Minggu, 16 Oktober 2011

Tentang Keluarga Kecilku



Aku turun dari ranjang tempat tidurku, nyenyakku diusik oleh suara benda terbanting bertalu-talu. Langkah kecilku kuseret menuruni anak tangga menuju kamar yang berada tepat di ruang tengah.
Kuketuk pintu itu pelan, seorang wanita beruban muncul dari balik pintu.
Seketika aku menghambur dalam peluknya, aku mencicit. Nenek membelai ubun-ubunku.
“Cup, cup, cup. Cucu nenek kenapa menangis? Ada apa sayang?”
Aku diam, nenek menggendong tubuh kecilku, membawaku ke taman belakang rumah. Aku duduk dipangkuannya, nenek mengusap-usap pipiku yang basah. Nenek sudah tahu apa yang telah terjadi, untuk itu ia membawaku menjauh dari rumah yang terkutuk itu.

“Mama dan Papamu kan cuma latihan drama, jadi wajar dong kalau benda-benda dirumah mereka banting-banting. Itu sebagai salah satu bentuk pendalaman karakter, sayang.” Nenek memberiku penjelasan tanpa aku memintanya.
Aku manggut-manggut khas anak kecil yang sok-paham. Aku memang masih kecil, umurku baru lima tahun. Gigiku saja baru tumbuh dua biji dirahang atas. Untuk menyebut huruf ‘r’ saja aku sangat berlepotan.
“Tapi nek, aku takut. Meleka belantemnya keselingan, kadang-kadang saja Mama sampai menangis kalena dibentak Papa.” terpatah-patah aku memberi sanggahan. Nenek hanya mendehem, memperbaiki posisi kacamatanya yang melorot.

“Tidak sayang, percaya sama nenek. Mereka cuma bercanda, jangan pernah dimasukin hati. Nanti kalau Mama dan Papa latihan drama lagi, kamu tidak boleh mengintip ya. Nanti mereka bisa marah karena kamu mengganggu konsentrasi mereka,” Nenek berpesan karena sudah hapal betul kalau aku diam-diam suka mengintip Papa- Mama yang tengah latihan drama.
“Iya nek. Tapi...” aku menggigit bibirku dengan gemas.
“Tapi apa?” Nenek mendelik, menunggu kalimat selanjutnya dari mulutku.
“Kemalin, nggak sengaja aku dengal Mama minta celai sama Papa. Celai itu apa sih nek?” aku memberondonginya dengan rasa ingin tahuku.
Nenek mengelus dadanya, kulihat napasnya naik-turun. Aku mulai khawatir.

“Nenek kenapa? Nenek nggak apa-apa kan? Bial aku panggilin Mama ya?”
Nenek menarik lenganku yang baru saja ingin beranjak masuk kedalam rumah.
“Jangan sayang, nenek baik-baik saja kok,” nenek menghela napas panjang, berusaha menormalkan degup jantungnya yang tadi bekerja dua kali lebih cepat.
Nenek tersenyum, kali ini berusaha menyeka sudut matanya yang terlihat berair.
“Sayang, cerai itu adalah jalan terakhir ketika hati dan pikiran sudah tidak sejalan lagi. Nanti kalau kamu sudah dewasa juga akan mengerti. Tapi untuk saat ini, jangan tanya masalah itu lagi ya,” Nenek mengelus rambutku, lagi-lagi aku hanya mengangguk mengiyakan.
***

Aku mencicit ketakutan, untuk kesekian kalinya aku mendengar benda terbanting-banting sampai terdengar pecahan yang bergemerincing. Kali ini aku tahu, baru saja Papa membanting guci porselin berkali-kali, tidak hanya satu guci.
Aku ingat pesan nenek kemarin pagi, aku tidak boleh mengintip lagi.

Aku bergegas menaiki tangga, masuk ke kamarku lantas menguncinya dari dalam. Aku menggeram-geram ketakutan, di sudut ruangan aku memeluk lutut. Saat ini aku tidak tahu harus mengadu kepada siapa. Nenek sedang tidak ada dirumah, kemarin pagi beberapa menit setelah percakapan itu tiba-tiba saja nenek jatuh tak sadarkan diri. Penyakit jantungnya kambuh lagi, terpaksa beberapa hari kedepan nenek harus di opname.

Sekali lagi benda jatuh, aku terperanjat. Bagaimana tidak? Suara ini terdengar jauh berlipat desibel. Aku yakin burung-burung yang terbang di langit jauh pun akan melenguh ketakutan. Aku memberanikan diri memutar kunci kamarku. Rasa penasaran mulai menyergap, kali ini benda apa yang telah mereka banting.
Diam-diam aku mengintip di balik tirai yang menjadi sekat antara ruang tengah dengan dapur, berjuta maaf kulontarkan dalam hati kepada nenek, karena aku dengan rasa ingin tahuku telah melanggar nasehatnya.

Aku baru tahu, kali ini tanpa ampun selusin piring telah berserakan tak berbentuk lagi. Inikah yang nenek sebut dengan latihan drama? Kenapa harus membuat kegaduhan sih? Apa mereka tidak mempedulikanku? Yang notabenenya aku ini masih teramat kecil.
Setidaknya kan latihan drama ada tempatnya sendiri, kenapa harus dirumah? Sehingga memaksaku untuk melihat pemandangan yang kelewat batas seperti ini. Kadang aku merasa aneh sendiri dengan sikap orang dewasa yang sulit dinalar oleh kedua otakku. Mungkin permasalahan mereka terlepas dari cara menggosok gigi.

Karena takut, aku mulai beringsut menjauh, kembali masuk ke kamarku lagi. Seketika suara gaduh berubah menjadi sunyi senyap, aku sempat merasa heran. Apa mungkin latihan drama itu sudah selesai? Ah, syukurlah kalau begitu. Jadi kupingku tidak terjejali dengan suara-suara yang memekakkan itu.
Aku menelungkupkan wajahku diatas bantal empuk seraya memeluk boneka teddy bear yang besar.

Selang kurasa baru beberapa menit aku memejamkan mata. Mataku otomatis terbuka, suara pengganggu lainnya kembali datang. Kali ini tak ada bunyi benda jatuh atau benda yang pecah.
Aku mengernyit, memanyunkan bibirku sampai tiga sentimeter. Aku menyibak selimut tebalku, bergegas ingin melihat apa yang terjadi sekarang.

Langkah gontai kujejakan menuruni anak tangga dengan ogah-ogahan. Kakiku terhenti, kenapa rumah ramai dengan suara sirine dua mobil sekaligus. Yang satu mobil polisi dan yang satunya lagi mobil ambulan. Uh, seketika aku mulai takjub. Apa ini salah satu adegan dalam drama itu? Dalam hati aku bertepuk tangan, menyadari betapa hebatnya drama yang akan dipentaskan nanti.

Aku menarik ujung baju salah seorang yang tidak kukenal.
“Ada apa? Kok ngumpul semua sih?” aku pura-pura bertanya, padahal hatiku cekikikan.
Orang itu tidak menjawab, dan hanya memperlihatkan mimik haru.
Kenapa? Aku mulai bertanya-tanya kepada hatiku. Sejurus, aku melihat kain putih yang ditandu oleh empat orang yang juga berseragam putih. Wajah yang ditandu itu sedikit terbuka, hatiku melonjak kaget.
Nenek?
Kenapa ia ditandu? Terlihat wajahnya yang pucat pasi, hidungnya disumpal dengan kapas.
Ah, jangan-jangan nenek diam-diam juga ikut dalam drama ini? Mungkin ikut berperan sebagai putri tidur seperti dongeng yang kulihat dilayar tv setiap hari minggu.
Aku memalingkan pandanganku, kulihat Papa yang tengah diseret-seret oleh beberapa orang berkumis panjang yang berseragam coklat. Otakku mulai menerka, menaruh telunjukku dibibir, menirukan cara berpikir orang dewasa. Aha, Papa pasti berperan sebagai orang jahat yang diringkus oleh polisi.
Tapi kenapa?
Letak kejahatannya dimana coba?
Aku mengedarkan pandanganku lagi, sorot mataku terpicing melihat Mama yang ditandu persis seperti nenek tadi. Letak perbedaannya, ada bercak merah disekujur badan Mama sedangkan nenek tadi kulitnya tetap putih bersih.

Aku menaikan dagu, mencoba mencari benang merah dari drama ini. Aku ber-oh, mungkin saja Papa dipenjara karena telah membunuh Mama. Iya! Tidak salah lagi.
Aku tertawa geli, cekikikan memperlihatkan gigiku yang baru tumbuh dua.

Tapi tanpa aku sadari, semua ini memang kenyataan. Dan benar saja ini sebuah drama. Inikah drama yang dimaksud oleh nenek?
Drama yang disutradarai oleh Tuhan sendiri tanpa campur tangan manusia. Aku menangis meraung-raung ketika menyadari keluguanku yang masih ‘buta’ tentang drama yang telah berlangsung tanpa dipentaskan di panggung megah sekalipun. Bukankah dunia ini adalah panggung termegah yang menjadi pementasan drama yang telah ditentukan Sang Pemilik Hidup?


Tamat

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Cari Blog Ini