Cincin Pertunangan
Satria
tergugu, berdiri di dekat salah satu jendela kamarnya, kedua tangannya terbenam
di saku celana. Matanya menyiratkan kepedihan yang begitu mendalam. Tentang keputusan itu. Ia seperti sedang
menyesalinya. Wajah kakunya tertunduk, sekarang ia memilih untuk duduk
menjuntai di bingkai jendela besar itu. Hanya satu nama yang memenuhi otaknya.
Kayla? Bukan. Kinta? Tentu saja.
Satria
mengambil keputusan bukan berdasar pada hatinya. Ia terpaksa mengiyakan, ketika
ibunya yang sedang sakit, memintanya untuk bertunangan dengan Kayla. Saat itu,
Satria tidak tega menolak permintaan ibunya. Sekarang, Satria merasa keputusan
ini adalah kesalahan terbesarnya. Tetapi, lagi-lagi, mana tega Satria menyakiti
hati ibunya. Ia mengusap wajahnya ketika ponsel yang digenggamnya bergetar.
Tadi, pagi-pagi sekali ia mengirim pesan kepada Kinta. Satria menyunggingkan
bibir ketika selesai membaca balasan sms dari Kinta. Ia segera lompat dari
duduknya, meraih jaket di atas kasur.
“Kenapa
kau mengajakku? Kenapa tidak—?” kalimat Kinta terhenti tiba-tiba. “Maksudku,
kau seharusnya pergi dengan Kayla,” tambahnya lagi.
“Kayla,
emm, dia sedang sibuk fitting gaun.
Lagi pula aku ingin sedikit membuat surprise
untuknya.” Satria mengangkat bahu, sedikit berbohong. Ia mulai menyalakan
mesin mobil. Kinta tidak tertarik untuk membahas tentang Kayla lagi.
Mereka
berdua mulai menyusuri lantai basement
pusat pembelanjaan yang besar itu. Sejak tadi keluar dari mobil, Satria tanpa
ragu langsung menggandeng tangan Kinta. Ia senang-senang saja melakukan itu.
Satria
sigap menangkap tubuh Kinta yang hampir jatuh. Kinta tadi sangat teledor ketika
menginjak tangga pertama eskalator. Satria tertawa lirih melihat raut muka
Kinta yang memerah. Malu sekaligus senang saat Satria berhasil menangkap
tubuhnya yang hampir terjungkal. Mungkin sudah beratus kali ia naik eskalator,
tapi baru kali ini Kinta sangat ceroboh.
“Lain
kali hati-hati, Nenek.” Satria tertawa geli seraya membimbing Kinta selama
berjalan di eskalator. Kinta menyeringai sebal.
“Apa
yang kau bilang barusan? Ne-nek?” ucap Kinta tidak terima. Mereka berdua sudah
sampai di lantai dua setengah menit kemudian.
“Ya.
Ne-nek.” Satria terkekeh melihat wanita di depannya berkacak pinggang.
“Setidaknya
kau lebih cantik dari nenek-nenek yang pernah aku lihat.” Satria mengatupkan
bibir, menahan gelak tawa. Kinta sudah bersiap memukul Satria dengan tasnya.
Satria cepat-cepat mengelak. Kinta sampai lelah sendiri.
“Selamat
siang,” tegur pelayan toko emas itu dengan ramah.
“Ada
cincin pertunangan yang pas dengan wanita di sebelah saya ini?” mata Satria
sibuk mengamati kaca etalase yang berderet khusus cincin. Kinta mengerjapkan
mata, ia tidak mengerti. Pelayan itu kembali membawa sepasang cincin yang
berkilau.
“Ini
koleksi terbaru kami. Terlihat cocok dengan Anda berdua.” Pelayan itu tersenyum
melihat dua orang di hadapannya. Satria mengambil salah satu cincin dari kotak
putih-kecil. Ia mengamati setiap detail cincin itu sejenak.
“Aku
pinjam tanganmu sebentar,” ucap Satria. Tanpa menunggu jawaban Kinta, ia
langsung meraih tangan wanita itu. Satria memasangkan cincin itu di jari manis
Kinta.
“Terlihat
pas sekali,” komentar Satria. Kinta, jantungnya berdegup demi melihat Satria
melakukan hal barusan. Kinta merasa tersanjung. Andaikan... andai semua ini menjadi kenyataan. Alangkah bahagianya ia
sekarang.
“Cocok
sekali.” Pelayan itu berdecak kagum. Kinta langsung melepas cincin itu dari
jari manisnya.
“Saya
ambil yang ini saja,” kata Satria mengeluarkan dompet dari saku celananya.
“Semoga
langgeng,” ucap pelayan itu seraya menyerahkan kotak putih-kecil yang berisi
sepasang cincin.
“Terima
kasih,” ujar Satria mengangguk, tersenyum. Kinta serba-salah, hanya ikut
tersenyum kikuk mendengar ucapan pelayan tadi.
***
“Kau
mau makan apa?” tawar Satria setelah keluar dari parkiran. Kinta bertopang dagu
melihat keluar jendela mobil.
“Kinta,
kau mau makan apa?” ulangnya sekali lagi, penuh kesabaran. Kinta gelagapan,
langsung menoleh ke arah Satria.
“Ya,
aku sangat menyukai cincinnya,” sahut Kinta cepat. Satria tertawa pelan.
“Kita
makan bakso saja,” ucap Satria setelah ia berhenti tertawa. Kinta mendengus
sebal.
“Kau
tidak mau memakannya? Ini kan bakso kesukaanmu?” tanya Satria melihat wanita di
hadapannya hanya mengaduk mangkok bakso tanpa menyantapnya.
“Aku
tidak sedang lapar,” sergah Kinta mendorong mangkok bakso itu sedikit menjauh.
“Sejak
kapan kau tidak berselera makan bakso?” tanya Satria lagi.
“Mulai
sekarang,” jawab Kinta pendek. Satria menelan ludah, meletakkan sendoknya,
urung menghabiskan baksonya. Satria merasa perubahan sikap Kinta sangat aneh.
Ya, semenjak membeli cincin tadi. Hampir terjatuh di eskalator, melamun di
mobil, dan tidak berselera makan bakso favoritnya. Apa yang sedang Kinta
rasakan sekarang? Satria mengusap dahinya yang berkerut.
“Thanks,
Kin.” Satria berkata lirih. Tanpa disangka sebelumnya, ia kemudian mengecup
kening Kinta.
“Kau
selalu membuat hidupku lebih berarti.” Satria tersenyum manis. Kinta mematung, Satria mengecup keningnya? Ya, tentu
saja hanya sebatas sebagai ucapan terima kasih. Kinta tak mau ambil pusing. Ia
mendorong pintu sampai terbuka. Lantas melambaikan tangan hingga mobil Satria
hilang di kelokan. Kinta mengusap keningnya. Kecupan itu terasa sangat
membekas. Kinta membuka gembok pagar rumahnya sambil bersenandung riang. Ia
salah menafsirkan tentang kedatangan Kayla, toh sampai detik ini ia dan Satria
belum terpisahkan. Kinta menggigit bibir, tetapi sewaktu-waktu Kayla bisa
merusak segalanya dalam sekejap. Dan semuanya akan terlupakan.
***
“Kau
dari mana, Sat?” tanya wanita paruh-baya dari belakangnya. Satria berbalik,
kembali menuruni dua anak tangga.
“Beli
cincin, Ma.” Satria berkata sumringah. Bukan
karena cincin itu, lebih karena ia tadi pergi membelinya bersama Kinta.
“Kenapa
tidak mengajak Kayla?” Ibu mengerutkan alis.
“Hmm..
Aku tidak perlu melibatkannya. Sedikit surprise,
dan aku harap Kayla menyukai cincin pilihanku ini.” Satria duduk berjongkok di
depan kursi roda ibunya. Wanita renta itu tersenyum bahagia mendengar
penjelasan anaknya itu. Satria begitu bahagia melihat senyum mengembang di
bibir ibunya. Satria segera menyeka sudut mata yang keriput ketika air bening
bersiap tumpah di kedua pipi ibunya.
Bersambung—
Tidak ada komentar:
Posting Komentar