Selasa, 27 September 2011

Memoar Terindah Untuk Mita | Part 2


Di kala roda kehidupan berputar, pelan kehidupan baru mulai teruntai. Dan kebahagiaan mengkungkung keluarga itu. Pelan, semua berangsur membaik. Akan tetapi, kebahagiaan itu tidak untuk Mita.

Mita berumur limabelas tahun, dan umur Dara baru tujuh tahun.
“Kak Mita, main yuk! Kita ke taman yang banyak mawar kuningnya itu hlo!” Dara berseru, tangannya mengayun mengekspresikan kata ‘banyak’. Sekali-dua kali Mita hanya nyengir, membuat Dara gemas hingga menarik manja ujung baju Mita. Merajuk, Mita menengadah. Langit hitam pekat. Tapi kalau Dara sudah merajuk, siapa yang bisa mencegahnya.
Mita tersenyum, “Besuk pagi aja ya? Mau hujan tuh.” Mita menunjuk langit penuh gumpalan awan hitam.
Dara menggeleng cepat, “Pokoknya sekarang ya sekarang! Ayolah kak, cuma sebentar kok”.
Mita berdehem, terpaksa menaruh gitarnya di meja. Dara menyeret lengan Mita, antusiasnya menggebu-gebu.
“Pokoknya cuma sebentar ya, nanti Papa dan Mama khawatir!” seru Mita, Dara tak menghiraukan; sedari tadi asyik berlarian di antara hamparan mawar kuning. Mita mengawasi, duduk di bangku taman, berpangku tangan. Langit semakin gelap, sudah lima kali Mita mengajak Dara pulang. Namun, jawabannya selalu “Nanti kak, Dara masih betah disini, lima menit lagi deh!”
Tapi lihatlah, awan hitam mulai menumpahkan air langit. Bilur-bilur air membasahi bunga-bunga di taman. Dara, entahlah sepertinya ia sejak tadi terhipnotis oleh indahnya mawar kuning hingga tak menyadari badannya yang basah-kuyup. Mita tak habis pikir, mulai cemas, takut kalau nanti Dara sakit karena kehujanan. Mita berdiri, menerabas derai air hujan, menyeret lengan Dara.
“Sudah cukup Dar, besok kita kemari lagi. Kakak takut nanti kamu sakit!”
Dara menunduk, menangis. Mita menyibak anak rambut yang menjuntai di sudut mata Dara. Menyentuh pundak Dara dengan takzim. Bagaimanalah, Mita tak kuasa melihat adiknya menangis seperti ini. Namun, biarlah. Mereka harus cepat sampai rumah, sebelum hari beranjak malam.
Mita berjalan gontai, menarik tangan Dara yang mengekor di belakangnya. Menggigil dingin.
Tubuh kurus itu menunduk, air menetes dari tubuhnya, membasahi lantai ruang tengah. Dara sembunyi di balik tubuh Mita. Lelaki paruh-baya membentaknya, setelah dua kali menampar pipi Mita.
“Sudah berapa kali Papa bilang, ha? Jangan pernah kamu membuat Dara nakal seperti kamu! Urak-urakan, beringasan, tidak punya aturan. Apa kamu mau Dara juga rusak seperti kamu?” lelaki itu mencerca anaknya bak tersangka yang pantas di bui.
Mita mendongak, mata-nya berkaca-kaca. Ya Tuhan, bahkan Ayah-nya sendiri menyalahkannya. Apa ini adil? Ya, Mita memang urakan, beringasan, tidak punya aturan. Tapi apakah ia pantas menerima semua ini, selalu mendapat perangai buruk dari sang Ayah, mendapatkan tuduhan bahkan hina-dina yang menusuk hati.
“Mita bukan anak kecil lagi, Pa! Apa Papa juga akan menyalahkan almarhumah Mama karena telah melahirkan aku ke dunia ini? Apa belum cukup semua penderitaan Mama sebagai istri yang di poligami! Di sisa-sisa hidupnya, apa pernah Papa ada untuk Mama? Papa malah sibuk mengurus perempuan ini!” Mita menuding Mama tiri-nya, matanya memicing tajam. Sementara yang di tuding menunduk, merasa bersalah telah menjadi duri dalam rumah tangga orang lain. Namun, bagaimanalah semua ini sudah terlanjur menjadi kenyataan. Tak akan ada yang bisa memutar waktu, tak ada lagi yang bisa membuat Mita semanis dulu. Inilah Mita yang sekarang, penampilan yang tak sewajarnya perempuan pada umumnya. Sangat bertolak belakang. Keadaan-lah yang mengubahnya menjadi seperti ini. Setelah kehidupan kejam merenggut satu-satunya orang paling berharga, kini tak ada lagi jemari renta yang setia membelai dalam pangkuan. Semua hilang, menyisakan batu nisan itu.

“Sekarang kamu mulai kurang ajar ya? Berani-beraninya kamu membangkang! Dan wanita ini, mulai sekarang kamu harus memanggilnya ‘Mama’. Dia istri Papa!”

“Denger Pa, Mita cuma punya satu Mama! Dan perempuan ini, apakah dia pantas dipanggil ‘Mama’ setelah mencerai-berai keluarga ini? Dia tak lebih hanya orang asing dalam hidup Mita!”
Plaak. Satu tamparan lagi dengan mulusnya melayang ke pipi Mita.
Dara menangis terisak, menyeka ujung-ujung matanya, mengerti betul keadaan ini. Pelan, tubuh mungil Dara marangsek maju, ingin rasanya membela Mita. Ini semua salahnya, bukan salah kakaknya, Mita.

“Pa, kak Mita nggak salah! Dara yang minta di antar ke taman itu. Jadi Dara-lah yang pantas Papa marahi” Dara mengoyak-ngoyak lengan Papa, berusaha meredam amarah yang kadung buncah.
“Enggak Dar, biar kakak saja yang dimarahi. Kakak ikhlas, kamu masih terlalu kecil untuk masalah ini” Mita berbisik, menarik lengan Dara.
Lelaki paruh-baya itu mengatupkan rahang, langsung menyeret lengan Dara masuk kamar. Dan Mita di biarkan begitu saja, tak peduli dengan Mita yang juga menggigil kedinginan. Perhatian memang jarang di dapatnya, sudah terbagi dengan keluarga barunya. Ah, sejak dulu mana pernah Papa -nya bersikap manis. Nonsens.

Mita menoleh, seseorang menenteng handuk, memakaikan handuk itu ke tubuh Mita yang bergetar. Orang itu menebar senyum, Mita hanya memicingkan mata, tidak bersimpatik sedikitpun.
“Makasih!” ucap Mita ketus, setidaknya ia masih tahu rasa berterima kasih.
“Aku tahu kamu nggak salah. Bahkan, aku tahu kalau sebenarnya kamu orang berhati mulia. Hanya saja, entahlah kamu sengaja menutupi semua itu.” Orang itu pelan menyentuh bahu Mita. Mita membuang muka, “Ini bukan urusan kamu! Jadi jangan pernah berusaha untuk ikut campur!” Mita beringsut pergi, meninggalkan Rio yang mematung.

Rio adalah kakak kandung Dara, umurnya sepantar dengan Mita, hanya selisih beberapa bulan saja. Diam-diam Rio selalu memperhatikan gerak-gerik Mita, selalu bangga melihat Mita yang tegar dan mandiri. Mita yang apa-adanya dan penuh kesahajaan.

Rio tersenyum takzim, melihat punggung Mita yang semakin menjauh.
Dan entah, kenapa hanya kepada Dara saja Mita bersikap manis. Mungkin sosok kecil itu terlalu sayang untuk di benci. Mita sangat menyayangi Dara, ingin selalu menjadi pelindungnya. Menemani setiap kali Dara merajuk minta di antar ke taman. Tetapi, Mita belum bisa menerima Rio seperti ia menerima Dara. Semua memang butuh proses, proses penerimaan atas sebuah siklus kehidupan. Metamorfosis yang tidak sempurna.

Sabtu, 24 September 2011

Satu Jam Saja

Waktu bergulir sangat cepat. Poros kehidupan juga berputar sesuai siklus. Tapi kali ini waktu telah menunjukkan titik nadinya untuk Mita. Seorang gadis berumur duapuluhempat tahun pengidap leukumia stadium IV. Gadis yang kini tergolek lemah tak berdaya di kasur Rumah Sakit. Sebuah monitor berdecit, garis hijau berderet-deret naik turun. Menunjukkan kestabilan detak jantung-nya.
Ya Allah, untuk bernafas saja dia membutuhkan tabung oksigen.
Belalai plastik sempurna menyelubunginya. Wajahnya pucat pasi, tak ada lagi senyum indahnya. Mita sempurna terlelap saat beberapa menit yang lalu Dokter mengecek kondisi denyut jantungnya. Semua masih normal, entah besok atau lusa. Setiap dua jam sekali Dokter akan memantaunya.
Dan lihatlah gadis yang terisak di samping Mita. Menangis, menciumi jemari-jemari Mita yang dingin. Dara. Gadis berumur duapuluh tahun itu meratapi keadaan sang kakak yang hanya tinggal menunggu waktu saja. Maka semua akan berubah dengan sendirinya.

Dara tetap tak bergeming. Fokus membaca penggalan ayat-ayat suci Al-Quran untuk Mita. Selalu berharap akan ada sebuah keajaiban dari Sang Ilahi. Kakak yang dulu amat melindunginya, kakak yang selalu berusaha terlihat baik-baik saja meskipun kondisi akan menyangkalnya. Langit menjadi saksi haru-biru pemandangan ini.
Burung-burung ikut menangis, bintang-gemintang di langit meredup seakan ikut larut dalam tangisnya. Awan hitam berarak sempurna menutupi rembulan-penuh. Air langit buncah bersama derai airmata Dara. Diluar hujan. Gemericik bilur air hujan seolah merintih melihat Mita.

Dara masih ingat betul bagaimana insiden dua hari yang lalu. Hari dimana dirinya mendapati tubuh Mita yang tersungkur di lantai kamar mandi. Darah dimana-mana. Dara memeluk tubuh Mita yang dingin. Gemetar merogoh sakunya, mencari telepon genggamnya. Berusaha mencari pertolongan secepat mungkin. Ia tak boleh terlambat sekalipun hanya satu detik saja. Satu detik akan amat sangat berharga di sisa-sisa helaan nafas Mita. Malam itu akan sangat fatal jika Ikmal tidak datang tepat waktu.

Ikmal datang tepat waktu selang limabelas menit yang lalu Dara meneleponnya. Mengadu. Suara Dara bergetar saat mengabarkan Mita yang jatuh di kamar mandi. Dan lihatlah berapa besar cinta Ikmal untuk Mita. Demi Mita, ia rela membatalkan keberangkatannya ke Singapura; dalam rangka mengekspansi proyek periklanan yang teramat menjanjikan. Memutuskan semua secara sepihak. Tidak peduli kolega-kolega yang berseru geram. Tidak peduli dengan proyek besar itu. Malam ini, ia harus ada untuk Mita.
Berlari. Meninggalkan bandara Soetta, lantas memacu mobilnya dengan cepat. Tak ada waktu lagi. Mita harus selamat. Belahan jiwa-nya itu harus tetap hidup.

*

Pintu terdorong. Terbuka. Seseorang mendekat, wajah yang amat lelah. Mengambil kursi. Duduk di dekat Dara yang tertegun.
Dengan lembut Ikmal menyentuh pundak Dara.
“Sabar Dar, ini cuma masalah waktu. Mita pasti baik-baik saja.” Ikmal pelan menyela diantara isak tangis Dara.
Dara menoleh, “Bila waktu bisa kuhentikan, aku ingin waktu berhenti berputar. Aku belum siap kalau waktu akan mengambilnya saat ini. Sungguh... Aku ingin waktu ini membeku, membiarkan kak Mita tetap ada disini.”
Ikmal tergugu, sadar betul dengan semua keadaan ini. Selama ini ia merasa bersalah. Terlalu memaksa Mita untuk menerima kehadirannya. Ikmal juga ingat saat Mita menolak mentah-mentah lamarannya malam itu. Tapi biarlah meski perasaannya membeku menahan tangis. Ia akan tetap mencintai Mita. Sampai kapanpun. Hingga waktu tak berujung. Cintanya tetap untuk Mita. Meskipun alam akan memisahkannya.

Sudah tigahari duamalam Mita terbaring bersama selang-selang penyambung nyawanya. Hingga suatu sore Mita terbangun. Berkata lirih. Memanggil nama Dara beberapa kali; seperti mengigau. Dara mendengar dengan jelas meski terdengar lamat-lamat.
Dara beringsut mendekat, membisikkan sepatah-dua patah kata di telinga Mita.
“Dara disini kak,” meremas jemari Mita dengan lembut. Ikmal hanya menyaksikan pemandangan ini dari belakang Dara. Tidak berani menatap bola mata Mita yang kosong. Ikmal menangis tertahan mendengar kalimat Mita yang bergetar.


“Da...ra...” suara itu bergetar lagi. Mita meraih tangan Dara dengan sisa-sisa tenaganya. Seperti akan merajuk minta sesuatu. Dara mengusap lengan Mita, “Iya kak, Dara disini.” menangis, bulir airmata menetes di lengan Mita.
“Antar kakak ke tempat itu Dar, sekali ini saja kamu antar aku kesana.” Mita menatap Dara lekat, berharap penuh.
Dara mengusap wajahnya, bingung harus mengiyakan atau tidak. Dalam hati, sungguh Dara tak kuasa menolak permintaan kakaknya itu.
Berbagai alasan ia lontarkan tapi tetap saja tidak membuat sifat Mita yang keukeuh itu mencair.

“Dokter pasti tidak mengijinkan, apalagi kondisi kakak masih lemah. Butuh banyak istirahat.” Dara hampir kehilangan kata-kata untuk beralasan. Dara semakin tak tega. Beberapa kali menoleh ke Ikmal penuh ragu. Ikmal hanya mengangguk, mengiyakan.

“Kawah Putih itu jauh kak,” sekali lagi Dara berusaha mencegah. Ini alasan kelima-nya.
“Tak akan lama Dar, hanya satu jam saja. Kakak mohon...” Mita bersuara parau.
Dara menggigit bibir. Dan Ikmal, tanpa disuruh, sedari tadi sibuk beragumen dengan Dokter. Meminta ijin dan pengertian kepada Dokter. Banyak memaksa. Hingga mau tak mau, Dokter mengijinkan Mita pergi.
Ini tidak mudah, mengingat perjalanan yang memakan waktu duajam.
Tapi demi Mita, dengan ikhlas Ikmal mau mengantar.
Mita berjalan tertatih. Ikmal dan Dara membimbingnya. Saran dari Dokter tak pernah didengarnya. Seharusnya Mita memakai kursi roda, namun ditolaknya mentah-mentah. Alasannya “Aku masih bisa berjalan!!”

***

Mita menerawang jauh, menatap kaca mobil yang lembab -sisa hujan- yang menyisakan embun.
Lembayung jingga menemani perjalanan Jakarta-Bandung. Sempurna, semua saling diam termangu. Hanya deru mesin mobil yang memenuhi sepanjang jalan membentang. Tak ada harapan apa-apa, hanya perasaan rindu kepada tempat itu yang terselip diantara bekunya hati Mita. Tempat yang menjadi saksi bisu masa kanak-kanaknya dulu, saat keluarganya masih lengkap.


“Kak Mita! Lihat deh...gelembung Dala besal-besal!” Dara kecil berseru riang, meniup gelembung sabun. Dara kecil yang tertawa lepas. Umurnya waktu itu baru limatahun dan Mita sudah sembilantahun.
Kawah Putih menjadi tempat mereka menghabiskan masa kecil. Tak pernah terlintas jika kehidupan akan berputar lebih cepat. Dua anak kecil itu juga tidak akan pernah menyangka takdir hidup akan kejam. Mereka masih terlalu polos untuk masalah ini.

Tapi, lihatlah sekarang...

Mereka bukan anak kecil lagi, tumbuh dewasa tanpa orang tua. Mita memang berhasil menjadi kakak terbaik diantara yang terbaik. Menjadi penopang untuk Dara, menjadi tameng untuk adiknya. Mita ikhlas. Menjadi benteng saat kehidupan mulai tak adil pada Dara. Menjadi sandaran untuknya.
Ya Allah, sampai kapanpun ia tidak pernah tega meninggalkan Dara seorang diri. Bagaimanalah jika Tuhan berkata lain. Ya, semua ini hanya masalah waktu.
Waktu yang akan merampas potongan hidup Mita. Menjadikannya potongan-potongan puzzle yang bercecer, tidak lengkap lagi. Potongan kehidupan yang tidak akan pernah sempurna. Bukankah kehidupan di dunia ini tidak ada yang sempurna, bukan?

*

Mita duduk menjuntai di bibir kawah. Diikuti Dara dan Ikmal. Mereka banyak diam. Mita sibuk melukis potret kehidupan keluarganya yang bahagia didinding-dinding kawah, dulu sebelum tragedi kebakaran itu terjadi; yang merenggut nyawa kedua orang tua-nya. Kabut tebal melingkupi kawah, mendesah, tertahan di udara. Pemandangan di kawah ini masih sama seperti limabelas tahun silam.
Mita tertunduk, menggigit bibir, menahan rasa sakit yang menderanya.
“Ya-Allah, jangan ambil nyawa Mita sekarang. Mita masih ingin menghirup udara segar ini beberapa menit lagi,” desah Mita dalam diam.
Dara panik, bergegas mengambil tissue. Ikmal juga terkesiap, takut terjadi apa-apa dengan Mita. Tadi baru saja darah segar keluar dari hidungnya, kali ini amat banyak, meninggalkan bercak merah di baju putih-nya.
Mita menepis pelan tangan Dara yang bermaksud membersihkan darah itu. Mita tersenyum simpul, “Biar Dar, sudah terlanjur kotor bajunya.”
Dara menangis, sementara diam-diam Ikmal sedari tadi sudah menangis tanpa suara.

Lima menit berlalu. Sepuluh menit berlalu. Menit ke duapuluh. Hingga menit ke tigapuluh.
Keadaan Mita mulai mengkhawatirkan, namun ia sekuat tenaga menahan rasa sakit. Ingin terlihat baik-baik saja didepan Dara dan Ikmal.

“Dar, kalau kakak pergi, jangan pernah kamu menangisi jasad kakak. Kakak nggak mau lihat kamu cengeng. Dikala keadaan sedang tidak berbaik hati, maka ingatlah sejatinya pemilik hidup ini sedang menunjukkan kuasa-Nya. Jangan pernah menangisi keadaan....” suara Mita hilang diujung kalimat. Satu kata sama dengan satu tarikan nafas. Terpatah-patah. Sejak tadi kepalanya sudah bersandar di pundak Dara, pusing yang teramat menyiksa.
Dara menggigit bibir, menahan airmata yang akan jebol. Sungguh. Ini pukulan telak untuknya. Ia tak tahu apa artinya dia hidup bila tanpa Mita, kakaknya yang selalu menjadi tumpuan hidup.

“Kak Mita... Dara mohon, jangan pergi!” suara Dara serak, menahan hatinya yang hancur-lebur. Ini lebih menyakitkan jika dibandingkan dengan penyakit apapun didunia ini. Airmata Dara akhirnya pecah, jatuh menetes di lengan Mita. Dengan terpatah-patah, Mita mengusap pipi Dara yang basah.
“Tuh kan, kok cengeng sih?” gurau Mita, tertawa kecil.

Ikmal beringsut mendekati Mita. Memegang lembut jemari Mita. Ikmal tahu, waktu Mita tidak banyak lagi.
Mendekap bahu Mita.
“Maaf Mal, aku sudah membuat kamu terlalu lama menunggu keputusan ini. Tapi aku berjanji, sebentar lagi kamu akan mengetahui jawaban itu tanpa perlu aku mengucapkannya.” Mita berkata pelan, nafasnya hampir habis. Tersengal-sengal. Tetap tersenyum. Hingga nafas itu berhenti berhembus. Semua berakhir sudah. Dara memeluk erat tubuh Mita. Janjinya ia tepati, Dara hanya akan menangis jika Mita menyuruhnya. Dan Ikmal sudah mendapat semua jawaban. Ini semua sudah teramat menjelaskan. Mita akan tetap menjadi sebuah memoar tak bersurat. Semua tersimpan rapat di ulu hati yang paling dalam. Mendapat tempat yang paling hakiki. Sempurna. Tigaribuenamratus detik terakhir untuk Mita.

Kadangkala semua kehidupan tidak berakhir dengan happy ending. Sekali lagi, inilah salah satu bentuk penerimaan atas takdir hidup.

Penuh rasa ikhlas.


TAMAT

Memoar Terindah Untuk Mita | Part 1







Lihatlah. Gadis murung itu. Gadis berperawakan tomboy. Duduk menjuntai di jembatan sungai. Duduk sendirian. Menatap pekatnya langit malam. Langit yang tak berbintang dan tak berbulan. Kosong. Angin malam menemani kesendiriannya. Tak ada setitik airmata yang menetes. Semua terlihat baik-baik saja. Namun, apakah ada yang tahu tentang hatinya? Hatinya yang terlalu kebas menghadapi fase kehidupan. Beberapa kali asap mengepul dari mulutnya, membaur bersama deru angin. Merokok terkadang membuatnya tenang, sedikit melupakan masalah dengan adiknya; Dara. Mita selalu mengingat peristiwa sepuluh tahun silam. Peristiwa yang menjadi tonggak awal kehancuran hidupnya. Menyisakan puing-puing bara api yang masih setia memenuhi relung hatinya. Membakar seluruh rasa. Mati rasa. Membuang jauh-jauh setiap kenangan yang terukir indah, menghapusnya sedikit demi sedikit. Jadi, jangan salahkan dia kalau saat ini hanya kebencian yang tersisa.


Seseorang datang, memeluk tubuh Mita dari belakang, menyenderkan kepalanya di punggung Mita. Mengulum senyum bahagia di balik punggung sang kakak. Mita tidak bergeming. Ia sudah tahu siapa yang memeluknya seperti ini. Siapa lagi kalau bukan Dara.
Mita menepis kasar pelukan itu, “Nggak usah peluk-peluk!!”. Entahlah sudah berapa kali Mita mengatakan ini. Namun tetap saja Dara selalu berusaha sedekat mungkin dengan Mita. Meskipun ujung-ujungnya akan ditolak mentah-mentah. Dara mundur satu-dua langkah, urung menceritakan kalau hari ini dia memperoleh predikat lulusan terbaik disekolah. Toh kalau diceritakan juga hanya akan percuma, Mita tidak akan pernah sudi mendengarkan pengaduan sang adik. Bahkan peduli saja tidak, apalagi sampai berbasa-basi. Karena sejatinya Dara hanya berstatus ‘adik tiri’. Yang bahkan tidak pernah dianggap ‘adik tiri’ oleh Mita. Rasa benci terhadap Dara telah membuat hati Mita membatu. Dara tertunduk, menggigit bibir, memainkan ujung bajunya—seperti anak kecil merengek minta permen. Airmata Dara tumpah-ruah. Sungguh, Dara tidak pernah cengeng menghadapi masalah seberat apapun. Berbeda jika masalah itu menyangkut Mita, maka semua benteng dihatinya akan runtuh. Hancur berkeping-keping bersama derai airmata. Ya, Mita-lah yang membuat Dara selalu meratapi nasib setiap malam dengan penolakan yang bertubi-tubi. Sungguh, Dara tak pernah berharap lebih atas Mita. Hanya satu permintaan hatinya; Mita bisa menerima kehadiran dirinya. Itu saja. Tapi semua terlampau sulit untuk Dara. Jauh dilubuk hati terdalam, jujur Mita juga menyayangi Dara, teramat menyayanginya. Namun, waktu telah merubah keadaan sedemikian drastis. Dulu sikap Mita tidak pernah se-dingin ini, membentak Dara saja tidak akan tega. Tapi, lihatlah sekarang. Keadaan kini terlihat sangat hipokrit.


Dan sama seperti pada malam-malam sebelumnya, setelah mendengar penolakan sang kakak, Dara beringsut pergi. Dara pergi mengusap pipinya yang basah, sempat beberapa kali menoleh, melihat siluet tubuh Mita yang tetap tidak bergeming. Dara selalu berharap, ada sebuah keajaiban hingga membuat Mita merespon kesedihannya. Namun hanya sia-sia belaka. Mana? Hampir limakali Dara menoleh, lagi-lagi harus menelan pahit-getirnya sebuah penolakan.


Dara berjalan terpatah-patah. Menangis sepanjang jalan. Matanya menerawang jauh. Sakit. Perih. Apa dia harus mati terlebih dahulu agar Mita mau memperhatikannya?



“Dara!! Awas!!!” seseorang berteriak memecah malam. Dara menoleh, tersenyum lebar.
Kak Mita?

Mata Dara menyipit, tangannya refleks melindungi mata yang terkena sorot lampu, silau. Sejurus kemudian, suara itu membuncah bersama bilur air hujan, “Aaaaaa!!”


Mita berlari, melempar gitarnya sembarangan. Dan Dara...

Tubuhnya sempurna terhantam bemper truk, terlentang bersimbah darah. Mita bersimpuh, ia terlambat!

Gemetar Mita membelai rambut Dara, mengusap pipinya, sempurna darah dimana-mana. Mita memeluk kepala Dara, menangis bersama hujan yang turun. Sementara pemilik truk itu melarikan diri, lari dari rasa tanggungjawab. Beberapa kali Mita berteriak minta tolong, namun tengah malam seperti ini jalanan sudah sepi. Tak ada orang untuk dimintai tolong. Mita benar-benar panik. Tidak ada waktu lagi untuk sekadar menunggu pertolongan datang. Dara harus selamat!

“Kak Mi..ta...” pelan jemari Dara meremas tangan Mita. Nafasnya tersengal-sengal, namun dipaksakan untuk tersenyum. Ya, Dara sangat bahagia. Tuhan benar-benar mengabulkan do'anya selama ini. Terbatuk, bercak darah keluar dari mulut Dara. Mita mendekap tubuh Dara. Menyesal. Ini semua terjadi karena dirinya yang tidak pernah mempedulikan Dara. Dara yang setiap malam ingin menemani kesendiriannya. Lihatlah, Mita sangat khawatir. Bukankah ini yang selalu Dara harapkan, bukan? Meskipun dengan cara tidak lazim seperti ini pun, Dara tak pernah keberatan demi melihat kakaknya yang dulu telah kembali.


Mita menangis, air hujan sempurna membuat jalanan memerah tergenang bersama darah segar. Mita harus bergegas. Mengangkat tubuh Dara, menyibak diantara bulir air hujan. Menyusuri jalan menuju Rumah Sakit terdekat, menggigil kedinginan tak jadi masalah. Tubuh Mita basah-kuyup. Meski langkahnya terasa berat, tak membuatnya gentar. Ini menyangkut nyawa adik kesayangannya. Dara harus selamat!


Beberapa kali Mita menghela nafas panjang, kelelahan mengangkat tubuh Dara yang agak berat. Jarak Rumah Sakit tinggal satu kilometer lagi. Mita ikhlas kalau detik ini menukar nyawanya untuk Dara. Dara harus tetap hidup. Masa depannya masih panjang.


Mita tergopoh-gopoh menuju lobi Rumah Sakit, mukanya yang pucat pasi, gigi bergemeletukan saling beradu.


Dengan sigap dan tangkas, Dokter dengan dibantu beberapa suster sibuk mengecek denyut nadi, memasang selang infus dan belalai penyambung hidup. Dan kepala Dara sempurna dibebat dengan kain kasa, menutupi bekas luka pada kepala.


Mita menatap nanar dari balik kaca, tatapannya pilu, matanya berkaca-kaca. Pelan jemarinya meraba kaca itu, mencicit. Dokter belum mengijinkan Dara untuk di jenguk. Jadi terpaksa, kaca ini seakan menjadi batas nyata dirinya dan Dara. Semua hening. Senyap. Hanya suara pendingin ruangan yang mendesah dan mesin detak jantung yang mendecit. Antara hidup dan mati.

Mita mematung. Terduduk di lantai Rumah Sakit. Gemetar memeluk lututnya, wajahnya terbenam dalam pangkuannya. Perasaan bersalah terus menghantui. Kalau mencari siapa orang yang paling berhak disalahkan, jawaban itu adalah dirinya. Mita merasa tak lebih dari seorang “terdakwa”. Meski secara kasat mata, sopir truk itu yang patut dihakimi. Tapi tidak untuk Mita, seolah hatinya sedang menghujat dirinya sendiri. Waktu ikut membeku, rongga udara seakan kosong, memberikan ruang kehampaan di sela-sela isakan Mita. Mendesah, tertahan di udara, membuncah bersama senyapnya waktu yang bergulir.


Dua jam berlalu. Mita setia terjaga, tidak bergeming. Rela menunggui Dara hingga siuman. Mita ingin sekali meminta maaf kepada Dara. Sejurus kemudian, Mita mendongak, mendengar hentakan high heels memburu cepat, berdecit. Berhitung dengan keadaan. Mita bergegas berdiri, membulatkan mata, menelan ludah demi melihat siapa yang datang.

Mama?


Mama mendekat, menggamit bahu Mita, ada apa ini? Lama ia membisu, membuat Mama semakin mendesak. Kesekian kalinya Mama mengoyak-ngoyak lengan Mita, meminta penjelasan pada anak tiri-nya itu.

“Dara baik-baik saja Ma. Tadi kata Dokter, tidak ada yang perlu dikhawatirkan. Hanya saja, entah kapan Dara akan sadar.” Mita menggigit bibir, bahunya naik-turun menahan tangis. Menyesal. Ragu-ragu mengatakan keadaan Dara yang sebenarnya. Ini sungguh amat menyiksa batinnya.

“Apa? Ya Tuhan, kenapa ini harus terjadi Mit? Apa itu artinya Dara koma? Iya, benar begitu? Dan harus sampai kapan?” Mama mengusap wajahnya penuh kegetiran. Kesedihan amat mendalam.

Mita merengkuh pundak Mama, “Ini semua salah Mita Ma. Mita yang nggak bisa menjaga Dara dengan baik, aku malah membiarkan Dara sampai meregang nyawa seperti ini!”
Pelan Mama membelai rambut Mita, “Tidak sayang...ini semua bukan salah kamu. Tapi Mama cuma berharap, suatu saat nanti kamu bisa menerima kehadiran Dara dengan ikhlas.”

Mama berbisik lirih, “Dara selalu berharap kamu mau menjadi kakaknya, sama seperti dulu kala saat semua keadaan belum banyak berubah.”

Mita tertegun. Beberapa menit ia terpekur dalam dekapan wanita paruh baya itu. Entah, mengapa di saat seperti ini ia bisa merasakan kembali betapa hangatnya pelukan seorang Ibu. Mita sadar, selama ini sikapnya kelewat batas, terutama kepada Dara. Selama ini hatinya tertutupi amarah yang meletup-letup.

Mita melipat tangan di dada, menengadah. Matanya nanar menatap langit-langit putih Rumah Sakit itu. Malam berlalu dengan berselimut kelabu. Hujan juga tak kunjung reda, ikut menjaga Dara di ambang garis batas kehidupan. Antara hidup dan mati.


Pagi ini, mata Mita terbelalak. Mengerjap-ngerjapkan mata mendengar pintu ruang ICU terbuka. Dokter dan seorang perawat keluar dari balik pintu. Mita berdiri dengan antusias, bahagia mendengar Dara sudah boleh di jenguk. Tetapi harus menelan ludah kekecewaan ketika Dokter berkata, “Sampai saat ini belum ada perkembangan yang signifikan pada adik anda, mohon bersabar.”

Jleb! Seperti sebilah pisau tiba-tiba menusuk hati Mita, menyisakan luka teramat mendalam. Matanya yang indah kembali terhiasi oleh bulir bening.


Kreek. Pintu terdorong, terbuka perlahan. Hanyut, waktu benar-benar telah memberi rongga kekosongan. Satu-dua langkah Mita mendekat, langkahnya gentar. Takut mendekati tubuh sang adik yang terbaring lemah berselimut kain putih. Mesin-mesin berdecit, terdengar tetesan infus yang tergantung. Matanya terpejam.
Ya Allah, semua terlampau menyedihkan. Lebih menakutkan dari yang Mita pikir. Lihatlah, Mita berangsur kembali seperti dulu lagi. Namun, tak banyak mengubah keadaan. Dara tetap hidup dalam komanya.



Hari-hari berlalu,
Minggu-minggu bergulir,
Dan bulan-bulan pun berganti,
Gadis itu masih terjaga dalam tidur panjangnya. Hanya Mita yang setiap pagi setia mengganti bunga-bunga dalam vas yang telah layu. Menggantinya dengan mawar kuning, selalu mawar kuning.


Selalu membisikkan lirih kata-kata itu, “Bangun adikku, lihatlah betapa aku telah banyak berubah. Suatu hari nanti setelah kamu bangun, kakak berjanji akan selalu menjadi bunga mawar kuning di hati kamu.” Tersenyum.


Bersambung...

Bukan Salahku Mencintainya, Season 2

    Tokoh dia tetap tersamarkan. Semua kembali kepada imajinasi dan khayalan pembaca masing-masing. Di season 2 ini, sebuah rahasia besar akan terbongkar. Selamat membaca ;)


                Pagi yang cerah, sayup-sayup kicauan burung terdengar dari kejauhan. Deburan ombak bertalu-talu menghatam bebatuan karang, memekakkan telinga. Ya, rumahku memang dekat dengan pantai. Aku duduk menjuntai di salah satu bingkai jendela kamarku. Menyambut matahari yang terlihat masih malu-malu. Embun pagi masih membasahi dedauanan. Angin berhembus sepoi-sepoi, menyeruakkan dingin yang menelusup pori-pori kulitku. Aku mendesis, teringat kembali kejadian malam itu. Hei! Aku kan sudah berjanji kepada dia kalau mulai saat ini aku harus bisa melupakan Ikmal. Ah, memang butuh waktu yang relatif lama tapi akan aku coba. Tak ada salahnya kan menuruti perintah dia? Aku tak mau mengecewakannya.
“Pagi Mita,” sapanya pelan. Tunggu, aku seperti mengenali suara itu. Aku menoleh lantas melongo. Kapan orang ini datang? Perasaan tadi pintu kamar aku kunci. Lewat mana coba? Tak habis pikir.
“Lo lewat mana?” tanyaku datar, aku merasa kedatangannya mengganggu pagiku saja.
“Lewat mana aja boleh,” selorohnya. Aku menyunggingkan bibir, tersenyum kecut.
“Mau ngapain kesini?” tanyaku akhirnya.
“Cuma mau lihat putri tomboy yang lagi meratapi nasibnya,” jawabnya santai membuatku gemas ingin mencekik lehernya.
“Emangnya gue anak tiri yang disiksa sama emak tiri?” selorohku kemudian. Dia hanya diam, menggaruk kepalanya seperti memikirkan sesuatu atau memang kutunya yang banyak? Suasana hening sepersekian detik.
“Kita ke danau yuk Mit?”ajaknya tanpa mengindahkan kalimatku tadi.
“Males, nanti aja tunggu mood gue on dulu,” kilahku memasang bibir manyunku. Dia terdiam, sepertinya dia sudah hafal betul kalau tidak bisa memaksa seorang ‘Mita’ jika moodnya sedang off. Aku jadi merasa bersalah melihat dia yang beringsut keluar dari kamarku. Boro-boro pamitan, ini nyelonong gitu aja. Datang engga permisi, pulang engga pamitan. Ngambek lagi deh!

“Ok, entar lo jemput gue jam empat. On time!” teriakku. Aku yakin dia mendengarnya. Setidaknya, pendengarannya masih terjaga dengan baik. Aku mendengus kesal bercampur bingung, kenapa dia tiba-tiba ingin pergi ke danau itu?. Entahlah.
                               
***



“Inget ya, nyetirnya pelan-pelan aja. Jangan sampai gue mati konyol berdua sama lo,” aku mengancamnya, mengarahkan telunjukku ke wajahnya. Dia hanya mengernyit heran.
“Kenapa sih ke danau itu lagi? Banyak nyamuknya gitu?” protesku, mengingat dua bulan yang lalu aku dan dia ke danau itu, alhasil semua energiku terkuras habis untuk membantai nyamuk-nyamuk itu dan pulang membawa oleh-oleh berupa bentolan merah. Sepanjang perjalanan, mataku jelalatan menyapu seluruh pemandangan tapi yang terlihat hanya rimbunnya pohon-pohon karet yang berjejer rapi. Membosankan. Dia juga terkesan bungkam, aku tak mengerti. Setiap kuajak bicara, hanya menggeleng dan mengangguk saja. Entah, aku seperti menangkap sebuah isyarat dari binar matanya. Dia tak seperti biasanya, ada apa ini?. Mungkin, nanti saja akan aku tanyakan kalau sudah sampai di danau itu.

Satu jam berlalu, kami sampai di danau itu. Ternyata danau itu masih sama seperti dulu ; seperti tidak terjamah oleh manusia. Dan yang lebih penting lagi, masih ada nyamuk yang berkeliaran menggoda ingin segera di bantai oleh tangan jahilku. Kami duduk di sebuah papan di tepian danau yang terbuat dari beberapa bilah bambu.
“Apa lihat-lihat!” gertaknya membuat aku terperangah. Aku kira dia tidak menyadari kalau sudah ku pelototi hampir lima belas menitan. Aku hanya nyengir lantas meringis, ternyata dia bisa galak juga.
“Ada apa?”tanyaku.
“Apanya?” balasnya. Huft! Sekarang aku benar-benar ingin mencekik lehernya.
“Ada masalah apa?” tanyaku lagi lebih kuperjelas. Aku tau, dia sebenarnya menyimpan sejuta masalah yang membuat rasa ingin tahu-ku menyerbak.
“Engga ada,” jawabnya.
“Bohong!” seruku. Suasana membeku, inilah hal yang paling aku benci. Dia selalu berusaha menutupi segala sesuatunya dariku. Apa aku tidak pantas mengetahui masalah yang sedang dia hadapi saat ini?
Lihatlah, tak ada respon positif dari dia. Kupikir diam adalah alternatif terbaik untukku saat ini, melihat dia yang diam dalam bisu. Aku mendesis, ada ya orang yang sedingin bongkahan es kutub utara seperti dia. Aku rasa kami berdua sudah layak disebut ‘Patung Selamat Datang’ di danau ini. Ah, masa bodohlah! Aku memejamkan mata, merentangkan kedua tanganku, menikmati suasana sekitar danau. Air danau yang tenang seolah menghanyutkan, tenang dan damai. Angin mulai menderu, menyibak anak rambut di sela-sela telingaku. Angin yang mengombang-ambingkan daun-daun yang kering hingga berterbangan membentuk sebuah gerak yang melambai-lambai. Apakah daun itu marah kepada angin? Tentu saja tidak. Tapi dia? Dari sorot matanya terlihat seperti ada sepercik api yang membara atau apalah. Aneh.

             Semburat jingga terlihat samar di ufuk barat, matahari mulai beringsut ke peraduannya. Kepakan sayap burung-burung yang kembali ke sarangnya. Senja kini mulai beranjak malam, matahari telah hilang di telan batas cakrawala. Gelap. Kunang-kunang mulai memamerkan cahayanya yang mengerjap-ngerjap indah di depan mata. Astaga! Nyamuk-nyamuk juga mulai bergerilya, menyusun perencanaan bagaimana melancarkan aksi mereka tanpa harus terkapar karena tangan manusia. Oke, cukup sudah! Kalau begini terus, kami tidak lebih terlihat seperti dua manusia ‘bodoh’ yang seakan meratapi nasib di tepian danau ini. Aku harus mulai bergerak dari diamku, aku menoleh ke arahnya, menelan ludah penuh keraguan antara bimbang dan takut. Alih-alih ingin membuka mulut, tapi malah apa yang aku dapat? Sebuah nyamuk mendarat mulus di pipiku, refleks aku menampar pipiku dengan kencang.
“Kenapa Mit?” tanyanya yang melihatku mulai kelabakan.
“Nyamuknya banyak!” celetukku. Dia hanya menoleh sebentar lantas melanjutkan ‘diam dalam bisu-nya’.
Angin malam semilir, memaksa gigiku bergemeretak saling beradu, dingin. Aku memeluk diriku sendiri. Tapi dalam hitungan detik, aku mulai terasa hangat dan terjaga. Dia memakaikan jaketnya di tubuhku lantas merengkuh pundakku erat. Aku tersenyum malu, pipiku merah padam. Tersenyum tipis, dia membelai rambutku. Aku meletakkan kepalaku di pundaknya. Jantungku megap-megap rasanya ingin melesak keluar dari rongga dada. Semua diluar kendaliku. Aku mengulum senyum bahagia di dekapannya. Aku seperti merasakan sebuah janji masa depan yang begitu cerah. Ya, hanya bersamanya! Begitu nyaman. Mungkin sekarang aku sedang berandai-andai menghabiskan seumur hidupku bersamanya. Tidak ada yang salah kan jika mimpi itu kini berpindah-alih. Dulu Ikmal, dan sekarang diam-diam mimpi itu perlahan mulai terajut bersama dia. Sebuah mimpi yang tergores indah di sanubariku. Semoga mimpi ini bukanlah mimpi semu yang mampu memporak-porandakan hatiku lagi. Cukup sekali! Seonggok asa mulai menggebu-gebu, membangun pondasi masa depan yang begitu kokoh. Ah, impianku memang hiperbolis. Hatiku mulai meyakinkan bahwa aku memang mencintai dia. Benih-benih cinta telah tumbuh merekah begitu saja, perlahan tapi pasti. Dia adalah harapanku.

“Mita, lihat deh kura-kura itu,” dia terlihat antusias menunjuk sepasang kura-kura yang berenang di tepian danau. Aku menoleh, mencembungkan mataku. “Iya, bagus!” komentarku singkat lantas membuang muka. Jujur saja, aku tak menyukai hewan itu.
“Mereka tidak pernah meninggalkan satu sama lain,” dia menatap nanar kura-kura itu.
“Lo pikir mereka juga mengucapkan janji suci sehidup semati seperti manusia?” gurauku menyeringai jahil.
“Bukan, mereka engga butuh janji-janji suci itu. Kesetiaan sudah sangat cukup untuk mereka, menjaga satu sama lain tanpa perlu mengharap pamrih,” balasnya. Aku tak menanggapinya lagi. Lebih baik diam saja.

“Mit, seandainya gue udah per...” anak kalimat itu sengaja dia gantung.
“Cukup! Gue udah gatel-gatel nih. Mending kita pulang sekarang aja,” aku memotong. Tak memberinya celah untuk beragumentasi. Huh! Malam mulai larut seiring terdengarnya suara jangkrik di tengah keheningan malam. Aku merajuk minta pulang dan dia hanya mengangguk pasrah. Entahlah, aku tak mau berlama-lama di tempat ini. Meski nantinya aku akan sering mengunjungi danau ini untuk sekedar melepas rindu atau mengubur setiap kenangan manis bersama dia? Waktulah yang akan menjawab; itulah yang sering dia lontarkan dan seolah menjadi stigma yang tertancap kuat dihatiku.
Dia menarik lenganku, “Makasih untuk semuanya Mit, buat waktu lo.”
Aku menatapnya dalam, menangkap sebuah gelagat yang ganjil darinya. Aku membulatkan mata, mengibaskan tanganku,“Aneh deh lo, biasanya juga gue yang temenin ke danau ini.”


***


          Waktu berjalan begitu cepat bagai peluru yang melesak tajam. Hubunganku dengan dia bisa di bilang datar-datar saja, malah akhir-akhir ini dia jarang terlihat. Sudah hampir sebulan, aku tak melihat batang hidungnya. Aku mulai resah, berbagai asumsi terbentuk otomatis dalam otakku. Apa dia membenciku? Kurasa tidak, lantas apa? Aku bingung. Di saat seperti ini, aku tak punya siapa-siapa untuk sekedar menumpahkan curahan hati. Jujur, aku rindu dia. Dan bodohnya lagi, selama ini aku tak pernah tahu dimana rumahnya, aku memang tak pernah menanyakannya. Toh aku mengenalnya juga karena faktor ketidaksengajaan. Dia datang begitu saja dalam kehidupanku, seakan menawarkan indahnya sebuah persahabatan. Sedikit demi sedikit aku mempercayainya bahkan aku mulai mencintainya.

Memori otakku berputar cepat menyetel ulang setiap kejadian dalam hidupku. . .

Astaga! Aku melupakan secuil kejadian yang menimpaku dua tahun yang lalu. Potongan kehidupan yang membuatku harus menyandang predikat ‘yatim-piatu’. Aku harus merelakan nyawa orangtuaku terampas dalam kecelakaan naas itu. Dan dia adalah orang yang menyebabkan peristiwa itu terjadi di depan mataku. Seharusnya, dia-lah orang yang meringkuk di balik jeruji besi. Tapi apa daya, hukum di negeri ini seperti haus darah, motto ‘Uang Adalah Segalanya’ seolah menjadi paradigma yang mencerminkan tatanan hukum negara.

Sulit untukku bila harus merinci kecelakaan itu secara mendetail. Yang cukup aku tahu, orang yang menabrak mobil Ayahku saat itu adalah dia!. Kenyataan telak yang menohok ulu hatiku, selaksa beribu panah yang melesat ke jantungku. Remuk-redam tak bersisa. Aku baru mengetahuinya sebulan yang lalu, aku memang tak pernah ingin tahu-menahu tentang ini, semua ini sudah cukup untuk membuatku mati rasa. Ingin rasanya aku menumpahkan seluruh kemarahanku kepada dia, tapi aku tidak bisa!. Rasa cinta itu menutup rapat semua dendam kesumat-ku. Apakah aku rela? Tidak!! Sungguh. Aku menatap nanar bayanganku di dalam kaca. Apa aku harus membencinya, melupakannya, atau menghakiminya dengan caraku sendiri?. Seharusnya dari awal aku tak perlu mengenalnya terlalu dekat, karena kenyataan ini terlalu kontras untuk hatiku. Aku marah, aku kecewa kepada diriku sendiri. Saat ini, aku tidak bisa berfikir jernih untuk menentukan pilihanku dengan tegas. Sedangkan cinta itu tumbuh semakin menggelayuti hatiku. Mendesah kalbu, menyayat pilu relung hatiku.

"PYARR!!" aku menghujam kaca itu dengan punggung jemariku, menjadikan bayangan yang terpecah-belah di kaca itu. Aku tak peduli dengan darah segar yang mengucur dari jemariku, ini tidak terlalu menyakitkan jika dibandingkan dengan luka yang terlanjur tertoreh dihatiku. Perih.
Aku diam mematung, duduk di sudut kamarku. Menangis, sesenggukan, mengatur nafas, dan mengutuk rasa cinta yang kadung tumbuh. Setidaknya, itu yang bisa aku lakukan saat ini. Tak akan ada lagi pundak tempatku menyandarkan kepala ini, tak ada lagi yang akan mengusap air mataku. Cukup sudah! karena semua harus berakhir, aku tidak mau terjebak dalam kondisi seperti ini. Kondisi yang membelenggu erat seperti lingkaran setan yang tidak pernah ada ujungnya. Aku menelan ludah kegetiran, untuk kedua kalinya aku telah dikecewakan oleh mimpiku sendiri. Harusnya dari awal aku tak perlu buru-buru merangkai mimpi yang muluk-muluk jika kenyataan akan lebih menyedihkan. Aku salah jika harus mengharap sebuah janji masa depan kepadanya. Kenapa mimpi itu ingkar lagi? Di saat semua teruntai dengan rapinya. Mengapa hidup ini tidak adil? Bahkan kebahagiaan enggan berpihak kepadaku. Aku harus menemuinya, mengakhiri semua perasaan ini. Dan aku tahu dimana harus menemukannya, dimana lagi kalau bukan di danau itu.


***


Dan benar saja. Aku melihat dia duduk termenung di tepian danau. Aku memaksa kakiku untuk melangkah mendekatinya, meski hatiku belum siap. Tepat aku berdiri disampingnya, dia beranjak dari duduknya. Aku memicingkan mata, dia menatapku penuh arti. Pandangan kami terkunci. Mata teduhnya menyiratkan kenanaran. Dan air mataku mulai menggelayut di sudut mataku. Pondasi di hatiku seakan runtuh, hatiku rapuh bila melihat dia seperti ini. Aku mengumpulkan semua nyaliku demi membuka mulutku.

“MAAF!!” dia tertunduk, tersedu. Sepertinya dia sudah tahu apa maksud kedatanganku.
“Apa dengan kata ‘Maaf’ lo bisa mengembalikan keadaan seperti sedia kala? Dan kenapa lo harus hadir dalam hidup gue setelah apa yang lo lakuin!” aku membentaknya, mengeluarkan seluruh amarahku. Aku menangis, “Kenapa, kenapa!!”


“Ini semua semata-mata karna gue cuma pengen menebus semua kesalahan yang gue perbuat dua tahun silam. Maaf, jika kehadiran gue mengusik kehidupan lo. Tapi Mit, satu yang perlu lo tau, gue tulus melakukan ini.”
Apa ini ada hubungannya dengan gelagat aneh yang dia tunjukkan akhir-akhir ini? “Lo pikir gue mempan dengan omong kosong itu? Lo tahu kan gimana kecewanya gue? Di saat gue udah mempercayai lo dan bahkan....bahkan gue mulai mencintai lo!!” air mataku tumpah berlinangan. Dia diam seribu bahasa, membisu.
“Maaf, tanpa sadar gue juga mulai mencintai lo. Seharusnya gue engga berhak berharap lebih. Andaikan kecelakaan itu tak pernah terjadi, mungkin kita engga perlu saling kenal dan saling mencinta, karena perasaan ini salah.”
Aku rasa sekarang aku sangat berhak mengutuk mimpiku sendiri. Perasaan ini salah? Ya, dia benar. Dan aku rasa tak perlu membiarkan cinta ini tetap tumbuh. Biarkan semua hilang dengan sendirinya, lenyap seiring berjalannya waktu.

Berat rasanya bila mengembalikan mimpi yang kadung pupus. Karena waktu telah menjawabnya. Jadi tak perlu ada lagi penjelasan untuk hatiku, semua sudah sangat nyata di depan mataku ; kami memang saling mencintai, tapi bukankah cinta tak mesti bersatu. Tekadku sudah bulat, memantapkan hatiku untuk berkata, “Ok, anggap kita engga pernah bertemu!!. Dan rasa cinta itu tak selayaknya perlu dipertahankan, hanya akan sia-sia.” aku mengibaskan tangan, lantas berbalik badan.
“Makasih untuk waktu lo Mit, karena lo udah mau menghiasi hari-hari gue dengan cinta. Cinta yang semu,” ucapnya memberi penekanan pada ‘Cinta yang semu’. Aku menghentikan langkahku. Aku memicingkan mata, meliriknya sekejap dengan mata berairku. Aku membatin, “Seharusnya aku yang merasa perlu berterima kasih, karna dia sudah mau menjadi malaikat pelindung untukku. Menjadi tempatku bersandar dan tempatku menumpahkan air mata dari kejamnya kehidupan. Dialah yang mengajariku tentang hidup sebagai karang yang tak pernah rapuh dihantam berjuta ombak, mengenalkanku betapa indahnya cinta yang sesungguhnya. Cinta sesaat yang pernah tumbuh direlung hatiku. Mungkin nama dia akan tetap terukir indah dihatiku sebagai penyandang predikat ‘seseorang yang pernah mengisi kekosongan hidupku’. Kalau dulu aku bisa melupakan Ikmal, kenapa sekarang aku tidak bisa melupakan dia?”. Perlahan tapi pasti, aku mulai menutup lembaran hidup yang pernah aku lalui bersama dia. Biarlah waktu yang akan menghapus jejaknya dan biarkan danau ini yang menjadi saksi bisu dari perpisahan ini. Semua cukup sampai disini. Tak akan ada lagi cerita tentang dia.



TAMAT

Bukan Salahku Mencintainya

“Udah ya, kita pulang aja Mit,” ajaknya. Aku tak merespon. Mataku tetap celingukan mencari sosok Ikmal.“Ayo dong Mit, gue udah ngantuk nih,” rengeknya sekali lagi. Aku hanya menoleh, memutar bola mataku,“Please deh! Ini kan baru jam sembilan lewat sepuluh menit.”
“Gue nyesel kenapa tadi mau aja di ajak lo ke tempat remang-remang kaya  begini,” repetnya membuatku gemas ingin menginjak kakinya atau sekedar menjabak rambutnya. Tapi niat itu kuurungkan, takutnya nanti pulang dari sini dia malah gantung diri di tiang jemuran.
“Hust...apa lo bilang? Remang-remang? Ini tuh Gang Dolly tau!,” aku menyeringai jahil. Melihat dia yang beringsut mendekat, aku tergelak puas. Berhasil !
“Tuh kan, ini tempat prostitusi kan?”dia membenarkan kata-katanya tadi. Aku menyunggingkan bibir, menatapnya miris. Kok masih ada ya makhluk selugu dan sepolos ini? Di jaman yang sangat modern seperti ini, ternyata masih ada makhluk se-primitif ini. Ah,entah....kenapa aku bisa mengenalnya hingga menjadikannya teman dekatku. Hanya teman dekat,tak lebih dan tak kurang.
“Tenang, disini engga ada yang doyan sama lo. Dandanan lo terlalu standar buat mereka-mereka,” aku mengibaskan tangan, sekali lagi aku membuat nyalinya ciut. Aku tertawa puas. Dia semakin beringsut mendekap bahuku saking takutnya. Ternyata tidak sulit untuk membohonginya. Eh, diralat! Penampilannya engga standar-standar sih, malah ganteng. Cool man!
“Ampun deh! Ini tuh cafe, ga bisa bedain apa antara cafe sama tempat PSK?” semburku. Ups, aku lupa. Dia kan anak Mama, jadi mana pernah ke tempat beginian. Aku terkekeh melihat mimik wajahnya yang bagai sterofoam di siram bensin. Meleleh.
“Ah, dasar lo ya! Gue engga suka tempat beginian,ayo kita pulang!,” tanpa kompromi dia langsung menarik lenganku. Aku tak bisa berontak, percuma saja keras dilawan keras. Ah, sial! Sifatnya yang keukeuh mulai menyeruak ke permukaan. Kalau begini caranya, aku terpaksa menurut. Huh! Protektif. Berlebihan. Bukan siapa-siapa tapi berani mengaturku.
“Nyetirnya pelan-pelan aja kali!” celetukku masih gusar dengan sikapnya tadi. Dia hanya diam, tak mengindahkan protesku. Di saat seperti ini, kadang dia lebih dingin daripada binatang yang berdarah dingin sekalipun. Kan seharusnya aku yang berhak marah, kenapa dia yang ngambek? Childish!
“Punya mulut kan? Ngomong dong!” aku membentaknya, sengaja ku-pancing agar dia mau angkat bicara. Aku menatapnya setajam mungkin. Tapi percuma, dia malah pura-pura asyik dengan kemudinya. Dicuekin lagi! Salahku juga sih, dia kan moody kelas kakap. Kalau begini masalah bisa jadi runyam. Aku paling engga bisa dicuekin sama dia. Ok, ujung-ujungnya aku juga yang mengalah dan mohon-mohon minta ampun. Tapi kali ini tidak! Buat apa? Aku merasa tak punya salah, dia aja yang menanggapi semua permasalahan terlalu serius, terlalu kaku. Aku memicingkan mata demi melihat ekspresi darinya.
“Gue engga peduli dia lebih muda tiga tahun dari gue, engga akan merubah secuil pun perasaan cinta ini. Cinta ya tetap cinta,” jurus pamungkas terpaksa ku keluarkan. Aku tau, dia sangat menentang soal perasaan cinta ini. Inilah cara terakhir membuatnya mau bergeming. Dan lihatlah apa reaksinya? Dia membanting setir mendadak! Aku hampir saja terjungkal menghantam dashboard di depanku, untung saja aku memakai sitbelt. Jadi itu semua tak perlu terjadi, untuk antisipasi yang sebelumnya sudah kuduga.
            Dia menoleh, menatapku tajam dengan matanya yang teduh. Nyaman. Tentram. Sejuk. Entah, tatapannya begitu menelusup relung-relung dihatiku. Hei! Ada apa ini? Kenapa hatiku tak bisa menolak setiap pancaran matanya. Pancaran mata yang begitu tulus. Jujur, aku merinding. Aku membuang muka, tak mau terlalu larut dalam bola matanya yang seolah-olah mengendalikan itu. Dia juga melajukan kembali mobilnya, memecah kesunyian kota malam ini. Waktu terasa berhenti berputar ketika aku sempat terbuai dalam binar matanya yang begitu bening. Beberapa menit yang berhasil membuat hatiku pontang-panting. Aku tergugu. Sunyi. Senyap.
“Besok gue jemput lo jam tujuh malam. On time!” ucapnya dingin ketika aku akan beranjak keluar dari mobilnya. Aku hanya menjawab seadanya, antara terdengar atau tidak-terdengar. Memasang bibir manyunku sepertinya tak berhasil membuatnya lumer. Wajahnya terlalu kebas, entah karena apa. Dia memang sedikit tertutup dan terkesan individualisme. Aku melongo beberapa detik. Apa yang dia bilang barusan? Bukannya kemarin dia menolak mentah-mentah saat aku memintanya untuk menemaniku menghadiri acara itu? Inilah sifatnya yang terkadang misterius. Sulit ditebak.



 ***



            Aku menyeringai lebar. Astaga! Ini orang benar-benar on time. Penampilannya juga engga lebay-lebay amat. Pas!. Tapi kenapa dia selalu memasang wajahnya yang dingin? Menutupi seluruh aura kharismatiknya. Ah, tidak penting juga. Yang lebih penting, dia engga cerewet malam ini.
“Lo yakin pake baju kaya gini?”tanyanya tanpa basa-basi melototiku dari ujung sepatu sampai ujung kepala. Mengernyitkan dahinya. Cerewetnya ternyata muncul lagi. Sebal!
“Emang kenapa? Gue udah biasa pake baju kaya gini. Lo pikir gue harus pake long dress terus harus pake high heels gitu? Atau pake dasternya emak-emak?” cerocosku tak terima ada yang menjudge penampilanku. Dia hanya mengibaskan tangan, menyeringai tipis. Aku melengos sejadinya. Tau gitu, tadi engga perlu meladeni pertanyaan basa-basinya. Buang-buang waktu.
            Pukul delapan malam, kami sampai di salah satu pusat hiburan Ibukota; tempat karaoke-an. Aku sempat mendengus sebal saat mengetahui tempat itu, tak sesuai tebakkanku. Entahlah, akan ada pesta apa. Kemarin Ikmal hanya berkata, “Datang saja, akan ada kejutan yang luar biasa. Engga bakal nyesel Mit”. Kejutan? Pipiku seketika merah padam saat memori otakku menyetel ulang kalimat itu. “GUBRAK!” semua lamunanku harus ku hentikan sejenak saat tubuhku menghujam tiang lampu yang terbuat dari besi. Sempurna sudah membuatku terhuyung. Astaga! Tubuhku hampir jatuh namun dengan sigap dia menahanku. Bertatapan. Melupakan sejenak rasa sakit yang mendera kepalaku. Matanya membuatku meleleh. Jantungku megap-megap. Gugup.
“Kalau jalan pake irama, jangan-jangan pintu segede ini mau juga lo tabrak,” guraunya ketika kami sampai diambang pintu. Aku hanya komat-kamit, memegangi kepalaku yang nyut-nyutan. Ternyata sakit juga, tau gitu tadi nabraknya milih-milih dulu. Setidaknya, ada pilihan yang lebih efektif ketimbang tiang lampu tadi.
“Wuih, rame juga ternyata,”seruku menyeringai lebar. Aku meliriknya, dia hanya menunjukkan mimik ketidak-senangannya. Aku membulatkan mata, menelan ludah dan berjalan mendekati Ikmal. Dia hanya mengekor di belakangku. Tapi tunggu, siapa cewek yang menggelayuti Ikmal disampingnya? Aku tak mengenalinya. Dengan cepat api cemburu membakar hatiku, panas membara. Tapi aku mencoba rileks saat aku sudah tepat dihadapan Ikmal. Tak mau terlihat salting.
“Akhirnya lo dateng Mit,”sapa Ikmal merengkuh pundakku akrab seperti biasanya. Menggeser sedikit posisi dia yang sedari tadi berdiri di sampingku. “Gue kan udah janji mau dateng. Emang dalam rangka apa sampe lo ngadain acara ini?”telisikku. Mataku tetap tajam mengarah pada ‘cewek’ disamping Ikmal. Secara langsung dan blak-blakkan,‘cewek’ itu sudah mengambil alih posisiku. Itu tempatku! Seharusnya akulah yang menggelayuti lengan Ikmal dengan mesra. Tidak salah kan kalau berharap terlalu tinggi? Toh aku sudah terlalu kebas dengan kenyataan pahit-getirnya.
“Ya ampun, waktu itu gue lupa bilang kalau acara ini khusus di buat sama cewek gue sendiri,”jelas Ikmal. Astaga! Ceweknya? Aku terkesiap, mengatupkan mulutku. Mataku mulai pedih. Perih. “Kenalin gue pacarnya Ikmal, Adiesty,” tanpa di minta ‘cewek’ itu memperkenalkan diri. Hey! Apa peduliku coba? Adiesty mengulurkan tangannya. Aku hanya diam membatu. Kurasa aku tak perlu membalas uluran tangannya, aku merasa tak perlu mengenalnya!. Sudah cukup. Pertahananku mulai jebol. Aku tak kuasa berlama-lama di hadapan mereka berdua, hanya akan menambah kobaran api di hatiku. Aku nyelonong pergi begitu saja. Masa bodoh! Aku kecewa. Semua mimpi hancur sudah, tak bersisa. Hancur luluh-lantak dalam sekejap.
            Aku menangis di lantai teratas dari gedung itu. Ya, aku menangis tanpa perlu ada yang melihatku. Tapi aku salah, dia selalu setia membuntutiku. Selalu mau tau dan mau mengerti semua urusanku. Aku tak mengindahkan kedatangannya. Aku tetap memandang langit penuh bintang-gemintang dan cahaya yang berpendar-pendar dari gedung sebelah. Aku meratapi nasibku sendiri, menyedihkan. Langit begitu cerah tak tersaput awan, sempurna sudah. Tapi apa yang kurasa saat ini? Tak sesempurna mimpi yang selama ini susah-payah ku untai. Hanya menjadi sebuah paradoks semata. Mimpi itu telah ingkar.
            Aku terduduk, masih dengan isakku. Dia mengikutiku, lantas duduk disampingku. Aku pikir dia sudah pergi, tapi nyatanya dia masih setia menemaniku dalam kesenyapan hatiku. Aku pikir, sangat beruntung punya teman seperti dia. Selalu ada waktu untukku tanpa aku memintanya. “Jangan pernah berharap cinta yang tak semestinya,” ucapnya menyela diantara tangisku. Aku menelan ludah, “Apa ada yang salah kalau gue mencintai Ikmal?” aku menoleh, memicingkan mataku. Menatapnya penuh kegetiran. “Salah besar Mit! Bukankah cinta itu rumit? Serumit-rumitnya, tak sesederhana yang kita pikir. Semua ada aturan mainnya.”ucapnya memberi penekanan pada ‘serumit-rumitnya’. Aku tergugu, mencerna baik-baik penggalan kalimatnya.
“Ya, gue memang terlalu larut dalam permainan mimpi gue sendiri. Bahkan, gue menyingkirkan seluruh kenyataan yang bertolak belakang dengan mimpi itu. Gue salah karena terlalu mempercayai mimpi, mimpi yang tak pernah memberikan janji manisnya. Semua hanya omong kosong!” aku mencak-mencak mengutuk mimpiku sendiri. Aku merasa telah dikecewakannya. “Denger gue Mit, kali ini aja,”pintanya. Aku tetap termangu diam. Aku tau, dia selalu beranggapan ‘diam’ berarti iya. Aku mengerjap-ngerjapkan mataku, menahan air mata yang akan tumpah lagi.
“Lo tau kan Mit, kalau di dunia ini ada dua kemungkinan? Kemungkinan yang selalu berdampingan. Kemungkinan yang menyenangkan dan menyedihkan. Mungkin saat ini lo merasa mengecap kemungkinan menyedihkan itu, lo sangat berhak menangisinya. Tapi bukankah semua ini secara kasat-mata? Semua kepedihan ini hanya dari sudut pandang lo. Sangat berbeda jika dilihat dari sisi Ikmal, lihatlah Ikmal sangat bahagia bersama Adiesty. Apa lo tau kalau Ikmal juga mencintai lo? Tidak kan?. Lantas apa lo berhak mengutuk mimpi lo sendiri? Mimpi memang tak akan pernah menjawab semua ini, tetapi waktulah yang akan menjelaskan semua ini secara mendetail. Bukankah cinta itu pengorbanan? Cinta yang tak pernah bisa memiliki satu sama lain. Apa lo tetap memaksakan cinta itu Mit? semua tidak ada yang bisa dipaksakan. Bukan masalah sepele jika lo tetap memaksakan cinta itu tetap merekah di hati lo. Please, mulai malam ini lo buang jauh-jauh perasaan itu. Semua hanya akan menyakitkan, bukan Ikmal tapi lo sendiri,” dia merengkuh bahuku. Aku menutup mata, meneteskan air mata terakhirku. Pedih. Menyayat pilu. Aku rapuh karena cintaku sendiri.
“Sejak awal, gue memang sepenuhnya tak terlalu berharap. Berharap sesuatu yang jelas-jelas sangat kontras. Gue memang salah, cinta itu terlalu membabi-buta hingga menjadi bumerang seperti ini,” aku tertunduk lagi. Menyesal? Ya, aku sangat menyesalinya. Menyesal karena kebodohanku sendiri. Aku merasa terpojokkan oleh hatiku sendiri. Hei! Sampai aku tak menyadari kalau ada malaikat disampingku yang selalu membimbingku. Malaikat tak bersayap. Seharusnya, aku sangat bersyukur mempunyai dia yang selau setia menemaniku disetiap langkah kaki ini. Aku memang tak tau, apa dia mencintaiku? Semua memang tersimpan sangat rapat. Ah, dia disampingku saja sudah sangat cukup untukku. Apa aku pantas berharap lebih darinya? Tidak!
Aku mengalihkan pandanganku, menatapnya sejenak. Dia membalas tatapanku, senyum penuh harap merekah sempurna di bibirnya dan mata yang teduh itu tak pernah berubah. Tetap hangat. Abadi.





TAMAT

Jangan Pergi Sahabatku....

Jangan Pergi Sahabatku

Kriiing!. Bel pulang menggema ke seluruh penjuru sekolah. Semua murid berhamburan keluar,begitu juga denganku. Aku berlari tergopoh-gopoh,memaksa jantungku bekerja lebih keras. Menerabas segerombolan murid yang berjalan beriringan,tentu saja mereka marah karena aku telah mengusik mereka yang tengah asyik bercengkrama. Tapi apa peduliku dengan sumpah-serapah yang mereka lontarkan? Tak penting untukku hanya akan membuang waktuku percuma. Aku tetap berlari dan berlari,tak peduli jantungku memprotesnya. Beberapa menit aku pun sampai di halte bus. Nafasku tersengal-sengal bukan main. Keringatku sudah tak terbendung lagi,beberapa kali aku sudah menyekanya. Aku duduk mengatur nafas,memainkan genggaman tanganku,menghentak-hentakkan kakiku. Sesekali aku melirik pergelangan tanganku,mondar-mandir di halte itu berusaha membunuh waktu. Kenapa tak ada bus yang lewat? Hatiku mulai buncah. Langit mulai tak bersahabat,awan cerah kini beralih mendung gelap yang menutup rapat matahari siang ini. Angin berhembus menemani kesendirianku,tak ada orang disini satupun. Sepertinya hujan akan membungkus kota ini beberapa menit lagi. Aku takut! Takut semuanya akan terlambat.

Satu jam sudah aku lontang-lantung di halte ini. Aku memeluk diriku sendiri,kedinginan. Hujan turun begitu deras,gemercik air yang membasahi jalanan,menggenang bebas tanpa ada yang mengusiknya. Jalanan memang cukup lengang,tak seperti biasanya. Aku mulai menggigil,kalimat itu masih terngiang-ngiang jelas di kedua telingaku, “Keadaannya memburuk! Sepulang sekolah segeralah kesini,dia membutuhkanmu!”. Aku menangis,mendengar berita itu dari ponselku,wanita paruh baya menelponku saat jam istirahat tadi. Lagi-lagi keadaannya memburuk? Aku memang tak tau keadaannya akhir-akhir ini karena aku belum sempat menjenguknya lagi. Tetapi menurutku tak ada perubahan yang signifikan,terapi-terapi itu hanya akan menyakitinya saja. Aku ingat betul saat ia mengadu kepadaku bahwa ia sudah tak tahan lagi. Ya Tuhan,apakah aku tega membujuknya supaya mau menjalani terapi-terapi itu? Sedangkan wanita paruh baya itu terus memaksa. Aku prihatin melihatnya. Tetapi apa yang bisa kuperbuat? Selain memberinya semangat hidup,memberinya sebuah arti hidup yang penuh jalan setapak. Aku selalu menguatkannya,tak akan aku biarkan keresahan menghinggapinya.


***

Aku menyunggingkan bibirku,memaksa untuk tersenyum. Terlihat sebuah bus datang dari tikungan utara. Ya,pikiranku mulai tenang setidaknya aku tak akan menjadi ‘patung selamat datang’di halte ini. Bus berhenti tepat didepanku. Menerabas buliran air hujan dan membiarkannya jatuh bebas di atas rambutku. Aku duduk di dekat jendela berembun yang diterpa air hujan dan angin yang membentuk sebuah pemandangan samar di kaca itu,kaca yang dinginnya merasup ke jari-jari tanganku,aku mengusap kaca itu berkali-kali. Aku meringis,menggosok-gosokkan kedua telapak tanganku,aku basah kuyup. Aku menyibak anak rambut yang tergerai di sudut di mataku. Entah berapa tetes derai air mata yang sudah menetes,aku tak memedulikannya!. Pikiranku kalap,hatiku kacau-balau tak menentu. Hatiku berjerit pilu,sesak. Aku tak bisa membayangkan jika sosok itu pergi dari kehidupanku,aku tak mau! Sungguh. Terlalu sulit untuk menapaki jalan kehidupan yang penuh liku tanpa kehadirannya. Sahabat yang sudah menjadi separuh ragaku. Menghabiskan masa-masa tuaku nanti bersamanya, bagaikan sebuah mimpi yang mengambang bebas di tengah radar. Mungkin sekarang aku tak mau muluk-muluk mengumbar janji padanya. Aku takut mengecewakannya!


Bus itu berhenti,aku sampai tak menyadarinya karena terlalu sibuk dengan lamunanku. Kondektur bus menepuk pundakku,“ Sudah sampai mbak”. Aku terkesiap lantas menoleh ke kanan dan ke kiriku. Setelah membayarnya,aku bergegas turun. Untung saja hujan mulai mereda hanya menyisakan rintik-rintik kecil. Aku mematung di depan gedung bertingkat yang berdiri kokoh di hadapanku. Aku memaksakan kedua kakiku untuk melangkah menuju pelataran Rumah Sakit itu meski dengan langkah kecil dan sangat pelan.Mengumpulkan semua keberanian untuk melihat keadaannya. Aku takut jika semua sudah berubah begitu cepat.


Aku membuka pintu koridor,tak perlu waktu lama untuk menemukan ruangannya. Berjalan menelusuri lorong-lorong dengan tatapan kosong,jiwa yang melayang-layang seolah ikut larut dalam kegetiran hatiku. Aku berjalan gontai,merilekskan otot-otot leherku yang mulai tegang,tapi tetap saja tak bisa menenangkan hatiku yang kadung buncah. Sekarang,tepat aku berdiri didepan ruang ICU berplat dua puluh delapan. Aku menyeringai tipis. Ah,itu kan nomor favoritnya. Tertunduk kemudian menatap langit-langit yang bercak putih,tak akan aku biarkan air mataku menetes lagi meski nanti akan pecah juga. Aku membuang nafas,menggigit bibirku dan pelan-pelan aku julurkan tanganku ke gagang pintu. Membukanya perlahan penuh kegetiran.

***


Aku menelan ludah,membelalak membulatkan mataku,air mata mulai menggenang di sudut mataku. Aku melangkah masuk,seluruh tubuhku gemetaran hebat seperti ada gempa dadakan yang mendera tubuhku berkekuatan delapan skala rhicter. Wanita paruh baya itu setia menungguinya,duduk di sampingnya kemudian menangisinya. Melihat kedatanganku,ia beranjak dari duduknya. Menyambutku lantas memelukku hambar. Aku bisa merasakan kegalauan hatinya,air matanya tumpah ruah di pundakku. Memelukku semakin erat lagi. Wanita paruh baya itu tetap mematung dalam dekapanku. “Tante,bagaimana keadaan Vita?” tanyaku parau.
“Dia sedang dalam masa-masa kritisnya,” jawabnya dengan nada yang bergetar hebat. Aku melepaskan pelukannya perlahan,mengusap air matanya dengan lembut. “Tante yang tabah ya...Kinan bisa merasakan perasaan seorang Ibu jika harus melihat keadaan anaknya seperti ini. Tak ada seorang pun yang pernah menginginkan Vita mengidap penyakit ini. Sungguh,” aku mencoba melapangkan hatinya. Ia hanya tertunduk tak menggeleng maupun mengangguk. Ya,aku tau aku tak bisa memaksanya untuk tidak menangis. Aku sendiri saja sangat sulit untuk membendungnya. Aku menoleh,menelan ludah dan berjalan mendekati ranjangnya. Ya,jujur aku tak kuasa untuk tidak menangisinya. Keadaannya sangat memprihatinkan siapapun yang melihatnya. Tubuhnya mulai kurus kering,wajahnya pucat pasi,terdapat garis hitam yang tergurat jelas di bawah matanya,mata yang dulu sangat teduh itu. Diam. Senyap. Hanya terdengar isakan tangis dan alat-alat medis yang berdecak untuk menyambung nyawanya. Astaga! Sekujur tubuhnya dipenuhi selang-selang yang aku sendiri tak pernah mengerti satu per satu dari selang itu. Aku tercekat pilu,mencoba meraih tangannya yang dingin. Ia masih tertidur pulas. Aku mencobalebihmendekatinya.
“Vita...kamu harus bertahan!” kusetel suaraku sepelan mungkin. Aku yakin ia bisa merasakan kehadiranku. Sudah empat belas tahun kami bersahabat. Ya,sepantaran dengan umur kami berdua. Jadi,tak mungkin Vita tidak mengenaliku. Aku mendesah. Tak ada respon apa-apa darinya. Seharusnya aku sadar betul kalau ia sedang terlelap. Entah mengapa,aku menjadi paranoid ketika melihat Vita tertidur pulas seperti ini. Aku takut ia tak akan pernah membuka matanya lagi. Ah,aku tidak boleh berpikiran negatif seperti ini! Apalagi berasumsi yang tidak-tidak. Aku yakin dia masih bisa bertahan! Dia sempat berjanji kepadaku seminggu yang lalu. Bukankah takdir itu bisa dirubah selagi masih ada kesempatan? Tak ada yang mustahil di dunia ini,bukan?

***

Aku duduk di bangku depan ruangan itu,aku membiarkan Vita yang masih pulas. Tante Ratna juga mengikutiku,duduk disampingku masih dengan isaknya. Aku tak berani menyela diantara tangisnya,mungkin dengan begitu ia bisa sedikit mengurangi kegelisahannya. Sementara,memori otakku berputar cepat,menyeruakkan kembali kenanganku bersama Vita sebelum ia divonis kanker otak tiga bulan yang lalu. Sebelum akhirnya ia harus terbaring tak berdaya di ruangan itu. Canda tawa itu,senda guraunya,kejahilannya,senyum manisnya sudah tak bisa kurasakan lagi. Semua berubah sangat cepat,seperti sebuah bom waktu yang sudah sampai puncaknya dan siap untuk meledak. Penyakit itu telah merenggut kebahagiaan itu. Merampasnya begitu saja tanpa ampun. Penyakit yang mulai menggerogoti tubuh Vita. Perlahan tapi pasti. Membuatnya mati-matian berjuang untuk tetap bernafas. Penyakit yang menggubah jalan hidupnya. Kenapa harus Vita, Tuhan? Ia tak pantas menerima takdir ini. Aku juga tertunduk,ikut larut dalam jeritan hati Tante Ratna. Menetes begitu deras. Sengaja aku membiarkannya jatuh bebas berlinangan dipipiku.
“Kinan...” ucapnya datar. Aku mengernyit heran, “Ada apa Tante?”. Aku menatapnya nanar,menelusup bola matanya yang menerawang jauh. “Tante benar-benar takut kehilangan Vita,harapan untuk bertahan hidup hanya dua puluh persen,” tuturnya. Aku terkesiap,mengatupkan mulutku,mengelus pundak Tante Ratna. Memberinya dukungan moril. Astaga,aku tak pernah mengetahui jika keadaan Vita jauh lebih buruk dari ketakutanku. Semua memang sudah berubah begitu cepat, tanpa aku menyadarinya. Fisiknya yang mulai terkujur kaku,seharusnya aku bisa menyadarinya. Apa mungkin masalah ini terlalu pelik untuk anak seumuranku? Aku yang masih menggunakan seragam SMP? Banyak yang menganggapku anak ingusan yang belum pantas tau urusan orang dewasa. Tapi setidaknya aku sudah bisa mengerti arti sebuah ‘kematian’. Kematian yang dulu merenggut kedua orangtuaku dari sisiku. Apa sekarang aku harus mengalaminya lagi? Terpisahkan oleh jembatan ‘kematian’. Hatiku bergidik lelah, lelah bila harus kehilangan orang yang ku sayangi untuk kesekian kali.


Hentakkan kaki yang memburu memecahkan suasana yang sempat hening,membuatku terhenyak. Dokter dan suster-suster berlarian menuju ruangan Vita. Aku terperanjat,begitu juga dengan Tante Ratna. Ada apa ini? hatiku mulai gundah gulana. Ingin aku menyusul Dokter dan suster-suster itu,tetapi Tante Ratna menarik lenganku,mencengkram pundakku, “Jangan!”. Tante Ratna hanya menggeleng penuh kepasrahan dan aku menurutinya. Aku tau Vita pasti....apa dia sudah sadar? Atau sebaliknya? Hatiku menerka-nerka ganjil. Aku mengusap wajahku dengan telapak tanganku. Tuhan,selamatkan dia....kumohon. Aku termangu penuh harap. Setidaknya hanya ‘harap’ yang bisa memberiku janji,entah janji manis atau janji semu? Ya, karna aku tak bisa memastikannya. Mungkin Tuhan belum mau berbicara tentang takdirnya. Aku menelan ludah, apa mungkin aku bisa melihat Vita hidup lebih lama lagi? Semoga saja.

***

Dokter keluar dari ruangan itu. Aku menghampirinya cepat. Raut wajah Dokter itu penuh teka-teki,aku tak bisa menebaknya. Tante Ratna menyela di belakangku, “Ada apa dengan anak saya, Dok?”. Dokter hanya diam sesekali membenarkan posisi kacamatanya yang sebenarnya tak ada masalah apa-apa dengan kacamata itu. Tapi Dokter itu seperti mengulur-ngulur waktu. Nafasku memburu,mengepalkan kedua tanganku,bersiap menerima kemungkinan terburuk,seburuk apapun itu. Aku melihat raut wajah tegang di antara pori-pori kulit wajah Tante Ratna yang mulai menua. Firasatku sudah tak enak.

“Maaf, kami sudah berjuang semampu kami tapi Tuhan berkata lain,” Dokter itu menggeleng kecewa. Aku tersentak,berlari masuk ke dalam ruangan itu. Tante Ratna tetap mematung di luar. Aku menggigit bibirku sekuat mungkin untuk tidak menangisinya. Tapi apa daya,air mataku tetap mengalir mengiringi kepergiannya,
“Vita!!” teriakku sekencang mungkin. Ada beberapa suster yang menahanku untuk tidak mendekati jasad Vita. Aku tetap nekad, memegang tangannya dengan jemariku untuk terakhir kalinya. Menatapnya kosong,bom waktu itu sudah meledak. Meledak tepat di hatiku dan hati Tante Ratna. Apakah Tuhan sudah berbicara? Inikah takdir yang ingin diperlihatkan-Nya. Takdir yang menohok batinku,menyayat pilu hatiku dengan sembilu. Lututku bergetar,air mataku tumpah ruah,aku mendekapnya untuk terakhir kalinya. Aku sadar tak akan bisa menemukan sahabat seperti Vita. Vita yang sudah menjadi separuh ragaku. Kini aku harus merelakan separuh hidupku pergi untuk selama-selamanya. Ya, Tuhan sangat menyayanginya dan inilah alasan kenapa Tuhan mengambil nyawa Vita. Dan aku yakin, Vita akan mendapatkan kehidupan yang lebih baik di akhirat nanti. Ia tak perlu merintih kesakitan lagi. Selamat jalan sahabatku, Vita.




Tamat

Never Ending Love




Matahari pagi menyambut riang hari ini. Aku menggeliat, masih mengantuk. Tapi setumpuk pekerjaan telah siap menanti, terpaksa kuhempaskan selimutku dengan segan. Beginilah kalau rasa malas mulai menghinggap.

Sepuluh menit waktu yang kuperlukan untuk bersiap diri. Mandi seadanya. Kali ini rambut mohawk kubiarkan begitu saja, sudah tak ada waktu untuk sekadar membuatnya jabrik. Aku hampir terlambat. Dengan cepat aku menyambar tas kantor yang tergeletak di atas meja. Beberapa kali aku melirik jam merk Guess di pergelangan tanganku, tepat menunjukkan pukul setengah delapan. Itu artinya aku hanya memiliki waktu tigapuluhmenit saja untuk berpacu dengan waktu.

Padahal....

Mobilku sedang mogok dan masih dibengkel. Aku berjalan lunglai menyusuri trotoar menuju halte bus. Perasaan jengah mulai menyeruak, hampir lima belas menitan aku menunggu, menyender di salah satu tiang penyangga halte itu. Sekarang mungkin aku sedang membayangkan muka merah si bos yang melihatku terlambat masuk kerja untuk kesepuluh kalinya. Untung aku mempunyai prospek kerja yang membanggakan, jadi si bos harus berfikir berjuta kali sebelum memberiku uang pesangon ; memecatku.

Aku menyeka dahiku, akhirnya bus datang juga. Bus merapat. Orang-orang berlarian, menyerobot ingin naik duluan. Aku menggeleng pasrah, keterlaluan!
Lebih baik aku mengalah, mengambil giliran terakhir untuk naik.
Aku menyapu seluruh pandanganku, berharap ada bangku kosong yang tersisa untukku. Hingga pandanganku terhenti pada bangku kosong di deret tengah sebelah kiri.
Aku bergegas melangkah.
Menyapa seseorang yang sudah duduk dibangku itu.


“Maaf Mas, gitarnya bisa dipindah? Saya mau duduk disini,” tegurku, menyetel suaraku agak sopan, takut menyinggungnya.
Dia memicingkan mata, menatapku aneh. Sejurus, dia sudah memindahkan gitar itu kepangkuannya.
Aku duduk, menarik nafas lega, setidaknya aku hanya akan terlambat duapuluhmenit ke kantor. Paling cuma dapat omelan pagi dari si bos.

Aku tak banyak bicara dengan orang disebelahku. Berbasa-basi pun tidak. Tapi entah ada sesuatu hal di dirinya yang membuatku ingin mencuri-curi pandang dengannya.
Dia mengenakan topi hitam-merah yang sempurna menutupi sebagian wajahnya.
Dilihat dari perawakannya, aku yakin benar kalau dia adalah seorang laki-laki.
Sesuatu yang unik yang membuatku betah berlama-lama disampingnya.
Dia terus-terusan menatap nanar keluar bingkai jendela bus, hanya terlihat mulutnya yang komat-kamit asyik mengunyah permen karet. Sepasang headset juga nyantol di kedua kupingnya. Asyik mendengar lantunan lagu.

Aku merogoh saku celanaku lantas menyerahkan uang ke kondektur yang tadi menepuk pundakku.

“Ongkosnya mbak?” tegur sang kondektur.
Alisku saling bertaut.
Mbak? Apa yang dimaksud oleh kondektur dengan kata ‘Mbak’. Sementara aku sibuk celingukan, menoleh ke kanan dan ke kiri.
Mana?
Tidak ada seorang wanita satupun disamping-sampingku.
Aku terhenyak begitu melihat orang yang duduk disebelahku merespon teguran sang kondektur.
Aku mendesis, salah paham.
Apa indra penglihatanku sudah tidak berfungsi dengan baik? Sehingga sudah tidak bisa membedakan mana yang laki-laki dan mana yang perempuan.
Aku memasang wajah tidak percaya, terlalu aneh tapi ini sungguh nyata.
Aku sampai melongo dibuatnya.

Dia adalah perempuan, panggilan kondektur tadi dialamatkan untuknya. Mungkin saja, kondektur itu sudah familiar dengannya. Sehingga ia dengan yakinnya memanggil orang disebelahku dengan sebutan ‘Mbak’.
Tapi...
Menurutku dia lebih pantas dipanggil ‘Mas’ ketimbang memanggilnya dengan sebutan ‘Mbak’. Kata itu akan terlihat benar-benar kontras jika dibandingkan dengan gayanya yang bahkan lebih tampan dari lelaki pada umumnya.

Ada semburat bangga diwajahku, diam-diam meliriknya lagi dan lagi.
Ingin rasanya aku menjulurkan tanganku ini, sekadar mengucap hai atau bertanya namanya siapa?. Tetapi mentalku seakan menciut, mulutku kelu, dan hatiku menjadi tak karuan.
Ya Tuhan, perasaan apa ini?
Perasaan yang secepat kilat memporak-porandakan hatiku pagi ini.
Suasana beku menelungkup. Gerimis rintik-rintik membungkus ibukota pagi. Suara knalpot-knalpot menderu saling menyahut.

“Kiri, kiri Pak!!” seru perempuan disampingku, lantunan suaranya mengguratkan ketegasan dan ketenangan. Ia bergegas berdiri, terburu-buru. Aku meringsutkan tubuhku, memberinya jalan.
Harum tubuhnya menyerbakkan wewangian, membuatku terbuai.
Aku mendekat ke jendela, mengintainya. Aku tersenyum, ternyata panti asuhan itu yang menjadi tujuannya.
Aku semakin penasaran sebelum aku bisa melihat wajahnya secara utuh. Memastikan sendiri kecantikannya yang alami tanpa beralaskan bedak tebal bahkan tanpa embel-embel kosmetik seperti perempuan kebanyakan. Dia berbeda, membuat rasa penasaran tumbuh liar dihatiku.
Mulai hari ini tekadku sudah bulat untuk setia menumpang bus ini, padahal untuk masalah transportasi aku paling sensitif dan penuh pertimbangan. Namun kali ini, tak perlu sampai dua kali aku meyakinkan hatiku.

Aku ingin mengenalnya. Itu saja. Dan jika lebih dari itu, mungkin karena naluriku yang berbicara. Demi menatap wajahnya esok hari, aku melukis senyum indah sepanjang hari. Tak sabaran menunggu hari menjelang pagi.
Sepucuk asa terurai dibenakku, pelan membawaku terbang menembus radar.
Terbang bersama bidadari-bidadari syurga.
Eh, aku belum mau mati!

*

Malam beranjak matang. Wajah perempuan itu terlukis sempurna dilangit-langit kamarku. Cantik, nyaris sempurna. Belum sempurna benar karena aku belum melihat lekukan wajahnya dengan seksama, hanya sekilas mata memandang. Aku berharap semua berjalan sesuai anganku. Tak ada yang mengecewakan, dan takkan ada yang dikecewakan. Semua harus kupersiapkan secara matang. Mengumpulkan semua nyaliku malam ini untuk esoknya mengucap kalimat perkenalan kepadanya.
Ya Tuhan, apa perasaan ini tidak terlalu cepat?
Bahkan namanya saja aku belum tahu. Ah memang, tadi aku terlalu gengsi untuk menyapanya. Aku sadar, wanita tidak mungkin memulainya tapi lelakilah yang seharusnya lebih berani. Melihatnya saja jantungku mau copot, apalagi sampai berbincang akrab.

***

Pagi menjelang, semburat senja terlihat di ufuk timur. Embun pagi membasahi kaca jendela.
Waktu berjalan cepat. Aku membenarkan pendapat Albert Anstein tentang steatmentnya yang mengatakan bahwa cepat atau tidaknya waktu tergantung dari suasana hati yang menjalani. Dan ternyata terbukti benar adanya.

Hari ini aku bangun lebih awal. Pukul tujuh bahkan aku sudah standby di halte itu. Aku menyeringai palsu, kali ini akulah orang pertama yang harus naik kedalam bus. Aku tak mau mengalah lagi demi melihat wajah perempuan itu dan bila ada peluang aku ingin duduk disampingnya lagi.
Jantungku semakin berdebar begitu melihat bus yang kemarin terlihat dari arah baratdaya.
Aku menata diri, beberapa kali mengusap rambut mohawk-ku yang kubuat jabrik keatas. Beberapa kali juga menghela nafas panjang, mengurangi rasa gemetar didada.
Bus merapat. Orang-orang berhamburan, berjubel. Dengan gesit aku menerobos antrian, tak peduli ada yang ngomel-ngomel maupun menyumpah-nyumpah. Bagiku, pagi ini hari krusial untukku, mengalahkan urusan-urusan penting orang lain bahkan ibu yang akan melahirkan sekalipun. Ini tetap pagi spesialku.
Mataku mencembung, lirik sana lirik sini. Berusaha mencari sosok itu. Dan ternyata, pagi memang sedang berbaik hati.
Aku melihatnya. Utuh. Kali ini tak ada topi yang menghias dikepalanya. Wajah yang natural, manis dengan tahi lalat di bawah hidungnya yang menawan. Sempurna, lengkap sudah.
Ya Tuhan, langkah kakiku berat kuayunkan. Mataku masih memaku, melihat siluet tubuhnya yang masih duduk dibangku yang sama seperti kemarin.
Ah, aku harus buru-buru sebelum ada orang yang menyerobot duduk disampingnya.


“Maaf Mbak, gitarnya bisa dipindah? Saya mau duduk disini,” aku menegurnya, sedikit terbata-bata. Kalimat yang sama seperti kemarin, hanya saja sekarang aku memanggilnya dengan sebutan ‘Mbak’.
Dia menyipitkan mata, menatapku aneh untuk kedua kalinya.
“Ada yang aneh ya? Kok melototin saya sampai segitunya?” tanyaku, dia hanya menggeleng pelan.

“Rambutnya keren!” komentarnya, aku tersenyum tersipu malu.

“Makasih!” seruku sumringah.
Oh-Ibu, Aku tak kuasa melihat senyumnya yang menghanyutkan. Sorot matanya teduh, penuh kesahajaan.
Sekarang aku malah mengharap belum ada yang memiliki gadis ini. Membayangkan betapa bahagianya menghabiskan seumur hidupku bersamanya. Aku takjub melihatnya, bagai bidadari langit yang nyasar di bus ini.

Dalam hati tumbuh bunga-bunga merekah, indah nan wangi.
Aku tak berani menegurnya lagi, terbenam dalam kepengecutanku.
Ah, lebih baik aku menikmati sisa-sisa waktu yang tersisa sebelum akhirnya ia turun didepan panti asuhan itu.
Aku memang terkesan tidak gentle didepannya, lebih karena aku kadung terhipnotis oleh wajahnya yang memesona. Menyejukkan hati, membelai mesra relung-relung hatiku.
Tapi entah mengapa, keringat dingin menetes, menggelinding dengan mulusnya.
Berkali-kali aku menyeka dahi, grogi melanda hebat.
Aku mulai khawatir, jarak panti asuhan itu tinggal setengah kilometer lagi.
Bodohnya diriku, kenapa daritadi aku tak mengajaknya berkenalan. Disaat mepet seperti ini aku malah baru menyadari kekeliruanku. Tak mungkin aku mengajaknya bicara sekarang, bukan?

Semua nyaliku seolah runtuh sekejap, percuma capai-capai mengumpulkannya semalaman.
Usahaku sia-sia.
Kenapa untuk mengenalnya saja terasa sulit sekali, seperti ada gembok yang membungkam mulutku kuat-kuat.
Padahal dulu ketika masih kuliah, aku mendapat predikat ‘Playboy Tingkat Tinggi’.

Tapi lihatlah sekarang...

Dulu begitu mudah aku menaklukan perempuan-perempuan, tapi didepannya aku seperti mati kutu.
Hilang sudah semua sajak-sajak puisi yang biasa menjadi modal rayuan gombalku.
Yang tersisa hanya tatapan diam. Pura-pura aku menyibukkan diri, padahal hati terdalamku bergolak.
Dia berdiri. Terburu-buru lagi sambil menenteng gitar di tangan kanannya.
Sempat juga melempar senyumnya kepadaku.
JEDER! Jantungku benar-benar berhenti berdetak demi melihat senyum mautnya. Sunyi. Senyap. Waktupun seperti ikut membeku bersama hatiku.
Aku mulai meyakinkan hatiku bahwa aku akan tetap menunggu kesempatan itu ; mengajaknya berkenalan.

***

Pagi ini aku mempunyai sejuta alasan mengapa aku mengendarai mobil untuk pergi ke kantor. Dua alasan diantaranya. Pertama, pagi ini ada rapat krusial bersama client dan ini sangat menentukan masa depan karierku di perusahaan itu. Tidak mungkin kan aku naik bus yang memakan waktu dua kali lipat?

Kedua, aku tidak bermaksud mangkir atas janjiku sendiri untuk setia melihat gadis itu setiap pagi. Tapi keadaan mendesakku. Tadi saja jam delapan aku baru bangun. Sementara jam setengah sembilan rapat akan dimulai. Buru-buru, tak sempat berkompromi dengan waktu. Mandi saja tidak sempat. Cukup sekali ini saja aku harus mengesampingkan hatiku yang merajuk ingin bertemu gadis itu. Membesarkan hati.
Tapi aku berjanji pada hatiku, besuk atau lusa, aku pasti bisa mengetahui namanya. Dan kali ini aku akan menepati janji itu.

Sebenarnya aku mengkal, bukankah kemarin pagi aku menggumam kalau urusan gadis itu jauh lebih penting diatas segala-segalanya? Namun apa daya, pekerjaan lebih menyita waktuku meski fokusku masih tertuju pada gadis tomboy itu.
Perasaan rindu tumbuh menggelayut, menyesakan dada.
Pikiranku sibuk melukis wajah indahnya di dinding-dinding ruang rapat itu.
Aku melamun.
Beberapa kali mendapat sikutan tangan dan tatapan tajam dari si bos. Aku meringis, sungguh perasaan ini mengalahkan rasa kantuk yang biasa menderaku. Berdehem. Kembali menyimak rapat yang tengah berlangsung.

*

Pukul lima sore menjadi waktu untuk berpacu bersama kemacetan jalanan sore ibukota. Mobil-mobil padat merayap, memenuhi sejauh mata memandang. Anak-anak kecil berlarian kesana-kemari. Dengan luwesnya sibuk memainkan kecrekan atau gitar ditangannya dengan irama lagu seadanya. Ada yang membawa kemoceng, menawarkan jasa membersihkan debu-debu yang menempel pada body mobil. Tersenyum lepas. Mereka terlihat begitu riang. Meski garis kehidupan membuat mereka putus sekolah hingga mengecap pahitnya kehidupan jalanan kota metropolitan.

Tak sengaja aku melirik, terkesiap, gelagapan, lantas tersenyum lebar. Hatiku kembali berdebar.
Melihat sosok gadis tomboy itu (lagi).

Dia naik bus yang sama seperti biasanya, ditempat duduk yang sama, dan duduk didekat jendela bus. Dari dalam mobil, aku bisa melihat lekukan wajahnya. Dia cantik. Cantik sekali. Tapi ada sedikit yang berubah. Gelisah menghias diwajahnya, menutupi mimik wajah yang bersahaja. Tatapannya kosong, penuh kenanaran. Ada apa dengannya? Masalah apa yang tengah menderanya? Apakah ada orang yang telah tega menyakiti gadis secantik dia?
Aku harus mencari tahu sendiri.

Aku mengikuti bus yang melaju dalam kecepatan medium, petang hari adalah puncak padatnya lalulintas. Berjubel. Sedangkan hatiku mendesak buru-buru, namun sikon sedang tidak bersahabat.
Hingga bus berhenti pada sebuah halte.
Mataku tetap mengunci sosok itu, tak mau kehilangan jejaknya sedetikpun.

Dia berjalan, masuk ke salah satu gang kecil. Aku membututinya dengan berjalan kaki ; tidak mungkin kan aku membawa mobilku?
Berjalan mengendap-ngendap macam maling ayam kampung.
Berjalan berjingkat-jingkat, sedikit gelagapan takut sampai dia tahu kalau sedang kuikuti.
Aku mempercepat langkah. Naas bagiku, perhatianku terganggu.
GUBRAK!
Sempurna aku menghujam tiang listrik. Aku mengaduh, benturan yang membuat dunia-ku seolah berhenti berputar sejenak.
Dia menoleh, menghampiriku yang merintih sakit.
“Nggak apa-apa Mas?” tanyanya, memegang bahuku.
Aku menggeleng sekenanya. Kami saling bertatapan lama, waktu seakan membeku. Cahaya matanya menyiratkan kelembutan, penuh syahdu.

“Eh, kamu orang yang kemarin kan?” dia menunjukku, mengingat-ingat sesuatu.

“Iya! Kamu tinggal di daerah sini?” tanyaku.
Aduh! Seharusnya menanyakan namanya adalah tujuan utamaku. Tapi aku malah mengajaknya berbasa-basi. Ah, harusnya tadi aku to the point.

Langit terlihat gelap-gulita. Awan hitam berarak menggumpal gemawan hitam yang siap menumpahkan air langit.
Dalam hitungan sepersekian detik, hujan turun.
Begitu deras.
Bahkan aku hanya mematung, tersihir pesonanya yang membius hati.
Aku tergugu, dia menarik lenganku. Bergegas. Berlari.
“Kita berteduh di rumah saya, nggak jauh kok dari sini!” serunya diantara bilur-bilur air hujan.
*
Tiba di sebuah rumah  ; rumah yang tidak terlalu mewah. Dia menawarkan aku untuk duduk. Aku menurut. Dia duduk disampingku. Beberapa kali mengusap wajahnya yang kebas oleh air hujan. Aku meneguhkan hati.
“Ah-ya, nama kamu siapa?” sedikit ragu aku bertanya. Galau melanda, gugup mendera.
“Ca-me-ria Ha-p-p-y Pa-ra-mi-ta,”ucapnya patah-patah. Aku melipat dahi.
“Panggil aja Mita!”
“Saya Ikmal,” dengan pedenya aku menyebutkan namaku. Suasana lengang. Hujan sedikit mereda. Namun halilintar masih menyalak-nyalak.
“Ada masalah apa?” tegurku setelah melihatnya tercenung hampir lima menitan.
Dia menyeka ujung-ujung matanya,“Saya akan menikah, esok lusa!” ucapnya lirih. Lamat-lamat aku menatapnya. Senyap. Buncah. Menelan ludah. Mita tertunduk dalam-dalam. Entah. Seharusnya dia berbahagia atas pilihan hidupnya untuk menikah esok lusa. Tapi lihatlah dia. Seakan menyesali keputusan terbesarnya.
Tak ada sepatah kata-pun yang bisa terucap. Bisu. Waktu berhenti bergulir. Bumi seakan berhenti dari porosnya. Hanya suara rintik hujan yang masih bersisa. Harapan kosong. Halilintar menyalak hebat bagai adegan slow-motion dalam film-film. Aku pulang dengan pusara dihati. Memaksa hati untuk menerima sebuah takdir pelik. Mita bukan untuknya.

Mungkin takdir ini terlanjur menunggu
Diriku tak dapat menghindari
Walaupun seribu bintang tinggalkanku
Dan mentari tak bersinar
Aku takkan mampu tuk lepaskanmu
Mencoba sejenak ungkapkan segalanya yang telah terjadi

Duhai cinta..
Tataplah aku disini tetap menatapmu
Walau perih terus kau sakiti aku
Tetap mengharapmu
Mungkin benar bila aku tak berarti
Dan dirimu terlalu berarti
Walaupun pekatnya bulan gelapkanku
Dan pelangi tak berpijar
Wajahmu terlalu indah tuk kubenci
Dan kuterus mencintaimu
Engkau terus melupakan aku

( Tito – Kubenci Kau Dengan Cintaku)

Tamat

Cari Blog Ini