Selasa, 13 Maret 2012

Cinta Terakhir : part 10 (ending)


Ibu Rose lebih memilih menarik tanganku ketimbang menanggapi pertanyaanku. Aku digiring melewati berpetak-petak persegi panjang, batu-batu nisan sejauh mata memandang. Aku masih heran mengapa Ibu Rose membawaku ke tempat ini. Sekian menit kami berjalan, barulah Ibu Rose berhenti, aku yang dari tadi celingukan, cepat-cepat mengerem kaki, hampir saja menabrak Ibu Rose. Aku terhenyak, menautkan alis, kok berhenti disini?


Pandanganku menyapu sekeliling, tunggu sebentar, tulisan itu tertangkap sekilas di mataku. Aku tertarik untuk mendekat, dengan langkah kaki yang amat pelan, aku sangat berharap kalau aku hanya salah baca saja. Ibu Rose mengikutiku cepat.

“Ibu pasti sedang bergurau, iya kan?” Aku tersenyum kecut.

“Tidak, memang ini yang terjadi.” Ibu Rose menggeleng, merengkuh bahuku sebelah.

“Mita pasti lagi mimpi, iya kan, Bu?” Satu tetes meluncur dari mataku. Aku tersenyum, tidak percaya, pasti ini hanya lelucon saja!

“Wahyu sudah pergi seminggu yang lalu karena kanker hati.” Ibu Rose mendekap bahuku semakin erat. Aku terpaku melihat tanah yang masih merah-kecoklatan itu.

“Mita nggak percaya. Wahyu pasti sekarang ada di bandara, iya, dia pasti mau pergi ke London. Mita harus mencegahnya, Bu.” Aku bersikeras melepas tangannya. Beliau berusaha menahanku. Aku jatuh bersimpuh, Ibu Rose memeluk kepalaku, tanganku terjulur, menyentuh gundukan tanah itu. Aku menangis mengerang-erang, aku ini istrinya, bahkan aku tidak mengetahui tentang penyakit sampai kepergian Wahyu pun aku tidak ada disampingnya kala itu. Takdir berjalan tanpa aku mengetahuinya. Sangat jelas sekali setiap huruf yang tertulis di nisan itu.

“Satu hal yang harus kamu tahu, Wahyu pernah berkata kalau dia belum bisa mencintaimu, dan kamu sendiri juga mendengarnya kan? Semua itu tidak benar!” Ibu Rose mulai bercerita, mengusap ubun-ubunku.

“Kamu ingat? Saat Wahyu datang ke Panti untuk terakhir kalinya? Ya, dia sudah mengatakan semuanya kepada Ibu, sebaliknya, bahkan dia sangat mencintai kamu. Wahyu hanya ingin kamu tidak melihat kepergiannya.” Beliau menyeka hidungnya.

“Wahyu selama ini selalu ingin terlihat baik-baik saja di depan kamu. Dia juga sengaja membuat kamu marah, dan pada akhirnya Wahyu berhasil kan membuat kamu membencinya? Semua itu semata-mata karena Wahyu sadar waktunya tidak akan cukup membuatmu bahagia. Wahyu sangat menyesali hal itu, Mit. Bahkan, dia berusaha menebusnya dengan mawar-mawar putih yang datang setiap paginya.” Ibu Rose mengungkapkan selama ini yang tidak pernah aku ketahui. Wahyu sengaja melakukannya? Aku ingin marah sekarang, namun apa mungkin, aku tidak bisa menyalahkan siapapun. Ibu Rose mengelus punggungku. Membujuk untuk lekas beranjak. Langit diatas sudah gelap, sebentar lagi akan turun hujan. Sepanjang perjalanan pulang aku tak henti-hentinya menangis. Memikirkan banyak hal, bagaimana dengan Rinai? Dimana dan dengan siapa Rinai sekarang? Aku mengusap perutku, bagaimana dengan anakku yang akan lahir tanpa seorang ayah?



Ketika sampai di halaman Panti, aku cukup terkejut, melihat Rinai duduk di teras, sedang menungguku? Rinai berlari begitu melihat aku turun dari taksi. Berlari? Aku mengucek mataku sampai dua kali, tidak salah lihat, bahkan, lihatlah dia berlari melewati tiga anak tangga itu. Aku menelangkupkan kedua telapak tangan di mulutku, berdecak kagum, peri kecilku—tanpa bantuan tongkat lagi—bisa melihat. Rinai memeluk perut besarku, aku mengelus rambutnya yang tergerai, mencium kepalanya. Tangisanku pecah lagi, kali ini, rasa sedih dan bahagia menjadi satu. Tumpah-ruah. Aku menoleh ke Ibu Rose, beliau menghembuskan nafas, berjalan mendekat.

“Wahyu tidak seutuhnya pergi meninggalkanmu. Akan selalu ada Wahyu di mata Rinai.” Ibu Rose tersenyum, demi mendengarnya aku mengusap air mataku. Aku sedikit membungkuk, menatap kedua mata Rinai, lamat-lamat, mata ini, binar yang sangat teduh ini milik Wahyu.

“Bunda lebih cantik dari apa yang aku bayangkan selama ini.” Rinai tersenyum menyentuh pipiku. Aku bisa melihat giginya yang sudah tumbuh dengan sempurna.

“Huh, Bunda digombalin nih.” Aku mencubit pipinya. Lihatlah, Rinai terlihat baik-baik saja. Ceria seperti dulu. Tidak ada kesedihan di wajah Rinai. Aku menatap mata Rinai sekali lagi, aku seperti bisa melihat Wahyu sedang tersenyum manis di dalam bola mata itu.

“Bunda jangan sedih, ya. Rinai yakin kalau ayah selalu ada diantara kita. Ayah sudah berjanji sebelum pergi, katanya, ayah tidak akan meninggalkan kita.” Rinai menyeka pipiku, tak terasa satu titik airmata sudah menetes. Aku mengacungkan jari telunjuk dan jari tengah, mengangguk, berjanji. Rinai memelukku lagi dengan manja. Baiklah. Setidaknya aku masih bisa merasakan kehadiran Wahyu, dengan cara menatap Rinai tentunya.


Setiap hari aku rutin mengunjungi pusara Wahyu. Selalu membawa setangkai mawar putih, meletakannya di dekat batu nisan. Aku hanya berusaha melakukan apa yang sudah Wahyu lakukan untukku.

“Meskipun aku bukan karang yang kokoh saat diterjang ombak. Namun, lihatlah aku sekarang, aku sanggup menjalani ini semua, tanpa kamu. Dan itu semua karena kedua mata yang ada di peri kecil kita, Rinai.” Aku dengan perut besarku beranjak meninggalkan pusara itu. Kehidupanku saat ini bagai burung yang satu sayapnya telah patah. Tetapi, aku masih mempunyai peri kecil yang akan membuat hari-hariku berangsur normal kembali. Aku membutuhkan waktu yang cukup lama untuk membesarkan hati dalam urusan ini.


Aku bukanlah bintang-gemintang yang menghias langit malam
Aku bukanlah bulan purnama yang menerangi malam sepi
Aku bukanlah karang yang kokoh diterjang ombak bertalu-talu
Aku juga bukan pelangi tatkala hujan pergi
Aku hanyalah sebuah cerita
Yang berakhir tanpa sebuah penjelasan
Hanya sisa waktu yang bergulir
Menjadi sebuah dinding pembatas yang amat sangat nyata
Hati yang telah memudar
Terpupuskan oleh suatu kenyataan
Dinding hati yang tak lagi kokoh
Kini remuk redam melepas segala rasa
Cinta yang kini telah pergi
Hanya menyisakan bayang-bayang kosong
Seiring berjalannya waktu
Rasa itu tidak pernah menghilang
Selalu membekas di relung hati
Merekam setiap kenangan yang tertoreh bersama
Entahlah...
Sampai kapan aku bisa melupakannya?



 



Tamat.

3 komentar:

Cari Blog Ini