Sabtu, 08 Oktober 2011

“Lentera Hati”




Top of Form
“Aku nggak mau!! Berjuta kali kak Mita memaksa, aku tetap tak akan menyetujui!” bentak Dara, Mita menunduk kecewa.
“Tapi aku rela, sangat rela bila kornea mata ini untuk kamu!” pelan Mita menyentuh lengan Dara, segera ditepisnya cepat.
“Apa kakak pikir semua masalah akan selesai. Biarlah kak, cukup Dara yang merasakan ini” lirih Dara terisak, suaranya nyaris tenggelam.
“Kamu percaya kan sama aku? Aku berjanji, semua keadaan ini akan berakhir” tukas Mita, Dara terdiam takzim, pipinya berlinang air mata. Tenaganya habis untuk melontarkan alasan-alasan demi menggagalkan operasi mata itu. Sia-sia, nyatanya tetap tak merubah apa yang telah menjadi keputusan final. Mita menghela napas, pelan jemarinya menutup tubuh Dara dengan selimut. Mencium kening Dara, mengusap rambutnya yang hitam legam, beberapa kali mengkokohkan hati. Sudah saatnya Dara melihat hari-hari yang selama ini sempat hilang dari matanya. Besok pagi, operasi mata Dara akan tetap berlangsung. Tak peduli dengan Dara yang menolak mentah-mentah, yang terpenting kornea mata Mita cocok dengannya.
                                                                       
  ***

Matahari pagi berselimut awan hitam yang tebal, cuaca memang mendung. Angin sepoi-sepoi melambai pada daun jendela, membuat jendela itu bergeming. Beberapa kali telinga Dara menelisik setiap suara yang didengarnya. Anehnya, ada satu suara yang biasanya familiar tapi kini tak sedikitpun tertangkap oleh indra pendengarannya.
Pelan tangannya meraba, mencari lengan Ibunya yang sedari tadi duduk disamping ranjangnya.
“Kenapa sayang?” tegur Ibu merespon sentuhan Dara yang mengisyaratkan kekhawatiran.
“Bu, kak Mita kemana? Semalam kan dia masih ada disini, nemenin Dara tidur” ucap Dara, tangannya semakin bergetar mencekram lengan Ibunya.
“Apa kak Mita marah sama aku? Iya kan Bu?” matanya berair, pelan menderai dikedua belah pipinya.
Tangan renta itu membelai pipi sang anak dengan sabar, “Mita cuma pulang kerumah sebentar kok, tadi Ibu yang suruh. Kasihan, dari kemarin dia jagain kamu terus. Sekarang biar Ibu yang gantian jagain kamu, sebentar lagi kakakmu pasti datang.”

Dara berontak, dua suster mencengkram lengannya, sementara seorang Dokter bersiap menyuntikkan obat bius.
“Kak Mita! Tolong Dara. Saya nggak mau Dok! Tunggu sampai kakak saya datang!” bentak Dara berkeras hati. Dokter menyentuh batang kacamata-nya, bagaimanalah? Kakaknya mustahil datang. Tidak ada gunanya mengulur-ulur waktu lagi. Dara sangat keukeuh karena ia tahu pasti apa yang akan terjadi. Dan itu artinya, operasi mata akan tetap terlaksana. Sang Ibu hanya menatap nanar dari balik kaca, hatinya menjerit lirih tertahan. Ia dihadapkan pada dua pilihan yang sukar sekaligus, ia bimbang bagaikan buah simalakama. Namun tak ayal, Mita berhasil meyakinkan hati Ibunya bahwa semua akan baik-baik saja.
                                                                         
Diruang lain, mesin-mesin bergaris hijau mendecit naik turun. Tubuh itu sempurna terbius dibawah silau lampu operasi, tubuhnya terbaring diatas meja operasi. Dengan cekatan tangan Dokter mulai melakukan tugasnya, dibantu beberapa suster disampingnya. Apapun yang Mita lakukan sekarang semata-mata untuk kebahagiaan Dara, tak lebih dari itu. Hampir dua jam pencangkokkan kornea mata itu berlangsung. Hingga lampu ruang operasi itu redup, Dokter menghela napas panjang seraya menyeka dahinya yang basah oleh keringat. Semua berjalan lancar, sesuai dengan rencana dan pertimbangan-pertimbangan yang dilakukan oleh pihak Rumah Sakit. Setelah selesai, Mita dipindahkan ke ruang inap sementara. Ketika keluar dari ruang operasi, tak sengaja ia berpapasan dengan Dara yang sudah kehilangan kesadaran. Ah, andaikan Mita sadar mungkin saat ini ia akan setia menunggui detik-detik kehidupan baru yang akan Dara rengkuh dengan kedua mata yang normal. Namun, karena pengaruh obat bius yang cukup tinggi membuat Mita tetap memejamkan mata. Kondisinya juga belum pulih benar, jadi untuk sementara waktu ia butuh istirahat yang cukup.
Sang Ibu menangis, terpekur di kursi tunggu depan ruang operasi itu. Mana mungkin ia tega melihat Mita yang kini menjadi buta. Sementara sisi hatinya juga merasa bahagia membayangkan sebentar lagi Dara dapat melihat lagi.


                                                                                  ***

Tiga hari berlalu. Tujuhpuluhdua jam bergulir dengan cepatnya.
Sayup-sayup rintik hujan membuncah, bergemiricik ria membasahi bumi sepagi ini. Angin semilir berderap, menampar dahan-dahan kering yang masih setia menempel pada pohon.
Mereka duduk di kursi panjang berpelitur kayu jati, di beranda rumah. Keduanya saling terdiam, memberi rongga kosong pada air langit yang membungkus kota Jakarta.

Lama tercenung, akhirnya Dara angkat bicara,
“Kak Mita nggak apa-apa kan?” Dara menyentuh tangan kakaknya, Mita hanya menggeleng.
“Kak Mita pasti kedinginan. Biar Dara ambilin sweater ya?” tawar Dara, untuk kedua kalinya Mita hanya menggeleng.
“Kakak nggak mau bicara sama aku ya? Kak Mita marah sama aku?” Dara menelisik sedikit kecewa.
“Bukan” ucap Mita parau, matanya masih menatap lurus kedepan meski tak ada sedikitpun yang bisa ia lihat. Semuanya hanya bayangan gelap sejauh matanya memandang. Tapi ia bahagia, matanya kini bisa menjadi lentera untuk kehidupan Dara yang lebih baik.
“Maafin Dara ya kak. Selama ini aku selalu jadi beban untuk kakak, aku nggak pernah bisa bikin kak Mita bahagia. Bahkan sekarang...” Dara menggantung kalimatnya, menyeka sudut matanya yang basah.
“Ngomong apa sih kamu?!” gertak Mita memalingkan wajahnya, menatap nanar pada sosok gadis dihadapannya.
“Kamu nangis?” tebak Mita, nalurinya yang tajam masih bisa merasakan kesedihan yang mendera adiknya. Terpatah-patah tangan Mita meraih pipi Dara, begitu tersentuh hanya basah yang ia rasakan di kedua telapak tangannya.
“Kakak minta maaf ya, nggak seharusnya aku bikin kamu nangis kayak gini” Mita sedikit menyesal, Dara menghapus air matanya dengan punggung tangan.

“Kok hujannya tambah lebat sih? Nggak seru dong kalau malam tahun baru basah-basahan” Mita mencoba mengalihkan pembicaraan, memanyunkan bibirnya untuk menghibur Dara.
Dara tersenyum tipis, “Kan bisa bawa payung? Atau nggak bawa tenda deh!”
Mita tertawa geli, “Camping dong namanya. Oh ya, kamu maunya nanti malam di Jakarta atau...” kalimat Mita terhenti, biasanya malam tahun baru begini Dara merayakannya di Puncak.
“Nggak kak! Aku maunya di Jakarta aja, Dara pengennya cuma sama kakak. Dimanapun tempatnya, asalkan ada kak Mita” Dara bergeming, ia tahu kemarin pagi masalah ini sudah dibicarakan dan kesimpulannya Mita tidak akan ikut ke Puncak. Jadi, jelaslah Dara lebih memilih untuk merayakan malam tahun baru di Jakarta bersama kakaknya.
“Ya udah, terserah kamu deh enaknya gimana. Tapi beneran aku nggak keberatan kalau kamu merayakan malam ini di Puncak” tukas Mita, memberi kesempatan Dara untuk mempertimbangkan ulang keputusannya.
“Keputusan aku udah bulat kak, Dara nggak akan pergi kemana-mana tanpa kak Mita” tandas Dara. Mita memilih diam, ia sudah hapal betul bagaimana sifat Dara yang sangat keras kepala. Diam adalah alternatif terbaik saat ini, sebelum Dara benar-benar ngambek karena keputusannya ditentang habis-habisnya.

Malam beranjak matang, matahari telah berganti bulan. Bulan purnama yang sangat sempurna, indah nan rupawan menerangi jagad semesta. Awan hitam juga berangsur hilang, jadi yang tampak hanya berjuta bintang bertaburan terang bulan. Ternyata semua tak seburuk yang Mita pikir. Bahkan malam ini langit seakan ikut membuncah bersama hati-hati manusia yang gembira menyambut tahun yang akan datang. Semua perasaan senang berkecamuk di hati Mita. Malam ini bersama Dara dan Ibunya, Mita merayakan malam tahun baru di Ancol. Tangan Dara tetap erat merengkuh tubuh kakaknya di antara ribuan orang yang memenuhi Ancol malam ini. Ibunya lebih memilih untuk tetap tinggal di mobil, takut melihat jumlah orang yang tak terhitung jumlahnya. Keadaan memang penuh sesak, beberapa kali sang Ibu berseru kepada Dara untuk senantiasa menjaga Mita.

Lama mereka berdua menyibak gerombolan beribu orang, akhirnya pantai Ancol menjadi pilihan terakhirnya setelah tempat-tempat lain sudah penuh dengan lautan manusia.
Mereka berdua duduk beralaskan pasir pantai, angin laut yang menderu tak jadi masalah. Bahkan deburan ombak yang menjilat-jilat bibir pantai menjadikan suasana bertambah hanyut.
“Kak Mita bahagia?” Dara merangkul bahu Mita.
Yang dirangkul matanya berbinar-binar. Bagaimanalah, kebahagiaan Mita bahkan bertumpuk memenuhi relung-relung hatinya. Bahagia melihat Dara yang sudah bisa merasakan dunia yang selama ini sempat hilang dari hidupnya. Dan bahagia masih di beri kesempatan untuk menghabiskan malam tahun baru bersama adiknya. Ya, meski lentera hidup telah hilang dari pelupuk matanya.

Semua orang berseru heboh, suara mereka membuncah bersamaan dengan kembang api pertama yang membumbung tinggi membelah kesunyian langit malam. Dara mulai berseru, tertawa riang seraya membantu Mita berdiri. Beberapa kali kembang api tak habis-habisnya bergemuruh, melesat indah, melukis langit dengan warna eloknya. Mita hanya melontarkan senyum penuh haru, berusaha ikut berbahagia mendengar ribuan orang yang bersorak-sorai.
Namun bukankah melihat Dara yang bahagia jauh lebih dari kesempurnaan paling hakiki yang selalu ingin Mita wujudkan?

“Bagus banget kak kembang apinya” komentar Dara berkata lirih, lagi-lagi Mita hanya tersenyum menanggapi.
“Inilah mercusuar terindah yang selama ini sempat hilang dari hidup kamu” Mita menyeka batang hidungnya, terharu dengan keadaan ini. Berusaha sekuat tenaga menahan air mata yang akan jebol.
Dara diam sejenak, mencerna setiap penggal kalimat kakaknya. Ya, Dara sekarang mulai mengerti keadaan ini.

“Makasih kak. Terimakasih untuk segala bentuk pengorbanan yang kak Mita berikan untukku. Aku tahu sampai kapanpun aku nggak bisa membalas semua ini” Dara menangis dipundak Mita.
“Dara... Semua kebahagiaan ini sudahlah sangat cukup untuk kakak. Tidak ada yang lebih berharga selain mendengar kamu tertawa riang” pungkas Mita, kepalanya mendongak takzim demi mendengar kembang api yang terakhir. Semua pengorbanan Mita tak akan pernah sia-sia. Kebahagiaan Dara adalah kebahagiaan berlipat-lipat yang Mita rasakan detik ini. Meski lentera dunia telah hilang dari raganya, namun Dara akan tetap menjadi lentera hatinya. Menjadi penerang disetiap jalannya menempuh hari-hari yang akan selalu berganti.


Tamat

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Cari Blog Ini