Jumat, 27 Desember 2013

Hadiah untuk Devi



Di bawah temaram langit malam, aku melihat secercah cahaya bergoyang tertiup angin laut, tidak hanya satu tapi beberapa. Suara ombak yang menjilat tepi pantai. Pasir yang lembut bagai eskrim. Dan nyiur yang melambai tersapu angin.

“HAPPY BIRTHDAY!!!”

Aku mematung sementara mereka berhamburan memelukku satu per satu. Mendaratkan pipi mereka ke pipiku. Mereka bahkan lupa kalau sempat menginjak kakiku. Aku meringis setelah mereka selesai memelukku. Yang terakhir adalah Doni yang sudah melangkah ingin memeluk, aku mempelototinya. Salah satu di antara mereka mengangkat kue tart yang ada tulisan nama serta umurku di atasnya. Yang lain seperti koor menyanyikan lagu ulang tahun. Aku memejamkan mata, merapal doa-doa pengharapan.

Acara itu tentu saja tidak berjalan damai. Tidak ada potongan kue pertama untuk siapa. Yang ada hanyalah tangan-tangan jahil melempar potongan kue ke wajah satu sama lain. Berlarian menghindari kena balasan. Doni yang tetap diam di tempatnya, memainkan jempol kakinya di pasir. Aku mendekatinya.
“Kamu nggak ikut mereka?” Justru dialah yang melempar pertanyaan terlebih dahulu. Tangannya menunjuk ke arah gerombolan yang kini berpindah ke tepian, bermain ombak. Aku menggeleng. Ia lalu duduk mencakung di atas pasir. Aku melakukan hal yang sama, di sampingnya.
“Maaf ya, belum sempat bawa hadiahnya sekarang.” Ia memecah hening, menolehku sekilas.
“Bukan masalah,” jawabku.
“Kalau boleh tahu, kamu tadi doa apa aja?” tanyanya tanpa menoleh.
“Banyak. Buat Mama, Papa, Adik, sahabat...” Aku tercekat. Ada satu nama lagi.
“Siapa?” ia seperti bisa membaca pikiranku.
“Siapa apanya?” tanyaku berpura-pura bodoh.
“Siapa orang terakhir yang kamu doakan?” ia memperjelas pertanyaannya.
“Aku kasih tahu nanti kalau kamu udah ngasih aku hadiah,” aku menjulurkan lidah. Ia menyeringai, lalu tidak tertarik bertanya lagi. Kami duduk diam menatap langit dan laut yang seolah menyatu di antara garis cakrawala, meski di malam hari garis itu tak terlihat. Aku senang duduk di sampingnya, meski kami sibuk dengan lamunan masing-masing.

***

Aku mengenalnya tiga tahun yang lalu. Waktu itu bersama keluarga kecilnya ia pindah di samping rumahku. Aku menjulukinya nomaden. Pekerjaan ayahnya-lah yang membuatnya berpindah-pindah antarpulau bahkan antarnegara. Dia hebat, dengan cepat ia bisa beradaptasi. Mungkin pengalaman membuatnya bisa beradaptasi seperti bunglon.

Pagi-pagi ia sudah menggedor pintu rumahku. Aku yang masih bergumul dengan selimut mengutuknya. Lelah menggedor pintu, ia lantas beralih ke jendela kamarku.
“APA?!” sentakku seraya membuka jendela sembarangan. Dalam bayangannya, mungkin dua tanduk muncul di kepalaku. Ia berjengit ngeri.
“INI MASIH LIBUR!” kataku dengan emosi. Teringat bagaimana setiap hari Doni-lah yang menjadi alarm pagiku. Itu pun kalau sedang sial kami tetap terlambat sampai sekolah.
“Duh, buruan mandi deh. Bau iler. Aku tunggu di bawah. Angin lagi bagus-bagusnya..” Ia melirik pada apa yang dibawanya.
“Kita main layang-layang pagi ini.” Ia seperti biasa, diktator memerintahku. Aku mendengus meski tetap menuruti perintahnya.
Dia dengan sukarela menyeret tanganku. Rumah kami hanya berjarak lima ratus meter dari pantai. Pantai sudah ramai, benar kata Doni, angin sedang bagus-bagusnya. Nyawaku sudah terkumpul.
“|Aku lapar..” Aku merengek. Ia seperti paham betul, langsung mengajakku ke satu kedai nasi goreng. Sambil menghabiskan sarapan, ia bercerita panjang lebar tentang strategi memainkan layangan nanti. Dan aku hanya manggut-manggut sok paham. Siapa pula yang peduli dengan layangan. Aku terkekeh pelan.
“Yah, malah nyengir mak lampir. Buruan. Kita ke sini bukan mau sarapan. Tapi main laya..hnghan.” Aku terpaksa menyumpalnya dengan tempe goreng.
“Semakin kamu berisik, semakin lama pula nasi goreng di piringku habis. Ngerti?” Ia terdiam kemudian, mengalah.

“Ingat ya, kamu pegang kalengnya. Kalau aku bilang ulur, kamu ulur cepat-cepat. Kalau aku bilang tarik...”
“Iya, tuan besar.” Potongku sebal.
“Bagus.” Ia melangkah dengan cuek. Ia pintar memainkan layangan. Di langit jumlah layangan terbilang banyak, aku coba menghitung namun gagal.
“Bosen, Don!” teriakku malas. Sejak tadi yang kulakukan hanya mengulur dan menarik benang. Belum lagi sekarang benang-benang itu terlilit satu sama lain, susah untuk mengurainya. Maka aku berseru jengkel, sudah berdiri bersiap kabur kapan saja. Namun ia mendekat, wajahnya berkeringat.
“Sebentar lagi ya, bisa jadi ini yang terakhir.” Ia berujar kalem. Aku terbisukan oleh kata terakhir itu. Apa itu artinya ia akan pindah lagi? Pergi? Dan aku, apa aku akan kesepian? Aku benci kata kesepian.
“Kamu jahat!” aku berlari pulang. Lebih tepatnya aku tak mau menangis di depannya. Aku entah mengapa menyimpulkan bahwa ia akan pergi. Meski ia belum mengatakannya. Namun aku tahu, cepat atau lambat semua bakal terjadi.

***

Senja sore di tepi pantai kali ini terasa hambar. Aku berjalan seorang diri, menapaki garis pantai. Ombak silih berganti menjilat kakiku, datang dan pergi. Jika biasanya di sini aku berlarian bersama Doni, saling menciprati air, bahkan berlarian ketika ombak datang. Tanpa terasa pipiku basah mengenangnya.
Libur panjang telah usai. Kini aku harus mandiri. Alarm pagiku sudah pergi entah kemana. Aku memang tidak mau menemuinya ketika ia berpamitan. Dan aku juga enggan bertanya kemana ia pergi. Yang aku tahu, tempat yang menjadi tujuannya pasti jauh sekali.
“Devi, sarapannya bisa agak cepat? Kamu nanti terlambat. Nggak ada lagi yang temani kamu kalau dihukum, bukan?" Mama mengingatkan dari seberang meja. Juga pada hari-hari selanjutnya.
Minggu pagi di pantai selalu ramai. Aku mendongak, ada beberapa layangan mengangkasa dengan elok. Aku mulai berandai-andai jika Doni ada di sini sekarang. Ia pasti akan sebahagia hari itu. Kali ini aku berjanji tidak akan mengeluh. Tapi lagi-lagi aku sadar, kenyataan selalu berbeda. Aku masih mematung ketika tiba-tiba sosok itu melewatiku. Sebuah layangan tersampir di punggungnya. Aku mengibaskan tangan, lekas berbalik. Tidak mungkin Doni ada di sini. Itu kemustahilan yang paling mustahil. Aku terus melangkah saat suara itu menghentikanku, “kamu masih bisa tarik-ulur benang, kan?”
Aku perlahan memutar badan. Sulit kupercaya. Ia benar-benar berdiri di sana. Bagaimana ia bisa kembali? Bukankah--?
“Heh! Jangan bengong, sini bantuin.” Ia melambaikan tangan santai. Aku mengutuknya dalam hati. Ia dengan santainya bersikap seperti tidak pernah terjadi apa-apa. Andai ia tahu apa yang terjadi kepadaku selama ia pergi.
“Kenapa nggak jadi pergi?” selaku di antara kesibukannya menggulung benang.
“Jadi, kamu pengen aku pergi?” timpalnya.
“Sensi amat,” dengusku.
“Nggak, aku nggak akan pergi sebelum kasih kado ke kamu.” Ia menjawab serius.
“Jadi, setelah kamu kasih kado, kamu akan pergi. Iya, maksud kamu begitu?” Aku mulai tersulut emosi. Sudut mataku terasa hangat, siap tumpah hanya dengan satu kedipan saja.
“Aku nggak tahu, Dev.” Ia nampak menghela napas tertahan.
“Kamu nggak usah ngasih aku kado. Aku nggak mau kamu pergi.” Akhirnya aku menangis.
“Tapi bukan itu alasannya, Dev.” Ia menatap arah lain.
“Ikut ayah kamu?” tebakku.
“Bukan.” Ia berkata lirih.
“Terus apa?” desakku.
“.....”
Hening.
“Doni?”
“Aku janji, Dev. Seminggu sekali aku akan datang. Seperti hari ini,” ia sengaja berkilah.
“Sampai kapan?” cercaku.
“Entah,” jawabnya.
“Kenapa?”

“Karena aku tidak tahu apa yang akan terjadi besok,” mimik wajahnya terasa ganjil.

***

Minggu berikutnya ia tidak menepati janjinya. Ia tak datang, juga pada minggu berikut-berikutnya. Jika ia tidak bisa menepati, untuk apa pula ia berjanji. Dengan bodohnya aku selalu menunggu kedatangannya setiap minggu.
“Dev, itu di atas meja ada paketan buat kamu, diantar kurir tadi siang. Kamu main mulu ke pantai. Ngapain, sih? Kan nggak ada Doni lagi.” Mama berkata tanpa menoleh, tangannya gesit menyetrika baju-baju. Kurasa mama tak membutuhkan jawabanku. Aku langsung membawa box terlapisi kertas coklat itu ke kamar.
Aku merobek kertas coklatnya, langsung terlihat kertas kado di dalamnya. Lalu dengan hati-hati aku merobek kertas selanjutnya. Ada secarik kertas tebal yang terselip di antaranya. Aku lebih tertarik membacanya terlebih dahulu ketimbang melihat apa isi box tersebut.



Untuk Devi, partnerku bermain layang-layang..

Hai, sahabat terbaikku. Mungkin saja hari-hari selanjutnya aku lebih sering lagi membuat kamu jengkel menungguku di pantai setiap minggu. Tapi tak apalah. Aku suka ekspresi marah kamu, termasuk saat kamu bilang aku jahat. Aku terima. Karena memang begitulah kenyataannya. Aku hanya bisa datang hari itu saja. Selanjutnya aku terpaksa melanggar janji. Sejujurnya, aku selalu merindukan dua hal. Kamu dan pantai. Soal hadiah ini, aku takut tak sempat memberikannya secara langsung. Jadi, mungkin lebih baik begini. Jam weker dan stoples layang-layang mini. Yang pertama, karena aku tak lagi bisa membangunkanmu setiap pagi. Kedua, aku tahu persis kamu nggak bisa main layang-layang sungguhan. Semoga kelak kita bisa bertemu lagi, meski dengan takdir yang berbeda. Selamat ulang tahun ya untuk tahun kemarin. Juga untuk tahun-tahun selanjutnya. Aku takut tak sempat mengatakannya.


Doni.




Aku terpatri pada baris paling bawah. Ada bercak merah yang memudar. Aku merabanya.
Air mataku semakin membuat bercak itu semakin luntur. Aku memutuskan bangkit dan membuka pintu kamar dengan kasar.
“Devi?” Mama terkejut, mengalihkan tatapan kepadaku.
“Mau kemana kamu?” Aku bahkan mengabaikan wajah bingung mama.
“Pakai payung, Devi! Di luar hujan! Nanti kamu sakit!” Mama berteriak mengingatkan. Tapi aku tak mendengarnya. Aku hanya ikut kemana kakiku berlari. Dengan tergopoh-gopoh dan napas tersengal aku mendekati ombak yang bergulung menyesekkan hati. Aku basah kuyup. Dinginnya menusuk tulang. Dan dinginnya hati seakan meremukan seluruh persendianku. Aku terduduk, kubiarkan ombak menerjangku. Langit bergerumuh seolah mewakili jeritanku.

***

Desember, di penghujung tahun...

Langit malam ini cerah dengan bulan dan bintang yang menggantung di sana. Semilir angin menerpa ujung kerudungku. Malam ini seharusnya aku tak sendiri di sini. Sendiri menatap ombak yang menerjang karang. Sendiri, meratapi kesendirian. Bukan aku tidak bersyukur. Bukan aku mau lari dari kenyataan. Aku hanya ingin semua terlihat normal.
Satu tahun bukanlah waktu yang singkat. Setiap hari aku lalui dengan membunuh sepi. Dan aku selalu gagal. Aku tak pernah bisa lari dari kenyataan.
Aku menghela napas panjang. Tanganku mulai mengaitkan benang pada gulungan kertas. Aku terdiam sejenak. Lalu perlahan aku melepas pegangan tanganku pada benang itu. Angin mulai membawa balon itu menjauh. Aku mengangkat satu tanganku, melambaikannya dengan pelan. Wajah itu seperti terlukis di langit malam. Dan ia tersenyum padaku.
“Devi, ayo pulang! Lilinnya keburu meleleh semua.” Mama berteriak di belakangku. Aku mengangguk, bergegas melangkah pulang.


Dear Doni,

Apa kabar kamu di sana? Baik-baik, kan? Aku hari ini ulang tahun, hlo! Aku tahu kamu nggak akan pernah datang lagi. Tapi kamu bisa kan mendoakan aku dari sana? Semoga saja suratku sampai padamu. Aku memang sengaja mengirimnya dengan sebuah balon. Tentu kamu tahu aku payah sekali dalam urusan menerbangkan layang-layang. Jadi tidak mungkin aku mengirimnya dengan kertas aneh itu.
Semoga angin membawa surat ini padamu. Semoga kamu bahagia di sana.


Devi, mantan partnermu bermain layang-layang.






Selesai.

Selasa, 05 Maret 2013

Pelangi Bersamamu, Season 3


                                      

            “Aku takut pelangiku kehilangan warnanya. Aku takut hujan akan meninggalkanku. Aku takut hujan akan membawa pelangiku pergi dan tak pernah kembali. Aku takut kehilangan waktu bersamamu.” Mita menangis dalam pelukku saat itu. Aku tahu seberapa besar ketakutannya akan hal itu. Aku tidak bisa memungkirinya, karena aku juga merasakan hal yang sama. Hanya saja, aku memilih diam dan membiarkan Mita berbicara banyak. Bukan. Bukan karena aku takut menjawabnya. Semua tertahan di tenggorokan. Terlalu sulit, bahkan hanya untuk sepatah kata pun. Tanpa sadar, kerapuhan Mita adalah kerapuhanku juga. Separuh hatinya telah menjadi separuh hatiku. Begitu juga sebaliknya. Sampai kami sangat takut menghadapi kenyataan yang ada. Bukan hanya Mita yang menangis kala itu. Aku yang mendekap tubuhnya yang kuyup juga ikut menangis. Saat itu, aku mulai bertanya dalam hati yang paling dalam, kenapa aku dan Mita harus dipertemukan dengan jalan seperti ini. Dan di saat kami saling menaruh hati, badai datang secara tiba-tiba. Aku hanya takut ia mengeluarkan terlalu banyak air mata.

            Kota ini selalu memberiku cerita yang baru, juga hari yang baru. Kota tempat dimana aku seharusnya pulang. Kota yang merekam kenangan-kenangan indah. Kota yang selalu dilingkupi kabut. Kota saat untuk pertama kalinya aku bertemu dengan Mita. Aku menghela napas. Terasa sesak saat detik-detik pertemuanku dengan Mita di bukit dulu terputar dalam otakku. Ketika aku menemukannya terjerembab di semak dengan lebam di tubuhnya. Semua getaran itu tidak pernah lebih dari faktor kembar.

            Pagi yang masih berembun membatasi jarak pandang. Kini kebun teh di depanku nyaris tertutup tebalnya kabut. Aku duduk di teras, menikmati pagi yang baru. Tentu saja aku tidak sedang duduk di teras villa-ku. Di sini, di rumah ini seharusnya menjadi tempat aku menghabiskan masa kecilku dengan keluarga yang lengkap. Tetapi, ternyata aku bisa berada di rumah ini setelah sekian lama hidup hanya berdua dengan Ayah.
            “Wahyu! Wahyu!!”
            Aku melompat dari dudukku, seketika tersadar dari lamunanku saat Bunda berteriak memanggilku.
            “Ada apa, Bun?” tanyaku ikut panik.
            “Mita nggak ada di kamarnya. Semalam dia nggak mau makan. Ini pagi-pagi malah udah kabur entah kemana. Mana lagi demam!” Bunda melapor dengan kalap. Demam? Aku langsung berpamitan, tidak salah lagi, aku akan mencarinya ke bukit.

***       

“Huh, curang nih! Ke sini nggak ngajak-ngajak!” Aku duduk di sebelahnya. Ia tidak mengindahkan kedatanganku. Menoleh saja tidak.
            “Dicari Bunda tuh. Suruh pulang,” kataku.
            “Paling juga disuruh makan. Terus minum obat!” Mita tetap saja tidak menatapku. Aku tidak tahu apa yang sedang ia pandangi di depan sana. Sementara sejauh mata memandang hanya ada kabut.
            “Kamu masih pusing?” tanyaku cemas.
            “Lepas!” bentaknya saat aku meletakkan punggung tanganku di keningnya. Aku segera menarik tanganku.
            “Kamu kecewa sama aku? Oke, aku terima. Tapi jangan sekali-sekali bawa orangtua kita,” kataku, yang berhasil membuat Mita menoleh. Ini hal yang sangat sensitive, tentu saja aku tahu. Aku merebahkan punggungku di rumput yang basah. Awan mulai berarak di atasku.
            “Kamu belum bisa mengikhlaskannya, Mit?” tanyaku saat Mita tak kunjung bicara.
            “Menurut kamu, aku harus jawab apa?” Mita ikut berebah di sampingku.
            “Aku ingin melihat Mita yang tegar. Bukan yang hobinya nangis melulu,” ucapku, berhasil memancing tangan Mita untuk menyikut perutku.
            “Terus hubungan kamu sama Dara gimana?”
            “Hah?”
            “Iya, hubungan kamu sama Dara. Masa’ nggak peka sih?” Mita sedikit sebal. Aku tertawa samar. Karena memang perasaanku terhadap Dara hanya semacam.. hanya semacam.. hanya.. bahkan aku tidak tahu. Selama ini aku tidak pernah menghiraukan Dara. Karena saat itu semua hidupku ada hanya untuk Mita. Sehingga aku tak sempat ‘melihat’ Dara.
            “Buat apa ke sini, kalau cuma buat bengong!” Mita sengaja menyindir. Aku kembali tersadar.
            “Aku nggak ada feeling sama dia. Cuma aku menghargai dia sebagai perempuan.” Aku bangkit, kemudian duduk.
            “Nikah aja sama dia, siapa tahu bisa cinta,” katanya dengan ketus.
            “Akan aku coba,” kataku.
            “APA?” Mita terlihat memicingkan matanya. Aku menyeringai.
            “Kenapa? Bukannya itu malah bagus? Kita bisa saling melupakan. Iya kan?” Aku berdiri. Mita masih tertegun dalam duduknya. Entah karena kalimatku, atau kalimatnya sendiri tadi.
            “Kalau kamu nikah, aku sama siapa?” Mita memelukku dari belakang. Dari nada suaranya terdengar rajukan seorang adik kepada kakaknya, bukan seperti yang kalian pikirkan. Kalimat itu terdengar sangat lugu.
            “Kan ada Ikmal?” jawabku, terkekeh. Mita diam saja, tetap memelukku. Aku tidak mengerti apa yang sedang ia pikirkan sekarang. Kalau aku bertanya, besar kemungkinan ia akan berkilah.
            “Pulang yuk. Bunda khawatir banget sama kamu. Kita sarapan sama-sama. Kalau perlu aku juga minum obatnya deh,” bujukku. Mita tidak merespon sama sekali. Aku menoleh. Ia masih memelukku. Namun aku tidak sadar jika pelukannya mengendur. Ia nyaris jatuh kalau aku tidak cepat-cepat menahannya. Mita pingsan tanpa sepengetahuanku.

***

            “Apa kata dokter?” Ayah yang baru datang bertanya cemas kepadaku. Aku menggeleng. Sedangkan Bunda terus saja mondar-mandir di depan pintu.
            “Wahyu?” Pintu terbuka, dokter memanggilku. Aku terkesiap, lantas cepat mendekat. Bunda juga ikut mendekat, ingin ikut masuk melihat kondisi Mita. Namun dokter segera mencegah, “mohon bersabar, Bu.”

            “Hei… masih pusing?” Pertanyaan yang sama ketika di bukit tadi pagi. Wajahnya pucat, bibirnya sedikit pecah-pecah. Aku hanya bisa berdoa, semoga tidak akan ada yang bisa menghilangkan senyumnya.
            “Kenapa bengong? Hobi banget,” katanya dengan suara serak. Aku terkesiap.
            “Mita?”
            “Iya?”
            “…….”
            Aku termenung. Kurasa bukan sekarang waktu yang tepat untuk mengatakannya kepada Mita. Takutnya malah membuat kondisinya memburuk. Mita memandangiku dengan heran, namun ia memilih diam dan tidak bertanya apa pun. Kami larut dengan pikiran masing-masing. Saling mengunci mulut.

***
            “Dara? Kapan datang?” tanyaku agak terkejut begitu keluar dari ruangan Mita. Dara persis berdiri di depan pintu.
            “Baru aja kok,” ia tersenyum. Ia cantik hari ini, mengenakan serba kuning.
            “Ngobrol di taman aja, yuk.” Ajakku. Sementara kulihat Bunda masuk menemui Mita.
            “Mita sakit apa?” tanyanya saat kami sudah duduk di bangku panjang. Aku mengangkat bahu.
            “Oh ya, aku bawa makanan buat kamu..” Dara mengambil sesuatu dari tasnya. Lalu menyodorkan kotak makanan kepadaku. Aku ragu menerimanya. Tapi ia memaksaku lewat tatapan matanya. Aku tertegun. Ia selalu baik. Dan tentu saja aku mulai peka. Tetapi.. rasanya berat untuk mencintai gadis di sampingku ini.
            “Thanks,” ucapku. Ia hanya tersenyum. Aku membuka kotak makanan itu. Sedikit terkejut saat aku melihat nasi goreng dengan bentuk wajah. Ada dua irisan tomat sebagai mata, irisan cabai sebagai hidung, dan saos sebagai bibir yang membentuk senyum. Sejak saat itu mulai timbul rasa yang aku sendiri belum mengetahuinya. Tidak pernah mudah untuk mengganti posisi Mita begitu saja.
            “Enak banget!” komentarku setelah melahap sendokan pertama. Wajah Dara bersemu kemerahan.

***

Mita pulang hari ini. Alasannya sepele saja, karena Mita tidak doyan dengan bubur rumah sakit. Aku sudah mencegah. Bunda juga tidak berdaya. Apalagi Ayah, ia memilih untuk diam. Namun setelah dipikir lebih baik menuruti permintaannya, daripada ia terus-terusan tidak mau makan.
            “Akhirnya aku bisa lihat hujan lagi.” Mita bergumam ke arah jendela mobil. Aku yang duduk di sebelahnya ikut menoleh. Ini musim kemarau. Aku jadi teringat dengan kalimat-kalimat itu. Mita selalu bilang, “setiap kali kamu ada, hujan akan turun di musim kemarau.” Dulu aku terlalu serius menanggapi. Dan sekarang aku mulai berpikir bukan karena aku. Tentu saja ini siklus alam. Tidak ada kaitannya dengan kehadiranku.
            “Tuh kan!” katanya kepadaku, ia menjentikkan telunjuknya. Aku mengangkat sebelah alisku. “Hujan turun di musim kemarau saat kamu ada. Dulu waktu kamu nggak ada di sini, nyaris nggak turun hujan.”
            Bunda yang duduk di depan menoleh, tertawa. Lantas berkata, “jangan ngelantur, Mit. Kamu aneh-aneh aja. Memangnya Wahyu penari hujan? Atau pawang hujan?” Mita memasang wajah sebal. Aku terpingkal. Ayah diam, tetap fokus dengan jalan di depan. Tidak tertarik untuk menimpali. Namun sejak tadi kulihat ia mengusap wajah beberapa kali. Seperti sedang gelisah.

            Tanpa disuruh aku langsung membopong Mita keluar dari mobil. Ia sempat protes keras. Namun aku tak mengindahkan. Ia langsung merangkulkan tangannya ke leherku. Mungkin karena takut jatuh.
            “Eh, ada Dara?” Bunda kaget mendapati Dara sudah duduk manis di sofa ruang depan. Aku juga sedikit terkesiap. Dara terpaku menatapku yang menggendong Mita. Bukan apa-apa. Aku hanya tidak ingin ia berpikir yang macam-macam. Sementara Bunda mengobrol dengan Dara, aku langsung membawa Mita ke kamar.
            “Kamu masih marah sama Dara?” tanyaku. Mita menggeleng kuat-kuat. Mulutnya terkunci rapat. Ia meraih selimut tebal, lalu meringkuk di dalamnya, memunggungiku. Tidak ada kalimat yang terlontar. Aku membungkukkan badan, mengecup pelipisnya. Ya Tuhan, getaran ini tidak pernah hilang. Malah setiap hari semakin terasa amat sangat nyata. Meski aku berusaha sekuat tenaga untuk mengingkari hatiku, berdusta pada hatiku, nyatanya tetap sia-sia. Aku selalu gagal untuk berhenti mencintaimu, Mita—

            “Mita langsung tidur. Maaf ya,” ucapku.
            “Oh, nggak apa-apa.” Dara mengangguk maklum. Ia lalu berpamitan pulang. Padahal Bunda baru saja muncul membawa minum.

***
           
Kami berempat duduk di ruang keluarga. Keempatnya saling diam. Bunda membolak-balik majalahnya. Mita memencet-mencet remote tv dengan bosan. Ayah sendiri sibuk dengan laptop di depannya. Aku mendehem, dan membuat Mita melirikku.
            “Aku ingin bicara..” Aku dengan cepat membuat mereka bertiga menoleh serempak.
            “Bicara apa, Nak?” kata Bunda yang sudah menaruh majalahnya. Ayah menyingkirkan laptopnya. Seketika suasana menjadi tegang dan serius. Mita kemudian meletakkan remote di atas meja.
            “Aku ingin serius dengan Dara,” ucapku, meski dengan suara yang bimbang, nyatanya tetap memancing reaksi dari Mita.
            “Nggak! Nggak boleh!” teriaknya.
            “Bunda setuju kok. Dia anak yang sopan, baik lagi.” Bunda sepenuhnya berada di pihakku.
            “Nggak! Mita nggak setuju!” desisnya lagi, kali ini lebih tajam.
            “Ayah juga setuju kalau kamu mau berhubungan serius dengan Dara. Nggak usah pacaran, langsung aja lamar dia.” Sempurna, aku mendapat dukungan penuh.
            “Nggak boleh! Pokoknya nggak boleh.” Mita meledak. Ia lebih memilih untuk menyingkir, untuk menutupi air matanya. Aku berlari menyusulnya. Mita berhenti di balkon atas. Tangisannya terdengar lirih. Aku tidak sanggup mendekat. Itu sama saja membunuhku secara perlahan. Karena aku tidak ingin merasakan getaran itu sekarang, hanya akan menambah berat langkahku untuk mengambil keputusan. Maafkan aku yang membiarkanmu menangis seorang diri.

            “Sudahlah, Yu. Mita biar jadi urusan Bunda. Kamu lebih baik mulai fokus dengan rencanamu itu.” Aku terhenyak ketika Bunda muncul di belakangku. Bunda menatap dengan prihatin.

***
            “Apa? Kamu pasti lagi bercanda. Iya kan? Udah deh, aku tahu kok!” Dara menganggap apa yang aku katakan hanya sebuah lelucon.
            “Jadi, kamu mau nikah sama aku?” ia masih tertawa. Aku menunggu sampai tawanya berhenti.
            “Aku ingin menemukan aku yang baru. Dan aku percaya kamu bisa membuat hari-hariku berbeda.” Aku menggenggam satu tangannya. Ia mengalihkan matanya dari pandanganku. Aku bisa merasakan tangannya yang dingin sekali. Padahal cuaca sedang cerah. Kabut juga sudah tidak menutupi perkebunan teh ini. Wajahnya bersemu merah.
            “Jujur, aku kaget banget kamu ngomong gini. Padahal semalam aku nggak mimpi apa-apa.” Dara balas meremas tanganku.
            “Jadi?” tanyaku meminta kepastian. Ia menjawabnya dengan anggukan dan senyum malu-malu. Seharusnya aku lega karena Dara menerimaku. Seharusnya aku bahagia sekarang, karena semua berjalan mulus. Tetapi ada rasa yang jauh lebih hebat berkecamuk di hatiku. Sehingga menutupi rasa bahagia itu.

            “Mita pulang-pulang nangis. Tadi dia pamit mau nyusul kamu. Pas ditanya malah diam aja,” kata Bunda seraya menata sarapan di meja. Aku mengusap wajahku dengan getir. Mita menyusulku? Apa dia sudah mendengar semuanya? Aku yakin dia mendengarnya. Ya Tuhan—
            Aku memutar gagang pintu kamarnya, karena memang tidak terkunci. Kulihat ia tengkurap di kasur. Aku mendekat, lalu duduk di tepi kasur.
            “Beri aku alasan kenapa kamu nangis..” Aku mengacak rambutnya. Dia sama sekali tidak merespon. Aku mengoyak pundaknya. Mita tetap saja diam. Panik mulai menderaku. Aku membalik tubuhnya dan mendapati ia yang tak sadarkan diri. Wajahnya pucat sekali.

***

            Aku seperti tidak mengenal Mita semenjak kami tahu jika kami saudara kembar. Ia berubah perlahan, dulu aku terlalu sibuk untuk menyadarinya. Rasanya seperti ada tembok raksasa yang membelenggu kami. Aku merasa ada yang hilang. Aku bisa merasakan jika pelangi itu mulai memudarkan warnanya. Tidak seperti dulu yang selalu bersinar. Tanpa sadar aku mulai kehilangan sosok Mita. Aku mulai mencari-cari kemana hilangnya warna-warna pelangi di wajahnya.
            “Aku sedih melihat Mita seperti ini, Yah.” Aku duduk bersama Ayah di kafetaria rumah sakit. Menyeduh kopi bersama. Ayah diam, raganya memang di sini, tetapi nyawanya mungkin berada di tempat lain.
            “Mita sakit, Yu. Itu yang membuat akhir-akhir ini wajahnya selalu pucat. Ditambah lagi dia nggak mau minum obat-obatnya.” Ayah menatapku serius dari balik kacamatanya. Aku menangkup wajahku dengan kedua tanganku.
            “Sakit? Selain sakit demam?” selidikku. Ayah menggeleng.
            “Ayah jangan membuatku bingung,” desakku. Ayah menarik napas, lalu menghelanya.
            “Ayah tidak tahu sampai kapan Mita bisa bertahan,” ungkapnya. Mataku membelalak kaget. Sakit itu tidak pernah main-main jika sudah menyangkut bisa bertahan atau tidak. Aku mendongakkan kepalaku, kutahan air mataku supaya tidak jatuh. Aku takut bertanya lebih jauh. Mendengar kalimat tadi sudah menjadi mimpi burukku. Tuhan, apa yang sedang Kau rencanakan? Memisahkan kami? Apa belum cukup dengan kenyataan kalau kami saudara kembar? Kenapa harus bertubi-tubi seperti ini?

            Kulihat Dara baru saja keluar dari ruangan Mita saat aku kembali dari kafetaria. Matanya sembab kemerahan. Aku menahan lengannya saat ia berlalu begitu saja dari hadapanku. Ia berusaha melepas tanganku. Namun peganganku lebih kuat.
            “Ada apa?” tanyaku khawatir. Dara menggeleng. Aku mengajaknya duduk.
            “Kamu kenapa?” tanyaku dengan tenang. Ia masih sesenggukkan.
            “Aku nggak mau hidup dalam kebohongan,” katanya, menatapku getir.
            “Maksudnya?” tanyaku, belum paham.
            “Kamu itu cuma mimpi buat aku, ngerti?!” katanya tajam. Aku mengendurkan tangannya. Ia beranjak dari duduknya.
            “Mita bilang apa sama kamu?” tanyaku, entah mengapa kalimat tuduhan itu keluar dari mulutku.
            “Mita nggak bilang apa-apa. Tapi aku cukup sadar, Yu. Mita lebih butuh kamu, daripada aku. Begitu juga sebaliknya. Kamu butuh Mita, bukan aku, atau siapa pun.” Dara berbalik, berlari pergi dari hadapanku. Aku hanya bisa menatap rambut panjangnya yang bergerak saat ia berlari menjauh. Bahkan aku belum sempat untuk meyakinkannya lagi.
           
***

            “Kak Wahyu?” ia akhirnya bersuara setelah kami selesai berkeliling rumah sakit. Aku berhenti mendorong kursi rodanya. Butuh waktu beberapa detik untuk menyadari kalau ia memanggilku ‘kakak’.
            “Iya?” jawabku, sedikit berjongkok di hadapannya.
            “Mita udah ikhlas, Kak. Mita mau melihat kak Wahyu menikah dan…’’ katanya meraih kedua tanganku, “bahagia.” Lanjutnya.
            “Ta.. tapi..” sergahku.
            “Kebahagiaan kak Wahyu adalah kebahagiaanku juga,” ia memutus kalimatku.
            “Aku takut jika aku tidak sempat melihat kak Wahyu menikah,’’ lanjutnya lagi. Kali ini ada sorot mata yang berbeda di bola matanya. Ingatanku tersedot pada perkataan Ayah sewaktu di kafetaria tempo hari.
            “Aku rela kehilangan pelangi-ku. Aku juga tidak keberatan kehilangan hujan-ku. Asal.. asal.. ia bisa menemukan tempat untuk pulang, tempat untuk bermuara.” Mita menangis. Air matanya yang menetes di tanganku membuatku terkesiap dari lamunanku. Aku bangkit dan mencium ubun-ubunnya. Aku belum tahu penyakit apa yang tengah mendera Mita akhir-akhir ini. Tuhan, biar aku saja yang merasakan sakit. Jangan Mita—


***

            Satu minggu setelah Mita keluar dari rumah sakit…

Aku akhirnya menuruti permintaan Mita waktu itu. Demi membuat hati Mita lega, aku akan menikah dengan Dara hari ini. Tidak ada pesta-pesta mewah. Hanya satu tenda biru yang terpasang di depan rumah, dengan janur kuning yang melengkung di pagar. Aku seharusnya bahagia. Harusnya aku bisa tersenyum lepas. Tapi aku sulit melakukannya.
Aku duduk tenang di depan penghulu. Ayah dan Bunda duduk di belakangku. Aku menoleh sekilas, dan mendapati Mita tidak ada di sana.
“Mau kemana, Yu?” cegah Bunda, melihat aku yang hendak berdiri.
“Mita dimana, Bun?” tanyaku sedikit panik.
“Mita masih di kamarnya. Kamu kan tahu, dia dandannya lama banget.” Bunda berhasil membuatku tenang.
“Bunda paksa dia pakai kebaya?” tanyaku. Bunda menggeleng. Ayah menahan senyum di sampingnya.
“Atau… Bunda paksa dia pakai high heels?” desakku. Bunda menggeleng lagi.
“Siapa sih yang bisa maksa dia? Kamu aja nggak bisa kan?” Bunda tertawa pelan. Aku menyeringai.
“Aku cari Mita sebentar ya, Bun. Sebentar aja deh,” rajukku. Bunda melolot, tatapan matanya seperti bilang, ‘jangan sekali-sekali bergerak!’
“Dara sebentar lagi keluar. Jadi kamu jangan pergi kemana-mana,” tegas Ayah. Aku menghela napas. Sama sekali belum tenang sebelum melihat Mita duduk di belakangku. Entah dari mana datangnya perasaan itu. Firasatku benar-benar tidak enak. Saat aku sibuk dengan pikiranku, semua perhatian para tamu sudah teralih. Aku ikut menoleh. Dara turun dari tangga dengan anggun sekali, tangan kanannya menggenggam erat tangan ibunya. Gaun putih yang membalutnya berkilau terkena sinar matahari yang menembus celah-celah jendela. Aku membeku seketika. Darahku berhenti mengalir. Duniaku hilang sejenak. Aku seperti lupa berpijak pada lantai. Ia hampir dekat. Aku langsung terhenyak saat duniaku kembali. Seperti diingatkan kalau Mita belum muncul juga. Kembali ingat kalau aku tidak bisa menikah jika tidak ada Mita di sini. Secantik apa pun Dara saat ini, aku tidak peduli.
“Mita mana? Kamu lihat dia?” Pertanyaan bodoh. Dara terperangah mendengarnya.
“Sudah siap calon mempelai?” Pak penghulu menyela. Dara samar mengangguk.
“Tunggu, pak. Saya ingin mencari saudara kembar saya terlebih dahulu,” tegasku, tidak peduli Bunda yang mencegah, atau tatapan tajam dari Ayah. Aku tidak menghiraukannya. Aku berlari melewati Dara, tangannya sempat menarikku, lalu dengan sendirinya ia melepas tanganku.
Baru satu langkah berpijak pada anak tangga pertama, aku mendengar suara benda jatuh. Cukup keras. Sehingga membuat para tamu, Ayah dan Bunda, juga Dara terkejut. Aku tak kalah terkejutnya. Aku berlari melewati anak tangga ke lantai atas.
“Mit, kamu kenapa?” teriakku menggedor pintu kamarnya yang terkunci.
“Mit, kamu di dalam?” teriakku lagi. Aku mengambil ancang-ancang untuk mendobrak pintunya. Dalam hentakan bahu lima kali pintu baru bisa terbuka. Kamarnya dalam keadaan kosong. Mataku menyapu ke sudut-sudut kamar. Aku beralih menggedor pintu kamar mandi. Sial! Terkunci. Aku berniat mendobraknya lagi, tapi Ayah yang baru menyusul sudah mencegahku.
“Kendalikan emosimu, Yu!” Ayah menahanku. Aku mendengar sirine ambulans di halaman depan.
“Mita di mana, Yah?” aku mengoyak lengan Ayah.
“Di kamar Bundamu,” katanya dengan tenang. Aku berlari menuruni tangga secepat yang aku bisa.
“Mita…”
“Mita…”
Dengan sigap aku menyibak kerumunan tamu di depan kamar itu. Juga menyibak petugas medis yang hendak mengangkat tubuh Mita. Bunda menangis histeris di dekat pintu, tidak berani mendekat.
“Mita…” kataku pelan. Kuangkat kepalanya yang terkulai lemas. Di sekitarnya banyak kepingan guci yang tadi pecah. Aku mengusap pipinya yang penuh dengan darah. Darah terus keluar dari hidungnya. Aku membopongnya, dengan teratur tamu yang tadi berjubel di depan pintu kini berangsur menepi, memberi jalan. Dara? Aku tidak sempat melihat keberadaannya.

***

            Dengan hati yang penat aku menyandarkan kepalaku pada dinding koridor rumah sakit. Bunda menangis dalam dekapan Ayah. Sejak tadi tangisannya belum mereda. Banyak yang memenuhi otakku. Keadaan Mita bagaimana di dalam sana? Bagaimana dengan Dara? Bagaimana dengan pernikahanku? Sudahlah, aku bahkan tidak peduli jika kemejaku penuh dengan darah. Aku tidak akan bisa tenang selama kepastian tentang keadaan Mita belum kudapat. Perlahan aku melirik Ayah. Tatapanku seolah meminta penjelasan. Ayah menunduk dan tidak menatapku lagi.
            “Keadaan Mita gimana?” seseorang menepuk bahuku. Aku refleks mendongak. Ikmal?
            “Sorry baru bisa datang. Ada urusan keluarga di Jakarta.” Ia duduk di sampingku, setelah tersenyum kepada Ayah dan Bunda.
            “Eh, Dara kok nggak kelihatan?” tanyanya kemudian. Aku mengusap wajahku.
            “Ya udah, nggak usah dijawab. Gue sangat paham, ini berat buat lo.” Ikmal menepuk-nepuk pundakku.
            “Gue sayang mereka berdua, Mal. Gue nggak mau salah satu di antara mereka terluka. Tapi lo lihat kan apa yang udah gue lakukan? Gue melukai salah satunya. Dara.” Aku menatap lantai di bawahku, menautkan kesepuluh jariku dengan kuat.
            “Lo juga nggak akan menduga ini bakal terjadi kan? Jadi jangan terus-terusan nyalahin diri lo.” Ikmal menghiburku lagi.


Ada banyak hal yang aku takutkan saat kamu tidak ada dalam hidupku, Mita. Kamu tahu? Aku akan kehilangan pelangi dalam hidupku. Aku akan kehilangan hujan dalam hidupku. Untuk apa ada hujan di musim kemarau jika pelangi tidak akan muncul lagi? Melewati waktu bersamamu sama berartinya dengan aku bernapas. Berada di dekatmu membuatku tenang menghadapi apa pun, karena kamu adalah kekuatanku. Kamu yang memiliki separuh raga ini. Sehingga ketika kamu pergi, sama halnya kamu membawa separuh duniaku pergi bersamamu—


“Wahyu?”
“……..”
“WAHYU!” Aku tidak tahu Ikmal memanggilku berapa kali. Aku terlelap sejak satu jam yang lalu.
“Mita sadar,” ujarnya. Aku mengucek mataku.
            “Eittttss. Tunggu!” sergahnya. Aku mengerutkan alis, “kenapa?”
            “Ada Dara di dalam. Lo udah siap ketemu sama dia?” katanya dengan hati-hati. Aku sedikit gamang, namun aku tetap ingin masuk.
            Benar apa yang dikatakan Ikmal. Dara berdiri di samping Mita. Ia menatapku sejenak lalu menunduk dalam-dalam.
            “Aku nggak mau sampai kamu kenapa-napa,” bisikku saat aku memeluknya. Mita mengelus punggungku.
            “Kak Wahyu nggak bakal ninggalin aku kan?” katanya, dan hanya aku yang bisa mendengarnya. Aku tahu kecemasan itu, karena aku juga merasakannya. Aku mengangguk untuk menjawabnya.
            “Kakak pengen lihat kamu cepat sembuh. Biar kita bisa main ke bukit lagi,” kataku dengan tersedu. Aku masih dalam posisi memeluk Mita yang terbaring di kasur. Aku sedikit mengesampingkan urusan Dara.
            “Kapan ya ada pelangi di bukit lagi? Mita udah lama nggak lihat pelangi, kak. Mita keseringan tidur ya? Jadi nggak tahu deh,” ia tersenyum sendiri. Aku melihat Bunda menyeka sudut matanya. Dara? Ia berlari keluar seraya menahan tangis.
            “Eh, ada Ikmal?” Mita sudah kembali ceria. Aku melepas pelukanku. Ikmal mendekat.
            “Kangen nih sama Mita yang dulu,” ucap Ikmal, berusaha menciptakan suasana baru. Sayang sekali, rasanya tidak tepat untuk saat ini.
            “Semua orang berhak berubah. Tuh rambutmu aja udah nggak jabrik lagi,” timpal Mita, tertawa. Ikmal hanya tersenyum.
            Sore itu kami menyangka keadaan Mita menujukkan tanda-tanda akan membaik. Mita sudah tertawa lepas seperti dulu. Seperti Mita yang masih mempunyai pelangi di bola matanya. Mita yang selalu terlihat apa adanya. Mita yang selalu menganggapku selalu membawa hujan pada musim kemarau. Tetapi kami harus menelan ludah penuh kegetiran. Menjelang malam hari ia pergi begitu saja. Tanpa sepatah kata pun. Tanpa berpamitan. Malam itu langit menggelegar. Satu per satu air jatuh ke bumi, seperti sengaja mengiringi kepergian Mita.
            Kakiku terasa lemas sehingga aku terduduk di depan kamar jenazah. Bunda pingsan beberapa menit yang lalu. Ikmal dan Dara mematung di dekatku. Mereka sama sekali tidak berani menggangguku. Mulut kukunci rapat-rapat, bahkan aku tidak membiarkan air mataku jatuh. Biarkan aku menangisinya di dalam hatiku, tempat di mana aku meletakkan seluruh kenanganku bersama Mita. Tempat yang akan, masih dan terus ditempati oleh Mita.

            Maafkan aku Mita, aku tidak bisa menepati janjiku kepadamu. Begitu banyak hal yang aku takutkan ternyata terjadi terlalu cepat. Senyummu. Pelangimu. Hujan di musim kemarau. Semua seperti hilang begitu saja dari hidupku, tanpa kata permisi.

            Tanpa aku sadari, di luar sana, di langit yang sedang tumpah. Warna-warna yang tercetak dengan sendirinya menghias langit malam. Langit yang kelam tanpa bulan dan bintang, nyatanya tersemat sebuah pelangi yang melengkung teramat indah. Sayang, Mita sudah tidur.





TAMAT                               
           

Cari Blog Ini