Minggu, 17 Februari 2013

“Pelangi Bersamamu, (Season 2)”




Setiap pertemuan pasti berakhir dengan perpisahan. Aku benci kalimat itu, muak mendengarnya. Apa itu juga bagian dari takdir? Sebagian besar orang menyangkalnya, seakan tidak percaya dengan hukum alam itu. Termasuk aku yang kini sedang duduk tercenung di antara keramaian. Aku duduk menatap lantai di bawahku. Satu titik air menetes tanpa kuduga.

“Kamu nangis?” Seseorang di sebelahku menyentuh pundakku. Dengan cepat aku mengusap pipiku.

“Nggak.. Mungkin karena kurang tidur.” Aku pura-pura menguap. Orang di sampingku mengacak rambutku. Entah percaya atau tidak dengan ucapanku tadi.

“Aku berjanji setelah semua selesai, aku akan kembali. Dan kita akan bersama selamanya...” Wahyu meraih tanganku, meyakinkanku. Aku mengangguk, kemudian ia mendekapku.


Tidak ada percakapan lagi setelah itu. Pesawat yang ditumpangi Wahyu akan segera take off. Pengeras suara sudah memberitahukan penumpang untuk lekas bersiap. Wahyu menggenggam kedua tanganku sebelum beranjak.

“Hati-hati ya...” kataku pelan. Ia mengangguk.

“Jaga kesehatan kamu...” Pesannya balik. Aku mengangguk patuh. Rasanya tidak mungkin aku menangis di depannya.

“Aku mencintaimu...” Wahyu mengecup keningku. Aku menjerit dalam hati, tidak tahu harus menahan air mata dengan cara apa lagi. Perlahan, Wahyu berbalik. Genggaman tangan kami merenggang, pelan tapi pasti, tangan kami sudah terlepas. Aku terus menatap punggungnya. Berharap perpisahan ini hanya mimpi buruk. Tidak. Ini bukan mimpi. Karena aku yang memaksanya pergi. Aku yang mendesaknya untuk menyelesaikan kuliahnya di sana. Dan ia akhirnya mengalah, meski bersikeras untuk berhenti kuliah. Kami sempat diam-diaman selama satu bulan karena masalah ini. Apa aku telah menyesal telah membuat Wahyu pergi? Tidak. Aku mempercayakan semua kepada takdir. Aku membiarkan takdir dan waktu berjalan dengan semestinya.



***


“Aduh, telat gue!” ucap Ikmal dengan ngos-ngosan.

“Dara mana?” tanyaku.

“Gue bukan babysitter dia, Mita.” Ikmal tampak kesal. Lalu duduk sambil mengatur napas. Kurasa tadi ia lari dari rumah menuju bandara.
“Wahyu baru aja berangkat. Kamu cepat dikit pasti kekejar,” kataku.

“Macet. Ini tadi juga udah lari!” keluhnya. Aku tertawa kecil melihat wajahnya yang berkeringat. Aku mengeluarkan saputangan dari kantong celanaku.

“Nih, lap tuh muka,” aku menyodorkannya. Ia hanya menatapku tidak berkedip.

“Ikmal!” bentakku. Ia tersadar lalu menyambar saputangan.



***


“Kok nggak ada yang bangunin gue sih? Lo juga Mit! Kenapa nggak ngajak gue. Lihat kan, gue nggak bisa ikut ngantar Wahyu!” Dara mengamuk dengan tampang kusut baru bangun. Rambutnya berantakan kesana-kemari. Ikmal cekikikan di sampingku. Entah sedang menertawakan apa.

“Siapa yang suruh lo ketawa?!” Dara melotot tajam. Ikmal bukan jadi diam, malah semakin terpingkal. Mungkin ia sedang membayangkan dua tanduk keluar dari kepala Dara.

“Wahyu juga buru-buru. Pesawatnya berangkat pagi,” kataku, membuat Dara tambah kecewa.

“Idih! Wahyu juga malu kali lo ikut ke bandara. Malu-maluin! Pakai baju tidur, rambut berantakan, bau iler...” Ikmal mencibir. Dara hampir mencekiknya. Aku menggelengkan kepala, dan memilih menyingkir dari ruang tengah.


Aku berdiri di depan pembatas balkon. Pemandangan kebun teh terhampar luas di hadapanku. Pagi ini masih berkabut. Jadi terasa dingin menyentuh kulit. Setelah kepergian Wahyu, apakah semua akan berubah? Apa tanpa Wahyu aku bisa melihat indahnya pelangi seperti saat Wahyu ada di sini? Apakah tanpa Wahyu, hujan akan turun di musim kemarau? Aku tidak tahu. Jangan tanya itu padaku. Aku tidak mau mendengarnya, juga tidak sanggup menjawabnya.

“Dara tahu tentang ini?” tanya Ikmal yang berdiri di sebelahku. Aku tidak tahu kapan ia menyusulku.

“Tentang apa?” tanyaku mengerutkan dahi.

“Hubungan kalian?” Ikmal menatapku. Aku terkesiap mendengarnya.

“Belum. Aku belum siap melihatnya terluka.” Aku menatap ke depan.

“Iya, gue paham soal itu. Tapi, Mita, yang gue takut suatu hari nanti lo yang bakal terluka. Gue nggak bermaksud untuk.. Lo ngerti kan, Mit?” ucap Ikmal yang membuatku menoleh kepadanya. Apa yang ia katakan tidak salah. Tapi aku mencoba untuk tetap tenang.

“Gue tahu, Mal. Tapi untuk sekarang bukan waktu yang tepat,” sergahku. Ikmal diam sejenak. Sementara aku sedang membuang pikiran-pikiran aneh yang terlintas di kepalaku.

“Gue yakin lo bukan wanita sembarangan. Lo kuat, dan lo tahu apa yang seharusnya lo lakukan. Wahyu beruntung ya, Mit.” Ikmal menyeringai.

“Satu hal yang perlu lo tahu. Gue juga masih bisa nangis.” Aku terkekeh. Ikmal tertawa samar seraya manggut-manggut.

“Wahyu udah telepon?” tanyanya kemudian. Aku menoleh ke belakang, ke ponsel yang tergeletak di atas meja. Aku menggelengkan kepala. Sudah seminggu ini Wahyu tidak meneleponku. Saat aku mencoba menghubunginya, nomornya tidak aktif. Tetapi aku tidak mau berterus-terang kepada Ikmal. Cukup aku saja yang merasa khawatir.



***


Bahkan malam pun terasa hampa. Angin malam bertiup hambar menerpa wajah kami. Aku melirik ke kanan, dan mendapati Dara membolak-balikkan majalahnya dengan bosan. Kulirik ke kiri, melihat Ikmal yang menatap layar ponselnya dengan muka kusut. Aku menghela napas. Bukan hanya mereka yang merasakan bosan. Meski aku tidak tahu apa yang membuat mereka bosan. Karena aku juga merasakannya, lebih dari yang mereka rasa.

“IIH!” pekik Dara yang membanting majalahnya ke meja. Membuat aku dan Ikmal terperanjat.

“Nah! Keluar tanduk kan? Nggak ada hujan, nggak ada angin.” Ikmal mengejeknya, ia sudah kembali fokus pada ponselnya. Dara menatapnya galak.

“Kenapa?” tanyaku saat melihat Dara beralih memainkan ponselnya.

“Wahyu dari tadi pagi nggak nelepon gue! Gue telepon balik tapi nomornya nggak aktif. Nyebelin nggak sih?” Dara nampak kecewa. Dara kecewa? Aku bahkan lebih dari kecewa saat mendengar apa yang ia katakan barusan. Ikmal langsung terkesiap, dan menatapku. Dara sepertinya terlalu sibuk untuk melihat ekspresi di wajahku.

“Gue tidur duluan ya..” Aku segera bangkit. Aku tidak tahu jika Ikmal mengejarku. Ia menghadangku yang akan membuka pintu kamar.

“Gue masih percaya lo wanita hebat. Meski sekarang lo nangis..” Ikmal menyentuh pipiku, mengusap bekas air mataku. Aku menyingkirkan tangannya.

Aku masuk ke kamar begitu saja. Ikmal masih berdiri di depan pintu. Tetapi aku sedang ingin sendiri. Agar aku bisa menangis sepuasnya. Wahyu, apa kamu tahu? Aku menangis malam ini. Untuk pertama kalinya aku menangis karena aku cemburu. Juga takut akan kehilanganmu. Apa kamu bisa merasakan setiap tetes air mata yang jatuh karenamu?




***


“Sini biar gue aja,” ucap Ikmal merebut koper dari tanganku. Lalu memasukkannya ke bagasi.

“Kenapa harus pulang sekarang?” Ikmal bertanya, menatapku sejenak.

“Bunda nyuruh gue pulang. Mendadak,” kataku beralasan. Sebenarnya bukan itu alasannya. Hanya saja Ikmal tidak perlu mengetahuinya.

“Terus? Gimana?” Ikmal teringat sesuatu, wajahnya langsung berubah. Aku mengangkat sebelah alisku.

“Lo kan pulang nggak bawa tuh mak lampir. Masa’ iya gue harus..” Ikmal berhenti berkata ketika aku menepuk bahunya. “Lo jagain dia ya. Yang akur,” kataku yang tidak bisa menahan tawaku. Ikmal melengos. Aku tahu, berat untuk Ikmal berdamai dengan Dara.

“Jangan nangis lagi ya...” Ikmal melambaikan tangannya saat mobilku hendak melaju. Aku tidak berjanji untuk hal itu. Kalau pun aku menangis, itu adalah cara terakhir untuk berkata ketika mulutku tak sanggup mengungkapkan.



***


“Ada yang kurang deh, Mit?” Bunda menatap sekelilingku. Aku juga ikutan menoleh.

“Dara?” tanyaku.

“Iya. Dia mana?” tanyanya.

“Masih di villa, Bun. Mita pulangnya juga diam-diam, waktu dia masih tidur,” ceritaku. Aku melepas ranselku, duduk di sofa dan melepas sepatuku. Bunda sedang menata sarapan di meja.

“Kamu keterlaluan. Nanti dia ngamuk gimana? Katanya galak?” Bunda tertawa mendengar kalimatnya sendiri. Aku mendekat ke meja makan. Meraih satu roti tawar dan melahapnya.

“Kamu belum punya pacar kan, Mit?” Bunda menatapku. Pertanyaan itu berhasil membuat roti tidak tertelan dengan sempurna. Aku cepat meraih gelas berisi susu.

“Bunda tanya apa tadi?” tanyaku, berharap Bunda menarik kembali pertanyaannya.

“Kamu udah punya calon belum?” Bunda memperjelas kalimatnya. Aku terperanjat sampai gelas di tanganku hampir jatuh ke lantai.

“Mita sebenarnya udah punya, Bun. Tapi..” Aku tidak melanjutkan. Kulihat Bunda menatapku penuh minat.

“Tapi dia kuliah di Austria,” kataku. “Dua tahun lagi dia selesai.”

“Kamu sanggup berhubungan jarak jauh dengan dia?” Bunda terlihat sangsi.

“Mita tahu dengan resiko atas keputusan yang Mita ambil. Bunda percaya kan sama Mita?” Aku memeluknya. Bunda mengangguk.

“Sarapan dulu, yuk!”


***


Satu tahun berlalu dengan cepat. Secepat aku perlahan mulai mengetahui semuanya. Secepat rahasia yang sedikit demi sedikit terkuak...

Selama satu tahun hubunganku dengan Wahyu tidak pernah berjalan mulus. Ada saja yang membuat kami salah paham. Ego kami memang besar. Meski seringnya Wahyu yang mengalah dan memilih diam. Tetapi aku atau pun Wahyu masih mencoba bertahan dengan keadaan yang ada. Kadang aku berpikir kalau cinta ini hanya sesaat. Tetapi setiap kali aku mencoba berpikir demikian, separuh hatiku tidak sepakat.

Ini untuk entah ke berapa kali aku duduk di kursi ini. Dara duduk manis di sampingku, diam, tidak seperti biasanya. Kurasa ia sedang gugup. Terlihat tangannya gemetar. Sementara Ikmal mondar-mandir. Juga terlihat gelisah. Kali ini aku yakin Dara tidak akan membentaknya untuk duduk. Dara terlalu sibuk dengan pikirannya sendiri. Aku mengerjapkan mataku, tertunduk menatap lantai yang mengilat. Suara decit sepatu Ikmal memenuhi kepalaku. Pikiranku juga ikut kacau. Padahal tadi waktu berangkat ke sini aku masih normal saja. Dara juga ikutan berdiri, melakukan apa yang Ikmal lakukan.

Aku memejamkan mata dan menyandarkan tubuhku ke punggung kursi. Wajah Bunda terlintas di kepalaku. Bunda yang sudah tiga hari tak sadarkan diri di rumah sakit. Selama ini Bunda sukses menyembunyikan penyakitnya dariku. Hingga aku baru tahu saat Bunda mengalami komplikasi. Aku mendekap wajahku dengan tangan.

“WAHYU!!”

Aku membuka mataku. Tepat di depanku Dara merangkul Wahyu. Ikmal menatapku sendu. Wahyu seperti tidak berusaha melepas pelukan Dara. Aku berdiri dengan kaki yang gemetar, kepalaku berdenyut. Duniaku terasa berputar kencang.
Ketika itu aku merasa kehilangan dayaku. Samar aku melihat Wahyu menangkap tubuhku yang nyaris tertelungkup ke lantai. Sisanya, hanya gelap.


Aku membuka mataku. Wahyu duduk di sampingku. Ikmal dan Dara juga ada di sini. Tetapi sepertinya Ikmal pintar membaca situasi. Ia segera membawa Dara keluar dari kamarku. Membiarkan aku dan Wahyu berbicara empat mata.

“Hei, kamu kenapa?” Wahyu bertanya dengan suara yang lembut. Ia pelan memijat tanganku.

“Aku nggak apa-apa,” kataku parau.

“Kamu nggak usah bohong, Mit. Aku tahu.” Wahyu menatapku. Aku mencoba bangun dengan bantuan Wahyu.

“Aku khawatir, Wahyu. Aku takut kehilangan kamu,” ucapku berterus terang.

“Kamu cemburu? Sama Dara?” tanyanya spontan. Aku terdiam. Tanpa aku menjawab pun Wahyu seharusnya sudah tahu.

“Bundaku sakit. Tiga hari tak sadarkan diri di rumah sakit,” ungkapku kemudian, berhasil mengalihkan perhatian. Wahyu menatapku prihatin. Air mata berderai di pipiku. Wahyu memelukku.

“Maafkan aku, Mita. Aku tidak berada di sampingmu saat kamu membutuhkan tempat untuk bersandar,” katanya dalam pelukanku. Aku menggeleng.

“Kamu tidak perlu meminta maaf,” ucapku.


“Oh, jadi gitu ya, Mit?”


Aku dan Wahyu menoleh dengan posisi tetap berpelukan. Dara berdiri kaku di depan pintu yang terbuka. Nampan yang dibawanya bergetar, sampai airnya nyaris tumpah. Aku bergegas melepas pelukan Wahyu. Dara sudah menangis sesenggukan. Ia sengaja menjatuhkan nampan itu. Gelasnya pecah menjadi kepingan kecil. Aku tahu, sangat tahu bagaimana perasaannya sekarang. Aku sangat paham bagaimana dengan hatinya yang sesak. Aku mengerti apa yang Dara rasakan saat melihat Wahyu memelukku. Aku tahu!


Dara berlari entah kemana dan Wahyu mengejarnya. Apa Wahyu lebih mementingkan Dara ketimbang aku?



***


“Pasien sudah sadar...” Dokter berkata setelah keluar dari kamar Bunda. Aku senang mendengarnya. Aku langsung masuk, diikuti Wahyu yang berjalan di belakangku.

“Bunda—” Aku mengecup tangannya yang tidak terpasang infus. Bunda sedikit tersenyum. Aku menoleh dan mendapati Wahyu yang mematung di depan pintu.

“Wahyu! Jangan bengong. Sini.”

“Ini Wahyu, Bun. Dia yang Mita ceritakan dulu..” Aku menarik tangan Wahyu mendekat. Bunda menatapku dengan sorotan berbeda.

“Bunda.. Ehm. Tante..” Wahyu mencium tangan Bunda. Aku kira tidak masalah dengan sebutan yang pertama. Bunda hanya tersenyum lalu terdiam. Tidak banyak kalimat yang terlontar. Mungkin karena keadaan Bunda yang masih lemas. Waktu itu aku tidak tahu apa pun. Hingga suatu hari semua tersingkap secara tiba-tiba. Tanpa ampun. Dan segalanya akan berubah. Aku kira ini adalah awal yang baik. Ternyata aku salah.


***

Wahyu tertidur di sampingku. Kepalanya tersandar di dinding. Ia terlelap dengan posisi duduk. Sudah larut malam dan aku masih terjaga. Sebenarnya tidak ada yang harus aku cemaskan. Apalagi sekarang Bunda sudah membaik. Namun tetap saja ada yang mengganggu pikiranku. Apa ini tentang Dara? Kucoba membuang ketakutanku jauh-jauh. Aku menoleh. Seharusnya aku mempercayai Wahyu. Bukan malah berpikir yang tidak-tidak.

“Wahyu!!” Aku terperanjat. Suara itu menyeruak memenuhi koridor rumah sakit. Wahyu langsung terbangun.

“Dara?” Wahyu mengucek matanya. Aku diam, tidak tertarik untuk menanggapi.

“Kenapa malam-malam begini kesini?” tanya Wahyu.

“Kamu pasti belum makan. Jadi aku bawa makanan. Aku masak sendiri hlo. Sini. Aku suapin ya...” Dara membuka kotak makanan setelah duduk di sebelah Wahyu. Aku sepertinya sama sekali tidak digubris Dara. Aku memilih menyingkir. Wahyu sempat mencegahku tetapi aku menepis tangannya.


“Kamu cemburu lagi?” Aku dengan jelas mendengar pertanyaan itu. Kenapa harus itu yang ia tanyakan?

“Aku nggak mau ngomong banyak. Toh percuma juga, kamu nggak akan ngerti. Aku cuma mau kamu ambil keputusan. Kamu pilih aku atau Dara..” Aku menatap ke langit, menghindari sorot mata Wahyu. Sekaligus menahan air mataku.

“Apa kamu mulai meragukanku?” Wahyu menggamit bahuku, memaksaku untuk menatapnya. Namun aku masih menunduk.

“Aku selalu percaya sama kamu. Tetapi, setiap kali Dara ada di antara kita, aku merasa ini nggak adil. Aku seperti tersisih,” jelasku, kali ini aku berani menatap matanya.

“Kamu tahu jawaban itu, Mita. Tanpa aku harus mengatakannya.” Wahyu menyeka pipiku. Aku menyingkirkan tangannya saat sekelebatan aku melihat Dara. Tetapi tidak ada siapa pun saat aku menoleh. Jika benar itu Dara, maka bisa dipastikan ia akan semakin membenciku. Aku tahu resiko itu.


***


“Bunda boleh bicara sama kamu sebentar?” Bunda berkata lirih. Wahyu yang juga mendengarnya langsung berpamitan untuk keluar.

“Bunda tidak setuju kamu dengan dia. Dengar, Bunda memang belum bisa memberimu alasan sekarang. Karena nanti kamu akan tahu dengan segera,” kata Bunda tanpa berbasa-basi. Aku membulatkan mata.

“Maksudnya apa, Bun? Mita nggak bisa, dan nggak mau!” kataku berkeras hati. Bunda meredupkan sorot matanya.

“Buang perasaan itu sekarang, Mita. Sebelum semua terlambat, atau kamu akan menyesal. Lakukan demi Bunda. Jauhi dia mulai dari sekarang,” Bunda meremas tanganku, berharap aku mencamkan baik-baik ucapannya. Air mataku menetes tanpa bisa kutahan.

“Bunda sangat berat mengatakan ini, Sayang. Tapi Bunda harus tetap mengatakannya. Bunda tahu perasaan kamu bagaimana. Tetapi tolong, kali ini saja, turuti perkataan Bunda ya...” Aku menangis lagi mendengarnya. Bunda tidak pernah seyakin ini. Sorot matanya tegas. Aku diam karena aku tidak bisa memberikan janji apa pun. Itu tidak mudah untukku. Setelah sekian tahun sulit untuk menganggap tidak pernah ada apa-apa.

“Mita mencintainya, Bunda. Sangat mencintainya,” tandasku. Kulihat air matanya merambat turun dari sudut mata. Bunda memilih untuk bungkam.



***


“Setiap kamu ada, hujan selalu datang di musim kemarau. Tanpa terduga. Sama seperti sekarang.” Aku menjulurkan kedua tanganku. Rintik hujan menimpa tanganku. Wahyu tersenyum di sampingku. Meski kali ini bukan di tempat biasanya saat melihat pelangi. Tetapi ini cukup membahagiakan, asal ada Wahyu di sisiku. Meski pelangi tidak akan terlihat dari teras rumah sakit, tetapi ada pelangi yang jauh lebih indah berdiri di dekatku.

“Nanti kalau kita berpisah bagaimana ya? Apa.. kita bisa menjalani hidup dengan normal?” kataku membuka pembicaraan.
“Tidak ada yang akan memisahkan kita, Mita. Selain kematian,” katanya mantap.

“Tetapi kita tidak pernah tahu apa yang akan terjadi nanti, besok, lusa, hari selanjutnya—” Aku teringat kalimat Bunda. Air mataku menggenang, membuat pandanganku sedikit kabur.
“Aku hanya takut semua hilang begitu saja dari hidupku. Termasuk kamu.” Menetes sudah air mataku.

“Aku tidak akan menghilang kemana-mana. Aku akan di sini, membuat hujan turun di musim kemarau seperti sekarang.” Wahyu memeluk bahuku, mendekapnya tenang.

Aku memilih bungkam. Wahyu memilih menatap air yang mengalir turun dari atap teras. Bagaimana jika ketakutanku terjadi? Bagaimana jika hujan tidak akan turun di musim kemarau lagi untukku? Bagaimana jika perkataan Bunda terbukti? Aku takut menghadapinya.

Tetapi kenapa aku harus berpikiran sejauh itu? Aku menoleh sekilas. Kenyataan kalau Wahyu masih ada di sampingku sedikit membuatku tenang. Bunda, lihatlah wajah teduh ini, ia akan tetap berada di sisiku. Dan masih tetap menjadi milikku. Entah sampai kapan.

Aku memejamkan mataku. Menikmati dinginnya aroma hujan. Banyak hal yang membuatku merapuh. Apalagi setelah percakapanku dengan Bunda. Dan sekarang, aku dibuat bingung dengan—entahlah—aku belum mengerti apa maksud Bunda melarangku berhubungan dengan Wahyu.



***


“Hloh, Bunda pulang sekarang?” aku terkejut melihat Bunda yang sudah rapi duduk di tepi ranjang.

“Om siapa?” aku mengalihkan pandanganku pada seseorang yang menenteng tas besar berisi baju-baju Bunda. Orang itu hanya tersenyum. Aku seperti mengenalnya.

Mereka kompak terdiam. Aku yang tak kunjung mendapat jawaban semakin dibuat penasaran.

“Bunda, siapa dia? Kok aku nggak pernah lihat?” tanyaku sedikit mendesak. Bunda hanya menunduk. Orang itu tidak bergeming dari posisinya. Aku tidak mau menebak-nebak.

“Ayah? Ayah di sini?” Pintu terbuka dari luar. Aku menoleh cepat, dan mendapati Wahyu berdiri di ambang pintu. Jadi, apa yang sedang terjadi sekarang?

“Kalian sudah saling kenal? Astaga, kabar yang menggembirakan.” Lelaki yang tadi diam kini membuka mulutnya.

“Jadi Ayah sudah kenal dengan Mita?” Wahyu bertanya setelah keterkejutannya hilang. Kulihat Bunda sudah berdiri, melangkah tertatih ke arah Wahyu. Setelah sampai, Bunda langsung memeluk Wahyu. Kudengar bisik lirih itu. “Anakku, ini Bundamu. Ibu kandungmu.”

Aku hampir mati berdiri mendengar apa yang Bunda katakan. Selirih apapun suara itu, aku bisa mendengarnya dengan sangat jelas. Mataku perih, gumpalan air seperti mendesak keluar dari pelupuk mataku. Aku tak sempat melihat ekspresi yang ada di wajah Wahyu.

Lelaki paruh baya itu mendekat. Menyentuh bahuku, namun aku menepis tangannya. Bunda belum melepas pelukannya. Aku berlari keluar dari ruangan itu. Berlari melewati koridor dengan hati yang teriris. Aku tidak bisa membedakan apa ini kebahagiaan atau malah sebaliknya.

Bahagia karena aku telah bertemu dengan saudara kandungku. Atau sedih karena itu berarti aku harus berhenti mencintai Wahyu. Entah! Biarkan aku menangis sekarang. Biarkan waktu seolah berputar hanya untukku. Biarkan hujan seakan turun hanya untukku.

Aku berlari menerabas hujan yang begitu derasnya. Gemuruh di langit menambah sesaknya hati. Angin menelisik relung jiwa yang rapuh. Tuhan, katakan padaku, juga pada semua orang, kalau cinta ini tidak pernah terlarang. Cinta ini akan tetap abadi selamanya.

Aku berhenti untuk mendongak ke langit. Kilatan langit tak membuatku bergeming. Satu getaran menghentak bumi. Bertepatan dengan tangan yang menyentuh bahuku dari belakang.

“Kamu masih mau bilang kita akan tetap bersama, hanya kematian yang memisahkan?”

“Kita masih bisa bersama, Mita. Bahkan sampai kapan pun. Sebagai saudara kembar.” Wahyu memaksaku untuk menatapnya. Aku tertegun di bawah tatapannya.

“Saudara.. Saudara.. Kembar?” aku tercekat, mencoba meyakinkan diriku sendiri. Wahyu membelai rambutku.

“Jadi kamu mau bilang kalau perasaan ini hanya kebetulan yang salah tempat? Apa kamu juga akan bilang jika getaran yang kita rasakan dulu karena kita saudara kembar?!” Aku marah dan kecewa. Jika ini mudah untuknya, apa ia juga berpikir akan mudah untukku?

“Aku tidak akan mengatakannya. Karena aku tidak pernah menyesali apa yang telah kita lewati bersama. Meski sekarang, kita harus mulai semuanya dari awal lagi. Bukan sebagai sepasang kekasih.” Wahyu mendekap tubuhku yang basah kuyup. Wajahnya tetap tenang.

“Aku takut pelangiku kehilangan warnanya. Aku takut hujan akan meninggalkanku. Aku takut hujan akan pergi membawa pelangiku dan tak pernah kembali. Aku takut kehilangan waktu bersamamu.” Aku menangis di dadanya. Ia memelukku lebih erat. Tangannya bergetar.

Aku tahu, dalam diam ia menangis. Dalam diam ia menguatkan hati kami. Dalam diam ia mencoba menerima takdir ini, meski hatinya merapuh. Aku juga tahu, di bawah hujan yang masih turun mengguyur kami dan langit yang hitam pekat, perasaan ini selalu kekal.






TAMAT

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Cari Blog Ini