Minggu, 24 Juni 2012

Harga Sebuah Penantian





“KENAPA KAU MASIH DISINI? SUDAH KUBILANG TINGGALKAN TEMPAT INI! TUNGGU APALAGI, MITA? PERGI SEKARANG!” Wahyu berteriak kesetanan. Hampir naik darahnya ketika Mita malah diam tergugu menatapnya.


“Aku tidak bisa meninggalkanmu sendirian. Aku yang bersalah, bukan kau!” Mita berkata parau, menangis tertahan demi melihat Wahyu membentaknya.


“Mita, aku mohon—” Wahyu berkata lirih, mencengkeram kedua lengan Mita.


“Kau yang seharusnya pergi, Wahyu. Biar, biar aku yang menyelesaikan sendiri.” Mita balas menatap mata Wahyu. Tidak. Masalah ini tak semudah yang dibayangkan. Mita terpatah-patah menatap tubuh yang sudah bersimbah darah tergeletak di pojok ruangan. Mita gemetar memandangi telapak tangannya. Mita hampir tidak percaya dengan apa yang tadi ia lakukan. Ia membunuhnya. Lelaki paruh-baya yang menjadi tamu langganan tempat Mita bekerja. Tamu yang tadi lancang menggodanya. Bahkan hampir menodainya. Mita cekatan membela diri, berusaha meraih apapun sebisa tangannya menggapai. Sampai akhirnya, Mita berhasil meloloskan diri setelah memukul tamunya dengan botol bir berulang kali. Sempurna. Dalam satu pukulan telak. Lelaki itu ambruk. Mita gemetar memeluk lutut di sudut ruangan. Sampai akhirnya Wahyu datang. Memeluknya, berusaha menenangkan. Bertanya apa yang sudah terjadi. Mita tercekat, telunjuknya menunjuk tubuh yang terkulai tak berdaya.


“Pergi sekarang, Mita!” Wahyu mendesis tak sabaran, membuyarkan lamunan Mita. Cepat atau lambat polisi akan datang.


“Pakai ini.” Wahyu cepat melepas jaketnya, lantas memakaikan di tubuh Mita. Wahyu mengecup kening Mita. Senyap.


“Aku takut, Wahyu. Aku sangat takut.” Mita memeluk Wahyu. Menangis lama sekali. Wahyu buru-buru melepas pelukan ketika suara sirine terdengar dari kejauhan.


“Pergi sekarang. Tidak ada waktu lagi, sayang!” ucapnya hampir tersengal. Mita berbalik, sudah melangkah satu-dua. Mita kembali menoleh, menatap mata sendu Wahyu. Yang ditatap hanya mengangguk, tersenyum memastikan, semua akan baik-baik saja. Mita mengatupkan mulut, merapatkan jaket hitam, kembali melangkah.


***



Satu hari setelah kejadian itu berlalu. Mita gelisah bukan main. Sejak tadi mondar-mandir di kamarnya. Semalaman ia tidak bisa tidur. Hanya menatap resah ke langit-langit kamarnya. Jendela ia tutup rapat-rapat, tidak seperti biasanya yang selalu terbuka lebar, membiarkan sinar matahari menelisik masuk. Jemarinya saling meremas satu sama lain. Sejak semalam Mita juga belum makan. Ia tidak lapar. Bagaimana mungkin ia makan sementara ia sendiri belum tahu bagaimana kabar Wahyu sekarang. Mita sebenarnya ingin mencari tahu segera. Tapi ia terlalu takut, sangat takut menyalakan televisi, takut menyalakan radio, juga takut membaca koran terbitan pagi ini. Mita amat takut kalau media massa memberitakan kejadian itu dengan hiperbolis. Ia tidak sampai hati jika Wahyu dihakimi atas apa yang bukan perbuatannya.



Mita terduduk di atas kasur, kedua tangannya mendekap rapat wajah sembabnya. Menangis? Entahlah, mungkin saja begitu. Wajah yang biasanya terlihat natural. Mata yang teduh, kini tak ubahnya seperti tersengat lebah. Bengkak, memerah. Ia memang tak hentinya menangis. Hatinya menjerit lirih. Bagaimana keadaan Wahyu sekarang?



Mita mengerjap cepat, menepis air mata yang bersiap tumpah. Tangannya sigap menyambar remote televisi. Mencari siaran berita sembarangan. Mita menyeringai, dugaannya teramat benar. Siaran-siaran itu sangat berlebihan. Mita mengeluh dalam hati saat televisi menampilkan detik-detik saat polisi menangkap Wahyu. Mita tak sengaja menjatuhkan remote di tangannya, berdebam, baterai remote terlepas. Mita terduduk di lantai, meremas rambutnya. Mama yang barusan mendengar barang terjatuh, buru-buru naik ke lantai dua. Mama mengetuk pintu Mita. Satu-dua ketukan. Mita tidak akan membukanya. Buat apa? Mita tidak siap menjawab kecemasan Mama.


“Mita? Apa yang terjadi? Mama dengar ada benda jatuh.” Mama sedikit berseru dari balik pintu. Intonasi yang terdengar cemas. Ia tahu, dari semalam anaknya belum menyentuh makanan sama sekali.


“Mita tidak apa-apa kan?” Sekali lagi wanita paruh-baya itu bertanya. Khawatir.
Mama lelah membujuk, percuma, sejak tadi Mita tidak menjawab sama sekali. Ia sangat mengerti bagaimana kalau Mita sedang ada masalah. Selalu mengunci diri di dalam kamar. Tidak mau diganggu oleh siapapun, termasuk Mamanya.



Mita berdiri, berjalan gontai menuju meja berpelitur. Jemarinya meraba setiap foto yang terbingkai rapi, berjejer. Foto-foto dirinya bersama Wahyu. Mimpi-mimpi indah yang akan dan bersiap punah. Pernikahan yang sudah terencana, bagaimana nasibnya? Entahlah. Mita termenung, tangannya terhenti pada sebuah bingkai. Ia menatap lamat-lamat, foto pertunangannya. Mita mengambilnya, lantas mendekap erat, seakan membiarkan foto itu melepas segala sesaknya. Tidak berhasil. Sia-sia saja. Perasaan kalapnya jauh lebih besar. Mita beralih menatap kasurnya, meletakkan kembali foto itu ke tempat semula. Ia mulai melangkah tertatih menghampiri tempat tidurnya.
Mita duduk di tepi ranjang, jaket itu didekapnya sangat erat. Pemberian dari Wahyu malam itu. Mita menciumi jaket itu, wangi ini, wewangian khas milik Wahyu. Mita kembali terisak dalam. Hatinya tercabik-cabik. Apa, apa takdir telah menggurat begitu kejamnya? Tuhan, kapan badai akan berlalu? Mita termenung lagi. Memikirkan banyak hal. Yang entah, hanya Mita yang bisa merasakannya.



***




Polisi tidak pernah mencarinya. Jelas saja. Mita sangat yakin jika Wahyu dengan ringan hati mengatakan itu semua salahnya. Padahal.. Mita menelan ludah. Pagi ini ia membiarkan sinar matahari menerpa wajahnya. Ia sedang berdiri di dekat jendela. Melihat sekelompok burung terbang rendah di atap-atap rumah. Mita menyeringai, andaikan hidupnya seperti burung-burung itu. Tetapi, ah, ia mengibaskan tangan. Mana mungkin itu terjadi. Sekarang saja badai itu sedikit demi sedikit melumat habis kebahagiaannya. Mita sedikit terhenyak mendengar pintu kamarnya diketuk seseorang.



“Sarapan dulu, Mita.” Suara itu amat lembut. Mama sudah berdiri di depan pintu, membawa nampan, ada nasi goreng dan segelas susu diatasnya.


“Mita tidak lapar, Ma.” Jawabnya tanpa harus beranjak dari dekat jendela.
Mama menghela napas panjang. Susah sekali membujuk anak semata wayangnya agar mau makan.


“Cerita ke Mama, Nak. Mamamu ini bingung harus berbuat apa agar kau mau keluar dari kamar, dan mau makan. Seberat apa masalah itu?” Mama menyandarkan kepalanya di daun pintu. Suaranya seperti desahan pilu. Mita kali ini bergeming dari jendelanya.


“Mita baik-baik saja. Mama tidak usah khawatir.” Ungkapnya getir. Mita memang sedang berbohong.


“Bagaimana mungkin kau baik-baik saja? Makan saja tidak.” Mama membujuk lagi. Lengang. Mita sudah kembali larut melihat burung-burung yang mengepakkan sayapnya.


“Mama taruh makanannya di depan pintu. Mungkin saja kau akan berubah pikiran.” Mama membungkuk, meletakkan nampan itu di atas keset. Wanita paruh-baya itu melangkah pergi.



Hari menjelang siang, matahari terik menggantang di langit. Mita siang ini memutuskan untuk menjenguk Wahyu. Kakinya pelan melangkah menuruni anak tangga. Matanya lemah menyapu sekitar. Ia melihat Mama tertidur di kursi goyangnya. Mita tersenyum melihat wajah keriput itu. Mama yang selalu sabar menghadapinya. Mama yang tak pernah lelah mengingatkannya supaya mau makan. Mita membuka pintu. Mulai melangkah melewati pagar rumah. Satu taksi berhenti ketika ia melambaikan tangan.



***



Mita sudah tiba, ia sekarang sudah duduk di kursi panjang. Tangannya meremas satu sama lain di atas sebuah meja yang juga panjang. Sementara ia menunggu, seorang polisi membimbing Wahyu keluar. Mita terkesiap ketika mendongakkan kepalanya. Apa, apa dia bisa memeluk Wahyu sekarang? Tidak. Mita mengurungkan niat itu. Wahyu duduk persis di hadapannya. Sunyi. Beberapa menit yang terbuang dengan percuma. Hanya menyisakan sepi. Wahyu tertunduk dalam. Tidak ada yang berani menatap satu sama lain. Keduanya juga membisu. Hanya suara isak tangis yang memenuhi langit-langit ruangan.


“Untuk apa kau datang kemari jika hanya untuk menangis?” Wahyu berkata galak. Tidak. Ia hanya tidak ingin melihat Mita selemah ini.


“Aku mohon. Biar aku saja. Kau tak pantas melakukan ini.” Mita menatap Wahyu, gentar.
“Pulanglah. Tak seharusnya kau datang kemari.” Wahyu sengaja berkata lembut agar Mita tidak tersinggung. Mita hampir tidak percaya Wahyu tega mengatakan itu.


“Aku rindu, sangat merindukanmu. Apa itu salah?” tanya Mita, tangannya meremas punggung tangan Wahyu.


“Pulang sekarang, Mita!” Wahyu langsung berdiri, ia sama sekali tidak membalas genggaman erat Mita.


“Aku akan selalu mencintaimu.” Mita menghela napas, sekali lagi menatap mata sendu di hadapannya. Ia berbalik, berjalan cepat keluar dari ruangan itu. Air matanya tumpah sekejap, setelah tadi sempat ia tahan beberapa waktu. Mita pulang dengan kecewa.



Air langit sempurna membuat kuyup seluruh tubuhnya. Mita berjalan lunglai menapaki trotoar yang mengular. Hatinya berkecamuk lirih. Suara Wahyu tadi memenuhi setiap ruang di otaknya, dan juga hatinya. Pulanglah, tak seharusnya kau datang kemari. Mita menangis di bawah langit yang kelam. Hujan setia menemani hingga ia tiba di rumah.



Pintu depan sudah terbuka sejak tadi. Mama yang mendapati Mita tidak ada di kamarnya, memutuskan untuk menunggu dengan cemas di teras. Mama berlarian mengembangkan payung ketika melihat Mita membuka pagar. Betapa terkejutnya melihat putrinya pulang seperti mayat hidup.


“Kenapa baru pulang? Hujan-hujan pula.” Mama membimbing anaknya menuju teras. Mita diam, tangannya terlipat di dada. Ia menggigil, kedinginan sekaligus karena perasaan bersalah. Mama cekatan mengalungkan handuk di leher Mita. Tidak banyak bertanya lagi. Ia membiarkan Mita tenang di kamarnya.



***



Seminggu berlalu sangat cepat. Bagi Mita waktu berjalan sangat lambat. Ia sedang meringkuk di sudut kamarnya. Seminggu ini, setiap hari ia setia mengunjungi Wahyu. Selama itu pula Wahyu menolak untuk bertemu dengannya. Betapa sakit hati Mita menerima penolakan-penolakan itu. Hatinya teriris tak terperikan. Keadaan Mita semakin hari juga kian memburuk. Melamun. Memeluk lutut di pojok kamarnya. Ya, itulah rutinitasnya semingguan ini. Ia juga tak mau makan. Mama terpaksa membuang nasi Mita yang masih utuh, tak disentuh sama sekali.



***




Satu tahun berlalu begitu menyakitkan..




Ruangan itu selalu senyap. Dinding yang catnya mulai mengelupas. Ia selalu duduk di sudut ruangan. Memikirkan banyak hal. Yang terpenting, ia sekarang tak henti-hentinya mencemaskan Mita. Terakhir kali Ibu Mita datang menjenguknya, saat itu pula ia tahu jika Mita tidak baik-baik saja. Wahyu mengusap wajah kebasnya berkali-kali. Ia tidak pernah menyangka jika masalah ini semakin pelik. Ia pikir, setelah mengakui semua kesalahan Mita, rela mendekam di dalam penjara demi Mita, akan membuat semuanya selesai. Tetap saja tidak menjamin masalah akan selesai begitu saja. Nyatanya, sekarang malah jauh lebih buruk dari yang Wahyu kira. Sungguh, ia tidak sanggup membayangkan keadaan Mita sekarang.



***




Satu tahun berlalu lagi.. Detik-detik yang menyayat jiwa.




Ruangan itu tetap lengang. Sunyi-senyap. Hanya samar-samar terdengar jeritan lirih dari berbagai penjuru. Yang jelas, dalam ruangan itu hanya menyisakan siluet tubuh yang selalu tenggelam dalam diam. Dinding itu bercat putih, lantai yang mengilap bersih. Ia tetap berada di sana. Duduk di atas ranjang, memeluk kedua lutut erat-erat. Matanya masih sebening dulu, hanya saja, tatapan matanya tidak seperti dulu lagi. Mamanya setiap hari rajin mengunjunginya. Selalu menangis saat membelai rambut putrinya itu. Dua tahun yang sia-sia. Tidak ada perkembangan yang berarti. Mamanya hanya pasrah, menunggu waktu berbaik hati. Mita masih membisu. Dalam diam ia selalu menunggu saat itu tiba. Ketika Wahyu akan datang kembali. Mita tidak peduli seberapa lama. Ia akan tetap menunggu. Tidak pernah ada yang hilang dari ingatannya. Setiap jengkal bersama Wahyu selalu tersimpan dalam setiap denyut nadinya.




***




Satu tahun telah berlalu begitu cepat.. Tiga tahun yang teramat menyesakkan.




Kabar baik itu akhirnya datang juga. Tiga tahun itu terasa terbayar lunas saat Wahyu bebas. Ia tak membuang waktu lagi. Bergegas menghentikan taksi. Ia tak sempat tersenyum menikmati sepanjang jalan yang kini sudah berubah banyak. Ia terlalu sibuk untuk hal lain. Mita, ia sungguh merindukannya.



***




Pagi yang cerah. Awan terlihat mengembang elok di langit. Taman itu sunyi, senyap seperti hatinya. Ia dibiarkan duduk sendiri di kursi taman—tanpa suster yang menemani. Ia memang tidak membahayakan seperti kebanyakan pasien di rumah sakit ini. Mita dalam diam sedang menikmati daun-daun linden yang berguguran dari rantingnya, yang satu-dua menimpa rambutnya. Sinar matahari sedikit menerpa mata beningnya, berkilau karena ada linangan air di pelupuk matanya. Sedikitpun tanpa menetes. Meski tertikam oleh kesendiriannya. Walau jauh dari segalanya, hati kecilnya selalu menangis.



Wahyu mematung cukup lama. Tiba-tiba saja langkah kakinya terasa amat berat. Hei, bukankah tadi ia ingin sekali bertemu dengan Mita? Bertanya dengan tidak sabar kepada suster, dimana Mita berada? Tapi kini ia malah ragu untuk mendekat. Hanya berdiri menatap kosong dari belakang Mita.



“Mita—” Wahyu akhirnya berani melangkah dan menyapa. Mita diam, namun sebagian raganya bisa merasakan kehadiran Wahyu yang duduk di sebelahnya.


“Aku datang, Mit. Apa kau tidak mau memelukku?” ucap Wahyu bersiap merentangkan kedua tangannya. Gerakan itu terhenti mendadak, Wahyu tercekat. Ia tentu saja lupa dengan hal itu. Saking bersemangatnya.



Wahyu melingkarkan tangan kanannya di pundak Mita. Ia sedikitpun tidak akan meninggalkan Mita begitu saja. Mita yang biasanya diam, kali ini menjulurkan telapak tangannya. Ia bisa merasakannya. Wahyu merasakan tangan dingin itu meraba wajah piasnya. Meski kedua mata bening Mita tak mampu lagi menangkap bayangan apapun. Biarpun kedua telinganya tak lagi bisa mendengar suara apapun. Tetapi bibir tipisnya terbuka.


“W-a-h-y-u.”



Wahyu tersedu pelan, meraih Mita ke dalam pelukannya. Ia tidak pernah bisa membayangkan seberapa hebat kecelakaan yang dialami Mita. Ia sungguh sudah berusaha untuk menjaga Mita. Tetapi ketika itu takdir sudah terlanjur mengungkung sore yang kelam. Ketika Mita pulang dari jadwal mengunjungi Wahyu.



“Ketika kau tak lagi mampu melihatku. Dikala kau tak lagi bisa mendengarku. Aku akan tetap di sini untukmu.”






TAMAT

Endless Love | part 3


Hari Pertunangan



Rumah besar itu tampak sibuk. Lalu-lalang orang cekatan mengangkat bebungaan. Dari satu sudut ke sudut lainnya. Ibu Satria malah ikut turun tangan, memberi aba-aba dari kursi rodanya. Kinta menawarkan bantuan, namun ditolak mentah-mentah.

“Tidak usah, Kin. Kau temani Kayla ngobrol saja. Dia ada di halaman samping. Sudah sana.” Kinta mengangguk patuh.


Kinta mendapati Kayla sedang duduk di tepian kolam ikan. Kinta melangkah mendekat. Lalu menyapa Kayla dengan ramah.

“Eh, Kinta. Sejak kapan datang?” Rambut Kayla yang panjang sedikit tersibak saat ia menoleh ke belakang.

“Baru saja,” jawab Kinta pendek.

“Duduk, Kin.” Kayla tersenyum menawarkan. Gadis itu tidak seburuk yang dipikirkan Kinta. Kayla justru sangat ramah, tatapan yang bersahabat. Kinta ikut duduk di tepian kolam.

“Kau pasti menyusulku kesini karena diusir Tante Ema.” Kayla melempar sesuatu yang sejak tadi ia genggam ke dalam kolam. Dalam sekejap, ikan-ikan membuat air berkecipak.

“Kau benar sekali.” Kinta menyeringai.

“Aku juga mengalami hal itu tadi.” Kayla menahan tawa.

“Oh ya, Satria mana? Aku tidak melihatnya.” Kinta mengedarkan pandangan. Kayla menoleh, melupakan sejenak kolam di depannya.

“Dari semalam Satria belum keluar dari kamarnya. Aku sudah coba membujuk, dan gagal. Tante Ema juga tidak bisa berbuat lebih. Mungkin hanya kau yang bisa membujuknya. Tolong, kau temui dia sekarang. Aku takut terjadi apa-apa dengannya.” Kayla menatap penuh harap. Kinta menelan ludah. Aku juga sangat takut terjadi apa-apa dengan Satria. Kinta cepat berdiri, menghilang di balik pintu, membiarkan Kayla duduk sendirian disana.


Kinta menaiki anak tangga, cepat-cepat. Dalam benaknya ia sangat khawatir. Kinta mengetuk pintu dengan tangan gemetar.

“Satria, ini aku.” Kinta sedikit menempelkan kepalanya di daun pintu, berkata amat lirih. Pintu terbuka, Kinta gelagapan, mencoba menyeimbangkan tubuhnya. Satria terlihat berantakan. Kinta mengerutkan alis. Apa pula yang terjadi dengan laki-laki ini?

“Kau kenapa? Ada masalah apa?” Kinta menggamit kedua bahu Satria.
Satria melangkah kembali ke kamar, tidak menjawab pertanyaan Kinta tadi. Ia duduk di tepi kasur. Kinta berjalan ke arah jendela, membuka gorden lebar-lebar. Sinar matahari menyilaukan mata, persis menerpa wajah Satria yang kusut. Kinta menarik kursi, duduk tepat di hadapan Satria. Pandangan mereka saling bertemu.

“Katakan apa yang mengganggu hatimu. Aku tahu, jadi kau tak perlu menutupinya.” Kinta mendesak. Satria menghela napas, beranjak berdiri.

“Biarlah cukup aku yang tahu. Lebih baik kau pulang, Kin.” Satria menatap langit cerah di luar sana dari jendela. Kinta tergagap.

“Aku hanya ingin mengurangi bebanmu. Jadi, apa salahnya aku tahu?” Kinta masih saja mendesak.

“Kau datang kan malam ini?” ucap Satria sengaja mengalihkan pembicaraan.

“Tentu saja. Mana mungkin aku melewatkan momen penting seperti ini.” Kinta sungguh sesak mengatakan kalimat itu. Momen penting?

“Akhirnya!” seru seseorang di ambang pintu. Satria dan Kinta kompak menoleh.

“Kau hebat, Kin. Dan kau Satria, kau berhasil membuat aku dan Tante Ema begitu khawatir. Tapi untungnya Kinta datang tepat waktu.” Kayla menghambur masuk. Kinta mendeham, aku bahkan jauh lebih khawatir. Satria mengusap wajahnya.

“Emm, daripada bengong. Lebih baik kita makan bersama di luar. Bagaimana? Kalian setuju kan?” Kayla berhasil membuat suasana mencair.

“Ide yang bagus.” Kinta menimpali. Satria tidak tertarik untuk menjawab. Tetapi mau tidak mau ia harus ikut.


Cukup lama Kinta dan Kayla menunggu Satria keluar dari kamarnya. Baru setengah jam kemudian Satria muncul dari balik pintu. Kinta dan Kayla serempak berdiri bersamaan untuk menyambut Satria. Kinta kalah cepat. Kayla yang berhasil mengambil posisi, bergelayut manja di lengan Satria. Entahlah apa yang dirasakan Kinta saat ini.


“Kita mau makan dimana?” tanya Kinta menoleh ke belakang. Ia memang duduk di kursi depan. Satria dan Kayla duduk di belakang.

“Terserah kau saja.” Satria yang menjawab. Kayla hanya tersenyum di samping Satria. Kinta menarik napas. Ia begitu takut ketika perlahan posisinya direbut oleh Kayla.

Mereka tiba di sebuah restoran. Satria memilih posisi duduk di dekat jendela. Kinta dan Kayla duduk bersebelahan, saling bersitatap heran, sekaligus merasa aneh dengan sikap Satria yang masih dingin. Seorang pelayan datang menghampiri meja mereka. Setelah selesai menyebutkan pesanan, pelayan itu pun berlalu.

“Kau terlihat murung. Harusnya begini.” Kayla menyentuh kedua pipi Satria, menarik pipinya hingga tersungging seulas senyum. Kinta acuh tak acuh.

“Aku bisa senyum sendiri.” Satria melepas tangan Kayla dari pipinya. Kayla langsung terdiam.

“Kapan kalian akan menikah?” tanya Kinta, ia sebenarnya tidak berminat melontarkan pertanyaan itu. Itu sama saja membuat luka hatinya menganga.

“Kinta, kita saja belum resmi bertunangan. Aku terserah Satria saja. Bahkan lebih cepat lebih baik, bukan?” tawa Kayla pecah. Satria diam, menatap kebisingan suara Kayla dengan datar. Kinta mengutuk dirinya sendiri. Lihat saja seberapa jauh jawaban itu mampu merobohkan hatinya. Lebih cepat lebih baik. Kinta tergugu, enggan bertanya macam-macam.


Pesanan datang, dua orang pelayan yang mengantar. Kayla senang hati melayani Satria, meraih gelas di nampan dengan hati-hati.

“Oh ya, kapan kau akan menyusul kami berdua?” tanya Kayla setelah dua pelayan tadi pergi. Satria menatap Kayla, menggeleng pelan, jangan pertanyaan itu. Kayla yang paham dengan isyarat itu buru-buru mengalihkan pembicaraan.

“Lebih baik kita cepat makan. Nanti keburu dingin.” Kayla tersenyum kaku. Kinta menghela napas tertahan.


 ***


Seusai dari restoran, mereka mampir ke sebuah kedai es cream. Lagi-lagi karena Kayla yang memintanya. Hanya Kayla yang turun dari mobil. Sedangkan Satria dan Kinta menunggu di dalam mobil.

“Aku lelah, Kin.” Satria berkata lirih. Kinta sontak menoleh, menggigit bibir.

“Yakinlah ini semua memang yang terbaik. Kau tak boleh menyerah. Kayla wanita yang sangat baik.” Kinta memandangi spion yang memantulkan wajah Satria yang layu.

“Dan aku harus menepiskan hatiku demi perjodohan ini.” Satria mengiyakan. Percakapan itu berakhir ketika Kayla kembali.



***


“Kau mau aku jemput, Kin?” kata Satria di ujung telepon.

“Tidak perlu. Aku pergi bersama Arga. Setengah jam lagi dia datang menjemput.” Kinta menolak secara halus. Asal tahu saja, Kinta tidak pernah menolak apapun yang berhubungan dengan Satria. Kali ini menjadi pengecualian.

“Satria..” panggil Kinta ragu.

“Ada apa? Kau berubah pikiran?” tebak Satria terdengar senang.

“Semoga kau akan bahagia dengan pilihan ini.” Kinta mendekap mulutnya, air mata bergulir begitu deras. Satria tercekat, segera menutup telepon. Kinta mendekap ponselnya, ia menyandarkan tubuhnya di dinding sudut kamar. Di lain tempat, dalam waktu yang bersamaan, Satria menyandarkan punggungnya di bingkai jendela. Semua terasa menyakitkan. Satria menangis dalam diam.


***


Kinta duduk mematung di depan cermin. Tangannya bergerak amat lambat. Bedak tipis membuat wajah putihnya terlihat natural. Sekian lama ia menatap pantulan dirinya dalam cermin. Sekian menit. Hingga terdengar suara klakson yang membuat Kinta tersadar. Kinta bergegas berdiri. Ia sedikit kerepotan saat menuruni anak tangga dengan high heels. Gaunnya yang panjang membuat langkah kakinya terganggu. Benar saja. Tepat ketika hampir sampai di anak tangga terakhir, Kinta tersandung.

“Aduh, hati-hati, Nona!” Arga berhasil menangkap tubuh Kinta yang hampir terjungkal. Kinta menyeka dahinya.

“Untung kau datang.” Kinta tersenyum lega. Arga takjub memandangi Kinta dari atas sampai bawah. Gaun itu terlihat sempurna. Cantik. Kinta melambaikan tangan.

“Eh, maaf, habisnya kau cantik sekali!” Arga menggaruk kepala, gugup. Kinta nyengir.


***

“Kau tidak mau berpegangan? Kalau jatuh, aku tak mau tanggung.” Arga pura-pura menakut-nakuti.

“Baiklah.” Kinta terpaksa menggandeng lengan Arga sesaat ketika sudah sampai di pelataran dan berniat akan menaiki anak tangga. Arga senantiasa mengumbar senyum. Bagaimana tidak? Kinta, gadis yang ia cintai sejak setahun yang lalu, kini seperti sudah di depan mata. Tinggal menunggu kapan waktu yang tepat untuk mengatakannya. Arga sibuk membenak harapan-harapan indah.

Kinta gemetar menginjakkan kaki di ruangan itu. Ruangan yang megah itu penuh dengan pendar lampu-lampu yang indah. Bunga-bunga yang menghias dinding. Kinta menelan ludah. Tamu undangan memenuhi setiap sudut, saling bercengkerama. Kinta mengedarkan pandangannya. Persis ketika Satria dan Kayla berdampingan menuruni tangga, Kinta tertegun. Arga tersenyum di sampingnya.


Kinta berusaha untuk bertahan, ia bertekad tidak akan meninggalkan acara. Bibirnya menyunggingkan seulas senyum. Sementara hatinya tersayat. Lihatlah bagaimana detik-detik ketika Satria dan Kayla bertukar cincin. Kinta memilih membuang muka atau menunduk, ia tak sanggup melihatnya.


Satria tampak ragu ketika hendak memasang cincin di jari manis Kayla. Ibunya terus meyakinkan. Tetapi apa yang terjadi? Cincin itu jatuh, menggelinding, dan tepat berhenti di bawah Kinta.


Kinta cukup terkejut melihat cincin itu tergeletak di dekat kakinya. Ia membungkuk untuk mengambilnya. Kinta melangkah maju untuk menyerahkan kembali cincin itu pada Satria. Kalau ada yang menyadari, langkah Kinta terasa sangat rapuh. Satria memandang ke arahnya. Kinta mengulurkan tangan menyerahkan cincin tadi, tersenyum kaku. Satria sempat melihat mata Kinta yang memerah.


Kinta berbalik. Ia tidak berani berlama-lama menatap Satria. Tepuk tangan buncah di ruangan itu dalam sekejap. Kinta menoleh, tidak, ia takut melihatnya. Ia bergegas menyibak kerumunan. Berlari. Ia melepas high heels, mengangkat gaunnya yang panjang. Kinta berlari melewati jalan setapak yang ditumbuhi rumput liar. Ia menangis. Langit bergemuruh, petir menyalak tajam. Ia terjatuh tepat ketika satu rintik air turun dari langit. Ia bangkit, tidak peduli kakinya yang terkilir. Kinta kembali berlari di tengah hujan yang semakin deras. Ya Tuhan, apakah ada yang tahu seberapa sakit ia sekarang?


Kinta terduduk lemas di tepi danau kecil yang tak jauh dari rumah Satria. Ia tertunduk lemah di sana. Ia tidak peduli tubuhnya yang kuyup, juga tak peduli gaun putihnya kotor. Biarlah ia sesuka hati melampiaskan rasa sakit hatinya.

Di tengah acara, Arga tampak gelisah mencari Kinta. Satria juga merasakan hal yang serupa. Ia sudah berusaha mencari di setiap sudut ruangan, tetap saja tidak ada.

“Kinta dimana?” tanya Satria panik.

“Aku juga sedang berusaha mencarinya.” Arga terdengar tak kalah cemas.

“Kita coba mencarinya di luar,” usul Arga. Satria mengangguk tanpa mempedulikan acara yang belum selesai. Kayla dan ibunya sempat melarang, namun Satria tetap pergi. Kayla kecewa dibuatnya.


“Tadi ada yang melihat Kinta berlari ke arah danau.” Arga mengembangkan payung di teras.

“Kita harus cepat. Aku takut terjadi apa-apa dengannya.” Satria hampir kalap. Mereka berdua melangkah cepat, menerabas tingginya ilalang. Satria bisa melihat sosok itu terpekur di tepi danau. Ia ingin berlari menghampiri, tetapi Arga mencegah.

“Biar aku saja,” ucap Arga mengambil langkah cepat. Entah dengan alasan apa, Satria menurutinya.


Arga persis berdiri di belakang gadis itu. Ia ragu saat menyentuh pundak Kinta dari belakang. Kinta menoleh, dan mendapati Arga yang kehujanan sedang berdiri di belakangnya. Arga membimbing Kinta untuk berdiri.

“Kau kenapa? Katakan padaku,” desak Arga menggamit kedua lengan Kinta. Hujan semakin menderas.

“Jawab aku, Kin!” teriak Arga mengoyak lengan Kinta.

“Aku hanya ingin sendiri.” Kinta menepis tangan Arga.

“Tidak. Aku tidak akan membiarkanmu sendirian disini.” Arga tetap bersikeras.

“Aku mohon..” Kinta berkata lirih. Arga mendekap gadis itu kuat-kuat. Kinta tidak menolaknya. Kinta sungguh tidak tahu kalau sebenarnya ada Satria disana.


Payung yang sejak tadi ia genggam kini terjatuh, lantas terhempas oleh deru angin. Ia tidak sanggup melihatnya. Satria mematung, matanya tak sedikitpun berkedip dari dua sosok itu. Perasaan apa ini? Satria tidak rela melihat Kinta berada dalam pelukan Arga. Kenapa bukan ia yang berada disana? Kenapa bukan ia saja yang mendekap dan menenangkan Kinta? Mengapa harus Arga yang melakukan semua? Satria memutuskan untuk pergi dari sana. Ia sangat takut jika hatinya tergores semakin dalam. Cukup malam ini saja.





Bersambung—


Semua Tentang Kita | part 6




“Felisa!” panggil Mama yang duduk disofa ruang tengah.

“Iya Ma?” Mama berdiri, sebelumnya menutup majalahnya. Icha duduk di karpet, asyik merancang lego. Aku rasa monster kecil itu tidak tertarik melihat kedatanganku.

“Sini duduk,” ucapnya, menyuruhku duduk di sebelahnya.

“Ada apa, Ma?” tanyaku setelah duduk.

“Mama punya sesuatu untuk kamu.” Mama meraih amplop putih diatas meja. Lantas menyodorkannya kepadaku. Aku menerimanya ragu-ragu.

“Coba kamu buka.” Mama tersenyum membelai kepalaku. Perasaanku menjadi tidak enak.

“Tiket kereta, Ma? Buat apa?” tanyaku cepat. Kaget. Ya, untuk apa memangnya?

“Itu tiket kereta ke Bandung, sayang. Fel kan udah janji?” kata Mama serius, alisnya naik sebelah ketika menagih janjinya.

“Tapi kan, Ma—” ucapanku terhenti sesaat melihat wajah sumringah Mama.

“Oma seminggu yang lalu menelepon. Oma ingin sekali kamu kuliah disana.” Mama berkata dengan semangat. Aku menggeleng, tidak, aku menepuk pipiku tiga kali, ini sungguhan. Aku tahu persis bagaimana Mama, semua perkataannya pantang untuk dibantah. Tetapi, bagaimana dengan Farish? Aku benar-benar tidak bisa membayangkannya. Apa jadinya hidupku jika tanpa Farish?

“Fel nggak mau, Ma!” seruku bangkit dari sofa. Mama terkejut mendengar aku membantahnya. Icha sampai melongo melihat ke arahku. Monster kecil itu mungkin sedang membayangkan nenek lampir mengamuk!

“Fel, dengar Mama! Ini semua untuk kebaikan kamu. Mama tidak mau tahu, besok lusa kamu harus berangkat.” Mama ikut berdiri, mukanya memerah. Mama memaksaku menerima amplop itu. Setelah itu, Mama pergi dari hadapanku. Aku terduduk lagi, menutup wajahku dengan amplop tadi. Aku menangis tanpa suara, itu karena aku sadar Icha masih memerhatikanku, tidak mungkin aku meluapkannya didepan Icha.

“Kak Fel, jangan nangis! Nanti Icha juga ikut sedih.” Tangan mungil itu menyentuh lenganku. Icha? Aku membuka tanganku, menatap Icha dengan mata sembabku. Tangan kecil itu terangkat, Icha mengusap kedua pipiku.

“Kak Fel nggak nangis beneran kok. Ini cuma latihan drama.” Aku mencolek hidungnya yang pesek. Alasan yang benar-benar konyol!

Aku memang sengaja berbohong, Icha masih terlalu kecil untuk mengetahui urusan ini.

“Kak Fel baik-baik saja kok.” Aku mengacak poninya.

Icha manggut-manggut, dia paham, kali ini dia tidak banyak bertanya lagi. Aku bergegas masuk ke kamar, kulihat Icha kembali sibuk bermain dengan lego-legonya.
             Aku menatap nanar langit-langit kamarku. Aku menyesal, kenapa aku mengiyakan saja ketika Mama memintaku berjanji? Sejak awal aku memang tidak berpikir panjang.

Kutatap kalender diatas meja, lusa aku akan pergi? apa aku bisa pergi dari Farish? apakah aku memang harus melakukan ini? Tuhan, adakah jalan yang terbaik?

Aku segera bangkit dari tidurku, kuraih Hp yang tergeletak di dekat kalender itu. Beberapa kali aku mencoba menghubungi Farish, sia-sia, ponselnya tidak aktif.


***


Keesokan harinya, aku kembali mencoba menelepon Farish. Dua-tiga kali, gagal. Empat kalinya, dia mengangkat teleponku. Aku sangat senang mendengar suaranya.

“Halo, yank?” sapa Farish dalam telepon.

“Kamu lagi sakit, yank?” tanyaku sangat cemas begitu mendengar suaranya yang berat. Suaranya berbeda dari biasanya.

“Ehm.. enggak kok, yank. Aku sehat-sehat aja, mungkin baru bangun tidur, jadi suaranya masih kedengeran berat.” Farish terdengar sabar menjelaskan kepadaku.

Aku memaklumi, mungkin saja semalam dia begadang menonton bola lagi. Farish sudah terbiasa bangun kesiangan.

“Maaf ya yank, kemarin hp-ku lowbat.” Farish menambahkan.

“Tak masalah.” Ucapku tidak keberatan.

“Kamu kenapa? Sepertinya sedang ada masalah?” Suaranya masih saja terdengar serak. Farish menebak, dan tebakannya benar.

“Kita perlu ketemu, yank. Secepatnya.” Aku sedikit mendesak. Terdengar suara batuk Farish.

“Aku nggak percaya kamu sehat!” seruku jengkel. Aku merasa dibohongi.

“Beneran, aku nggak apa-apa.” Farish tetap saja berusaha menyangkal.

“Aku nggak suka kamu bohong sama aku!” sentakku lagi. Dia tetap bersikeras untuk berbohong.

“Kapan kita bisa bertemu, Fel?” tanyanya, disertai batuk. Terlihat sekali dia memutar topik pembicaraan.

“Tunggu sampai kamu sembuh.” Aku menolak dengan lirih.
           
           “Kita ketemu besok di taman kota,” suaranya semakin pecah oleh batuk.

Farish bersikeras. Aku mendengar dia terbatuk lagi, kali ini lebih keras. Tak terasa, satu titik air mataku menetes. Aku menutup mulutku, menangis sesenggukan.

Telepon terputus. Aku yang sengaja mematikannya, sudah tak kuasa mendengar Farish terus mengelak kalau dia sehat-sehat saja. Sudah terbukti dengan jelas sekali.

Farish memang pintar menyembunyikannya, bukan karena apa, aku tahu, dia tidak ingin aku terlalu mengkhawatirkannya. Aku lama-lama sebal dengan perangainya itu.

Hp kubiarkan tergolek begitu saja diatas meja. Sungguh menyesakkan. Aku berjalan pelan mendekati jendela. Tanganku mencengkeram teralis besi dibingkai jendela.

Aku tidak tahu harus mengutuk siapa sekarang. Hitungan jam aku akan segera berpisah dengan Farish. Aku lulus dengan nilai yang cukup memuaskan. Mama pun senang.

Oma pun tak kalah senang, sampai-sampai ngotot menyuruhku agar kuliah di Bandung saja. Apa yang harus aku katakan pada Farish nantinya? Ini sangat menyedihkan.


***

Aku duduk manis di kursi rotan, di teras depan rumah. Pagi-pagi begini aku sudah tenggelam dalam carut marut kebimbangan-kebimbangan hatiku.

“Kak Fel, anterin aku sekolah dong!” Suara itu tidak asing lagi bagiku. Siapa lagi kalau bukan monster kecil?

“Males! Sana, berangkat sama Mama!” tolakku sebal.

“Fel, tolong antar Icha. Mama nggak bisa, keran air bocor!” Mama berteriak dari arah dapur. Aku mendengus sebal melihat Icha nyengir. Tidak ada alasan untuk aku menolaknya. Padahal, aku sedang menunggu Farish. Sekali lagi aku menatap Icha yang sengaja memasang wajah memelas. Baiklah. Aku berdiri, meraih tangan mungilnya.


Letak sekolah Icha hanya berjarak dekat dari rumah. Aku mengantarnya berjalan kaki. Sepanjang jalan aku tak melihat monster kecil itu cerewet seperti biasanya.

“Icha lagi sakit gigi?” tanyaku gemas. Dia menggeleng, tidak.

“Kok diem?” tanyaku lagi. Icha mendongak memandangiku sebentar. Aku melihat bola matanya yang bening.

“Kenapa? Cerita sama kak Fel.” Aku duduk jongkok, mensejajari tinggi tubuhnya. Mengusap rambutnya dengan pelan. Icha malah membuang muka.

“Nggak apa-apa kalau Icha nggak mau cerita. Kak Fel nggak akan maksa.” Aku menyentuh kedua lengannya. Lantas menggandeng tangannya lagi.

“Kak Fel jangan pergi, ya.” Icha berkata lirih. Aku berniat menjawabnya, urung, Icha sudah tahu tentang kepergianku besok.


Sampai di sekolahnya, Icha juga tak kunjung melepaskan tanganku. Dia merajuk, ingin ditemani barang sehari saja. Aku mengerjap, tetapi bagaimana dengan janjiku pada Farish?


Icha semenit yang lalu sudah menyeret tanganku masuk halaman sekolah. Aku tidak bisa berbuat apa-apa. Icha terlihat senang begitu aku mau menuruti kemauannya.


Aku duduk di bangku dekat teras, sekolah TK yang lumayan mengasyikan, pikirku. Terlihat monster kecil itu sedang bermain dengan teman-teman sebayanya. Tertawa-tawa. Tersipu malu ketika seorang anak cowok mendekatinya, menjulurkan sekuntum bunga mawar untuk Icha. Aku meringis melihat pemandangan ini. Bagaimana tidak? Tadi aku sempat melihat betapa susahnya anak kecil itu memetik mawar yang tumbuh menjulang di dekat pagar. Betapa beratnya tadi teman yang lain rela menjadi tangga darurat. Aku bergidik, anak-anak sekecil mereka sudah mengerti cinta-cintaan?


Seseorang datang dari belakang, menepuk pundakku. Aku sedikit terkesiap, lantas mengangguk tersenyum.
“Felisa, kakaknya Icha.” Aku memperkenalkan diri tanpa diminta.

“Saya Sania. Anak-anak biasa memanggil Bu Nia.” Dia tersenyum ramah menjabat tanganku. Wanita cantik yang berkerudung. Dia melangkah, lantas permisi duduk di sampingku, bergabung melihat keceriaan anak-anak didiknya.

“Icha anak yang cerdas. Menggemaskan, bukan?” ucapnya yakin. Astaga! Menggemaskan? Mungkin Bu Nia akan menggeleng-geleng melihat tingkah-polah Icha di rumah.

“Icha memang rada aktif, Bu.” Aku ikut memuji. Icha bahkan jauh lebih beringas ketimbang anak sepantarnya.


Aku banyak mengobrol dengan Bu Nia. Membicarakan banyak hal. Hanya satu, aku tidak membicarakan bagaimana perangai Icha di rumah. Dari cerita Bu Nia, aku jadi paham, ternyata banyak orang yang menyukai Icha. Aku nyengir sekilas, monster kecil itu ternyata menjadi pusat perhatian.

 
GUBRAK!


Seketika jeritan anak-anak yang sedang bermain menggelegar. Semua gerakan tangan terhenti. Aku dan Bu Nia terperangah, membuka mata lebar-lebar. Anak yang lain mencicit takut, lutut mereka bergetar menghampiri tubuh yang terkulai tak sadarkan diri. Aku berlari, tidak, aku berharap apa yang aku lihat ini hanyalah mimpi di pagi buta. Sayangnya, begitu aku mendekat, semua ini terlihat amat nyata. Sungguhan. Aku cepat mendekap kepalanya, kepala yang tadi sempurna menghujam tanah aspal. Icha, bagaimana tadi aku lalai untuk mengawasinya? Sampai-sampai Icha terjatuh dari ayunan. Telapak tanganku gemetar saat darah menempel di atasnya.


Bu Nia bergerak cepat. Ambulans segera datang membawa Icha. Aku ikut duduk di sampingnya saat mobil ambulans melesat meninggalkan sekolah TK itu. Jemariku gemetar menekan tombol panggil. Aku menyeka pipiku. Menelepon Mama. Aku terpatah-patah mengabarinya, Mama tidak bertanya lagi, hanya nada yang tak kalah kalap. Mama akan langsung menuju rumah sakit.


Aku mendekap mulut kuat-kuat. Tak terelakkan, air mataku tumpah sekejap. Icha dengan mata terpejam. Kening yang bersimbah darah.

“Bertahanlah Icha, sayang!” ucapku gentar. Aku sangat takut terjadi sesuatu yang buruk.

Sepanjang koridor, aku selalu berbisik lirih, menguatkan. Ranjang dorong yang tadi membawa Icha hampir sampai di ruang UGD. Mama yang sudah duduk menunggu, terlonjak berdiri. Mama syok melihat Icha. Aku nanar menatap Mama, tanganku menahan Mama yang hendak memaksa ingin ikut masuk ke ruang UGD. Aku menggeleng. Suster perawat tadi sudah melarang keras.


Tanganku berdecit menempel di kaca jendela. Mama berdiri kaku di sebelahku, sangat cemas melihat wajah tegang dokter yang sedang menangani Icha. Aku mengusap wajah. Sudah hampir tiga puluh menit. Dokter dan suster akhirnya keluar. Mama sigap mendekat pintu, menyentuh lengan dokter yang baru saja keluar.

“Putri Anda hanya mengalami pendarahan kecil, Nyonya. Tidak ada yang perlu dicemaskan. Sudah boleh dijenguk.” Dokter itu tersenyum, lantas pergi. Mama mendorong pintu terbuka, aku melangkah di belakangnya. Icha masih belum sadar. Kepalanya dibebat dengan kain kasa. Aku gentar saat mendatangi ranjangnya. Mama sudah terisak, duduk di kursi samping ranjang. Aku pelan menyentuh jemarinya, tangan yang terpasang selang infus. Aku juga tak kuasa untuk tidak menangis. Disela menangis aku sempat tersenyum haru. Monster kecil, anak nakal ini, seperti ini gara-gara aku. Aku yang tidak becus menjaganya dengan baik.

“Fel yang salah, Ma.” Aku tertunduk, memainkan ujung baju. Mama bergeming menolehku.

“Tidak. Mama tidak akan menyalahkan kamu, Fel.” Mama berkata serak. Tidak ingin mengungkit apa penyebabnya.


Aku memutuskan keluar dari ruangan itu. Mengeluarkan hp dari saku celana. Aku benar-benar lupa dengan Farish. Berkali-kali aku mengutuk diriku sendiri. Melirik jam dinding sekilas. Pukul sebelas. Aku berlari melewati koridor rumah sakit. Beberapa kali menabrak suster yang berlalu-lalang. Yang ditabrak mendesis sebal. Kedua telapak tanganku menyatu. Maaf.


Sial! Aku mengeluh dalam hati. Hujan turun begitu deras. Apa boleh buat, aku harus menerabas hujan itu. Setelah membuka pesan singkat dari Farish, aku baru menyadari jika Farish sudah hampir tiga jam menungguku di taman kota.







Bersambung—

Cari Blog Ini