Selasa, 13 Maret 2012

Cinta Terakhir : part 8


Aku juga tidak tahu kenapa aku bisa berharap Wahyu datang lagi pagi ini. Yang benar saja, kemarin pagi aku bahkan mengusirnya secara tidak langsung. Aku juga melihat cincinku masih tergeletak di kursi ini, aku mengambilnya, memutuskan untuk menyimpannya saja, enggan untuk memakainya lagi. Baiklah, cukup lama aku duduk di sini, beranjak menuju ruanganku. Percuma, Wahyu tidak akan datang.


Aku menelan ludah, begitu aku membuka pintu, aku mendapati satu poket mawar putih di atas meja, dekat ranjangku. Aku meraihnya, menghirup aroma yang begitu semerbak. Aku membolak-baliknya, berharap menemukan secarik kertas, aku memajukan bibirku, tidak ada kertas yang terselip diantaranya. Entahlah, aku sangat yakin sekali kalau bunga itu dari Wahyu. Aku buru-buru membuka pintu, menoleh ke kanan-kiri, sepi, tidak ada Wahyu, hanya para suster yang berlalu-lalang.


Sorenya, dokter mengijinkanku untuk pulang. Karena kandunganku lemah, jadinya dokter menulis banyak sekali vitamin penguat kandungan yang harus aku konsumsi, juga susu khusus ibu hamil. Aku menghela nafas, duduk menunggu, sementara Mama sedang menebus semua vitamin itu di apotik yang juga ada di rumah sakit.

“Tuh, lihat vitaminnya banyak banget. Pokoknya harus rutin diminum ya, nggak boleh telat! Mama nggak mau calon cucu Mama kenapa-kenapa.” Mama berpesan, aku menyeringai, sudah kuduga sejak tadi, pasti ujung-ujungnya kena omelan.

“Iya, Ma.” Jawabku pendek. Mama mengantarku sampai Panti, Mama juga heran, kenapa aku tidak pulang ke rumah Wahyu. Aku segera memutar otak, bingung mencari alasan, akhirnya berbohong kalau di rumah Wahyu aku merasa kesepian, kalau ada apa-apa tidak ada yang membantu, sedangkan Wahyu sibuk bekerja. Ibu Rose memutar bola matanya, gemas sendiri saat tahu jika aku berkata bohong kepada Mama. Aku hanya nyengir saat Ibu Rose melototiku. Aku yakin bisa menyelesaikan masalah ini tanpa Mama perlu mengetahuinya. Bahkan, jujur saja, dari awal aku tak berniat membawa Ibu Rose ikut dalam urusan ini. Lebih dari itu semua, aku memang butuh campur-tangannya.



“Sedang apa, kak?” Dara menghampiriku, ikut berdiri di sebelahku, menghadap ke sebuah jendela. Di luar hanya ada hujan. Aku kira dia tidak akan tertarik melihat hujan.

“Lagi galau nih.” Aku bergurau, tertawa kecil. Dara melepas kucingnya, membiarkan kucing itu menggeliat manja di betisnya. Dara melongo, lantas tertawa geli.

“Aku salut sama kakak.” Dara menyentuh pundakku.

“Aku hanyalah sebuah karang yang kecil, selalu kalah diterpa ombak, bahkan hanya percikannya saja.” Aku menatapnya sebentar, kembali menatap hujan, menghela nafas.

“Aku yakin pasti lebih dari itu.” Ucapnya tersenyum, barangkali mencoba melipurku. Ah, tetap saja aku tidak sekuat karang terkecil sekalipun.

***

Berbulan-bulan hidup tanpa Wahyu bagiku terasa amat berat. Aku hanya memendam, segan menceritakan kepada Ibu Rose. Yang beliau tahu, sekarang aku bisa hidup mandiri meski tengah hamil lima bulan. Hingga saat ini aku belum bertemu dengan Wahyu. Aku hanya bertemu dengan mawar putih setiap paginya, bunga yang entah siapa pengirimnya, tidak ada kertas yang menyertainya. Bunga-bunga itu aku simpan dengan baik, tidak peduli meski banyak yang sudah layu, meski Ibu Rose sudah gregetan ingin membuang bunga yang layu. Aku hanya mencegah, cemberut, dan merengek. Akhirnya Ibu Rose mengalah.


Karena penasaran, pagi-pagi sekali, aku sudah berdiri didepan teras, berharap sekali bisa melihat siapa yang mengantar mawar putih setiap paginya. Namun, setelah hampir satu jam menunggu, matahari juga sudah nampak, nyatanya tak ada satupun orang yang datang. Aku mengeluh. Sia-sia aku bangun terlalu pagi. Buang-buang energi saja.



Aku mengaduk susu di gelasku dengan malas, entah sudah berapa kali gerakan sendokku berputar di gelas itu. Aku hanya melamun, pikiranku kembali tersita, aku teringat sesuatu, menghentikan gerakan tanganku. Aku bergegas, melangkah dengan cepat menuju pintu depan. Membukanya cepat, aku kira yang akan aku lihat mawar putih lagi. Aku menggigit bibir, yang kulihat mobil Wahyu sudah terparkir. Kapan dia datang? Sampai-sampai aku tidak mengetahuinya.

Aku termenung, tiba-tiba tersentak, ada yang menyentuh tanganku. Aku bergeming, ekspresi terkejut langsung berubah ketika melihat ada Rinai di belakangku. Aku segera memeluknya, menciumi kedua pipinya, aku kangen dengan peri kecil ini. Aku mengacak poninya, Rinai malah menangis. Katanya, “Rinai kangen banget sama Bunda. Ayah juga selalu sedih saat Bunda nggak pulang-pulang.”

Aku mengusap pipinya, menyibak rambutnya di sela kuping. Aku susah untuk sekadar mensejajari tinggi Rinai, tapi cukup untuk melihat gigi Rinai yang mulai tumbuh. Sedang asyik bercengkrama dengan Rinai, aku sampai tidak tahu kalau Wahyu sedang berjalan ke arahku. Tatapannya, masih sama seperti dulu, meneduhkan. Ibu Rose berjalan di belakangnya, entah kali ini apa yang telah mereka berdua obrolkan. Tapi aku yakin, apalagi kalau bukan Ibu Rose mengadu soal ini-itu kepada Wahyu, melaporkan keadaanku akhir-akhir ini. Aku tidak tahu sudah berapa menit Wahyu berdiri di hadapanku, aku terlalu asyik memikirkan hal lain. Lama sekali aku dan Wahyu diam dalam kebisuan. Ibu Rose berdehem, menatap kami berdua dengan heran, lalu beranjak pergi, tak lupa mengajak Rinai untuk pergi juga. Ruangan ini hanya menyisakan aku dan Wahyu saja. Aku tidak tahu kenapa Wahyu hanya menatapku saja tanpa mengeluarkan sepatah kata pun. Apa yang akan dia katakan? Apa dia sudah lelah dengan keadaan ini dan ingin mengakhiri segalanya? Seperti halnya dengan cara menceraikanku? Aku mengepalkan genggaman, menelan ludah. Wahyu mengulurkan tangannya, meraih jemariku, aku tak bisa menepisnya. Wahyu mendekat, patah-patah mencium keningku, aku bisa merasakan desahan nafasnya.

“Aku tidak akan pernah menceraikanmu. Maaf jika selama ini aku tidak ada di sampingmu untuk melewati masa-masa berat ini.” Wahyu melepas tangannya. Aku mengatupkan bibir.

“Aku juga yang salah.” Aku memilh tidak menatapnya.

“Aku juga minta maaf kalau sampai sekarang aku belum bisa cinta sama kamu.” Wahyu memaksaku untuk bergeming, aku menoleh dengan raut wajah yang tidak terjelaskan. Aku menatap matanya dalam-dalam. Hatiku hancur dalam hitungan detik.





Bersambung...

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Cari Blog Ini