga demi Wahyu. Sebagai istri yang baik, aku harus bisa membuat Wahyu bahagia. Aku duduk di kursi panjang yang ada di lorong lantai dasar. Ternyata bel pulang baru berbunyi setelah aku duduk hampir dua jam.






Bersambung..


Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Cari Blog Ini