Jumat, 27 Desember 2013

Hadiah untuk Devi



Di bawah temaram langit malam, aku melihat secercah cahaya bergoyang tertiup angin laut, tidak hanya satu tapi beberapa. Suara ombak yang menjilat tepi pantai. Pasir yang lembut bagai eskrim. Dan nyiur yang melambai tersapu angin.

“HAPPY BIRTHDAY!!!”

Aku mematung sementara mereka berhamburan memelukku satu per satu. Mendaratkan pipi mereka ke pipiku. Mereka bahkan lupa kalau sempat menginjak kakiku. Aku meringis setelah mereka selesai memelukku. Yang terakhir adalah Doni yang sudah melangkah ingin memeluk, aku mempelototinya. Salah satu di antara mereka mengangkat kue tart yang ada tulisan nama serta umurku di atasnya. Yang lain seperti koor menyanyikan lagu ulang tahun. Aku memejamkan mata, merapal doa-doa pengharapan.

Acara itu tentu saja tidak berjalan damai. Tidak ada potongan kue pertama untuk siapa. Yang ada hanyalah tangan-tangan jahil melempar potongan kue ke wajah satu sama lain. Berlarian menghindari kena balasan. Doni yang tetap diam di tempatnya, memainkan jempol kakinya di pasir. Aku mendekatinya.
“Kamu nggak ikut mereka?” Justru dialah yang melempar pertanyaan terlebih dahulu. Tangannya menunjuk ke arah gerombolan yang kini berpindah ke tepian, bermain ombak. Aku menggeleng. Ia lalu duduk mencakung di atas pasir. Aku melakukan hal yang sama, di sampingnya.
“Maaf ya, belum sempat bawa hadiahnya sekarang.” Ia memecah hening, menolehku sekilas.
“Bukan masalah,” jawabku.
“Kalau boleh tahu, kamu tadi doa apa aja?” tanyanya tanpa menoleh.
“Banyak. Buat Mama, Papa, Adik, sahabat...” Aku tercekat. Ada satu nama lagi.
“Siapa?” ia seperti bisa membaca pikiranku.
“Siapa apanya?” tanyaku berpura-pura bodoh.
“Siapa orang terakhir yang kamu doakan?” ia memperjelas pertanyaannya.
“Aku kasih tahu nanti kalau kamu udah ngasih aku hadiah,” aku menjulurkan lidah. Ia menyeringai, lalu tidak tertarik bertanya lagi. Kami duduk diam menatap langit dan laut yang seolah menyatu di antara garis cakrawala, meski di malam hari garis itu tak terlihat. Aku senang duduk di sampingnya, meski kami sibuk dengan lamunan masing-masing.

***

Aku mengenalnya tiga tahun yang lalu. Waktu itu bersama keluarga kecilnya ia pindah di samping rumahku. Aku menjulukinya nomaden. Pekerjaan ayahnya-lah yang membuatnya berpindah-pindah antarpulau bahkan antarnegara. Dia hebat, dengan cepat ia bisa beradaptasi. Mungkin pengalaman membuatnya bisa beradaptasi seperti bunglon.

Pagi-pagi ia sudah menggedor pintu rumahku. Aku yang masih bergumul dengan selimut mengutuknya. Lelah menggedor pintu, ia lantas beralih ke jendela kamarku.
“APA?!” sentakku seraya membuka jendela sembarangan. Dalam bayangannya, mungkin dua tanduk muncul di kepalaku. Ia berjengit ngeri.
“INI MASIH LIBUR!” kataku dengan emosi. Teringat bagaimana setiap hari Doni-lah yang menjadi alarm pagiku. Itu pun kalau sedang sial kami tetap terlambat sampai sekolah.
“Duh, buruan mandi deh. Bau iler. Aku tunggu di bawah. Angin lagi bagus-bagusnya..” Ia melirik pada apa yang dibawanya.
“Kita main layang-layang pagi ini.” Ia seperti biasa, diktator memerintahku. Aku mendengus meski tetap menuruti perintahnya.
Dia dengan sukarela menyeret tanganku. Rumah kami hanya berjarak lima ratus meter dari pantai. Pantai sudah ramai, benar kata Doni, angin sedang bagus-bagusnya. Nyawaku sudah terkumpul.
“|Aku lapar..” Aku merengek. Ia seperti paham betul, langsung mengajakku ke satu kedai nasi goreng. Sambil menghabiskan sarapan, ia bercerita panjang lebar tentang strategi memainkan layangan nanti. Dan aku hanya manggut-manggut sok paham. Siapa pula yang peduli dengan layangan. Aku terkekeh pelan.
“Yah, malah nyengir mak lampir. Buruan. Kita ke sini bukan mau sarapan. Tapi main laya..hnghan.” Aku terpaksa menyumpalnya dengan tempe goreng.
“Semakin kamu berisik, semakin lama pula nasi goreng di piringku habis. Ngerti?” Ia terdiam kemudian, mengalah.

“Ingat ya, kamu pegang kalengnya. Kalau aku bilang ulur, kamu ulur cepat-cepat. Kalau aku bilang tarik...”
“Iya, tuan besar.” Potongku sebal.
“Bagus.” Ia melangkah dengan cuek. Ia pintar memainkan layangan. Di langit jumlah layangan terbilang banyak, aku coba menghitung namun gagal.
“Bosen, Don!” teriakku malas. Sejak tadi yang kulakukan hanya mengulur dan menarik benang. Belum lagi sekarang benang-benang itu terlilit satu sama lain, susah untuk mengurainya. Maka aku berseru jengkel, sudah berdiri bersiap kabur kapan saja. Namun ia mendekat, wajahnya berkeringat.
“Sebentar lagi ya, bisa jadi ini yang terakhir.” Ia berujar kalem. Aku terbisukan oleh kata terakhir itu. Apa itu artinya ia akan pindah lagi? Pergi? Dan aku, apa aku akan kesepian? Aku benci kata kesepian.
“Kamu jahat!” aku berlari pulang. Lebih tepatnya aku tak mau menangis di depannya. Aku entah mengapa menyimpulkan bahwa ia akan pergi. Meski ia belum mengatakannya. Namun aku tahu, cepat atau lambat semua bakal terjadi.

***

Senja sore di tepi pantai kali ini terasa hambar. Aku berjalan seorang diri, menapaki garis pantai. Ombak silih berganti menjilat kakiku, datang dan pergi. Jika biasanya di sini aku berlarian bersama Doni, saling menciprati air, bahkan berlarian ketika ombak datang. Tanpa terasa pipiku basah mengenangnya.
Libur panjang telah usai. Kini aku harus mandiri. Alarm pagiku sudah pergi entah kemana. Aku memang tidak mau menemuinya ketika ia berpamitan. Dan aku juga enggan bertanya kemana ia pergi. Yang aku tahu, tempat yang menjadi tujuannya pasti jauh sekali.
“Devi, sarapannya bisa agak cepat? Kamu nanti terlambat. Nggak ada lagi yang temani kamu kalau dihukum, bukan?" Mama mengingatkan dari seberang meja. Juga pada hari-hari selanjutnya.
Minggu pagi di pantai selalu ramai. Aku mendongak, ada beberapa layangan mengangkasa dengan elok. Aku mulai berandai-andai jika Doni ada di sini sekarang. Ia pasti akan sebahagia hari itu. Kali ini aku berjanji tidak akan mengeluh. Tapi lagi-lagi aku sadar, kenyataan selalu berbeda. Aku masih mematung ketika tiba-tiba sosok itu melewatiku. Sebuah layangan tersampir di punggungnya. Aku mengibaskan tangan, lekas berbalik. Tidak mungkin Doni ada di sini. Itu kemustahilan yang paling mustahil. Aku terus melangkah saat suara itu menghentikanku, “kamu masih bisa tarik-ulur benang, kan?”
Aku perlahan memutar badan. Sulit kupercaya. Ia benar-benar berdiri di sana. Bagaimana ia bisa kembali? Bukankah--?
“Heh! Jangan bengong, sini bantuin.” Ia melambaikan tangan santai. Aku mengutuknya dalam hati. Ia dengan santainya bersikap seperti tidak pernah terjadi apa-apa. Andai ia tahu apa yang terjadi kepadaku selama ia pergi.
“Kenapa nggak jadi pergi?” selaku di antara kesibukannya menggulung benang.
“Jadi, kamu pengen aku pergi?” timpalnya.
“Sensi amat,” dengusku.
“Nggak, aku nggak akan pergi sebelum kasih kado ke kamu.” Ia menjawab serius.
“Jadi, setelah kamu kasih kado, kamu akan pergi. Iya, maksud kamu begitu?” Aku mulai tersulut emosi. Sudut mataku terasa hangat, siap tumpah hanya dengan satu kedipan saja.
“Aku nggak tahu, Dev.” Ia nampak menghela napas tertahan.
“Kamu nggak usah ngasih aku kado. Aku nggak mau kamu pergi.” Akhirnya aku menangis.
“Tapi bukan itu alasannya, Dev.” Ia menatap arah lain.
“Ikut ayah kamu?” tebakku.
“Bukan.” Ia berkata lirih.
“Terus apa?” desakku.
“.....”
Hening.
“Doni?”
“Aku janji, Dev. Seminggu sekali aku akan datang. Seperti hari ini,” ia sengaja berkilah.
“Sampai kapan?” cercaku.
“Entah,” jawabnya.
“Kenapa?”

“Karena aku tidak tahu apa yang akan terjadi besok,” mimik wajahnya terasa ganjil.

***

Minggu berikutnya ia tidak menepati janjinya. Ia tak datang, juga pada minggu berikut-berikutnya. Jika ia tidak bisa menepati, untuk apa pula ia berjanji. Dengan bodohnya aku selalu menunggu kedatangannya setiap minggu.
“Dev, itu di atas meja ada paketan buat kamu, diantar kurir tadi siang. Kamu main mulu ke pantai. Ngapain, sih? Kan nggak ada Doni lagi.” Mama berkata tanpa menoleh, tangannya gesit menyetrika baju-baju. Kurasa mama tak membutuhkan jawabanku. Aku langsung membawa box terlapisi kertas coklat itu ke kamar.
Aku merobek kertas coklatnya, langsung terlihat kertas kado di dalamnya. Lalu dengan hati-hati aku merobek kertas selanjutnya. Ada secarik kertas tebal yang terselip di antaranya. Aku lebih tertarik membacanya terlebih dahulu ketimbang melihat apa isi box tersebut.



Untuk Devi, partnerku bermain layang-layang..

Hai, sahabat terbaikku. Mungkin saja hari-hari selanjutnya aku lebih sering lagi membuat kamu jengkel menungguku di pantai setiap minggu. Tapi tak apalah. Aku suka ekspresi marah kamu, termasuk saat kamu bilang aku jahat. Aku terima. Karena memang begitulah kenyataannya. Aku hanya bisa datang hari itu saja. Selanjutnya aku terpaksa melanggar janji. Sejujurnya, aku selalu merindukan dua hal. Kamu dan pantai. Soal hadiah ini, aku takut tak sempat memberikannya secara langsung. Jadi, mungkin lebih baik begini. Jam weker dan stoples layang-layang mini. Yang pertama, karena aku tak lagi bisa membangunkanmu setiap pagi. Kedua, aku tahu persis kamu nggak bisa main layang-layang sungguhan. Semoga kelak kita bisa bertemu lagi, meski dengan takdir yang berbeda. Selamat ulang tahun ya untuk tahun kemarin. Juga untuk tahun-tahun selanjutnya. Aku takut tak sempat mengatakannya.


Doni.




Aku terpatri pada baris paling bawah. Ada bercak merah yang memudar. Aku merabanya.
Air mataku semakin membuat bercak itu semakin luntur. Aku memutuskan bangkit dan membuka pintu kamar dengan kasar.
“Devi?” Mama terkejut, mengalihkan tatapan kepadaku.
“Mau kemana kamu?” Aku bahkan mengabaikan wajah bingung mama.
“Pakai payung, Devi! Di luar hujan! Nanti kamu sakit!” Mama berteriak mengingatkan. Tapi aku tak mendengarnya. Aku hanya ikut kemana kakiku berlari. Dengan tergopoh-gopoh dan napas tersengal aku mendekati ombak yang bergulung menyesekkan hati. Aku basah kuyup. Dinginnya menusuk tulang. Dan dinginnya hati seakan meremukan seluruh persendianku. Aku terduduk, kubiarkan ombak menerjangku. Langit bergerumuh seolah mewakili jeritanku.

***

Desember, di penghujung tahun...

Langit malam ini cerah dengan bulan dan bintang yang menggantung di sana. Semilir angin menerpa ujung kerudungku. Malam ini seharusnya aku tak sendiri di sini. Sendiri menatap ombak yang menerjang karang. Sendiri, meratapi kesendirian. Bukan aku tidak bersyukur. Bukan aku mau lari dari kenyataan. Aku hanya ingin semua terlihat normal.
Satu tahun bukanlah waktu yang singkat. Setiap hari aku lalui dengan membunuh sepi. Dan aku selalu gagal. Aku tak pernah bisa lari dari kenyataan.
Aku menghela napas panjang. Tanganku mulai mengaitkan benang pada gulungan kertas. Aku terdiam sejenak. Lalu perlahan aku melepas pegangan tanganku pada benang itu. Angin mulai membawa balon itu menjauh. Aku mengangkat satu tanganku, melambaikannya dengan pelan. Wajah itu seperti terlukis di langit malam. Dan ia tersenyum padaku.
“Devi, ayo pulang! Lilinnya keburu meleleh semua.” Mama berteriak di belakangku. Aku mengangguk, bergegas melangkah pulang.


Dear Doni,

Apa kabar kamu di sana? Baik-baik, kan? Aku hari ini ulang tahun, hlo! Aku tahu kamu nggak akan pernah datang lagi. Tapi kamu bisa kan mendoakan aku dari sana? Semoga saja suratku sampai padamu. Aku memang sengaja mengirimnya dengan sebuah balon. Tentu kamu tahu aku payah sekali dalam urusan menerbangkan layang-layang. Jadi tidak mungkin aku mengirimnya dengan kertas aneh itu.
Semoga angin membawa surat ini padamu. Semoga kamu bahagia di sana.


Devi, mantan partnermu bermain layang-layang.






Selesai.

Cari Blog Ini