Minggu, 24 Juni 2012

Harga Sebuah Penantian





“KENAPA KAU MASIH DISINI? SUDAH KUBILANG TINGGALKAN TEMPAT INI! TUNGGU APALAGI, MITA? PERGI SEKARANG!” Wahyu berteriak kesetanan. Hampir naik darahnya ketika Mita malah diam tergugu menatapnya.


“Aku tidak bisa meninggalkanmu sendirian. Aku yang bersalah, bukan kau!” Mita berkata parau, menangis tertahan demi melihat Wahyu membentaknya.


“Mita, aku mohon—” Wahyu berkata lirih, mencengkeram kedua lengan Mita.


“Kau yang seharusnya pergi, Wahyu. Biar, biar aku yang menyelesaikan sendiri.” Mita balas menatap mata Wahyu. Tidak. Masalah ini tak semudah yang dibayangkan. Mita terpatah-patah menatap tubuh yang sudah bersimbah darah tergeletak di pojok ruangan. Mita gemetar memandangi telapak tangannya. Mita hampir tidak percaya dengan apa yang tadi ia lakukan. Ia membunuhnya. Lelaki paruh-baya yang menjadi tamu langganan tempat Mita bekerja. Tamu yang tadi lancang menggodanya. Bahkan hampir menodainya. Mita cekatan membela diri, berusaha meraih apapun sebisa tangannya menggapai. Sampai akhirnya, Mita berhasil meloloskan diri setelah memukul tamunya dengan botol bir berulang kali. Sempurna. Dalam satu pukulan telak. Lelaki itu ambruk. Mita gemetar memeluk lutut di sudut ruangan. Sampai akhirnya Wahyu datang. Memeluknya, berusaha menenangkan. Bertanya apa yang sudah terjadi. Mita tercekat, telunjuknya menunjuk tubuh yang terkulai tak berdaya.


“Pergi sekarang, Mita!” Wahyu mendesis tak sabaran, membuyarkan lamunan Mita. Cepat atau lambat polisi akan datang.


“Pakai ini.” Wahyu cepat melepas jaketnya, lantas memakaikan di tubuh Mita. Wahyu mengecup kening Mita. Senyap.


“Aku takut, Wahyu. Aku sangat takut.” Mita memeluk Wahyu. Menangis lama sekali. Wahyu buru-buru melepas pelukan ketika suara sirine terdengar dari kejauhan.


“Pergi sekarang. Tidak ada waktu lagi, sayang!” ucapnya hampir tersengal. Mita berbalik, sudah melangkah satu-dua. Mita kembali menoleh, menatap mata sendu Wahyu. Yang ditatap hanya mengangguk, tersenyum memastikan, semua akan baik-baik saja. Mita mengatupkan mulut, merapatkan jaket hitam, kembali melangkah.


***



Satu hari setelah kejadian itu berlalu. Mita gelisah bukan main. Sejak tadi mondar-mandir di kamarnya. Semalaman ia tidak bisa tidur. Hanya menatap resah ke langit-langit kamarnya. Jendela ia tutup rapat-rapat, tidak seperti biasanya yang selalu terbuka lebar, membiarkan sinar matahari menelisik masuk. Jemarinya saling meremas satu sama lain. Sejak semalam Mita juga belum makan. Ia tidak lapar. Bagaimana mungkin ia makan sementara ia sendiri belum tahu bagaimana kabar Wahyu sekarang. Mita sebenarnya ingin mencari tahu segera. Tapi ia terlalu takut, sangat takut menyalakan televisi, takut menyalakan radio, juga takut membaca koran terbitan pagi ini. Mita amat takut kalau media massa memberitakan kejadian itu dengan hiperbolis. Ia tidak sampai hati jika Wahyu dihakimi atas apa yang bukan perbuatannya.



Mita terduduk di atas kasur, kedua tangannya mendekap rapat wajah sembabnya. Menangis? Entahlah, mungkin saja begitu. Wajah yang biasanya terlihat natural. Mata yang teduh, kini tak ubahnya seperti tersengat lebah. Bengkak, memerah. Ia memang tak hentinya menangis. Hatinya menjerit lirih. Bagaimana keadaan Wahyu sekarang?



Mita mengerjap cepat, menepis air mata yang bersiap tumpah. Tangannya sigap menyambar remote televisi. Mencari siaran berita sembarangan. Mita menyeringai, dugaannya teramat benar. Siaran-siaran itu sangat berlebihan. Mita mengeluh dalam hati saat televisi menampilkan detik-detik saat polisi menangkap Wahyu. Mita tak sengaja menjatuhkan remote di tangannya, berdebam, baterai remote terlepas. Mita terduduk di lantai, meremas rambutnya. Mama yang barusan mendengar barang terjatuh, buru-buru naik ke lantai dua. Mama mengetuk pintu Mita. Satu-dua ketukan. Mita tidak akan membukanya. Buat apa? Mita tidak siap menjawab kecemasan Mama.


“Mita? Apa yang terjadi? Mama dengar ada benda jatuh.” Mama sedikit berseru dari balik pintu. Intonasi yang terdengar cemas. Ia tahu, dari semalam anaknya belum menyentuh makanan sama sekali.


“Mita tidak apa-apa kan?” Sekali lagi wanita paruh-baya itu bertanya. Khawatir.
Mama lelah membujuk, percuma, sejak tadi Mita tidak menjawab sama sekali. Ia sangat mengerti bagaimana kalau Mita sedang ada masalah. Selalu mengunci diri di dalam kamar. Tidak mau diganggu oleh siapapun, termasuk Mamanya.



Mita berdiri, berjalan gontai menuju meja berpelitur. Jemarinya meraba setiap foto yang terbingkai rapi, berjejer. Foto-foto dirinya bersama Wahyu. Mimpi-mimpi indah yang akan dan bersiap punah. Pernikahan yang sudah terencana, bagaimana nasibnya? Entahlah. Mita termenung, tangannya terhenti pada sebuah bingkai. Ia menatap lamat-lamat, foto pertunangannya. Mita mengambilnya, lantas mendekap erat, seakan membiarkan foto itu melepas segala sesaknya. Tidak berhasil. Sia-sia saja. Perasaan kalapnya jauh lebih besar. Mita beralih menatap kasurnya, meletakkan kembali foto itu ke tempat semula. Ia mulai melangkah tertatih menghampiri tempat tidurnya.
Mita duduk di tepi ranjang, jaket itu didekapnya sangat erat. Pemberian dari Wahyu malam itu. Mita menciumi jaket itu, wangi ini, wewangian khas milik Wahyu. Mita kembali terisak dalam. Hatinya tercabik-cabik. Apa, apa takdir telah menggurat begitu kejamnya? Tuhan, kapan badai akan berlalu? Mita termenung lagi. Memikirkan banyak hal. Yang entah, hanya Mita yang bisa merasakannya.



***




Polisi tidak pernah mencarinya. Jelas saja. Mita sangat yakin jika Wahyu dengan ringan hati mengatakan itu semua salahnya. Padahal.. Mita menelan ludah. Pagi ini ia membiarkan sinar matahari menerpa wajahnya. Ia sedang berdiri di dekat jendela. Melihat sekelompok burung terbang rendah di atap-atap rumah. Mita menyeringai, andaikan hidupnya seperti burung-burung itu. Tetapi, ah, ia mengibaskan tangan. Mana mungkin itu terjadi. Sekarang saja badai itu sedikit demi sedikit melumat habis kebahagiaannya. Mita sedikit terhenyak mendengar pintu kamarnya diketuk seseorang.



“Sarapan dulu, Mita.” Suara itu amat lembut. Mama sudah berdiri di depan pintu, membawa nampan, ada nasi goreng dan segelas susu diatasnya.


“Mita tidak lapar, Ma.” Jawabnya tanpa harus beranjak dari dekat jendela.
Mama menghela napas panjang. Susah sekali membujuk anak semata wayangnya agar mau makan.


“Cerita ke Mama, Nak. Mamamu ini bingung harus berbuat apa agar kau mau keluar dari kamar, dan mau makan. Seberat apa masalah itu?” Mama menyandarkan kepalanya di daun pintu. Suaranya seperti desahan pilu. Mita kali ini bergeming dari jendelanya.


“Mita baik-baik saja. Mama tidak usah khawatir.” Ungkapnya getir. Mita memang sedang berbohong.


“Bagaimana mungkin kau baik-baik saja? Makan saja tidak.” Mama membujuk lagi. Lengang. Mita sudah kembali larut melihat burung-burung yang mengepakkan sayapnya.


“Mama taruh makanannya di depan pintu. Mungkin saja kau akan berubah pikiran.” Mama membungkuk, meletakkan nampan itu di atas keset. Wanita paruh-baya itu melangkah pergi.



Hari menjelang siang, matahari terik menggantang di langit. Mita siang ini memutuskan untuk menjenguk Wahyu. Kakinya pelan melangkah menuruni anak tangga. Matanya lemah menyapu sekitar. Ia melihat Mama tertidur di kursi goyangnya. Mita tersenyum melihat wajah keriput itu. Mama yang selalu sabar menghadapinya. Mama yang tak pernah lelah mengingatkannya supaya mau makan. Mita membuka pintu. Mulai melangkah melewati pagar rumah. Satu taksi berhenti ketika ia melambaikan tangan.



***



Mita sudah tiba, ia sekarang sudah duduk di kursi panjang. Tangannya meremas satu sama lain di atas sebuah meja yang juga panjang. Sementara ia menunggu, seorang polisi membimbing Wahyu keluar. Mita terkesiap ketika mendongakkan kepalanya. Apa, apa dia bisa memeluk Wahyu sekarang? Tidak. Mita mengurungkan niat itu. Wahyu duduk persis di hadapannya. Sunyi. Beberapa menit yang terbuang dengan percuma. Hanya menyisakan sepi. Wahyu tertunduk dalam. Tidak ada yang berani menatap satu sama lain. Keduanya juga membisu. Hanya suara isak tangis yang memenuhi langit-langit ruangan.


“Untuk apa kau datang kemari jika hanya untuk menangis?” Wahyu berkata galak. Tidak. Ia hanya tidak ingin melihat Mita selemah ini.


“Aku mohon. Biar aku saja. Kau tak pantas melakukan ini.” Mita menatap Wahyu, gentar.
“Pulanglah. Tak seharusnya kau datang kemari.” Wahyu sengaja berkata lembut agar Mita tidak tersinggung. Mita hampir tidak percaya Wahyu tega mengatakan itu.


“Aku rindu, sangat merindukanmu. Apa itu salah?” tanya Mita, tangannya meremas punggung tangan Wahyu.


“Pulang sekarang, Mita!” Wahyu langsung berdiri, ia sama sekali tidak membalas genggaman erat Mita.


“Aku akan selalu mencintaimu.” Mita menghela napas, sekali lagi menatap mata sendu di hadapannya. Ia berbalik, berjalan cepat keluar dari ruangan itu. Air matanya tumpah sekejap, setelah tadi sempat ia tahan beberapa waktu. Mita pulang dengan kecewa.



Air langit sempurna membuat kuyup seluruh tubuhnya. Mita berjalan lunglai menapaki trotoar yang mengular. Hatinya berkecamuk lirih. Suara Wahyu tadi memenuhi setiap ruang di otaknya, dan juga hatinya. Pulanglah, tak seharusnya kau datang kemari. Mita menangis di bawah langit yang kelam. Hujan setia menemani hingga ia tiba di rumah.



Pintu depan sudah terbuka sejak tadi. Mama yang mendapati Mita tidak ada di kamarnya, memutuskan untuk menunggu dengan cemas di teras. Mama berlarian mengembangkan payung ketika melihat Mita membuka pagar. Betapa terkejutnya melihat putrinya pulang seperti mayat hidup.


“Kenapa baru pulang? Hujan-hujan pula.” Mama membimbing anaknya menuju teras. Mita diam, tangannya terlipat di dada. Ia menggigil, kedinginan sekaligus karena perasaan bersalah. Mama cekatan mengalungkan handuk di leher Mita. Tidak banyak bertanya lagi. Ia membiarkan Mita tenang di kamarnya.



***



Seminggu berlalu sangat cepat. Bagi Mita waktu berjalan sangat lambat. Ia sedang meringkuk di sudut kamarnya. Seminggu ini, setiap hari ia setia mengunjungi Wahyu. Selama itu pula Wahyu menolak untuk bertemu dengannya. Betapa sakit hati Mita menerima penolakan-penolakan itu. Hatinya teriris tak terperikan. Keadaan Mita semakin hari juga kian memburuk. Melamun. Memeluk lutut di pojok kamarnya. Ya, itulah rutinitasnya semingguan ini. Ia juga tak mau makan. Mama terpaksa membuang nasi Mita yang masih utuh, tak disentuh sama sekali.



***




Satu tahun berlalu begitu menyakitkan..




Ruangan itu selalu senyap. Dinding yang catnya mulai mengelupas. Ia selalu duduk di sudut ruangan. Memikirkan banyak hal. Yang terpenting, ia sekarang tak henti-hentinya mencemaskan Mita. Terakhir kali Ibu Mita datang menjenguknya, saat itu pula ia tahu jika Mita tidak baik-baik saja. Wahyu mengusap wajah kebasnya berkali-kali. Ia tidak pernah menyangka jika masalah ini semakin pelik. Ia pikir, setelah mengakui semua kesalahan Mita, rela mendekam di dalam penjara demi Mita, akan membuat semuanya selesai. Tetap saja tidak menjamin masalah akan selesai begitu saja. Nyatanya, sekarang malah jauh lebih buruk dari yang Wahyu kira. Sungguh, ia tidak sanggup membayangkan keadaan Mita sekarang.



***




Satu tahun berlalu lagi.. Detik-detik yang menyayat jiwa.




Ruangan itu tetap lengang. Sunyi-senyap. Hanya samar-samar terdengar jeritan lirih dari berbagai penjuru. Yang jelas, dalam ruangan itu hanya menyisakan siluet tubuh yang selalu tenggelam dalam diam. Dinding itu bercat putih, lantai yang mengilap bersih. Ia tetap berada di sana. Duduk di atas ranjang, memeluk kedua lutut erat-erat. Matanya masih sebening dulu, hanya saja, tatapan matanya tidak seperti dulu lagi. Mamanya setiap hari rajin mengunjunginya. Selalu menangis saat membelai rambut putrinya itu. Dua tahun yang sia-sia. Tidak ada perkembangan yang berarti. Mamanya hanya pasrah, menunggu waktu berbaik hati. Mita masih membisu. Dalam diam ia selalu menunggu saat itu tiba. Ketika Wahyu akan datang kembali. Mita tidak peduli seberapa lama. Ia akan tetap menunggu. Tidak pernah ada yang hilang dari ingatannya. Setiap jengkal bersama Wahyu selalu tersimpan dalam setiap denyut nadinya.




***




Satu tahun telah berlalu begitu cepat.. Tiga tahun yang teramat menyesakkan.




Kabar baik itu akhirnya datang juga. Tiga tahun itu terasa terbayar lunas saat Wahyu bebas. Ia tak membuang waktu lagi. Bergegas menghentikan taksi. Ia tak sempat tersenyum menikmati sepanjang jalan yang kini sudah berubah banyak. Ia terlalu sibuk untuk hal lain. Mita, ia sungguh merindukannya.



***




Pagi yang cerah. Awan terlihat mengembang elok di langit. Taman itu sunyi, senyap seperti hatinya. Ia dibiarkan duduk sendiri di kursi taman—tanpa suster yang menemani. Ia memang tidak membahayakan seperti kebanyakan pasien di rumah sakit ini. Mita dalam diam sedang menikmati daun-daun linden yang berguguran dari rantingnya, yang satu-dua menimpa rambutnya. Sinar matahari sedikit menerpa mata beningnya, berkilau karena ada linangan air di pelupuk matanya. Sedikitpun tanpa menetes. Meski tertikam oleh kesendiriannya. Walau jauh dari segalanya, hati kecilnya selalu menangis.



Wahyu mematung cukup lama. Tiba-tiba saja langkah kakinya terasa amat berat. Hei, bukankah tadi ia ingin sekali bertemu dengan Mita? Bertanya dengan tidak sabar kepada suster, dimana Mita berada? Tapi kini ia malah ragu untuk mendekat. Hanya berdiri menatap kosong dari belakang Mita.



“Mita—” Wahyu akhirnya berani melangkah dan menyapa. Mita diam, namun sebagian raganya bisa merasakan kehadiran Wahyu yang duduk di sebelahnya.


“Aku datang, Mit. Apa kau tidak mau memelukku?” ucap Wahyu bersiap merentangkan kedua tangannya. Gerakan itu terhenti mendadak, Wahyu tercekat. Ia tentu saja lupa dengan hal itu. Saking bersemangatnya.



Wahyu melingkarkan tangan kanannya di pundak Mita. Ia sedikitpun tidak akan meninggalkan Mita begitu saja. Mita yang biasanya diam, kali ini menjulurkan telapak tangannya. Ia bisa merasakannya. Wahyu merasakan tangan dingin itu meraba wajah piasnya. Meski kedua mata bening Mita tak mampu lagi menangkap bayangan apapun. Biarpun kedua telinganya tak lagi bisa mendengar suara apapun. Tetapi bibir tipisnya terbuka.


“W-a-h-y-u.”



Wahyu tersedu pelan, meraih Mita ke dalam pelukannya. Ia tidak pernah bisa membayangkan seberapa hebat kecelakaan yang dialami Mita. Ia sungguh sudah berusaha untuk menjaga Mita. Tetapi ketika itu takdir sudah terlanjur mengungkung sore yang kelam. Ketika Mita pulang dari jadwal mengunjungi Wahyu.



“Ketika kau tak lagi mampu melihatku. Dikala kau tak lagi bisa mendengarku. Aku akan tetap di sini untukmu.”






TAMAT

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Cari Blog Ini