Selasa, 25 Oktober 2011

“Rahasia Kecil”


Langkah kakinya tegas menjejak tiap lorong-lorong rumah sakit. Buru-buru. Tidak peduli meski lalu-lalang orang menatap aneh, menyeringai tidak mengerti. Memangnya mereka peduli apa? Selain berbisik-bisik, tertawa, lantas melambaikan tangan. Mereka memang tidak mau tahu-menahu. Toh bukan urusan mereka juga. Untuk apa pusing-pusing? Mengerti saja tidak. Dikepala mereka bahkan berjubel masalah yang menjejal penuh tanda tanya.



Tadi pagi-pagi sekali, pihak rumah sakit menelepon, mengabari sesuatu hal yang buruk terjadi. Mendadak. Tidak sempat kompromi dengan waktu apalagi dengan keadaan. Lupa kalau masih mengenakan baju tidur bercelana panjang. Untung semalam tidak memakai boxer. Jadi pagi ini tidak terlalu menanggung malu oleh tatapan aneh para suster dan penjaga. Mita balas menyeringai, masih mending memakai baju tidur ketimbang harus telanjang bulat? Ah, bodoh amat-lah. Pagi ini ada hal yang jauh lebih penting. Bukankah tadi dalam telpon suster bilang kalau Dara mengamuk lagi? Apa penyebabnya? Dia juga tidak tahu. Suster hanya berpesan untuk segera mungkin datang ke rumah sakit. Itu saja. Tidak ada penjelasan yang lebih mendetail lagi.

Mita mendorong pintu, tersentak sendiri oleh keributan-keributan. Bantal-bantal melayang, selimut terhempaskan begitu saja di lantai, orang-orang berseragam putih pontang-panting meredam Dara yang tengah mengamuk. Percuma saja. Mereka, walaupun jumlahnya lebih banyak, nyatanya tetap saja tidak bisa mengendalikan keadaan. Rusuh, teriakan-teriakan, bentakan-bentakan memenuhi langit-langit bercat putih gading. Mita menatap jerih, merangsek maju, menyibak orang-orang berseragam putih yang terlihat mulai putus asa. Mita mengambil alih, meraih tubuh Dara, memeluknya erat. Pelan jemarinya mengelus punggung Dara, menenangkan. Sekejap, keadaan mulai terkendali. Mita selalu bisa mengatasi amukan Dara yang terkadang membabi-buta. Orang-orang berseragam putih tadi menatap lega dari kejauhan, menyeka dahi yang basah oleh peluh. Urusan ini teramat pelik, tetapi masalah ini teramat mudah untuk Mita yang penyabar.

Mita menyibak rambut Dara yang menutupi sudut mata, menatap penuh iba. Mau dikata apa lagi? keadaan memang sudah berbicara seperti ini. Sekian menit, pintu kembali terdorong. Kali ini suster-suster berseragam putih beringsut masuk, tangannya menggenggam erat suntikan. Dara terkesiap, panik, tangannya gemetar bukan main, mencengkram lengan Mita, mencari perlindungan sebisanya. Berteriak histeris, melarang suster-suster itu mendekat. Percuma saja. Mita hanya mendesah, menenangkan lagi. Berusaha membujuk Dara, semakin dibujuk maka semakin keras teriakannya. Tidak mau!! Kali ini satu bantal melayang lagi, mengenai wajah salah satu suster. Yang ditimpuk hanya mendengus sebal. Sudahlah, memutuskan untuk menutup pintu itu kembali, untuk masalah suntik-menyuntik nanti-nanti sajalah. Sekarang? Buang-buang waktu saja. Daripada terkena cakaran, lebih baik mengalah sementara waktu.

Mita mengusap kepala adiknya, yang diusap hanya menunduk dalam. Entah memikirkan apa. Masalah apa? Entahlah. Yang ia tahu sekarang adalah hidup terkungkung dalam ruangan bercat putih yang pengap. Terisolasi. Matanya kebat-kebit menatap Mita yang kini duduk disebelahnya. Bola matanya terlihat nanar, menyimpan segudang kesedihan selama bertahun-tahun. Setiap kali Mita bertanya, ada apa? Kenapa? Bagaimana bisa terjadi? Siapa yang melakukannya? Entahlah, Dara hanya menggeleng tidak mengerti. Sebenarnya, dalam keadaan seperti ini pun, ingatannya masih tajam. Dia sedang tidak kehilangan ingatan, hanya saja malas menjelaskan. Untuk apa dijelaskan? Sama saja mencoreng wajah Mita, dia tidak siap jikalau Mita membencinya. Maka biarkan semua tetap menjadi rahasia, tidak perlu ada yang tahu, sekalipun itu Mita.

“Hei, ke-na-pa? Kamu baik-baik saja kan?” Mita menoleh, menebar senyum lebar, sedari tadi merasa Dara memperhatikannya diam-diam. Dara menggigit bibir, menggeleng kemudian.

“Aku bo-sa-n dengan tempat ini! Setiap hari, setiap jam, mereka selalu memaksaku, menghujam jarum suntik ke tubuhku. Sakit kak...” suaranya sengau, merebahkan kepala dipundak Mita.

Bukankah selama ini hanya Mita yang menjadi sandaran untuknya? Tempat dimana keluh-kesahnya ditumpahkan. Mulai dari malas minum obat, bosan dipaksa-paksa untuk makan, takut jika suster membawa jarum suntik, sebal saat dokter terpaksa mengikatnya dengan baju khusus. Jadi inikah alasan mengapa dia sering mengamuk? Tentu saja tidak. Ada hal yang jauh lebih penting sebagai alasannya. Bukankah saat dia sedang mengamuk, maka tanpa pikir panjang suster penjaga dengan senang hati akan menelpon Mita. Mengabari. Hitungan menit, Mita akan datang, menenangkan.

Setiap minggu? Oh, tentu saja tidak, bahkan setiap hari Mita akan lari tergopoh-gopoh menuju ruangan Dara. Bagaimanalah? Setiap hari Dara mengamuk, membanting piring makan sampai hal sepele menjadi penyebabnya. Lebih tepatnya mencari keributan sendiri.

“Kak, neng nggak gila!! Ke-na-pa semua orang memperlakukan aku ini seperti orang gila? Bahkan, suster-suster itu bilang kalau aku ini anak setan!!” Dara mengadu, lagi-lagi bertanya tentang masalah ini.

 
Mita, demi mendengar aduan sang adik, hatinya melonjak kaget, jantungnya sungsang. Anak setan? Astaga! Apa cuma gara-gara mengamuk, dengan kejam suster-suster itu menjulukinya ‘anak setan’? Mita mengelus dadanya yang sesak. Besok, ia akan segera ambil tindakan, tempat ini sangat tidak layak untuk Dara.

“Besok kita pulang ya?” Mita menggamit pundak Dara, meyakinkan, semua akan berakhir. Tetapi bagaimana kalau dokter tidak mengijinkan? Entahlah, diijinkan atau tidak, ia akan tetap membawa Dara pulang. Tidak ada yang bisa menghalanginya.

Dara, entah malah terlihat cemas, menggeleng-geleng penuh rasa takut. Bukankah dia seharusnya bahagia saat Mita ingin mengajaknya pulang? Tetapi ini tidak. Lantas bagaimana? Tidak mungkin kan Mita menemani Dara tidur di rumah sakit ini? Jam jenguknya saja sangat terbatas, waktu untuk mengawasi Dara juga sangat minim. Huh! Menyeka dahi, mengecup kening Dara, beranjak pergi. Jadwal kunjungannya pagi ini sudah selesai. Dara menatap sebal, ingin rasanya menahan Mita agar tidak pergi. Tapi... Sudahlah.

***

Hari ini, pagi ini, entah mengapa awan berarak-arak, membentuk langit hitam pekat, langit yang gelap-gulita. Bahkan guntur menggelegar dengan angkuhnya, membentuk akar serabut di hamparan langit. Angin-angin menampar bingkai jendela, membuat nyiur melambai. Namun air langit tidak kunjung tumpah. Ada apa gerangan? Entahlah siapa yang akan menjawabnya.

Kerlap-kerlap guntur yang menyalak menerabas lewat tirai-tirai putih, Dara yang melihatnya tak bergeming. Untuk apa? Malah ia berharap guntur akan berbaik hati menyambar dirinya. Untuk apa hidup jika ia harus kembali ke rumah terkutuk itu. Inilah rahasia yang amat dia tutupi. Ya, tentang rumah itu. Tidak ada yang perlu mengetahuinya, biarlah rahasia tetap akan menjadi rahasia itu sendiri.

Sekali-dua guntur bergemuruh, mungkin baru saja menyambar pohon besar. Memangnya Dara peduli dengan suara yang memekakkan telinga itu? Matanya saja sibuk menatap silet ditangannya. Silet? Astaga! Dari mana ia mendapatkan benda itu? Tadi, tidak sengaja saat dia di kamar mandi menemukan benda itu tergeletak begitu saja. Apa mungkin silet itu habis dipakai untuk mencukur kumis salah satu petugas, lantas lupa menyimpannya kembali? Ah, entahlah.

Sekali lagi langit bergemuruh, entah sekarang menyambar apa lagi. Dan lihatlah, Dara mulai menyeringai getir, menyentuh nadi tangannya dengan silet itu. Perlahan, kulit putihnya tergores, darah menetes tak terperikan. Detik-detik yang menyakitkan. P-e-r-l-a-h-a-n.


Satu sisi yang beriringan, dalam dinding waktu yang sama, hanya saja terpisahkan oleh jarak dan tempat. Beberapa kali memukul setir dengan jengkel, membunyikan klakson berkali-kali sebagai wujud protesnya. Sia-sia. Percuma. Semua pengguna jalan juga melakukan hal serupa. Tetapi urusan pohon besar yang tumbang ditengah jalan jauh lebih menyebalkan, kenapa pohon besar itu tidak bisa diajak kompromi? Mengganggu arus lalu-lintas, banyak mobil terjebak dalam antrian yang mengular. Bagaimana ini? Mita punya urusan yang jauh lebih penting ketimbang pohon besar yang tumbang itu. Sudah hampir satu jam Mita terhimpit antrian dadakan.

Langit menumpahkan air, bergulir titik demi titik yang menyakitkan, membuat wajah tampias. Bagaimana tidak, hujan turun membuat tubuh Mita kuyup. Tadi, sekitar lima belas yang lalu, ia memutuskan turun dari mobil, sudah bosan dengan antrian yang tetap berjalan ditempat. Menyibak bulir hujan yang buncah membasuh kota. Perasaannya tiba-tiba terusik, khawatir bila membayangkan Dara, apa mungkin dia sekarang sedang mengamuk? Atau bahkan lebih dari kata ‘mengamuk’? Ah-ya, tentu saja langit mempunyai jawaban itu. Bukankah tadi langit menjadi saksi bisu atas kejadian satu jam yang lalu?

Berlari ditengah derai hujan, napasnya tersengal-sengal, berhenti sejenak mengatur napas. Jarak rumah sakit itu tinggal satu kilometer. Tidak ada waktu lagi untuk menarik napas, Dara pasti sudah menunggu kedatangannya. Sedikitpun ia tidak mau membuat Dara cemberut.

Air menetes dari ujung bajunya, lantai pelataran rumah sakit jiwa itu basah. Gigi saling bergemeletukkan, sibuk mengibas-ngibaskan tangannya yang kuyup. Percikan air kebat-kebit. Sibuk menyibak anak rambut disela sudut mata. Apakah Mita tahu apa yang sudah terjadi? Tentu saja belum. Lihatlah, baru beberapa detik ia sampai.

Sekejap perhatiannya terusik, mengerenyit heran, melihat beberapa suster dan penjaga lari terbirit-birit. Memangnya ada apa? Kebakaran? Ah, tidak mungkin, hujan deras begini kok. Lantas ada apa kok rusuh-rusuh begini?

Mita berlari kecil, mengikuti, sangat penasaran sebenarnya ada apa. Kakinya semakin tangkas melangkah, hatinya berdesir, mulai cemas melihat kerumunan didepan ruangan Dara. Tapi anehnya, kenapa kali ini tidak terdengar teriakan Dara? Jangan-jangan...

Buru-buru tangannya menyibak kerumunan. Kakinya bersimpuh, menangis tertahan, tangisan itu segera membuncah. Tak terperikan. Ya Tuhan, bagaimanalah ini? Tangannya terjulur, patah-patah menyentuh jemari Dara.
 
“Jangan pergi Dar, kumohon... Kita hari ini jadi pulang kan?”

Andai pagi ini tidak hujan. Andai juga  tidak ada guntur yang menyambar-nyambar, pasti pohon itu tidak tumbang dan tidak akan mengganggu perjalanannya. Andai pagi ini langit mau sedikit berbaik hati. Andaikan pagi ini dia tidak datang terlambat. Mungkin semua akan baik-baik saja, bukan begitu?

Sudahlah. Apa boleh dikata? Sekali lagi guntur membelah langit, menggetarkan hati siapapun. Lihatlah, langit pun seakan ikut menangis menyimak guratan takdir yang telah menemukan ujung penyelesaian.

Lantas, soal rahasia itu bagaimana?

Maka biarkan rahasia itu tetap menjadi rahasia itu sendiri—



Tamat

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Cari Blog Ini