Selasa, 13 Maret 2012

Cinta Terakhir : part 3


“Aku tahu, kamu ada masalah kan?” aku mendesaknya. Wahyu tetap bungkam. Binar matanya kini meredup. Aku benar-benar tidak mengerti apa yang terjadi dengan dia.

“Kalau kamu belum mau cerita sekarang. Aku akan tunggu sampai kamu siap menceritakannya kepadaku. Aku tidak pernah keberatan.” Aku menggenggam jemarinya. Wahyu mengangguk tertahan. Aku tidak akan memaksa.

***

“Bun, ayah belum pulang juga?” Rinai sudah beberapa kali bertanya hal yang sama. Aku menjawab seadanya. Rinai cemberut tiap kali mendengar jawabanku. Memeluk bonekanya erat, terkadang Rinai menangis tak henti. Aku juga sering kewalahan menghentikan tangisnya. Aku hanya bisa mendekap tubuh kecilnya. Menceritakan dongeng-dongeng juga tak mempan untuk menghentikan tangisnya. Barangkali dua minggu tak bertemu ayahnya, membuat Rinai sangat sedih. Jujur saja, perasaanku juga tak tenang tiap kali melihat Rinai menangis. Dua minggu yang lalu Wahyu pergi ke London. Bersama wanita itu tentunya. Mengurus proyek disana berdua saja. Aku membesarkan hati. Membuang semua hal-hal buruk yang terlintas dibenak dan pikiranku. Aku pun cemas dibuatnya.



Rinai mendadahku dari kejauhan. Rinai sangat tahu jika aku belum beranjak sebelum melihat ia masuk ke kelasnya. Aku juga mendadah, meski Rinai tidak bisa melihatnya. Aku tersenyum melihat semangat peri kecilku. Padahal semalam saja matanya sembab karena menangis terus-terusan. Sekarang, ia sudah terlihat ceria. Setelah pulang dari sekolah, aku akan mengajaknya berkunjung ke Panti. Mungkin hal itu juga yang membuat Rinai bersemangat sekali hari ini.


Selama menunggu Rinai keluar dari kelasnya, aku pun mencoba menghubungi Wahyu. Aku ingin tahu bagaimana kabarnya. Tapi apa? Nomernya tidak aktif. Aku mengusap wajahku. Semua pesan singkatku juga tidak dibalas. Selama di London, Wahyu belum pernah mencoba untuk mengabariku. Aku tertegun, buru-buru menyeka sudut mataku saat mendengar bel pulang menggema dilangit-langit ruangan. Aku langsung berdiri menyambut Rinai. Aku lega, kali ini Rinai tidak tahu kalau aku baru saja menangis.

Mobilku melaju memasuki halaman Panti. Sebelum ke Panti, aku menyempatkan membeli mainan untuk anak-anak Panti. Aku cukup kerepotan membawanya. Ibu Rose tiba-tiba datang, terlihat senang melihat aku datang bersama Rinai. Dengan senang hati Ibu Rose membantu membawakan plastik besar yang berisikan mainan. Aku menuntun Rinai menaiki tiga anak tangga yang ada diteras Panti. Anak-anak berseru antusias melihat berbagai macam mainan baru. Mata mereka saling mengerjap, tanpa aba-aba langsung berebut mengambil mainan. Rinai menarik ujung bajuku. Dia merajuk, minta ditemani bermain ayunan.


Aku mendorong pelan ayunan itu, maju-mundur. Rinai tertawa. Senang sekali setelah beberapa bulan tidak bermain ayunan, pikirku. Aku juga ikut tertawa melihat giginya saat tadi ia tersenyum lebar, giginya yang baru tanggal tempo hari. Bisa dibayangkan bagaimana Rinai rewel saat diajak ke dokter gigi. Sempat juga membuatku bingung karena Rinai mogok makan selama dua hari. Katanya, “Dokternya kejam, Bun. Lihat nih, masih perih banget.” Aku hanya tersenyum, tak menimpali.


Karena langit mendung, aku membujuk Rinai untuk berhenti main ayunan. Rinai langsung menurut. Hujan turun, aku menggendongnya, aku menutup kepalanya dengan telapak tanganku. Bergegas. Aku lupa, lupa kalau memakai high heels. Terpeleset oleh licinnya rumput. Aku jatuh berdebam. Aku bernafas lega karena Rinai jatuh diatas tubuhku. Aku menggigit bibirku. Bukan hanya kakiku yang terasa sakit. Tetapi perutku juga sakit sekali. Rinai mencoba bangun, lantas berteriak, “Ibu Rose.. Ibu Rose. Tolong!!”

Aku tidak bisa berdiri. Ibu Rose panik melihatku. Berlari menghampiriku. Panik untuk kedua kalinya, “Mita, darah..” Ibu Rose berseru khawatir. Darah? Aku bergeming untuk melihatnya. Benar. Darah segar mengalir di pahaku. Ibu Rose terpatah-patah membantuku berdiri. Tertatih-tatih beliau menuntunku. Aku menggandeng tangan Rinai dengan sisa-sisa dayaku. Tubuh kami sempurna basah kuyup. Rinai bahkan sudah menggigil kedinginan sejak tadi. Bibirnya memucat. Ibu Rose membawaku ke kamarnya.

Ibu Rose membantuku berbaring di tempat tidurnya. Rinai ikut duduk disampingku. Menunggu. Sementara Ibu Rose keluar, menelepon dokter. Rinai? Aku menatapnya prihatin, wajahnya yang pucat pasi. Aku menggosokkan kedua telapak tanganku. Lantas menempelkannya dipipi Rinai.

“Maafin Bunda ya, sayang. Bunda nggak bisa jagain kamu.” Terbata-bata aku berucap. Perutku terasa semakin nyeri. Aku menggigit bibir menahan rasa sakit. Tidak mungkin aku mengeluh kesakitan didepan Rinai. Selang beberapa menit, Ibu Rose datang bersama seorang dokter. Aku meminta Ibu Rose agar membawa Rinai keluar. Dokter itu menge-cek bagian perutku. Wajah dokter itu segera berubah. Aku heran, perutku saja dicek, kenapa kakiku tidak?
Sambil menuliskan resep, dokter itu berkata

“Lain kali Anda harus berhati-hati. Mengingat kandungan Anda yang baru menginjak tiga minggu. Untung saat terjatuh tadi, Anda tidak terlalu mengalami hal yang fatal. Hanya pendarahan kecil.” Dokter itu menyerahkan secarik kertas. Aku masih tergugu mendengar ucapan dokter barusan. Aku hamil? Tiga minggu? Selama ini aku menganggap keterlambatan bulanan itu hal yang wajar saja. Dokter itu pun keluar. Ibu Rose tiba-tiba masuk. Girang mendengar berita bahwa ternyata aku hamil. Beliau memelukku, hampir sesak dada aku didekapnya.

“Rinai tahu tentang ini, Bu?” aku bertanya setelah Ibu Rose menyingkir dari tubuhku. Belum sempat Ibu Rose menjawab pertanyaanku.

“Hore.. Rinai bakal punya adik baru.” Rinai berseru riang dari ambang pintu. Melangkah tertatih menghampiri. Rinai duduk dipangkuan Ibu Rose.

“Wahyu harus tahu secepatnya, Mit.” ucapnya. Tanpa disuruh tangannya sudah menekan-nekan hp. Aku langsung mencegah.

“Jangan, Bu. Dia lagi sibuk sama proyeknya. Wahyu jangan tahu dulu tentang ini.”
Ibu Rose heran, mengatupkan rahangnya. Bertanya dengan cemas, “Kenapa?”

“Ayah pasti sangat bahagia mendengar berita ini.” Rinai memotong, nyengir.

“Ini jadi rahasia kita bertiga saja ya, sayang. Nanti ada saatnya Ayah tahu. Tapi tidak untuk sekarang-sekarang.” Aku membelai rambut Rinai yang masih basah.


Bersambung...

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Cari Blog Ini