“KENAPA
KAU MASIH DISINI? SUDAH KUBILANG TINGGALKAN TEMPAT INI! TUNGGU APALAGI, MITA?
PERGI SEKARANG!” Wahyu berteriak kesetanan. Hampir naik darahnya ketika Mita
malah diam tergugu menatapnya.
“Aku
tidak bisa meninggalkanmu sendirian. Aku yang bersalah, bukan kau!” Mita
berkata parau, menangis tertahan demi melihat Wahyu membentaknya.
“Mita,
aku mohon—” Wahyu berkata lirih, mencengkeram kedua lengan Mita.
“Kau
yang seharusnya pergi, Wahyu. Biar, biar aku yang menyelesaikan sendiri.” Mita
balas menatap mata Wahyu. Tidak. Masalah ini tak semudah yang dibayangkan. Mita
terpatah-patah menatap tubuh yang sudah bersimbah darah tergeletak di pojok
ruangan. Mita gemetar memandangi telapak tangannya. Mita hampir tidak percaya
dengan apa yang tadi ia lakukan. Ia membunuhnya. Lelaki paruh-baya yang menjadi
tamu langganan tempat Mita bekerja. Tamu yang tadi lancang menggodanya. Bahkan
hampir menodainya. Mita cekatan membela diri, berusaha meraih apapun sebisa
tangannya menggapai. Sampai akhirnya, Mita berhasil meloloskan diri setelah
memukul tamunya dengan botol bir berulang kali. Sempurna. Dalam satu pukulan
telak. Lelaki itu ambruk. Mita gemetar memeluk lutut di sudut ruangan. Sampai
akhirnya Wahyu datang. Memeluknya, berusaha menenangkan. Bertanya apa yang
sudah terjadi. Mita tercekat, telunjuknya menunjuk tubuh yang terkulai tak
berdaya.
“Pergi
sekarang, Mita!” Wahyu mendesis tak sabaran, membuyarkan lamunan Mita. Cepat
atau lambat polisi akan datang.
“Pakai
ini.” Wahyu cepat melepas jaketnya, lantas memakaikan di tubuh Mita. Wahyu
mengecup kening Mita. Senyap.
“Aku
takut, Wahyu. Aku sangat takut.” Mita memeluk Wahyu. Menangis lama sekali.
Wahyu buru-buru melepas pelukan ketika suara sirine terdengar dari kejauhan.
“Pergi
sekarang. Tidak ada waktu lagi, sayang!” ucapnya hampir tersengal. Mita
berbalik, sudah melangkah satu-dua. Mita kembali menoleh, menatap mata sendu
Wahyu. Yang ditatap hanya mengangguk, tersenyum memastikan, semua akan
baik-baik saja. Mita mengatupkan mulut, merapatkan jaket hitam, kembali
melangkah.
***
Satu
hari setelah kejadian itu berlalu. Mita gelisah bukan main. Sejak tadi
mondar-mandir di kamarnya. Semalaman ia tidak bisa tidur. Hanya menatap resah
ke langit-langit kamarnya. Jendela ia tutup rapat-rapat, tidak seperti biasanya
yang selalu terbuka lebar, membiarkan sinar matahari menelisik masuk. Jemarinya
saling meremas satu sama lain. Sejak semalam Mita juga belum makan. Ia tidak
lapar. Bagaimana mungkin ia makan sementara ia sendiri belum tahu bagaimana
kabar Wahyu sekarang. Mita sebenarnya ingin mencari tahu segera. Tapi ia
terlalu takut, sangat takut menyalakan televisi, takut menyalakan radio, juga
takut membaca koran terbitan pagi ini. Mita amat takut kalau media massa
memberitakan kejadian itu dengan hiperbolis. Ia tidak sampai hati jika Wahyu
dihakimi atas apa yang bukan perbuatannya.
Mita
terduduk di atas kasur, kedua tangannya mendekap rapat wajah sembabnya.
Menangis? Entahlah, mungkin saja begitu. Wajah yang biasanya terlihat natural.
Mata yang teduh, kini tak ubahnya seperti tersengat lebah. Bengkak, memerah. Ia
memang tak hentinya menangis. Hatinya menjerit lirih. Bagaimana keadaan Wahyu
sekarang?
Mita
mengerjap cepat, menepis air mata yang bersiap tumpah. Tangannya sigap
menyambar remote televisi. Mencari siaran berita sembarangan. Mita menyeringai,
dugaannya teramat benar. Siaran-siaran itu sangat berlebihan. Mita mengeluh
dalam hati saat televisi menampilkan detik-detik saat polisi menangkap Wahyu.
Mita tak sengaja menjatuhkan remote di tangannya, berdebam, baterai remote
terlepas. Mita terduduk di lantai, meremas rambutnya. Mama yang barusan
mendengar barang terjatuh, buru-buru naik ke lantai dua. Mama mengetuk pintu
Mita. Satu-dua ketukan. Mita tidak akan membukanya. Buat apa? Mita tidak siap
menjawab kecemasan Mama.
“Mita?
Apa yang terjadi? Mama dengar ada benda jatuh.” Mama sedikit berseru dari balik
pintu. Intonasi yang terdengar cemas. Ia tahu, dari semalam anaknya belum
menyentuh makanan sama sekali.
“Mita
tidak apa-apa kan?” Sekali lagi wanita paruh-baya itu bertanya. Khawatir.
Mama
lelah membujuk, percuma, sejak tadi Mita tidak menjawab sama sekali. Ia sangat
mengerti bagaimana kalau Mita sedang ada masalah. Selalu mengunci diri di dalam
kamar. Tidak mau diganggu oleh siapapun, termasuk Mamanya.
Mita
berdiri, berjalan gontai menuju meja berpelitur. Jemarinya meraba setiap foto
yang terbingkai rapi, berjejer. Foto-foto dirinya bersama Wahyu. Mimpi-mimpi
indah yang akan dan bersiap punah. Pernikahan yang sudah terencana, bagaimana
nasibnya? Entahlah. Mita termenung, tangannya terhenti pada sebuah bingkai. Ia
menatap lamat-lamat, foto pertunangannya. Mita mengambilnya, lantas mendekap
erat, seakan membiarkan foto itu melepas segala sesaknya. Tidak berhasil.
Sia-sia saja. Perasaan kalapnya jauh lebih besar. Mita beralih menatap
kasurnya, meletakkan kembali foto itu ke tempat semula. Ia mulai melangkah
tertatih menghampiri tempat tidurnya.
Mita
duduk di tepi ranjang, jaket itu didekapnya sangat erat. Pemberian dari Wahyu
malam itu. Mita menciumi jaket itu, wangi ini, wewangian khas milik Wahyu. Mita
kembali terisak dalam. Hatinya tercabik-cabik. Apa, apa takdir telah menggurat begitu
kejamnya? Tuhan, kapan badai akan berlalu? Mita termenung lagi. Memikirkan
banyak hal. Yang entah, hanya Mita yang bisa merasakannya.
***
Polisi tidak pernah mencarinya. Jelas saja. Mita sangat yakin jika Wahyu dengan ringan hati mengatakan itu semua salahnya. Padahal.. Mita menelan ludah. Pagi ini ia membiarkan sinar matahari menerpa wajahnya. Ia sedang berdiri di dekat jendela. Melihat sekelompok burung terbang rendah di atap-atap rumah. Mita menyeringai, andaikan hidupnya seperti burung-burung itu. Tetapi, ah, ia mengibaskan tangan. Mana mungkin itu terjadi. Sekarang saja badai itu sedikit demi sedikit melumat habis kebahagiaannya. Mita sedikit terhenyak mendengar pintu kamarnya diketuk seseorang.
“Sarapan
dulu, Mita.” Suara itu amat lembut. Mama sudah berdiri di depan pintu, membawa
nampan, ada nasi goreng dan segelas susu diatasnya.
“Mita
tidak lapar, Ma.” Jawabnya tanpa harus beranjak dari dekat jendela.
Mama
menghela napas panjang. Susah sekali membujuk anak semata wayangnya agar mau
makan.
“Cerita
ke Mama, Nak. Mamamu ini bingung harus berbuat apa agar kau mau keluar dari
kamar, dan mau makan. Seberat apa masalah itu?” Mama menyandarkan kepalanya di
daun pintu. Suaranya seperti desahan pilu. Mita kali ini bergeming dari
jendelanya.
“Mita
baik-baik saja. Mama tidak usah khawatir.” Ungkapnya getir. Mita memang sedang
berbohong.
“Bagaimana
mungkin kau baik-baik saja? Makan saja tidak.” Mama membujuk lagi. Lengang. Mita
sudah kembali larut melihat burung-burung yang mengepakkan sayapnya.
“Mama
taruh makanannya di depan pintu. Mungkin saja kau akan berubah pikiran.” Mama
membungkuk, meletakkan nampan itu di atas keset. Wanita paruh-baya itu
melangkah pergi.
Hari
menjelang siang, matahari terik menggantang di langit. Mita siang ini
memutuskan untuk menjenguk Wahyu. Kakinya pelan melangkah menuruni anak tangga.
Matanya lemah menyapu sekitar. Ia melihat Mama tertidur di kursi goyangnya.
Mita tersenyum melihat wajah keriput itu. Mama yang selalu sabar menghadapinya.
Mama yang tak pernah lelah mengingatkannya supaya mau makan. Mita membuka
pintu. Mulai melangkah melewati pagar rumah. Satu taksi berhenti ketika ia
melambaikan tangan.
***
Mita
sudah tiba, ia sekarang sudah duduk di kursi panjang. Tangannya meremas satu
sama lain di atas sebuah meja yang juga panjang. Sementara ia menunggu, seorang
polisi membimbing Wahyu keluar. Mita terkesiap ketika mendongakkan kepalanya. Apa, apa dia bisa memeluk Wahyu sekarang? Tidak.
Mita mengurungkan niat itu. Wahyu duduk persis di hadapannya. Sunyi. Beberapa
menit yang terbuang dengan percuma. Hanya menyisakan sepi. Wahyu tertunduk
dalam. Tidak ada yang berani menatap satu sama lain. Keduanya juga membisu.
Hanya suara isak tangis yang memenuhi langit-langit ruangan.
“Untuk
apa kau datang kemari jika hanya untuk menangis?” Wahyu berkata galak. Tidak.
Ia hanya tidak ingin melihat Mita selemah ini.
“Aku
mohon. Biar aku saja. Kau tak pantas melakukan ini.” Mita menatap Wahyu, gentar.
“Pulanglah.
Tak seharusnya kau datang kemari.” Wahyu sengaja berkata lembut agar Mita tidak
tersinggung. Mita hampir tidak percaya Wahyu tega mengatakan itu.
“Aku
rindu, sangat merindukanmu. Apa itu salah?” tanya Mita, tangannya meremas
punggung tangan Wahyu.
“Pulang
sekarang, Mita!” Wahyu langsung berdiri, ia sama sekali tidak membalas
genggaman erat Mita.
“Aku
akan selalu mencintaimu.” Mita menghela napas, sekali lagi menatap mata sendu
di hadapannya. Ia berbalik, berjalan cepat keluar dari ruangan itu. Air matanya
tumpah sekejap, setelah tadi sempat ia tahan beberapa waktu. Mita pulang dengan
kecewa.
Air
langit sempurna membuat kuyup seluruh tubuhnya. Mita berjalan lunglai menapaki
trotoar yang mengular. Hatinya berkecamuk lirih. Suara Wahyu tadi memenuhi
setiap ruang di otaknya, dan juga hatinya. Pulanglah,
tak seharusnya kau datang kemari. Mita menangis di bawah langit yang kelam.
Hujan setia menemani hingga ia tiba di rumah.
Pintu
depan sudah terbuka sejak tadi. Mama yang mendapati Mita tidak ada di kamarnya,
memutuskan untuk menunggu dengan cemas di teras. Mama berlarian mengembangkan
payung ketika melihat Mita membuka pagar. Betapa terkejutnya melihat putrinya
pulang seperti mayat hidup.
“Kenapa
baru pulang? Hujan-hujan pula.” Mama membimbing anaknya menuju teras. Mita
diam, tangannya terlipat di dada. Ia menggigil, kedinginan sekaligus karena
perasaan bersalah. Mama cekatan mengalungkan handuk di leher Mita. Tidak banyak
bertanya lagi. Ia membiarkan Mita tenang di kamarnya.
***
Seminggu
berlalu sangat cepat. Bagi Mita waktu berjalan sangat lambat. Ia sedang
meringkuk di sudut kamarnya. Seminggu ini, setiap hari ia setia mengunjungi
Wahyu. Selama itu pula Wahyu menolak untuk bertemu dengannya. Betapa sakit hati
Mita menerima penolakan-penolakan itu. Hatinya teriris tak terperikan. Keadaan
Mita semakin hari juga kian memburuk. Melamun. Memeluk lutut di pojok kamarnya.
Ya, itulah rutinitasnya semingguan ini. Ia juga tak mau makan. Mama terpaksa
membuang nasi Mita yang masih utuh, tak disentuh sama sekali.
***
Satu tahun berlalu begitu menyakitkan..
Ruangan
itu selalu senyap. Dinding yang catnya mulai mengelupas. Ia selalu duduk di
sudut ruangan. Memikirkan banyak hal. Yang terpenting, ia sekarang tak
henti-hentinya mencemaskan Mita. Terakhir kali Ibu Mita datang menjenguknya,
saat itu pula ia tahu jika Mita tidak baik-baik saja. Wahyu mengusap wajah
kebasnya berkali-kali. Ia tidak pernah menyangka jika masalah ini semakin
pelik. Ia pikir, setelah mengakui semua kesalahan Mita, rela mendekam di dalam
penjara demi Mita, akan membuat semuanya selesai. Tetap saja tidak menjamin
masalah akan selesai begitu saja. Nyatanya, sekarang malah jauh lebih buruk
dari yang Wahyu kira. Sungguh, ia tidak sanggup membayangkan keadaan Mita sekarang.
***
Satu tahun berlalu lagi.. Detik-detik yang menyayat jiwa.
Ruangan
itu tetap lengang. Sunyi-senyap. Hanya samar-samar terdengar jeritan lirih dari
berbagai penjuru. Yang jelas, dalam ruangan itu hanya menyisakan siluet tubuh
yang selalu tenggelam dalam diam. Dinding itu bercat putih, lantai yang
mengilap bersih. Ia tetap berada di sana. Duduk di atas ranjang, memeluk kedua
lutut erat-erat. Matanya masih sebening dulu, hanya saja, tatapan matanya tidak
seperti dulu lagi. Mamanya setiap hari rajin mengunjunginya. Selalu menangis
saat membelai rambut putrinya itu. Dua tahun yang sia-sia. Tidak ada
perkembangan yang berarti. Mamanya hanya pasrah, menunggu waktu berbaik hati.
Mita masih membisu. Dalam diam ia selalu menunggu saat itu tiba. Ketika Wahyu
akan datang kembali. Mita tidak peduli seberapa lama. Ia akan tetap menunggu.
Tidak pernah ada yang hilang dari ingatannya. Setiap jengkal bersama Wahyu
selalu tersimpan dalam setiap denyut nadinya.
***
Satu tahun telah berlalu begitu cepat.. Tiga tahun yang teramat menyesakkan.
Kabar
baik itu akhirnya datang juga. Tiga tahun itu terasa terbayar lunas saat Wahyu
bebas. Ia tak membuang waktu lagi. Bergegas menghentikan taksi. Ia tak sempat
tersenyum menikmati sepanjang jalan yang kini sudah berubah banyak. Ia terlalu
sibuk untuk hal lain. Mita, ia sungguh merindukannya.
***
Pagi
yang cerah. Awan terlihat mengembang elok di langit. Taman itu sunyi, senyap
seperti hatinya. Ia dibiarkan duduk sendiri di kursi taman—tanpa suster yang
menemani. Ia memang tidak membahayakan seperti kebanyakan pasien di rumah sakit
ini. Mita dalam diam sedang menikmati daun-daun linden yang berguguran dari
rantingnya, yang satu-dua menimpa rambutnya. Sinar matahari sedikit menerpa
mata beningnya, berkilau karena ada linangan air di pelupuk matanya. Sedikitpun
tanpa menetes. Meski tertikam oleh kesendiriannya. Walau jauh dari segalanya,
hati kecilnya selalu menangis.
Wahyu
mematung cukup lama. Tiba-tiba saja langkah kakinya terasa amat berat. Hei, bukankah tadi ia ingin sekali bertemu dengan
Mita? Bertanya dengan tidak sabar kepada suster, dimana Mita berada? Tapi kini ia malah ragu untuk mendekat. Hanya
berdiri menatap kosong dari belakang Mita.
“Mita—”
Wahyu akhirnya berani melangkah dan menyapa. Mita diam, namun sebagian raganya
bisa merasakan kehadiran Wahyu yang duduk di sebelahnya.
“Aku
datang, Mit. Apa kau tidak mau memelukku?” ucap Wahyu bersiap merentangkan
kedua tangannya. Gerakan itu terhenti mendadak, Wahyu tercekat. Ia tentu saja
lupa dengan hal itu. Saking bersemangatnya.
Wahyu
melingkarkan tangan kanannya di pundak Mita. Ia sedikitpun tidak akan
meninggalkan Mita begitu saja. Mita yang biasanya diam, kali ini menjulurkan
telapak tangannya. Ia bisa merasakannya. Wahyu merasakan tangan dingin itu
meraba wajah piasnya. Meski kedua mata bening Mita tak mampu lagi menangkap
bayangan apapun. Biarpun kedua telinganya tak lagi bisa mendengar suara apapun.
Tetapi bibir tipisnya terbuka.
“W-a-h-y-u.”
Wahyu
tersedu pelan, meraih Mita ke dalam pelukannya. Ia tidak pernah bisa
membayangkan seberapa hebat kecelakaan yang dialami Mita. Ia sungguh sudah
berusaha untuk menjaga Mita. Tetapi ketika itu takdir sudah terlanjur mengungkung
sore yang kelam. Ketika Mita pulang dari jadwal mengunjungi Wahyu.
“Ketika
kau tak lagi mampu melihatku. Dikala kau tak lagi bisa mendengarku. Aku akan
tetap di sini untukmu.”
TAMAT
Tidak ada komentar:
Posting Komentar