Rabu, 21 Desember 2011

Bunda.. Jangan Pergi!

Aku duduk berpangku tangan di bangku taman dekat sekolahku. Sudah satu jam aku menunggu. Tetapi Ayah tak kunjung datang juga. Mana sebentar lagi hujan akan turun. Huh! Tak biasanya Ayah terlambat menjemputku seperti ini. Ya sudahlah. Ayah pasti punya alasan kenapa terlambat.
Satu titik air menetes di kepalaku. Aku mendongak, rintik itu semakin membesar, jatuh menimpa tubuh mungilku.
“Maaf, Ayah terlambat menjemputmu.” Ayah datang disaat yang tepat. Ia cepat-cepat mengajakku masuk ke dalam mobil.
“Bulan udah nunggu sampai satu jam hlo, Yah!” aku pura-pura marah.
“Bunda masuk rumah sakit lagi sayang...” Ia menghela nafas panjang, mimik wajah Ayah segera berubah drastis.
“Bulan mau lihat Bunda!!” Aku ngotot. Ayah hanya mengangguk pendek.



Aku bergegas berlari ketika sudah sampai di pelataran rumah sakit. Tidak peduli meski beberapa kali aku menabrak suster-suster yang berlalu lalang. Mereka hanya memaklumi, mungkin mereka tidak tega memarahi anak kecil seperti aku. Dan aku sudah tahu Bunda berada di ruangan mana. Karena baru saja kemarin Bunda keluar dari rumah sakit. Tetapi, lihatlah, kondisi Bunda ternyata belum membaik.
“Bunda...” Ucapku lirih saat membuka pintu.
“Bulan.. Sini sayang, mendekat ke Bunda.” Ia mengulurkan tangannya. Aku antusias untuk mendekat. Tadinya aku kira Bunda sedang tidur. Aku duduk di ranjangnya dengan bantuan suster.
“Sini sayang, peluk Bunda.” Ucapnya lembut. Aku mendekat ke wajahnya. Ia mendekapku hangat.
“Bunda.. Cepat sembuh ya. Bulan nggak mau lihat Bunda sakit-sakit lagi. Bulan pengen main-main sama Bunda lagi.” Tangan mungilku mengelus-elus pipinya. Bunda tersenyum tipis.


“Iya sayang. Kamu rajin-rajin berdo'a sama Allah ya. Tetapi kalau sewaktu-waktu Bunda pergi, Bulan harus janji satu hal—”
“Janji apa Bun?” potongku seenaknya. Bunda menaruh telunjuknya di bibirku.
“Bulan harus janji jadi anak yang baik. Anak yang akan menjadi kebanggaan Ayah dan Bunda kelak.” Ia mengecup pipiku. Aku benar-benar tidak mengerti dengan maksud Bunda. Aku masih terlalu kecil untuk merangkai penjelasan ini.
“Memangnya Bunda mau pergi kemana sih?” tanyaku penasaran.
“Bunda mau pergi ke sebuah tempat yang sangat indah sekali, sangat jauh—” Jelasnya.
“Sampai kapan Bun? Untuk apa sih Bunda pergi? Bulan ikut ya?” desakku lagi. Kali ini Bunda hanya menggeleng meningkahi keluguanku.
“Tidak sayang.. Kalau kamu ikut, nanti Ayah sama siapa dong?” Ia tertawa kecil, mencoba bergurau. Terbatuk-batuk. Ada bercak merah di bibirnya. Tangan kecilku meraih tisu yang berada di meja kecil, kemudian aku mengusapnya. Bunda tersenyum ‘Terima kasih’.
“Kalau begitu kita perginya bertiga aja Bun.” Celotehku. Bunda menggeleng lagi. Aku menghela nafas. Sedikit kecewa.
“Bulan.. Bunda kan perlu istirahat. Sini main sama Ayah saja.” Ayah tiba-tiba datang, menyela, menggendong tubuh mungilku keluar. Sebenarnya Bunda ingin menahanku, tetapi Ayah kadung membawaku menjauh. Aku kemudian mendadah Bunda. Dan lihatlah, saat Bunda tersenyum ada cahaya yang begitu terang di sekelilingnya. Ia terlihat sangat cantik, secantik boneka Barbie yang sering kulihat di layar televisi.



“Yah...” Aku menyentuh lengannya saat ia duduk tercenung di kursi panjang. Aku ikut duduk di sampingnya.
“Kenapa sayang?” tanyanya kaku. Aku melihat mata Ayah merah. Kenapa? Aku tidak tahu. Yang aku tahu selama ini, Ayah selalu saja berhasil menyembunyikan kesedihannya. Tapi kali ini, aku rasa tidak lagi.
“Memangnya Bunda mau pergi kemana sih, 'Yah? Kok Bulan nggak boleh ikut?” Aku bertanya khas anak kecil yang serba ingin tahu. Ayah hanya mendehem.
“Bunda tidak akan pergi kemana-mana sayang!” Jawabnya dengan intonasi yang lugas. Aku jadi bingung. Aku harus percaya kepada siapa?
“Tapi.. Bunda tadi bilang gitu,” terbata-bata aku memberi alasan.
“Memangnya Bulan pengen Bunda pergi?!”
“Nggak mau!!!” Jawabku keras.
“Makanya, Bulan banyak-banyak berdoa untuk kesembuhan Bunda.” Ayah membelai rambutku. Aku mengangguk cepat.

***

Keesokan harinya, aku di paksa untuk berangkat sekolah. Juga di paksa untuk sarapan. Padahal, padahal aku tidak mau! Yang aku mau hanya melihat Bunda sekarang. Ya apa boleh buat, jadinya aku mengamuk pagi ini. Membuang tas sekolah sembarangan, membanting gelas yang berisi susu hangat. Dan hampir saja aku ingin membanting guci, tetapi Ayah datang menengahi. Mbak Minah juga mundur beberapa langkah, sepertinya sudah kewalahan menanganiku. Bahkan, Ayah juga tidak bisa berbuat apa-apa lagi.
“Oke, oke.. Ayah antar kamu menemui Bunda sekarang,” ucapnya pasrah.
“Horeee!!” aku loncat-loncat heboh. Ayah menggelengkan kepala melihat tingkahku.
“Yah, Bulan khawatir sama Bunda. Kalau Bunda keburu pergi gimana? Kan belum pamitan sama kita?” aku menarik gandengan tangan Ayah, membuat langkah kami terhenti sejenak tepat di depan pintu lift.
“Bunda tidak akan pergi sayang!” Ia mencoba meyakinkanku.



“Kebetulan anda datang Pak.” Salah satu dokter menghampiri Ayah.
“Memangnya ada apa dok? Kenapa dengan istri saya? Dia baik-baik saja kan?” Ayah bertanya dengan panik. Aku juga ikut-ikutan panik.
“Bunda kenapa Yah?” aku menarik ujung kemeja Ayah dengan gemas. Ia tidak menjawab.
“Maaf Pak, kami sudah melakukan yang terbaik untuk istri anda. Namun.. Semua bukan kehendak kita.” Dokter itu menarik nafas dalam, ada gurat kecewa di wajahnya.
“Anda hanya bercanda kan dok? Istri saya pasti baik-baik saja! Tidak, tidak mungkin!” Ayah menggamit bahu dokter itu. Aku, hanya berdiri kaku mendengar apa yang tidak kumengerti. Memangnya Bunda kenapa? Ada apa ini? Dan, kenapa Ayah menangis? Aku benar-benar tidak mengerti.
“Bunda kenapa Yah?” Aku bertanya lagi ketika sudah sampai di depan ruangan Bunda. Kali ini Ayah hanya menggeleng. Aku semakin tidak mengerti.
“Bulan pengen ketemu Bunda.” Aku berniat masuk, namun Ayah mencegahku.
“Jangan sayang. Bunda masih tidur, jangan di ganggu dulu.” Suara Ayah serak. Air mata masih membanjiri pipinya.
“Kok Ayah nangis sih? Bulan kan jadi ikut sedih.” Sekarang aku duduk di pangkuannya. Ayah mengecup ubun-ubunku.
“Ayah salah, Bunda kamu terlanjur pergi.”
“Nggak boleh! Kan kata Ayah, Bunda sedang tid...” Ucapanku terhenti ketika aku melihat ranjang itu di dorong keluar.

Aku berusaha mendekati ranjang itu dengan rasa penasaran berkecamuk.
“Sus, Bunda mau dibawa kemana?!” Dua-tiga kali aku bertanya, suster itu tetap saja diam. Aku sibuk merengek, akhirnya menarik rok suster itu dengan sebal. Ayah mencoba menarik tubuhku menjauh dari ranjang itu. Hampir aku menangis. Aku masih saja menatap Bunda yang wajahnya tertutup kain putih bersih.

***



Cukup lama aku tertidur dipangkuan Mbak Minah. Sampai-sampai aku tidak menyadari kalau ada banyak orang yang datang ke rumah. Mereka mengenakan pakaian serba hitam. Ada acara apa memangnya?
“Mbak, kok jadi ramai gini sih?” Aku bertanya heran. Mbak Minah tidak bereaksi apapun. Ia langsung membawaku ke lantai atas. Dan, aku dipaksa untuk mandi. Kali ini aku menurut. Tidak ada lagi acara mengamuk.



Selesai mandi, Mbak Minah menggendongku menuruni anak tangga. Aku melipat dahi ketika melihat orang yang datang semakin banyak.
“Yah, kok Bunda dibungkus sih?” tanyaku polos. Mbak Minah sibuk mengalihkan perhatianku. Ayah diam saja. Mbak Minah malah membawaku masuk ke dalam mobil. Aku berkali-kali bertanya. Tetap saja semua memilih untuk diam tidak menanggapi.


Hingga sampai di sebuah tempat. Aku kini yang memilih untuk diam. Entah mengapa, tiba-tiba saja aku ingin menangis. Dalam hati aku membatin, “Ngapain sih Bunda dibawa ketempat ini?”



“Ayah!! Bunda kenapa? Kenapa dimasukin kedalam tanah? Ayah tolongin Bunda dong!!” Aku sibuk menarik tangan Ayah. Berteriak-teriak kesetanan. Suaraku nyaris habis. Namun, lihatlah, Ayah malah diam membisu.


“Ayah, kenapa diem aja?” Tenagaku telah habis. Kini aku duduk bersimpuh tepat didepan gundukan tanah yang telah bertaburan bunga mawar. Air mataku berjatuhan di tanah. Tidak ada yang menghiraukanku.


“Bulan.. ayo kita pulang,” bujuk Ayah pelan. Aku menolaknya mentah-mentah. Sekarang aku sedang marah dan kecewa.
“Bulan nggak akan pulang kalau Bunda masih disini!” aku tetap keukeuh.
“Bulan sayang kan sama Bunda? Biarlah Bunda tenang sayang... Bunda tidak suka melihat kamu nakal.” Ayah membelai kepalaku dengan sabar.
“Biarkan Bunda pergi dengan tenang sayang...” Mbak Minah mencoba menenangkanku.
“Bulan mau nyusul Bunda, ‘Yah!” ucapku bersuara parau. Ayah mendekap erat tubuhku. Setelah dibujuk cukup lama, akhirnya aku mau diajak  pulang. Tetapi kalau Bunda disini kesepian bagaimana?
“Akan ada malaikat yang menemani Bunda, sayang...” Ayah sepertinya tahu apa yang sedang kupikirkan.
“Bunda.. Bulan akan menepati janji itu. Bulan ingin melihat Bunda tersenyum bahagia.” Ucapku tersenyum seraya meraba-raba tanah merah itu sebelum aku pulang.
“Bulan selalu sayang Bunda—”




Selamat Jalan Bunda...












Tamat


Cari Blog Ini