Sabtu, 22 Oktober 2011

Akhir Kisahku


 Aku mematut-matut diriku didepan cermin. Kugoreskan lipstik merah merona di kedua bibirku. Sedikit aksen bulu mata palsu untuk menambah kesan lentik di kelopak mataku. Ditambah bedak tipis yang menghias wajahku yang bertipe oriental. Tidak susah memang untuk berdandan, karena dengan sedikit di poles saja semua sudah terlihat sempurna. Ini memang didukung dengan innerbeauty yang kumiliki.

Sejenak mataku menerawang, aku bertanya pada cermin didepanku. Ini untuk kesekian kalinya, barangkali. Aku tak pernah menghitungnya.

“Wahai cermin. Apakah nasibku akan terus seperti ini? Apa aku harus merusak diriku sendiri dengan pekerjaan hina ini? Tapi sampai kapan? Apa sampai aku mati? Hatiku serasa berat, dosa ini telah menggunung! Menggumpal bagai gunung es. Apa aku akan diampuni Allah? Ah, mustahil! Tapi—”

Ah sudahlah! Inilah kebiasaanku berbicara dengan cermin yang jelas-jelas tidak akan pernah menjawab setiap keluh-kesahku. Percuma saja aku mengadu pada cermin.

Aku menutup pintu rumahku dari luar. Melambaikan tangan begitu melihat taksi melintas didepan rumah. Jarak tempat kerja dari rumah memang cukup jauh, tidak mungkin dong aku jalan kaki. Bisa-bisa betisku mengeras dan hak tinggiku patah.

Aku turun di sebuah tempat hiburan malam yang berbilang cukup mewah. Letaknya di jantung Ibukota. Tempat ini menjadi pusat kehidupan malam seperti diriku. Disinilah tempat orang yang berdompet tebal, bahkan tak jarang pejabat-pejabat tinggi menjadi clientku.

Jujur saja, tempat ini sangat terkutuk, semua yang berada di tempat ini tak lebih dari sampah busuk. Semua punya topeng, bermuka dua, hidung-belang, bangsat!

Apakah mereka semua punya agama?

Tentu saja tidak!
Dan disinilah aku mengais rupiah demi rupiah untuk menyambung hidupku. Hei, aku memang tak jauh berbeda dengan mereka. Apa kalian pikir pekerjaan ini adalah pilihan dalam hidupku?
Tentu saja tidak!
Asal kalian tahu, aku ini anak yatim-piatu. Ibuku meninggal lima tahun yang lalu, sementara Ayahku telah tiada ketika aku baru berumur tiga bulan dikandungan Ibuku.
Dan ketika aku berumur limabelas tahun, Ibu menikah lagi dengan seorang duda. Dari awal aku tak pernah menyetujui, tapi aku melihat Ibu begitu bahagia, sampai hati aku tak tega menjadi penghalang. Jadi kuurungkan niat untuk menolak keputusan Ibu.
Awalnya, aku mulai bisa beradaptasi dengan keluarga baruku. Tetapi semua berawal ketika...
Ketika malam itu aku dinodai, aku diperkosa ayah tiriku. Aku dipaksa melayani nafsu birahinya, tak hanya satu kali. Dia mengancamku! Dia bilang, kalau akan membunuh Ibu jika aku mengadukan perbuatan kejinya.
Beberapa hari aku pasrah, dulu aku masih kecil untuk melakukan perlawanan. Aku hanya membisu, ketika ancaman demi ancaman bertubi-tubi keluar dari mulutnya.
Sampai suatu hari, Ibu melihat semua kebiadaban ayah tiriku. Aku menjerit, Ibu tersungkur dilantai. Lelaki bajingan itu telah membunuh Ibuku, barangkali pikirannya kalap, takut dilaporkan ke polisi. Entahlah, mungkin sekarang lelaki itu sudah mati membusuk dibalik jeruji besi. Seharusnya dulu aku membunuhnya saja, untuk apa dia dibiarkan hidup?

Jadi jangan salahkan aku jika sekarang aku menjadi wanita penghibur. Nyatanya, dari dulu aku memang sudah kotor dan tetap akan kotor!!

Aku mengedarkan seluruh pandanganku, mataku menyapu kerlip lampu yang berpendar-pendar. Samar-samar lagu disco mengalun, menelisik di telingaku. Musik yang sudah biasa terdengar jika malam beranjak matang. Lagu hingar-bingar yang menjadi ciri khas tempat ini.

Tiba-tiba saja kakiku sulit kulangkahkan. Aku mematung di pelataran gedung mewah itu. Berbagai film-film tentang perbuatan hina-ku terputar dalam otakku, tentang aku dan semua keadaan terkutuk ini.

Aku terhenyak, kulihat Ane—teman dekatku— meneriaki namaku berulang kali. Suaranya menggelegar, bisa dibayangkan suaranya saja berkekuatan delapan oktaf, melengking sekaligus memekakkan telinga.

“Kinta!! Tadi Mami cari lo, katanya ada client besar. Minta dilayani sama lo,” Ane berbisik, menepuk pundakku lantas melenggang keluar dari arena gedung. Wajahnya sumringah, mungkin baru saja dapat tips besar dari pelanggannya.

Aku bergegas masuk, mendorong pintu berbahan kaca tebal. Mataku menyapu seluruh sudut ruangan, mencari sosok yang tadi mencariku. Aku menoleh, seseorang melambaikan tangan, menyuruhku untuk mendekat.

Aku mendekat, Mami mencium pipi kanan dan kiriku.
“Rokok Kin?” tawarnya, menjulurkan sebatang rokok beserta korek api.

Aku mendorong tangannya dengan pelan, “Enggak Mi, makasih!” sergahku mengumbar sedikit senyum. Sebejat-bejatnya aku, aku ini tipe orang yang apatis dengan rokok. Pernah aku merokok sekali. Alhasil, aku langsung batuk-batuk. Mungkin karena aku alergi asap rokok. Jadi, kadang aku harus jaga-jarak dengan perokok yang maniak.
Mami tersenyum, “Kamu ditunggu di tempat biasa!”

Aku mengangguk pendek, sudah paham. Menjejakan kakiku dengan gontai menuju kamar yang berada di lantai dua.

Tanganku mengetuk daun pintu, seorang lelaki muncul dari balik pintu. Aku menyambutnya dengan senyum terbaikku. Aku ternganga, melihat penampilan clientku kali ini teramat tampan. Ia berbeda, dari perawakannya mungkin hanya selisih dua tahun lebih tua dariku.
Dia mempersilakan aku masuk, entah aku merasa peluh menetes begitu deras. Beberapa kali aku menyeka dahi. Kadang aku menarik napas panjang untuk mengurangi rasa debar di dada ini. Aku malah terlihat kikuk dan canggung dihadapannya. Padahal, setiap aku melayani client-clientku hanya biasa-biasa saja. Maksudnya aku tak pernah segrogi sekarang. Aku mati gaya dihadapan laki-laki manis ini. Bagaimanalah? Matanya begitu indah dipandang, gurat wajahnya penuh ketegasan. Aku luluh diterpa sorot matanya yang penuh takzim.

“Namaku Bintang. Nama kamu?”

Bintang? Kenapa aku merasa aneh dengan nama ini? Tapi tunggu dulu.
Aku mengerlingkan mata, wajahnya pun seperti sudah sangat familiar untukku.

“Hai, kok malah bengong?” dia melambaikan tangan, aku gelagapan.

“Eh, maaf, maaf. Saya Kinta,” dengan terpatah-patah aku mengulurkan tangan. Berharap ia akan sudi membalas uluran tanganku. Peluh menetes lagi, kali ini lebih deras. Dengan ramah ia menjabat tanganku, hatiku bersorak riang.
Sejurus dia terlihat sibuk merogoh saku celananya, aku mematung memperhatikan setiap gerak-geriknya. Sejurus dia mengeluarkan secarik kertas berukuran KTP.

“Ini kartu namaku. Kalau ada perlu apa-apa, kamu bisa hubungi saya atau langsung menemui saya. Saya ingin membantumu—” dia menyeringai tulus, seperti memberiku sebuah pilihan. Tapi pilihan untuk apa? Aku tak membutuhkan pilihan-pilihan itu! Yang terpenting sekarang adalah uang, karena segalanya butuh uang.

Aku ternganga-nganga,
Hei! Maksudnya apa coba?
Jadi untuk apa ia memesanku malam ini, hah?
Apa untuk masalah kartu nama ini?
Apa dia pikir, aku kenyang dengan kertas itu?
Aku mendengus kesal, ia meletakkan kartu nama dan beberapa lembar uang diatas ranjang. Mungkin ia tahu kalau aku enggan menerima bantuannya.
Ia beringsut keluar. Kali ini, malam ini, detik ini, aku merasa ditolak mentah-mentah, diabaikan! Padahal, mana ada yang bisa menolak pancaran pesonaku?
Apa mungkin aku terlalu rendahan untuk laki-laki macam Bintang?
Ah, sudahlah. Setidaknya ia tetap memberiku uang, tanpa aku melayaninya.

Hari berangsur pagi, pekerja dunia malam mulai beringsut pulang. Biasanya aku pulang sebelum shubuh menjelang.
Pagi ini, dalam taksi ini, aku duduk merenung. Aku menangis, menangis mendengar gema adzan shubuh yang menggetarkan hatiku. Selama ini aku jauh dari Allah, bahkan aku sudah melupakan-Nya. Kadang aku malah mengutuk segala takdir-Nya.
Beberapa kali aku melewati jalan ini. Untuk kesekian kali, aku menengok keluar, jendela kaca sedikit kuturunkan.
Aku selalu takjub demi melihat bangunan megah ini. Hatiku selalu tentram melihat bangunan berpondasi kokoh itu. Rumah Allah.

Ya, hatiku memendam rindu ingin menginjakkan kaki di masjid itu.
Tapi, apakah aku masih pantas?
Aku ini manusia paling kotor!
Berlumuran dosa!
Apa masih pantas aku menyebut nama Allah?

Aku menutup wajahku, menyesali segala ketidakberdayaanku ini. Sudah saatnya aku keluar dari kubangan dosa ini, aku ingin kembali ke jalan kebajikan.
Aku turun tepat di depan papan berplang ‘Jami Al-Falah’. Tanganku bergetar hebat, menunduk dalam-dalam. Aku menatap hampa pada setapak aspal yang kupijak. Bahkan, melangkah pun rasanya bagai berjuta gembok rantai menggelayut di kakiku.
Aku duduk jongkok, rasanya aku sudah jengah dengan keadaan ini. Aku ingin mati! Bukankah semua sesederhana itu? Dengan mati semua urusan akan menjadi mudah, bukan?
Hei, itu hanya pikiran mereka-mereka yang punya nalar cetek!

Aku menengadah, bergeming demi melihat siapa yang telah memakaikan jaket ke tubuhku. Udara sangat dingin, tapi entah kulitku terlalu kebas. Mati rasa sudah.

Berdiri, menelan ludah, menggigit bibir. Lagi-lagi hatiku rontok melihat rona senyumnya.
Kenapa aku harus bertemu dengan Bintang?
Dan apalagi sekarang dia menatapku aneh.

“Mau shalat shubuh ya?” tanyanya antusias.
Aku menggeleng, shalat?
Tak terhitung berapa kali aku meninggalkan kewajiban lima kali itu.

Bintang tersenyum, tanpa diminta langsung menyeret lenganku. Dan bodohnya, aku mau-mau saja. Padahal, kenal saja baru enam jam yang lalu. Entahlah, semakin terasa ringan aku menjejakan kaki. Tanpa aku sadari, nyaman melingkupi hati saat bersamanya.

Aku duduk dipelataran masjid, tadi saat Bintang mengajakku shalat berjamaah aku menolak. Alasannya, “Maaf, aku sedang berhalangan.” Dia hanya mengangguk paham, tidak banyak tanya lagi.

Bintang duduk disampingku.
“Sudah selesai shalatnya?” tanyaku basa-basi.
Ia hanya mengangguk, sibuk menali tali sepatunya kembali.
“Apa kamu butuh bantuan? Aku akan bantu kamu semampuku,” dia menoleh, seolah tahu isi hatiku akhir-akhir ini. Melempar senyum khasnya lagi.

“Aku tidak tahu, tapi mungkin aku akan keluar dari pekerjaan itu!” aku tercekat, spontan mengungkap hal yang tabu dibicarakan di masjid. Tadi aku sempat merenung,
kapan aku berubah kalau tidak sekarang?
Aku sudah muak!!
Jijik dengan diriku sendiri.

Bintang berniat mengantarku pulang, aku tak bisa menolaknya.

“Apa kamu ingat denganku? Kinta Akira Dewi?” tanyanya mantap saat mobil pelan membelah jalanan Ibukota pagi.

Hei! darimana dia tahu nama panjangku?
Aku melipat dahi, Bintang mengusap rambut mohawk-nya berulang kali.

“Kamu ingat kan kejadian lima tahun silam, peristiwa kelam itu. Oh maaf, aku nggak bermaksud untuk mengungkit masalah itu. Tetapi aku disini mempunyai tanggungjawab untuk menebus semua kesalahan-kesalahan itu. Dan berharap kamu bisa memaafkan perbuatan ayahku. Aku mengerti, mungkin ini sangat berat tetapi ayahku sudah menyesali perbuatannya dulu—” dia menoleh, berharap aku mengiyakan. Memangnya dia pikir semua masalah semudah dan sesederhana itu?
Apa dia tidak melihat diriku yang sekarang? Inilah akibat perbuatan bejat lelaki psikopat yang ia sebut sebagai ayah itu!

Aku mendesis benci, sangat mengerti topik pembicaraannya. Sudah cukup aku menderita karena terbayang-bayang potongan kehidupan yang amat kelam itu. Bahkan aku sudah menguburnya dalam-dalam, didalam sumur tak berdasar. Tetapi mengapa kini dia malah mengusik segala perasaanku?
Memaksaku mengingat-ingat kembali sesuatu perangai tak berperikemanusiaan.

Aku memaksa turun di pertigaan, tidak peduli jarak rumahku yang masih sangat jauh. Aku muak dengan segala hal yang berhubungan dengan lelaki bejat itu. Ya, Bintang dulunya adalah kakak tiriku. Jadi, tidak salah kalau pertama bertemu aku sempat mengenalinya, walaupun samar-samar.


Aku tidak membutuhkan bantuannya, mentang-mentang dia punya segalanya, dengan congkak dia menawariku janji manis.
Tanpa bantuannya pun, aku bisa berusaha untuk merubah diriku sendiri. Mulai sekarang aku meneguhkan hati, kemarin malam adalah terakhir kalinya aku menginjak tempat terkutuk itu.

Pagi ini, aku menyempatkan diri singgah di pusara Ibu. Sudah lama aku tidak kesini. Rasanya rindu telah mengembun di relung hatiku. Aku duduk berjongkok disamping gundukan tanah, patah-patah aku mengusap nisan Ibu.

“Ibu apa kabar? Lama ya, Kinta nggak nengok Ibu. Tahu tidak Bu? Mulai sekarang, dihadapan makam Ibu. Kinta berjanji akan selalu menjadi manusia yang berakhlak sempurna. Kinta ingin bertaubat Bu—” aku terpekur, jemariku mengusap-usap gundukan tanah didepanku.



Tamat

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Cari Blog Ini