Jumat, 23 Maret 2012

“Biarkan Aku Mencintaimu” (bagian 1)


My First Sight


Pintu di lantai basement terbuka secara otomatis saat aku hendak beranjak keluar. Kacamataku memantulkan siluet wajah seseorang yang berlawanan arah denganku. Aku terburu melangkah keluar. Jarakku dengan orang itu kini hanya satu jengkal.

“Eh!” Orang itu seperti menarik tasku. Aku bergeming melihatnya.

“Maaf, maaf mas.” Aku berusaha melepas tasku yang ternyata tersangkut lengan jaket orang itu. Tanganku tak sengaja menyentuh punggung tangannya. Terasa sangat halus. Dia laki-laki atau perempuan?

“Lain kali jangan panggil ‘mas’!” Orang itu sedikit kesal. Aku melihat dari ujung kaki sampai ujung kepalanya. Seorang perempuan? Aku menggaruk rambutku. Orang itu berlalu dengan cuek, hilang dari balik pintu. Aku masih mengerutkan dahi. Saking herannya, aku sampai lupa dengan tujuan awalku. Menepuk jidatku, lantas bergegas berlari ke arah mobil.



“Kita udah lumutan, eh lo baru dateng!” Ices berdiri, menudingku dengan garang. Semua ternyata sudah berkumpul.

“Iya, maaf!” ucapku sedikit bersalah.

“Kita bergerak sekarang.” Rio menepuk pundakku dan menarik Ices mundur. Aku meraih satu kardus yang berisi brosur-brosur. Kami serempak turun di jalan-jalan. Membagi-bagi selebaran kepada pengguna jalan yang sedang berhenti di lampu merah. Brosur yang berisi tentang ‘Go Green’. Dengan pakaian serba hijau-putih, tidak peduli dengan matahari yang mulai terik, kami tetap menjalankan tugas lingkungan ini. Senang-senang saja aku melakukannya. Sejak satu tahun yang lalu aku aktif dalam kegiatan LSM milik Rio. Lembaga kecil-kecilan yang sedikit banyak membantu perubahan dalam hidupku. Aku yang dulu sangat berbeda dengan aku yang sekarang. Aku belajar banyak, mulai dari menghargai waktu dan memanfaatkan waktu sebaik mungkin. Akhirnya, setelah dirasa langit sudah mendung gelap, kami menyudahinya dan memutuskan untuk kembali ke basecamp. Aku tidak melihat raut kelelahan di wajah ketiga temanku. Tidak ada juga keluh-kesah yang terlontar. Aku menyeka keningku. Kegiatan hari ini sudah selesai. Aku berpamitan untuk pulang duluan.



Saat mobilku hendak parkir di halaman apartemen, tak sengaja dan diluar kendaliku, aku menabrak seseorang. Dan sepertinya aku tidak asing dengan orang itu. Bukankah? Aku bergegas turun. Saat aku mendekati orang itu, aku heran untuk kedua kalinya. Bukankah dia orang yang tadi pagi?

“Sial!” Orang itu mengumpat, jatuh terduduk di aspal parkiran. Dia masih menggunakan topi seperti tadi pagi.

“Aduh, maaf lagi. Gue nggak sengaja.” Aku membungkuk, menyentuh lututnya. Sejurus kemudian tanganku ditepis dengan keras.

“Sakit!” bentaknya. Sambil mengaduh, dia meremas lututnya. Sialnya, hujan deras turun secara tiba-tiba. Aku bingung menatap orang itu yang belum bergeming. Aku ingin berteduh, namun, mana tega aku meninggalkan orang itu kehujanan seorang diri?

“Naik.” Aku membungkuk, menyodorkan punggungku.

“Bantuin gue berdiri dulu,” ucapnya. Aku berbalik, menarik kedua lengannya. Aku semakin yakin kalau dia seorang perempuan. Dia lalu naik ke punggungku. Dia terlalu ringan untuk seukuran laki-laki.

“Ingat ya, nggak ada maaf buat lo.” Orang itu berkata, seperti mengancam.

“Heh! Lo pikir nggak berat gendong kayak gini?” Aku sedikit kesal. Untung tidak ada orang lain di dalam lift ini. Hanya ada kami berdua. Tangannya terjulur, lalu menekan angka 10. Kenapa dia bisa selantai denganku? Bagaimana dengan hidupku yang tidak akan nyaman lagi?

“Lo ini laki-laki atau perempuan sih?” tanyaku sedikit nyengir.

“Penting ya buat lo?” jawabnya sinis. Aku mendengus sebal. Lampu lift menyala. Dan untungnya dia minta diturunkan. Aku melangkah mendahuluinya.

“Woi! Geblek banget ya!” Orang itu berteriak. Aku menoleh, dan terpaksa berbalik menghampirinya lagi.

“Kenapa lagi?” tanyaku jengkel. Aku sudah cukup lelah untuk meladeninya.

“Gue jalannya gimana? Mikir dikit dong!” Orang itu, sekali lagi mengomel. Aku menyodorkan lenganku. Dia menggenggam erat lenganku, berpegangan, dan berjalan sedikit tertatih. Dia sedari tadi memang banyak mengomel, namun tidak sedikitpun menyinggung tentang aku yang tadi menabraknya. Entahlah, aku merasa senang melihatnya.

Langkahnya terhenti didepan sebuah pintu yang letaknya tepat di samping kamarku. Dia melepas lenganku, lantas meraih kunci dari saku celananya. Pintu terbuka. Tanpa sepengetahuannya, aku ikut masuk ke dalam. Dan lihat bagaimana ekspresi saat dia mencoba mengusirku. Dia melempar topi yang tadi dipakainya. Aku menghindar, mengelus dada, untung tidak kena. Aku tertegun melihat wajahnya yang terlihat natural, rambut yang dipangkas pendek, mata yang bening. Aku segera bergidik saat melihat dia bersiap melemparku dengan sepatu. Aku mengangkat kedua tanganku.

“Bisa kan tutup pintu itu dari luar?” Dia berseru, menunjuk pintu dengan sepatu di tangannya. Aku berjalan mundur. Baiklah. Sepertinya macan sedang mengamuk. Seraya menyeka rambutku, aku memutar gagang pintu. Aku menghempaskan tubuhku diatas kasur. Diluar masih hujan, guntur terlihat berkelebat dari sela gorden yang sedikit terbuka. Pikiranku melayang, membayangkan orang tadi. Dia siapa? Aku baru melihatnya tadi pagi. Ah, mungkin dia penghuni baru disini. Tetapi jujur saja, galaknya tidak kalah dari Ices. Aku menguap lebar, lekas mengatupkan mataku, besok pagi tugas sudah menunggu.

***


Aku keluar dari apartemen pukul enam pagi. Satu jam lebih awal dari jadwal. Aku melangkah menuju restoran yang ada di depan apartemen. Memesan satu mangkok bubur ayam untuk sarapanku. Menyendok bubur itu dengan sedikit kecewa, ingin memesan bakso tapi belum tersedia. Aku menurunkan sendok, tidak jadi melahap bubur itu, aku sedang heran melihat ke arah jalan raya. Kulihat orang itu berjalan ke arahku. Sebenarnya tidak ada yang perlu aku herankan. Namun, aku sedang tertarik melihat cara berjalannya. Dia dengan sedikit tertatih berjalan menyeberangi jalan raya. Saat sudah sampai di restoran, giliran dia yang menatapku dengan apatis. Dan aku tidak tahu, mengapa dia memilih duduk di depanku? Dia memunggungiku. Aku mendengar dia memesan semangkok bakso. Ekspresinya segera berubah setelah tahu ia tidak bisa memesan bakso. Dia menggebrak meja dengan keras. Pelayan restoran hanya menatap dengan gentar, tidak bisa berbuat apa-apa.

“Udahlah, bubur ayam juga enak!” celetukku gemas. Dia menoleh ke belakang. Berdiri, lantas mendatangiku dengan terpatah-patah. Dari jarak dekat—karena dia hanya memakai celana selutut—aku bisa melihat lututnya yang memar. Aku jadi merasa sangat bersalah.

“Apa lihat-lihat!” bentaknya membuatku terkejut sampai menjatuhkan sendok di tanganku. Aku menarik tangannya keluar dari restoran itu. Dia berontak memintaku untuk melepas tangannya. Dia juga tidak bisa berbuat apa-apa saat aku memaksanya masuk ke dalam mobilku.

“Lo!” Dia menudingku dengan galak. Aku terkekeh.

“Jadi orang santai dikit dong, mbak.” Ceplosku sedikit tertawa. Dia mendengus sebal.

“Kita cari bakso di tempat langganan gue.” Aku berusaha meredam emosinya, dan berhasil. Dia menoleh sekilas ke arahku.

“Panggil gue Mita, jangan pernah sekali lagi panggil gue ‘mas’ atau bahkan ‘mbak’!” ujarnya tanpa aku bertanya. Aku tersenyum melihatnya.

“Nama yang bagus. Gue Ikmal.” Aku menyodorkan tangan. Mita balas menjabat. Hei, ini bukan seperti jabatan tangan. Dia hanya menyentuh ujung jariku saja. Mobilku akhirnya berhenti di depan sebuah warung yang tidak terlalu besar.

“Makan di sini nggak apa-apa kan?” tanyaku saat dua mangkok bakso sudah ada diatas meja.

“Kenapa? Lo kira gue ini gila gengsi?” ucapnya sedikit melotot.

“Bukannya gitu. Setiap cewek yang gue ajak kesini pasti ngomel.” Aku menyeruput es teh.

“Cewek borjuis lo ajak kesini mana ada yang mau. Eh, enak nih baksonya.” Mita tersenyum. Aku hampir tidak percaya. Dia bahkan terlihat sangat cantik saat tersenyum. Baru kali ini aku bisa berdamai dengan keadaan saat bersama Mita. Padahal kesan pertama kali bertemu sangat tidak menyenangkan.

“Aduh!” Aku menepuk jidat saat melihat jam di tanganku. Sebentar lagi sudah pukul tujuh.

“Kenapa?” Mita melipat dahi melihatku yang sedikit kelabakan.

“Gue buru-buru nih, mau ada acara sama temen.” Ucapku pelan, takut dia meledak.

“Terus gue gimana dong?” serunya tidak terima.

“Lo ikut gue aja ya? Mau gimana lagi. Waktunya mepet banget ini.” Aku menarik tangannya setelah selesai membayar.



“Ini tempat apa?” Mita bertanya agak ragu, matanya menyapu sekeliling.

“Ini punya temen gue.” Aku menarik tangannya.

“LSM?” Mita menghentikan langkahnya, menatap spanduk besar yang tergantung di teras depan.

“Iya.” Jawabku pendek.


“Dia siapa Mal?” Dara bertanya antusias. Ices dan Rio mendekat.

“Pacar baru ya?” Ices terkekeh menunjuk hidungku.

“Bukan. Mita namanya.” Aku menampik tangan Ices. Mita tersenyum ramah, menjulurkan tangannya. Mereka bertiga berebut menjabat tangan Mita duluan. Aku menggelengkan kepala.

“Mit, jangan deket-deket sama Ikmal. Dia itu playboy kelas kakap.” Ices mengarang bebas. Aku menoyor kepalanya. Mita menahan bibirnya. Mungkin saja dia tidak suka lelucon konyol seperti ini. Wajahnya saja terlihat serius. Entah. Apa yang membuat dia membatu.


Kegiatan pagi ini cukup menyenangkan. Aku bersama Mita, Dara, Ices dan Rio membagi-bagikan nasi kotak untuk anak-anak jalanan. Biasanya kami menyambangi kolong-kolong jembatan. Mita juga tidak keberatan, dia sepertinya sangat mudah beradaptasi, malah terlihat senang. Sejak tadi aku melihat senyum indah mengembang di bibirnya. Sesekali Mita membelai rambut anak-anak itu, menatap prihatin.


“Naksir ya sama Mita?” Rio menyenggol lenganku. Aku menelan ludah. Naksir?

“Dia orang yang baik. Padahal pertama ketemu dia garang banget,” ungkapku nyengir. Rio membelalakan mata, “Oh ya? Mita tipe lo dong?”

“Apaan sih? Siapa tahu dia udah punya pacar kan?” Aku mengibaskan tangan, meringis.

“Yang penting kan belum punya suami.” Dara memotong, merangkul bahuku dari belakang.

“Dan yang penting belum punya anak.” Ices datang, memasang wajah polos. Nampaknya mereka bertiga mendukungku. Ini sungguh aneh.


Siang hari, saat misi kami selesai, Mita mengotot minta pulang. Sepanjang perjalanan kami saling diam. Mita sibuk menatap keluar jendela, dan aku asyik menatap ke depan. Aku tidak pernah menyangka jika akan bertemu dengan Mita. Sangat senang bisa mempunyai teman seperti dia. Teman? Ya, hanya teman. Walaupun dia galak, tetapi, dia berbeda. Sesekali aku meliriknya. Melihat mulutnya yang komat-kamit, asyik mengunyah permen karet.




Bersambung—

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Cari Blog Ini