Selasa, 13 Maret 2012

Cinta Terakhir : part 2


Aku segera menghampiri saat Rinai sudah keluar dari kelasnya. Aku langsung mengajaknya masuk mobil. Hari ini dia terlihat senang. Barangkali dapat teman yang banyak di kelas barunya.

“Kita mampir ke kantor Ayah dulu ya,” ajakku. Rinai mengangguk pendek.

“Sekolahnya tadi gimana, sayang?” Aku mengelus kepalanya.

“Seru, Rinai dapat teman baru, Bun.” Rinai tertawa kecil. Pelan mobilku sudah memasuki area kantor Wahyu. Aku membimbing Rinai turun dari mobil. Lantas menaiki lift menuju lantai 10, ruangan Wahyu. Tangan kananku memutar gagang pintu, sementara tangan kiriku menggandeng tangan Rinai. Pintu terbuka, berdecit. Aku kehilangan ekspresi terbaikku saat melihat Wahyu tidak sendirian di ruangan yang cukup besar itu. Ada seorang wanita disana. Duduk dengan mesra disamping Wahyu. Entah membicarakan apa, barangkali sedang membahas proyek. Saking seriusnya, beberapa detik berlalu Wahyu tetap tidak menyadari kehadiranku dengan Rinai. Wahyu baru bergeming saat mendengar rajukan Rinai yang minta diantar ke kamar mandi. Aku menatap Wahyu sebentar. Lantas bergegas memasuki lift. Entahlah apa reaksi Wahyu saat ini. Aku mengantar Rinai ke kamar mandi yang ada di lantai basement. Aku menunggu di luar, membiarkan Rinai masuk ke dalam sendirian. Aku menyandarkan punggungku di tembok. Pipiku terasa hangat. Lihatlah, apa Wahyu mencoba untuk mengejarku? Tidak kan. Dia lebih memilih melanjutkan bermesraan dengan wanita itu. Aku cepat-cepat mengusap pipiku saat melihat Rinai sudah keluar. Rinai menarik lenganku, membuatku menghentikan langkahku.

“Bunda, nggak apa-apa kan? Bunda kok nangis?” selidiknya. Darimana dia tahu kalau aku sedang menangis?

“Ah, enggak kok, Bunda nggak nangis, tadi cuma kelilipan debu.” Aku mengarang jawaban. Berdehem. Mengajak Rinai pulang. Urung mengajak Wahyu makan bersama di restoran.


Hingga malam Wahyu pun tak kunjung pulang. Aku duduk di karpet, menemani Rinai bermain dengan boneka-nya. Jam besar yang berada di ruang tengah sudah berdenting sembilan kali. Aku juga sudah menyibak gorden lima kali.

Aku mengantar Rinai menuju kamarnya. Malam sudah larut. Tadi saja Rinai sudah menguap berulang kali. Rinai sejak tadi keukeuh ikut menunggu kepulangan Wahyu. Namun setelah kubujuk akhirnya dia luluh dan mau saat kusuruh untuk tidur duluan. Aku mencium keningnya, “Mimpi indah ya sayang.” Aku berbisik lirih.

Perhatianku teralih, bergegas keluar dari kamar Rinai. Aku mendengar suara mobil Wahyu menderu di halaman depan rumah. Benar saja, saat aku membuka pintu depan, Wahyu sudah berdiri dihadapanku. Aku memaksakan diri untuk tersenyum menyambutnya. Aku tidak tega bila harus marah-marah, apalagi aku melihat wajah Wahyu yang kelelahan. Aku juga tidak menghindar saat dia mencium pipiku. Aku membawakan tasnya. Wahyu melepas sepatunya.

“Sudah makan malam?” Aku bertanya saat akan menaiki anak tangga.

“Sudah, tadi makan di kantor.” Jawabnya berjalan menyusulku. Aku curiga, jangan-jangan Wahyu makan malam bersama wanita itu.

“Kamu sudah makan?” tanyanya. Aku mengangguk. Padahal, padahal sejak siang tadi aku belum makan. Mana ada nafsu makan setelah melihat Wahyu duduk mesra dengan wanita lain tadi siang?

“Aku udah siapin air hangat buat kamu mandi,” ucapku. Wahyu duduk bersandar di sofa. Aku duduk agak jauh dari posisinya. Sejak pulang tadi, dia terlihat muram.

“Kenapa? Ada masalah besar di kantor?” tanyaku menatapnya tak mengerti. Wahyu bangkit dari duduknya. Membelai rambutku, “Tidak ada yang perlu dikhawatirkan.” Wahyu menyeringai. Aku tahu, dia bohong, dari bola matanya saja dia seperti menyimpan masalah yang sangat serius. Aku tidak berani bertanya lagi. Sebenarnya, aku ingin sekali Wahyu memberiku penjelasan tentang apa yang kulihat tadi siang di kantornya. Aku hanya menghela nafas. Setelah mandi, Wahyu langsung tidur. Aku tak berani untuk menegurnya lagi. Aku tersenyum tipis saat tangannya memelukku erat dari belakang. Kurasa, aku mulai mencintai Wahyu. Dan itu sedikit membuatku lupa dengan peristiwa tadi siang yang sempat membakar hatiku. Baiklah. Aku masih menolerir hal itu. Selama Wahyu tahu batas-batasnya.

***

Seusai aku mengantar Rinai ke sekolahnya, aku mampir sebentar ke mall. Aku ingin belajar membuat kue. Dengan antusias aku mendorong troli, mengitari rak-rak yang berjejer, mencari bahan-bahan kue. Setelah cukup lama berkeliling di mall itu, aku menuju kasir. Bergegas pulang. Aku sudah tidak sabar untuk mencoba eksperimenku.


Aku bernyanyi riang memasuki dapur. Menaruh dua plastik besar diatas meja. Aku memakai celemek, bersiap membuat adonan kue. Aku nyengir sebentar. Apa jadinya rasa kue ini nanti?


Aku menghentikan tanganku yang sedang mengaduk adonan kue, mendongak, aku seperti mendengar ada yang datang. Wahyu? Tidak mungkin. Aku melanjutkan lagi, tidak mau ambil pusing dengan suara pintu terbuka. Aku terkesiap sendiri. Ada orang yang tiba-tiba memelukku dari belakang. Reflek, aku ingin memukul orang itu. Wahyu tangkas menahan tanganku. Naas, wajah Wahyu terlanjur berlepotan terkena adonan yang tadi menempel ditanganku. Wahyu bergidik. Aku mencari tisu, lantas mengusap wajahnya.

“Aduh, maaf yank.” Aku telaten membersihkan wajahnya. Wahyu menyeringai jahil. Tangannya mengambil tepung, lalu mencolek pipiku dengan sengaja. Aku balas melumeri wajahnya dengan adonan yang tadi ada ditanganku. Cemong-cemong. Wahyu mengacak rambutku. Aku balas mencubit perutnya. Wahyu terpingkal-pingkal menunjuk rambutku yang kini putih karena terkena tepung. Aku memanyunkan bibir, mencembungkan pipi. Tertawa kecil. Wahyu memelukku kemudian. Kini kemejanya terlihat lusuh dan kumel.

“Tumben pulang jam segini?” Aku bertanya seraya mencuci tangan di bak cuci.

“Bosen di kantor terus.” Ucapnya membuka kulkas, meraih satu minuman kaleng. Alisku saling bertaut. Aku kira dia akan betah berlama-lama di kantor karena ada wanita itu.

“Eh, kamu mau masak apa sih?” tanya Wahyu, sumringah mendekatiku. Aku mengangkat bahu. Aku sudah tidak mood untuk memasak lagi. Bosan. Aku menyimpan semua bahan-bahan di kulkas. Sekarang, aku lebih memilih menemani Wahyu bersantai di taman belakang rumah.

“Kamu baik-baik saja?” Aku menyentuh punggung tangannya.






Bersambung...

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Cari Blog Ini