Selasa, 12 Juni 2012

Endless Love | part 2

Cincin Pertunangan



Satria tergugu, berdiri di dekat salah satu jendela kamarnya, kedua tangannya terbenam di saku celana. Matanya menyiratkan kepedihan yang begitu mendalam. Tentang keputusan itu. Ia seperti sedang menyesalinya. Wajah kakunya tertunduk, sekarang ia memilih untuk duduk menjuntai di bingkai jendela besar itu. Hanya satu nama yang memenuhi otaknya. Kayla? Bukan. Kinta? Tentu saja.


Satria mengambil keputusan bukan berdasar pada hatinya. Ia terpaksa mengiyakan, ketika ibunya yang sedang sakit, memintanya untuk bertunangan dengan Kayla. Saat itu, Satria tidak tega menolak permintaan ibunya. Sekarang, Satria merasa keputusan ini adalah kesalahan terbesarnya. Tetapi, lagi-lagi, mana tega Satria menyakiti hati ibunya. Ia mengusap wajahnya ketika ponsel yang digenggamnya bergetar. Tadi, pagi-pagi sekali ia mengirim pesan kepada Kinta. Satria menyunggingkan bibir ketika selesai membaca balasan sms dari Kinta. Ia segera lompat dari duduknya, meraih jaket di atas kasur.



“Kenapa kau mengajakku? Kenapa tidak—?” kalimat Kinta terhenti tiba-tiba. “Maksudku, kau seharusnya pergi dengan Kayla,” tambahnya lagi.

“Kayla, emm, dia sedang sibuk fitting gaun. Lagi pula aku ingin sedikit membuat surprise untuknya.” Satria mengangkat bahu, sedikit berbohong. Ia mulai menyalakan mesin mobil. Kinta tidak tertarik untuk membahas tentang Kayla lagi.



Mereka berdua mulai menyusuri lantai basement pusat pembelanjaan yang besar itu. Sejak tadi keluar dari mobil, Satria tanpa ragu langsung menggandeng tangan Kinta. Ia senang-senang saja melakukan itu.


Satria sigap menangkap tubuh Kinta yang hampir jatuh. Kinta tadi sangat teledor ketika menginjak tangga pertama eskalator. Satria tertawa lirih melihat raut muka Kinta yang memerah. Malu sekaligus senang saat Satria berhasil menangkap tubuhnya yang hampir terjungkal. Mungkin sudah beratus kali ia naik eskalator, tapi baru kali ini Kinta sangat ceroboh.

“Lain kali hati-hati, Nenek.” Satria tertawa geli seraya membimbing Kinta selama berjalan di eskalator. Kinta menyeringai sebal.

“Apa yang kau bilang barusan? Ne-nek?” ucap Kinta tidak terima. Mereka berdua sudah sampai di lantai dua setengah menit kemudian.

“Ya. Ne-nek.” Satria terkekeh melihat wanita di depannya berkacak pinggang.

“Setidaknya kau lebih cantik dari nenek-nenek yang pernah aku lihat.” Satria mengatupkan bibir, menahan gelak tawa. Kinta sudah bersiap memukul Satria dengan tasnya. Satria cepat-cepat mengelak. Kinta sampai lelah sendiri.


“Selamat siang,” tegur pelayan toko emas itu dengan ramah.

“Ada cincin pertunangan yang pas dengan wanita di sebelah saya ini?” mata Satria sibuk mengamati kaca etalase yang berderet khusus cincin. Kinta mengerjapkan mata, ia tidak mengerti. Pelayan itu kembali membawa sepasang cincin yang berkilau.

“Ini koleksi terbaru kami. Terlihat cocok dengan Anda berdua.” Pelayan itu tersenyum melihat dua orang di hadapannya. Satria mengambil salah satu cincin dari kotak putih-kecil. Ia mengamati setiap detail cincin itu sejenak.

“Aku pinjam tanganmu sebentar,” ucap Satria. Tanpa menunggu jawaban Kinta, ia langsung meraih tangan wanita itu. Satria memasangkan cincin itu di jari manis Kinta.

“Terlihat pas sekali,” komentar Satria. Kinta, jantungnya berdegup demi melihat Satria melakukan hal barusan. Kinta merasa tersanjung. Andaikan... andai semua ini menjadi kenyataan. Alangkah bahagianya ia sekarang.

“Cocok sekali.” Pelayan itu berdecak kagum. Kinta langsung melepas cincin itu dari jari manisnya.

“Saya ambil yang ini saja,” kata Satria mengeluarkan dompet dari saku celananya.

“Semoga langgeng,” ucap pelayan itu seraya menyerahkan kotak putih-kecil yang berisi sepasang cincin.

“Terima kasih,” ujar Satria mengangguk, tersenyum. Kinta serba-salah, hanya ikut tersenyum kikuk mendengar ucapan pelayan tadi.

 
***

“Kau mau makan apa?” tawar Satria setelah keluar dari parkiran. Kinta bertopang dagu melihat keluar jendela mobil.

“Kinta, kau mau makan apa?” ulangnya sekali lagi, penuh kesabaran. Kinta gelagapan, langsung menoleh ke arah Satria.

“Ya, aku sangat menyukai cincinnya,” sahut Kinta cepat. Satria tertawa pelan.


“Kita makan bakso saja,” ucap Satria setelah ia berhenti tertawa. Kinta mendengus sebal.

“Kau tidak mau memakannya? Ini kan bakso kesukaanmu?” tanya Satria melihat wanita di hadapannya hanya mengaduk mangkok bakso tanpa menyantapnya.

“Aku tidak sedang lapar,” sergah Kinta mendorong mangkok bakso itu sedikit menjauh.

“Sejak kapan kau tidak berselera makan bakso?” tanya Satria lagi.

“Mulai sekarang,” jawab Kinta pendek. Satria menelan ludah, meletakkan sendoknya, urung menghabiskan baksonya. Satria merasa perubahan sikap Kinta sangat aneh. Ya, semenjak membeli cincin tadi. Hampir terjatuh di eskalator, melamun di mobil, dan tidak berselera makan bakso favoritnya. Apa yang sedang Kinta rasakan sekarang? Satria mengusap dahinya yang berkerut.


“Thanks, Kin.” Satria berkata lirih. Tanpa disangka sebelumnya, ia kemudian mengecup kening Kinta.

“Kau selalu membuat hidupku lebih berarti.” Satria tersenyum manis. Kinta mematung, Satria mengecup keningnya? Ya, tentu saja hanya sebatas sebagai ucapan terima kasih. Kinta tak mau ambil pusing. Ia mendorong pintu sampai terbuka. Lantas melambaikan tangan hingga mobil Satria hilang di kelokan. Kinta mengusap keningnya. Kecupan itu terasa sangat membekas. Kinta membuka gembok pagar rumahnya sambil bersenandung riang. Ia salah menafsirkan tentang kedatangan Kayla, toh sampai detik ini ia dan Satria belum terpisahkan. Kinta menggigit bibir, tetapi sewaktu-waktu Kayla bisa merusak segalanya dalam sekejap. Dan semuanya akan terlupakan.

***

“Kau dari mana, Sat?” tanya wanita paruh-baya dari belakangnya. Satria berbalik, kembali menuruni dua anak tangga.

“Beli cincin, Ma.” Satria berkata sumringah. Bukan karena cincin itu, lebih karena ia tadi pergi membelinya bersama Kinta.

“Kenapa tidak mengajak Kayla?” Ibu mengerutkan alis.

“Hmm.. Aku tidak perlu melibatkannya. Sedikit surprise, dan aku harap Kayla menyukai cincin pilihanku ini.” Satria duduk berjongkok di depan kursi roda ibunya. Wanita renta itu tersenyum bahagia mendengar penjelasan anaknya itu. Satria begitu bahagia melihat senyum mengembang di bibir ibunya. Satria segera menyeka sudut mata yang keriput ketika air bening bersiap tumpah di kedua pipi ibunya.









Bersambung—

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Cari Blog Ini