Kamis, 29 Maret 2012

“Biarkan Aku Mencintaimu” (bagian 2)

Gitar Istimewa



Pagi-pagi sekali aku mendengar pintu kamarku diketuk. Dengan ogah-ogahan aku menyingkap selimut. Berjalan gontai membukakan pintu.

“Mita?” Aku sedikit terkejut, mengucek mataku. Aku menggaruk kepalaku, untuk apa sepagi ini dia menemuiku?

“Buruan mandi. Gue tunggu dibawah.” Mita tanpa basa-basi langsung melangkah pergi. Padahal aku belum mengiyakan. Ini saja belum ada jam enam. Aku meraih handuk dan bergegas mandi.


Mita duduk di sofa. Dia memakai kacamata dan topi hitam. Serba hitam. Ada gitar yang tergeletak disampingnya. Aku berjingkat-jingkat, ingin membuat Mita terkejut. Tetapi.. Dia duluan menoleh ke belakang. Aku gelagapan, pasti terlihat sangat konyol, pura-pura bersiul, bersikap biasa saja. Mita meraih gitarnya dan satu tangannya menggandengku. Mimpi apa aku semalam? Mita, apa dia sudah tidak galak lagi?


“Kita mau kemana?” tanyaku setelah mobilku keluar dari halaman apartemen.

“Ngamen.” Jawabnya yakin.

“Sungguh?” tanyaku lagi.

“Bawel!” bentaknya. Aku salah, galaknya ternyata masih bercokol.

“Tapi kan lutut lo masih sakit,” ucapku khawatir. Mita menggulung celana jeans panjangnya.

“Tuh kan masih memar.” Aku menyentuh lututnya. Dia mengaduh, menyingkirkan tanganku.

“Jangan pernah samain gue seperti perempuan cengeng. Lemah!” Mita mencengkeram kerah kemejaku.

“Oke. Maaf!” Aku bahkan tidak berani menyentuh tangannya, Mita kembali ke posisinya. Sejurus, aku mendengar dia terkekeh, dan akhirnya tertawa lebar. Perempuan ini susah ditebak!

“Apanya coba yang lucu?” Aku mendesis kesal.

“Lo itu cowok, Mal. Sama gue aja lo takut!” Mita menatapku, masih saja tertawa, meledek. Aku tidak menjawab.

“Iya iya, gue tahu kok, lo nggak takut, cuma ngalah aja.” Ucapnya merapikan rambut di kaca spion. Aku tersenyum.

“Gue menghargai lo sebagai cewek.” Aku menatap lurus ke depan, pura-pura cuek. Mita bergeming menolehku.

“Makasih.” Mita kembali menatap keluar. Hatiku mengembang seketika. Aku seperti melihat bidadari sedang duduk disebelahku. Mita menurunkan kaca pintu mobil, dia tersenyum melihat anak kecil mengamen.

Mita mengulurkan tangannya, entah berapa yang dia berikan kepada pengamen kecil itu. Dia ternyata sangat murah hati.

“Kita ngamennya dimana?” tanyaku, menepikan mobilku.

“Di gerbong kereta.” Jawabnya yakin.

“Lo kayaknya nggak ada tampang orang miskin deh.” Aku memandangi wajahnya, menaikan sebelah alisku. Mita melemparku dengan topinya.

“Ngeledek maksudnya?” Mita melotot tajam. Aku meringis, kembali melajukan mobilku, enggan mencari masalah lagi.




Aku menjulurkan tangan saat Mita hendak menaiki gerbong yang lumayan tinggi. Lihatlah, tangannya sangat halus. Sedari tadi aku tidak sadar kalau aku masih menggandeng tangannya. Cukup sibuk mencari jalan, menyibak gerbong yang penuh-sesak ratusan orang. Mita mendekap gitarnya, takut terjadi apa-apa dengan gitar itu.

“Mit, nggak memungkinkan buat ngamen disini.” Aku loncat turun dari pintu gerbang. Mita masih berdiri diambang pintu, sedikit bimbang, seperti sedang membuat pertimbangan lain.

“Buruan, nanti keburu keretanya jalan!” Aku berseru, meraih satu tangannya. Aku sedikit menangkap tubuhnya. Satu-dua detik aku bisa merasakan keteduhan matanya yang pelan merasupi jiwaku. Aku segera tersadar, sedikit kikuk. Mita pura-pura merapikan jaketnya.

“Kita cari tempat lain aja.” Aku menghela nafas, menyeka keningku.

“Mal!” Mita berteriak, sejurus dia berlari ke arah selatan. Tidak ada kesempatan untuk bertanya ada apa? Aku segera berlari menyusul Mita. Dari jarak yang masih jauh aku melihat kerusuhan yang terjadi sangat cepat. Aku sampai tidak percaya dengan apa yang sedang aku lihat. Mita berkelahi dengan tiga orang preman? Seorang diri? Mita bahkan cukup tangguh melawan preman-preman itu. Beberapa pukulan telak berhasil membuat ketiga preman itu menyingkir, preman itu meludah, tidak terima dengan perlawanan Mita. Aku melangkah menghampiri. Mita duduk berjongkok, ada seorang anak kecil yang babak-belur. Mita mengambil hansaplast dari sakunya, lalu menempelkannya di pelipis anak kecil itu. Mita juga memberi uang untuk pengobatan. Anak kecil itu tersenyum lemah memandangi Mita.



Aku baru tahu jika bibir Mita berdarah saat aku melajukan mobilku keluar dari stasiun itu. Aku berusaha menyentuhnya.

“Nggak usah pegang-pegang!” Mita kesal menahan tanganku. Aku menyodorkan kotak tisu, dia mengusap bibirnya dengan tisu itu. Masih terbayang dengan sangat jelas bagaimana Mita menolong anak tadi dari gangguan preman-preman. Berhubung hujan turun, aku memutuskan untuk pulang, dan Mita menyetujuinya.


Aku turun dari mobil seraya mengembangkan payung. Lantas membukakan pintu untuk Mita. Sedikit ragu aku merangkul pundaknya, mau bagaimana lagi, payung ini tidak terlalu besar, jadi harus sedikit berdempetan. Untungnya, kali ini dia tidak mengomel atau menuduhku macam-macam. Mita merapatkan tangannya di saku jaket. Angin berhembus sangat kencang, membuat dahan-dahan kering bergeming. Saat melangkah di pelataran apartemen, langkahku terhenti, aku membalikkan badan. Suara guntur menggelegar yang disertai angin menerpa sebuah pohon besar. Dan tepat didepan mataku, lihatlah, bagaimana angin itu mengamuk. Aku tidak bisa berbuat apa-apa ketika pohon besar itu tumbang, yang sempurna menghantam mobilku. Berdebam. Aku kaget bukan kepalang, Mita tercekat menyentuh bahuku. Ya Tuhan. Aku melepas payung ditanganku, berlari ditengah hujan, menyaksikan sendiri dari dekat bentuk mobilku yang sudah ringsek di bagian tengah. Mita menyusulku, ikut hujan-hujanan. Aku mengangkat bahu, mau dikata apalagi, toh, sudah ringsek begini. Mita terlihat sedih.

“Mal, gitar gue kan masih di dalam mobil!!” Mita berseru, tangannya berusaha membuka pintu mobil yang sudah penyok terkena dahan. Tidak bisa membukanya, Mita kesal menendang ban mobil dengan geram. Aku kira dia ikut sedih karena melihat mobilku.

“Sial!” Aku menendang batu kecil di depanku. Menghela nafas panjang. Akhirnya dengan muka masam aku kembali ke kamarku. Aku mendapatkan pelajaran penting, gerakan ‘Go Green’ harus diimbangi dengan penebangan pohon besar yang sudah tua. Kalau begini yang akan bertanggungjawab siapa? Aku terduduk lemas di kasurku. Mobil kesayanganku remuk.


***

Pintu kamarku digedor-gedor dengan tidak sabaran. Berisik. Kalau aku membiarkan, mungkin dalam hitungan beberapa menit kedepan, pasti pintu kamarku akan jebol.

“Mau apa?” tanyaku sedikit malas ketika melihat Mita yang sepertinya akan marah.

“Lo lihat gitar gue!!” Mita berseru menunjuk gitar di atas kursi. Gitar yang patah menjadi dua bagian.

“Cuma gitar doang, Mit! Lo lihat mobil gue yang udah nggak berbentuk lagi!” Bentakku meremehkan, enak saja dia menyalahkanku.

“Hei, asal lo tahu, gitar ini jauh lebih berharga ketimbang mobil lo itu!” Mita menarik kerah bajuku. Aku sama sekali tidak takut dengan kemarahannya.

“Terus mau lo apa? Mau nonjok gue? Oke, silahkan!” Aku menengadahkan kedua telapak tanganku. Terserah.

“Brengsek!!” Mita melepas tangannya dari kerah bajuku, mengepal tangan, bersiap menghantamkannya ke wajahku.
Aku menatap lekat matanya yang memerah, antara kemarahan dan airmata berkumpul di kelopak matanya. Mita menurunkan kepalannya, tidak jadi melakukannya, dia hanya mendorong bahuku dengan kencang. Sedetik kemudian aku mendengar dia membanting pintu.


Dia membiarkan gitar itu tetap tergeletak diatas kursi. Aku tertarik untuk mendekati gitar itu. Gitar ini sama seperti gitar lainnya. Tidak ada yang istimewa. Tetapi untuk alasan apa sampai Mita marah besar saat mengetahui gitarnya hancur? Aku penasaran membolak-balik gitar itu, mencari hal apa yang saja yang membuat gitar ini berharga. Aku hanya menemukan sticker bendera Inggris di bagian depannya saja. Namun, setelah membaliknya, mataku terhenti pada sebuah ukiran tipis di bagian belakang gitar itu. Ada ukiran berbentuk hati, dan didalamnya terdapat tulisan ‘Mama’. Aku sangat yakin gitar ini pemberian dari Mamanya. Aku sangat menyesal, mengapa tadi aku membentaknya? Aku memandangi gitar itu, mana mungkin bisa membuatnya kembali utuh seperti sedia kala? Aku membawanya masuk ke dalam kamarku. Untuk berjaga kalau Mita masih ingin menyimpannya. Aku merenung cukup lama, memikirkan banyak hal, dan juga khawatir sendiri memikirkan Mita yang sekarang sangat kecewa.


***

Siang ini aku pergi ke toko alat musik. Sebelumnya aku mengetuk pintu kamar Mita. Tetapi, mana mungkin Mita mau membukakan pintu?


Aku menyetop taksi di depan apartemen. Diatas sana langit mulai gelap, petir membuat akar serabut di langit, aku memandanginya dari kaca yang sedikit terbuka. Beberapa menit kemudian aku sudah sampai. Bergegas. Menaikan kupluk jaket, berlari menyibak air hujan yang semakin menderas. Aku mengibaskan telapak tangan, mendorong pintu kaca dari luar. Begitu masuk ke dalam toko, pendingin AC cukup menusuk ke tulang, dingin bukan main. Aku kembali merapatkan jaket, mulai berkeliling, mencari letak gitar akustik berada. Aku bingung harus memilih yang mana. Dan, setelah cukup lama mempertimbangkan, akhirnya pilihanku jatuh pada gitar berwarna merah marun, dengan warna hitam ditepinya. Aku tidak mempermasalahkan harganya, yang aku pikirkan, Mita mau menerimanya atau tidak?


Aku membuang nafas saat tahu jika hujan belum reda juga. Aku mundur satu-dua langkah, angin yang berhembus membuat percikan air hujan meluas. Aku menyandarkan punggungku di dinding kaca. Tidak ada pilihan lain selain menunggu hujan sampai reda.



Baru sekitar pukul tujuh malam aku mendapatkan taksi. Setengah hari aku habiskan dengan mematung di teras toko tadi. Tapi tidak masalah, aku tersenyum lega melihat gitar ditanganku. Aku mengetuk pintu kamarnya tiga kali, buru-buru meletakkan gitar tadi diatas keset, tepat di depan pintu. Aku segera bersembunyi, mengintip dari ambang pintu kamarku. Mita keluar, dia cukup bingung melihat gitar itu. Mita pun mengambilnya, dengan celingukan dia menoleh ke kanan-kiri. Mita memanyunkan bibir, lantas menutup pintunya. Aku heran, jadi cuma begitu reaksinya? Tetapi tunggu, Mita keluar lagi dari kamarnya. Aku yang kaget sampai serampangan ingin bersembunyi. Namun gagal, aku malah jatuh ke lantai, tersungkur di depan kamarku. Aku cepat-cepat bangkit.

“Makasih buat gitarnya. Sampai rela hujan-hujanan.” Mita tersenyum manis.

“Ng.. Iya sama-sama.” Aku sedikit gugup melihat kerlingan matanya. Mungkin dia tahu dari rambutku yang basah. Aku tidak menyangka kalau Mita senang menerima gitar itu. Puh, setidaknya pengorbananku tidak sia-sia.


Tengah malam aku tidak bisa tidur. Hidungku tersumbat, flu berat menderaku. Aku bangkit dari kasur, melangkah ke arah jendela. Aku menyingkap gorden, sejak tadi aku cukup penasaran dengan suara petikan gitar yang terdengar sayup-sayup. Aku membuka kaca jendela. Cewek tomboy itu sedang apa? Aku meraih jaket, bergegas memakainya seraya keluar dari kamar.


Tanpa permisi aku duduk disampingnya. Mita masih asyik memetik gitar tanpa menoleh sedikitpun. Mita menghentikan gerakan tangannya ketika aku iseng meletakkan tanganku di pundaknya. Tanpa sepatahkata dia menyingkirkan tanganku. Mita memetik gitar itu lagi.



Nevermind, I'll find someone like you
I wish nothing but the best for you, too
Don't forget me, I beg, I remember you said
“Sometimes it lasts in love, but sometimes it hurts instead.”



“Kenapa?” Aku memotong lagunya. Dia berhenti menyanyi, menoleh ke arahku.

“Kenapa apanya?” Mita menaikan kedua alisnya, bertanya serius.

“Kok nyanyi lagu itu? Pernah ditinggal nikah ya?” tanyaku hati-hati. Aku menutup mulutku, ini terlalu lancang!

“Masa lalu.” Mita mengibaskan tangan, tersenyum kecut, lantas menaruh gitar di sebelahnya. Jangan-jangan aku sudah merusak mood menyanyi-nya? Seharusnya aku tidak usah bertanya macam-macam. Aku juga lupa, kenapa aku tadi tidak memuji suara dan petikan gitarnya yang sangat memesona?


Mita mendongak dengan takzim ke langit. Aku memandangi Mita dan langit secara bergantian. Langit yang tersaput mendung tipis, ada dua-tiga bintang yang mengerjap dengan cahaya yang kecil. Angin berhembus pelan. Aku menyeka hidungku. Bersin. Suara itu membuat Mita melupakan sejenak langit diatas, dan menengok kepadaku.

“Cuma bersin doang. Besok pagi juga udah baikan,” ucapku mendahului sebelum Mita sempat bertanya.

“Soal gitar itu sebenarnya bukan salah lo. Gue waktu itu cuma marah aja, nggak ada tempat buat pelampiasan. Yah, jadinya gue ngamuknya ke elo.” Mita tertawa kecil. Aku mengerutkan dahi, memandanginya dengan skeptis.


“Wajar. Gitar itu kan dari nyokap lo.” Aku kembali menatap langit, lalu tersenyum kecil kepadanya. Mita menutup mata lalu membukanya kembali. Dia menghela nafas dalam.

“Gitar itu pemberian terakhir Mama. Sepuluh tahun yang lalu. Sebelum Mama pergi lima tahun yang lalu.” Mita melipat tangan di dada, dia bersandar di punggung kursi, mendongak, seperti mengenang sesuatu.

“Maaf.” Ucapku singkat. Aku ikut sedih melihat wajahnya yang berubah muram.

“Gue capek dengar kata itu.” Mita mendelik, bergurau, tertawa renyah memperlihatkan deretan gigi yang tertata rapi, ada satu piercing tersemat di lidahnya. Aku pura-pura marah, cemberut mencembungkan kedua pipiku.

“Gue beruntung kenal sama lo. Lo bisa ngertiin gue. Selalu tahu cara buat gue ketawa.” Mita meremas punggung tanganku. Hatiku mengembang dalam sekejap. Apa arti dari perasaan ini? Apa aku mulai—jatuh cinta?

“Gue belum tahu banyak tentang lo.” Aku tersenyum lembut. Mita melepas tanganku. Raut wajahnya kembali berubah.

“Gue berani taruhan, lo akan milih nggak mau tahu apa-apa tentang gue,” katanya sangat serius.

“Maksudnya?” tanyaku kurang jelas.

“Lebih baik lo nggak usah tahu tentang gue.” Mita dengan mimik serius beranjak berdiri. Aku menggaruk kepalaku.

“Belum ngerti juga?” Mita menoleh. Aku menggeleng pelan.

“Belum waktunya buat lo tahu. Dan mungkin lo nggak akan pernah mau tahu.” Mita menyunggingkan bibir, lalu melengos pergi. Padahal aku sangat penasaran, masih banyak pertanyaan berkecamuk lirih. Dia sedang bergurau atau apa?





Bersambung...

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Cari Blog Ini