Minggu, 16 Oktober 2011

The Miracles


Mita menyibak gorden kamar berwarna merah marun, memberikan celah cahaya matahari untuk masuk ke ruangan. Angin pagi dengan sejuknya menyapa, pelan menentramkan jiwa.

Mita menoleh, “Pagi Dara...” tegurnya, tersenyum lantas mendekatinya.
Dara hanya diam, duduk di kursi rodanya.
Mita membelai rambut Dara yang hitam legam, “Selalu terselip sebuah harapan baru, Ra. Semoga disetiap kamu membuka mata akan ada sebuah kebahagiaan yang akan menghapus keadaan ini, keadaan yang telah merampas dengan paksa kebahagiaan atas dirimu. Andai aku bisa mengulang setiap kejadian, aku rela menggantikan posisi kamu sekarang.”

Lagi-lagi matanya berkaca-kaca, menatap penuh iba pada sosok Dara. Terkadang Mita tak kuasa untuk tidak menangis dihadapan Dara.
Mita merangkul leher adiknya dari belakang, “Kamu yang kuat ya, jangan pernah ada kata menyerah. Ingatlah, apapun keadaannya aku akan tetap disini menemani kamu menghadapi semua ini,” ia mengusap pipi adiknya yang dingin, mengecup keningnya.
Sungguh, Mita sangat tahu, mungkin hati Dara lirih ingin menjawab setiap kalimatnya. Namun seberapapun usahanya ternyata tak cukup untuk berujar sepatah katapun.

Mita mendekap Dara penuh hangat, inilah kebiasaannya setiap pagi menjelang.
Mita terperanjat, kakinya terasa geli. Ia menoleh, ternyata Lami sedang asyik memainkan ekornya; sibuk mencari perhatian.

Mita meraih tubuh Lami yang gempal, “Jahil juga ya kamu, pasti kesini mau caper sama nenek Dara ya?” Mita tertawa geli, menaruh kucing itu di pangkuan Dara.
Mita menelan ludah, melihat kucing yang bernama ‘Lami’ itu. Kondisi kucing itu sedikit membuat orang iba jika melihatnya. Bagaimana tidak, kucing itu jarang mandi semenjak Dara sakit. Jarang pula perawatan ke salon, apalagi untuk membersihkan kuku-kuku di keempat kakinya.

“Kita jalan-jalan yuk? Lihat bunga mawar kuning yang kemarin kita tanam di taman kota,” tanpa menunggu anggukan Dara, Mita langsung mendorong kursi roda itu keluar dari kamar. Tentu saja Lami akan tetap ikut, bagaimanapun juga kucing itu telah menjadi bagian dari hidup Dara.

 ***

Sepuluh hari yang lalu, semua berawal tanpa diterka-terka. Pagi itu, jam ruang tengah berdengking delapan kali, bersamaan dengan telpon rumah yang berdering nyaring.
Dengan muka bosan Mita mengangkat gagang telpon, sambil mengucek-ngucek mata tentunya.

“Halo?” dengan nada ogah-ogahan Mita menyapa orang dibalik telpon.
“Iya, saya Mita. Apa?! Ada apa dengan adik saya? Kecelakaan? Tadi malam? Anda pasti salah sambung!!” Mita tak percaya begitu saja, meski beberapa kali orang yang dibalik telpon mencoba meyakinkannya.

Gagang telpon terlepas begitu saja dari tangan Mita, setelah orang dibalik telpon menyebutkan ciri-ciri fisik korban yang sama persis dengan adiknya; Dara.

Membanting pintu mobil, memacu spedometer hingga kecepatan 150kmperjam, melesat bak meteor di pagi buta.

Setiap lorong Rumah Sakit berusaha ia telusuri. Langkahnya terhenti, memalingkan wajahnya. Jantungnya berhenti berdetak, bahkan napasnya tertahan dikerongkongan.
Pelan jemarinya menyentuh gagang pintu, berniat memutar gagang pintu itu.
Mita terkesiap, seseorang menepuk bahunya.
“Dokter?! Bagaimana keadaan adik saya? Dia baik-baik saja kan?” tanya Mita, Dokter hanya berdehem.
“Mari ikut keruangan saya,” Dokter itu membalikkan badan, berjalan menuju ruangannya. Mita berjalan mengikuti dokter itu, perasaan cemas mulai merasuk batinnya.

“Keadaan adik Anda cukup memprihatinkan. Adik Anda mengalami...” dokter itu membenarkan posisi kacamatanya, terlihat sengaja menggantung kalimatnya.
Mata Mita memicing, “Mengalami apa dok? Adik saya akan baik-baik saja kan? Tolong dok, lakukan apa saja untuk kesembuhan adik saya!”

“Adik Anda mengalami kelumpuhan total, saraf motoriknya tidak berfungsi lagi. Peluang untuk sembuh hanya 20% saja, itupun membutuhkan waktu yang relatif lama,” dokter itu menarik napas panjang.
Dan Mita, demi mendengar kalimat itu, hatinya bagai tersambar halilintar berulang kali tanpa ampun.

Pintu terbuka, hanya mesin-mesin medis yang terdengar ditelinga.
Sekejap hati Mita porak-poranda bagai ditempa badai berkekuatan lipat ganda.
Air matanya pecah seketika, menjadi keping-keping yang menusuk ulu hati terdalam. Bagaimana tidak? Melihat Dara yang terbujur kaku bak mayat hidup. Sungguh, bila Mita bisa menukar keadaan ini maka ia akan memilih menggantikan posisi adiknya.

Sorot matanya nanar, menatap siluet tubuh Dara yang teramat memprihatinkan.
“Kamu cepat sembuh ya. Sedikitpun jangan pernah merasa takut, suatu saat nanti kamu pasti sembuh,” Mita tersenyum, menutupi rasa kehancurannya.
Dara hanya diam, bola matanya yang hitam menatap lurus keatas. Beberapa kali Dara hanya memejamkan mata untuk merespon kalimat yang Mita lontarkan. Ya, untuk bicara saja Dara sangat kesulitan. Kecelakaan itu telah membuat Dara kehilangan separuh hidupnya. Kini ia terlihat tak lebih dari seonggok patung yang tak berguna. Tetapi Mita selalu setia mendampingi, memberinya sepucuk asa yang tidak mustahil terjadi. Meski dokter berkata bahwa kesempatan Dara untuk sembuh sangat kecil, namun siapa yang tahu apa rencana Tuhan. Bagaimanapun dokter jugalah manusia biasa, yang kadangkala tak luput dari kesalahan dianogsis.
***

“Lihat Dar, bunga yang kemarin kamu tanam ternyata udah mekar!” Mita berseru, menunjuk hamparan mawar kuning yang merekah dengan indahnya. Dara hanya memejamkan mata, mengiyakan. Ya, jauh hari sebelum kecelakaan itu, mereka berdua sempat ikut menanam bunga dalam rangka penataan ulang taman kota yang dilakukan serempak diseluruh penjuru taman kota.

“Nih, aku petikin bunganya satu. Nggak apa-apa, paling juga nggak bakal ketahuan. Orang ngambilnya cuma setangkai doang,” Mita tertawa geli, menaruh setangkai mawar kuning dipangkuan Dara. Padahal tak jauh dari bunga-bunga itu, tulisan untuk tidak memetik bunga sembarangan terpampang dengan amat jelas.

“Kamu kenapa?” tanya Mita seraya duduk berjongkok, menyejajarkan posisinya dengan Dara. Dara yang berusaha untuk bergeming, membuat Mita berlipat dahi dibuatnya. Beberapa kali Mita memandang sekitar, ternyata sedari tadi Lami tak ada bersama Dara.
Puh! Dasar kucing itu, selalu saja begitu.
“Bentar ya, aku cari Lami dulu. Kamu jangan kemana-mana, duduk manis aja disini,” ucap Mita, kali ini Dara tak memejamkan matanya. Entahlah, Dara merasa tak rela membiarkan kakaknya pergi walau hanya beberapa jengkal saja darinya. Dara hanya bisa menatap lekat punggung Mita yang semakin menjauh.

Dari kejauhan, Mita tersenyum lebar seraya membawa Lami ditangannya. Tidak terlalu sulit untuk menemukan kucing itu, palingan juga tertangkap basah sedang caper dengan lawan jenisnya.

Baru beberapa langkah saja Mita beranjak mendekati Dara.
Lagi-lagi bencana itu datang. Tak sempat Mita memperhatikan sekitar, sejurus mobil melaju kencang.
Dara yang menyadari nyawa kakaknya diambang maut, berusaha sekuat tenaga untuk berdiri.
Beberapa kali mencoba meneguhkan hati, peluh menetes deras dari keningnya. Memaksa kakinya untuk menopang tubuhnya.

“Kak Mita!! Awas!!!” Dara berteriak sekencang mungkin, tetap saja terlambat untuk mencegah takdir yang kadung berkehendak.

Tubuh Dara terjungkal, jatuh tersungkur dari kursi rodanya. Menangis histeris, melihat kerumunan orang-orang mengelilingi tubuh kakaknya.
***

Air langit bergemiricik, membuat tanah pemakaman menjadi basah sekaligus becek. Bunga-bunga kamboja putih berguguran ditempa deru angin yang pelan meliuk.

“Lihat kak, Dara sembuh!! Ini kan yang selalu kakak harapkan disetiap lantunan doa? Kakak bangun dong, apa kak Mita nggak mau lagi nememin aku ke taman? Kita petik mawar kuning lagi. Kan kata kakak ambil setangkai nggak apa-apa, palingan juga nggak bakal ketahuan. Iya kan kak?” Dara tersenyum hambar, menepis air mata yang jatuh.
Badannya basah kuyup oleh hujan, setelah duduk berjongkok sekian lamanya. Ingin rasanya mengulang setiap momen terakhirnya bersama kakaknya. Setangkai mawar kuning itu tetap ia genggam erat, yang kemarin seakan menjadi penghujung kebersamaan itu.
Dara berdiri, setelah meletakkan setangkai mawar kuning itu di pusara Mita. Setangkai mawar kuning, pemberian terakhir Mita untuk Dara.

“Dara pulang ya kak, besok aku pasti kesini lagi. Bawa Lami juga.”



Tamat

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Cari Blog Ini