Selasa, 05 Maret 2013

Pelangi Bersamamu, Season 3


                                      

            “Aku takut pelangiku kehilangan warnanya. Aku takut hujan akan meninggalkanku. Aku takut hujan akan membawa pelangiku pergi dan tak pernah kembali. Aku takut kehilangan waktu bersamamu.” Mita menangis dalam pelukku saat itu. Aku tahu seberapa besar ketakutannya akan hal itu. Aku tidak bisa memungkirinya, karena aku juga merasakan hal yang sama. Hanya saja, aku memilih diam dan membiarkan Mita berbicara banyak. Bukan. Bukan karena aku takut menjawabnya. Semua tertahan di tenggorokan. Terlalu sulit, bahkan hanya untuk sepatah kata pun. Tanpa sadar, kerapuhan Mita adalah kerapuhanku juga. Separuh hatinya telah menjadi separuh hatiku. Begitu juga sebaliknya. Sampai kami sangat takut menghadapi kenyataan yang ada. Bukan hanya Mita yang menangis kala itu. Aku yang mendekap tubuhnya yang kuyup juga ikut menangis. Saat itu, aku mulai bertanya dalam hati yang paling dalam, kenapa aku dan Mita harus dipertemukan dengan jalan seperti ini. Dan di saat kami saling menaruh hati, badai datang secara tiba-tiba. Aku hanya takut ia mengeluarkan terlalu banyak air mata.

            Kota ini selalu memberiku cerita yang baru, juga hari yang baru. Kota tempat dimana aku seharusnya pulang. Kota yang merekam kenangan-kenangan indah. Kota yang selalu dilingkupi kabut. Kota saat untuk pertama kalinya aku bertemu dengan Mita. Aku menghela napas. Terasa sesak saat detik-detik pertemuanku dengan Mita di bukit dulu terputar dalam otakku. Ketika aku menemukannya terjerembab di semak dengan lebam di tubuhnya. Semua getaran itu tidak pernah lebih dari faktor kembar.

            Pagi yang masih berembun membatasi jarak pandang. Kini kebun teh di depanku nyaris tertutup tebalnya kabut. Aku duduk di teras, menikmati pagi yang baru. Tentu saja aku tidak sedang duduk di teras villa-ku. Di sini, di rumah ini seharusnya menjadi tempat aku menghabiskan masa kecilku dengan keluarga yang lengkap. Tetapi, ternyata aku bisa berada di rumah ini setelah sekian lama hidup hanya berdua dengan Ayah.
            “Wahyu! Wahyu!!”
            Aku melompat dari dudukku, seketika tersadar dari lamunanku saat Bunda berteriak memanggilku.
            “Ada apa, Bun?” tanyaku ikut panik.
            “Mita nggak ada di kamarnya. Semalam dia nggak mau makan. Ini pagi-pagi malah udah kabur entah kemana. Mana lagi demam!” Bunda melapor dengan kalap. Demam? Aku langsung berpamitan, tidak salah lagi, aku akan mencarinya ke bukit.

***       

“Huh, curang nih! Ke sini nggak ngajak-ngajak!” Aku duduk di sebelahnya. Ia tidak mengindahkan kedatanganku. Menoleh saja tidak.
            “Dicari Bunda tuh. Suruh pulang,” kataku.
            “Paling juga disuruh makan. Terus minum obat!” Mita tetap saja tidak menatapku. Aku tidak tahu apa yang sedang ia pandangi di depan sana. Sementara sejauh mata memandang hanya ada kabut.
            “Kamu masih pusing?” tanyaku cemas.
            “Lepas!” bentaknya saat aku meletakkan punggung tanganku di keningnya. Aku segera menarik tanganku.
            “Kamu kecewa sama aku? Oke, aku terima. Tapi jangan sekali-sekali bawa orangtua kita,” kataku, yang berhasil membuat Mita menoleh. Ini hal yang sangat sensitive, tentu saja aku tahu. Aku merebahkan punggungku di rumput yang basah. Awan mulai berarak di atasku.
            “Kamu belum bisa mengikhlaskannya, Mit?” tanyaku saat Mita tak kunjung bicara.
            “Menurut kamu, aku harus jawab apa?” Mita ikut berebah di sampingku.
            “Aku ingin melihat Mita yang tegar. Bukan yang hobinya nangis melulu,” ucapku, berhasil memancing tangan Mita untuk menyikut perutku.
            “Terus hubungan kamu sama Dara gimana?”
            “Hah?”
            “Iya, hubungan kamu sama Dara. Masa’ nggak peka sih?” Mita sedikit sebal. Aku tertawa samar. Karena memang perasaanku terhadap Dara hanya semacam.. hanya semacam.. hanya.. bahkan aku tidak tahu. Selama ini aku tidak pernah menghiraukan Dara. Karena saat itu semua hidupku ada hanya untuk Mita. Sehingga aku tak sempat ‘melihat’ Dara.
            “Buat apa ke sini, kalau cuma buat bengong!” Mita sengaja menyindir. Aku kembali tersadar.
            “Aku nggak ada feeling sama dia. Cuma aku menghargai dia sebagai perempuan.” Aku bangkit, kemudian duduk.
            “Nikah aja sama dia, siapa tahu bisa cinta,” katanya dengan ketus.
            “Akan aku coba,” kataku.
            “APA?” Mita terlihat memicingkan matanya. Aku menyeringai.
            “Kenapa? Bukannya itu malah bagus? Kita bisa saling melupakan. Iya kan?” Aku berdiri. Mita masih tertegun dalam duduknya. Entah karena kalimatku, atau kalimatnya sendiri tadi.
            “Kalau kamu nikah, aku sama siapa?” Mita memelukku dari belakang. Dari nada suaranya terdengar rajukan seorang adik kepada kakaknya, bukan seperti yang kalian pikirkan. Kalimat itu terdengar sangat lugu.
            “Kan ada Ikmal?” jawabku, terkekeh. Mita diam saja, tetap memelukku. Aku tidak mengerti apa yang sedang ia pikirkan sekarang. Kalau aku bertanya, besar kemungkinan ia akan berkilah.
            “Pulang yuk. Bunda khawatir banget sama kamu. Kita sarapan sama-sama. Kalau perlu aku juga minum obatnya deh,” bujukku. Mita tidak merespon sama sekali. Aku menoleh. Ia masih memelukku. Namun aku tidak sadar jika pelukannya mengendur. Ia nyaris jatuh kalau aku tidak cepat-cepat menahannya. Mita pingsan tanpa sepengetahuanku.

***

            “Apa kata dokter?” Ayah yang baru datang bertanya cemas kepadaku. Aku menggeleng. Sedangkan Bunda terus saja mondar-mandir di depan pintu.
            “Wahyu?” Pintu terbuka, dokter memanggilku. Aku terkesiap, lantas cepat mendekat. Bunda juga ikut mendekat, ingin ikut masuk melihat kondisi Mita. Namun dokter segera mencegah, “mohon bersabar, Bu.”

            “Hei… masih pusing?” Pertanyaan yang sama ketika di bukit tadi pagi. Wajahnya pucat, bibirnya sedikit pecah-pecah. Aku hanya bisa berdoa, semoga tidak akan ada yang bisa menghilangkan senyumnya.
            “Kenapa bengong? Hobi banget,” katanya dengan suara serak. Aku terkesiap.
            “Mita?”
            “Iya?”
            “…….”
            Aku termenung. Kurasa bukan sekarang waktu yang tepat untuk mengatakannya kepada Mita. Takutnya malah membuat kondisinya memburuk. Mita memandangiku dengan heran, namun ia memilih diam dan tidak bertanya apa pun. Kami larut dengan pikiran masing-masing. Saling mengunci mulut.

***
            “Dara? Kapan datang?” tanyaku agak terkejut begitu keluar dari ruangan Mita. Dara persis berdiri di depan pintu.
            “Baru aja kok,” ia tersenyum. Ia cantik hari ini, mengenakan serba kuning.
            “Ngobrol di taman aja, yuk.” Ajakku. Sementara kulihat Bunda masuk menemui Mita.
            “Mita sakit apa?” tanyanya saat kami sudah duduk di bangku panjang. Aku mengangkat bahu.
            “Oh ya, aku bawa makanan buat kamu..” Dara mengambil sesuatu dari tasnya. Lalu menyodorkan kotak makanan kepadaku. Aku ragu menerimanya. Tapi ia memaksaku lewat tatapan matanya. Aku tertegun. Ia selalu baik. Dan tentu saja aku mulai peka. Tetapi.. rasanya berat untuk mencintai gadis di sampingku ini.
            “Thanks,” ucapku. Ia hanya tersenyum. Aku membuka kotak makanan itu. Sedikit terkejut saat aku melihat nasi goreng dengan bentuk wajah. Ada dua irisan tomat sebagai mata, irisan cabai sebagai hidung, dan saos sebagai bibir yang membentuk senyum. Sejak saat itu mulai timbul rasa yang aku sendiri belum mengetahuinya. Tidak pernah mudah untuk mengganti posisi Mita begitu saja.
            “Enak banget!” komentarku setelah melahap sendokan pertama. Wajah Dara bersemu kemerahan.

***

Mita pulang hari ini. Alasannya sepele saja, karena Mita tidak doyan dengan bubur rumah sakit. Aku sudah mencegah. Bunda juga tidak berdaya. Apalagi Ayah, ia memilih untuk diam. Namun setelah dipikir lebih baik menuruti permintaannya, daripada ia terus-terusan tidak mau makan.
            “Akhirnya aku bisa lihat hujan lagi.” Mita bergumam ke arah jendela mobil. Aku yang duduk di sebelahnya ikut menoleh. Ini musim kemarau. Aku jadi teringat dengan kalimat-kalimat itu. Mita selalu bilang, “setiap kali kamu ada, hujan akan turun di musim kemarau.” Dulu aku terlalu serius menanggapi. Dan sekarang aku mulai berpikir bukan karena aku. Tentu saja ini siklus alam. Tidak ada kaitannya dengan kehadiranku.
            “Tuh kan!” katanya kepadaku, ia menjentikkan telunjuknya. Aku mengangkat sebelah alisku. “Hujan turun di musim kemarau saat kamu ada. Dulu waktu kamu nggak ada di sini, nyaris nggak turun hujan.”
            Bunda yang duduk di depan menoleh, tertawa. Lantas berkata, “jangan ngelantur, Mit. Kamu aneh-aneh aja. Memangnya Wahyu penari hujan? Atau pawang hujan?” Mita memasang wajah sebal. Aku terpingkal. Ayah diam, tetap fokus dengan jalan di depan. Tidak tertarik untuk menimpali. Namun sejak tadi kulihat ia mengusap wajah beberapa kali. Seperti sedang gelisah.

            Tanpa disuruh aku langsung membopong Mita keluar dari mobil. Ia sempat protes keras. Namun aku tak mengindahkan. Ia langsung merangkulkan tangannya ke leherku. Mungkin karena takut jatuh.
            “Eh, ada Dara?” Bunda kaget mendapati Dara sudah duduk manis di sofa ruang depan. Aku juga sedikit terkesiap. Dara terpaku menatapku yang menggendong Mita. Bukan apa-apa. Aku hanya tidak ingin ia berpikir yang macam-macam. Sementara Bunda mengobrol dengan Dara, aku langsung membawa Mita ke kamar.
            “Kamu masih marah sama Dara?” tanyaku. Mita menggeleng kuat-kuat. Mulutnya terkunci rapat. Ia meraih selimut tebal, lalu meringkuk di dalamnya, memunggungiku. Tidak ada kalimat yang terlontar. Aku membungkukkan badan, mengecup pelipisnya. Ya Tuhan, getaran ini tidak pernah hilang. Malah setiap hari semakin terasa amat sangat nyata. Meski aku berusaha sekuat tenaga untuk mengingkari hatiku, berdusta pada hatiku, nyatanya tetap sia-sia. Aku selalu gagal untuk berhenti mencintaimu, Mita—

            “Mita langsung tidur. Maaf ya,” ucapku.
            “Oh, nggak apa-apa.” Dara mengangguk maklum. Ia lalu berpamitan pulang. Padahal Bunda baru saja muncul membawa minum.

***
           
Kami berempat duduk di ruang keluarga. Keempatnya saling diam. Bunda membolak-balik majalahnya. Mita memencet-mencet remote tv dengan bosan. Ayah sendiri sibuk dengan laptop di depannya. Aku mendehem, dan membuat Mita melirikku.
            “Aku ingin bicara..” Aku dengan cepat membuat mereka bertiga menoleh serempak.
            “Bicara apa, Nak?” kata Bunda yang sudah menaruh majalahnya. Ayah menyingkirkan laptopnya. Seketika suasana menjadi tegang dan serius. Mita kemudian meletakkan remote di atas meja.
            “Aku ingin serius dengan Dara,” ucapku, meski dengan suara yang bimbang, nyatanya tetap memancing reaksi dari Mita.
            “Nggak! Nggak boleh!” teriaknya.
            “Bunda setuju kok. Dia anak yang sopan, baik lagi.” Bunda sepenuhnya berada di pihakku.
            “Nggak! Mita nggak setuju!” desisnya lagi, kali ini lebih tajam.
            “Ayah juga setuju kalau kamu mau berhubungan serius dengan Dara. Nggak usah pacaran, langsung aja lamar dia.” Sempurna, aku mendapat dukungan penuh.
            “Nggak boleh! Pokoknya nggak boleh.” Mita meledak. Ia lebih memilih untuk menyingkir, untuk menutupi air matanya. Aku berlari menyusulnya. Mita berhenti di balkon atas. Tangisannya terdengar lirih. Aku tidak sanggup mendekat. Itu sama saja membunuhku secara perlahan. Karena aku tidak ingin merasakan getaran itu sekarang, hanya akan menambah berat langkahku untuk mengambil keputusan. Maafkan aku yang membiarkanmu menangis seorang diri.

            “Sudahlah, Yu. Mita biar jadi urusan Bunda. Kamu lebih baik mulai fokus dengan rencanamu itu.” Aku terhenyak ketika Bunda muncul di belakangku. Bunda menatap dengan prihatin.

***
            “Apa? Kamu pasti lagi bercanda. Iya kan? Udah deh, aku tahu kok!” Dara menganggap apa yang aku katakan hanya sebuah lelucon.
            “Jadi, kamu mau nikah sama aku?” ia masih tertawa. Aku menunggu sampai tawanya berhenti.
            “Aku ingin menemukan aku yang baru. Dan aku percaya kamu bisa membuat hari-hariku berbeda.” Aku menggenggam satu tangannya. Ia mengalihkan matanya dari pandanganku. Aku bisa merasakan tangannya yang dingin sekali. Padahal cuaca sedang cerah. Kabut juga sudah tidak menutupi perkebunan teh ini. Wajahnya bersemu merah.
            “Jujur, aku kaget banget kamu ngomong gini. Padahal semalam aku nggak mimpi apa-apa.” Dara balas meremas tanganku.
            “Jadi?” tanyaku meminta kepastian. Ia menjawabnya dengan anggukan dan senyum malu-malu. Seharusnya aku lega karena Dara menerimaku. Seharusnya aku bahagia sekarang, karena semua berjalan mulus. Tetapi ada rasa yang jauh lebih hebat berkecamuk di hatiku. Sehingga menutupi rasa bahagia itu.

            “Mita pulang-pulang nangis. Tadi dia pamit mau nyusul kamu. Pas ditanya malah diam aja,” kata Bunda seraya menata sarapan di meja. Aku mengusap wajahku dengan getir. Mita menyusulku? Apa dia sudah mendengar semuanya? Aku yakin dia mendengarnya. Ya Tuhan—
            Aku memutar gagang pintu kamarnya, karena memang tidak terkunci. Kulihat ia tengkurap di kasur. Aku mendekat, lalu duduk di tepi kasur.
            “Beri aku alasan kenapa kamu nangis..” Aku mengacak rambutnya. Dia sama sekali tidak merespon. Aku mengoyak pundaknya. Mita tetap saja diam. Panik mulai menderaku. Aku membalik tubuhnya dan mendapati ia yang tak sadarkan diri. Wajahnya pucat sekali.

***

            Aku seperti tidak mengenal Mita semenjak kami tahu jika kami saudara kembar. Ia berubah perlahan, dulu aku terlalu sibuk untuk menyadarinya. Rasanya seperti ada tembok raksasa yang membelenggu kami. Aku merasa ada yang hilang. Aku bisa merasakan jika pelangi itu mulai memudarkan warnanya. Tidak seperti dulu yang selalu bersinar. Tanpa sadar aku mulai kehilangan sosok Mita. Aku mulai mencari-cari kemana hilangnya warna-warna pelangi di wajahnya.
            “Aku sedih melihat Mita seperti ini, Yah.” Aku duduk bersama Ayah di kafetaria rumah sakit. Menyeduh kopi bersama. Ayah diam, raganya memang di sini, tetapi nyawanya mungkin berada di tempat lain.
            “Mita sakit, Yu. Itu yang membuat akhir-akhir ini wajahnya selalu pucat. Ditambah lagi dia nggak mau minum obat-obatnya.” Ayah menatapku serius dari balik kacamatanya. Aku menangkup wajahku dengan kedua tanganku.
            “Sakit? Selain sakit demam?” selidikku. Ayah menggeleng.
            “Ayah jangan membuatku bingung,” desakku. Ayah menarik napas, lalu menghelanya.
            “Ayah tidak tahu sampai kapan Mita bisa bertahan,” ungkapnya. Mataku membelalak kaget. Sakit itu tidak pernah main-main jika sudah menyangkut bisa bertahan atau tidak. Aku mendongakkan kepalaku, kutahan air mataku supaya tidak jatuh. Aku takut bertanya lebih jauh. Mendengar kalimat tadi sudah menjadi mimpi burukku. Tuhan, apa yang sedang Kau rencanakan? Memisahkan kami? Apa belum cukup dengan kenyataan kalau kami saudara kembar? Kenapa harus bertubi-tubi seperti ini?

            Kulihat Dara baru saja keluar dari ruangan Mita saat aku kembali dari kafetaria. Matanya sembab kemerahan. Aku menahan lengannya saat ia berlalu begitu saja dari hadapanku. Ia berusaha melepas tanganku. Namun peganganku lebih kuat.
            “Ada apa?” tanyaku khawatir. Dara menggeleng. Aku mengajaknya duduk.
            “Kamu kenapa?” tanyaku dengan tenang. Ia masih sesenggukkan.
            “Aku nggak mau hidup dalam kebohongan,” katanya, menatapku getir.
            “Maksudnya?” tanyaku, belum paham.
            “Kamu itu cuma mimpi buat aku, ngerti?!” katanya tajam. Aku mengendurkan tangannya. Ia beranjak dari duduknya.
            “Mita bilang apa sama kamu?” tanyaku, entah mengapa kalimat tuduhan itu keluar dari mulutku.
            “Mita nggak bilang apa-apa. Tapi aku cukup sadar, Yu. Mita lebih butuh kamu, daripada aku. Begitu juga sebaliknya. Kamu butuh Mita, bukan aku, atau siapa pun.” Dara berbalik, berlari pergi dari hadapanku. Aku hanya bisa menatap rambut panjangnya yang bergerak saat ia berlari menjauh. Bahkan aku belum sempat untuk meyakinkannya lagi.
           
***

            “Kak Wahyu?” ia akhirnya bersuara setelah kami selesai berkeliling rumah sakit. Aku berhenti mendorong kursi rodanya. Butuh waktu beberapa detik untuk menyadari kalau ia memanggilku ‘kakak’.
            “Iya?” jawabku, sedikit berjongkok di hadapannya.
            “Mita udah ikhlas, Kak. Mita mau melihat kak Wahyu menikah dan…’’ katanya meraih kedua tanganku, “bahagia.” Lanjutnya.
            “Ta.. tapi..” sergahku.
            “Kebahagiaan kak Wahyu adalah kebahagiaanku juga,” ia memutus kalimatku.
            “Aku takut jika aku tidak sempat melihat kak Wahyu menikah,’’ lanjutnya lagi. Kali ini ada sorot mata yang berbeda di bola matanya. Ingatanku tersedot pada perkataan Ayah sewaktu di kafetaria tempo hari.
            “Aku rela kehilangan pelangi-ku. Aku juga tidak keberatan kehilangan hujan-ku. Asal.. asal.. ia bisa menemukan tempat untuk pulang, tempat untuk bermuara.” Mita menangis. Air matanya yang menetes di tanganku membuatku terkesiap dari lamunanku. Aku bangkit dan mencium ubun-ubunnya. Aku belum tahu penyakit apa yang tengah mendera Mita akhir-akhir ini. Tuhan, biar aku saja yang merasakan sakit. Jangan Mita—


***

            Satu minggu setelah Mita keluar dari rumah sakit…

Aku akhirnya menuruti permintaan Mita waktu itu. Demi membuat hati Mita lega, aku akan menikah dengan Dara hari ini. Tidak ada pesta-pesta mewah. Hanya satu tenda biru yang terpasang di depan rumah, dengan janur kuning yang melengkung di pagar. Aku seharusnya bahagia. Harusnya aku bisa tersenyum lepas. Tapi aku sulit melakukannya.
Aku duduk tenang di depan penghulu. Ayah dan Bunda duduk di belakangku. Aku menoleh sekilas, dan mendapati Mita tidak ada di sana.
“Mau kemana, Yu?” cegah Bunda, melihat aku yang hendak berdiri.
“Mita dimana, Bun?” tanyaku sedikit panik.
“Mita masih di kamarnya. Kamu kan tahu, dia dandannya lama banget.” Bunda berhasil membuatku tenang.
“Bunda paksa dia pakai kebaya?” tanyaku. Bunda menggeleng. Ayah menahan senyum di sampingnya.
“Atau… Bunda paksa dia pakai high heels?” desakku. Bunda menggeleng lagi.
“Siapa sih yang bisa maksa dia? Kamu aja nggak bisa kan?” Bunda tertawa pelan. Aku menyeringai.
“Aku cari Mita sebentar ya, Bun. Sebentar aja deh,” rajukku. Bunda melolot, tatapan matanya seperti bilang, ‘jangan sekali-sekali bergerak!’
“Dara sebentar lagi keluar. Jadi kamu jangan pergi kemana-mana,” tegas Ayah. Aku menghela napas. Sama sekali belum tenang sebelum melihat Mita duduk di belakangku. Entah dari mana datangnya perasaan itu. Firasatku benar-benar tidak enak. Saat aku sibuk dengan pikiranku, semua perhatian para tamu sudah teralih. Aku ikut menoleh. Dara turun dari tangga dengan anggun sekali, tangan kanannya menggenggam erat tangan ibunya. Gaun putih yang membalutnya berkilau terkena sinar matahari yang menembus celah-celah jendela. Aku membeku seketika. Darahku berhenti mengalir. Duniaku hilang sejenak. Aku seperti lupa berpijak pada lantai. Ia hampir dekat. Aku langsung terhenyak saat duniaku kembali. Seperti diingatkan kalau Mita belum muncul juga. Kembali ingat kalau aku tidak bisa menikah jika tidak ada Mita di sini. Secantik apa pun Dara saat ini, aku tidak peduli.
“Mita mana? Kamu lihat dia?” Pertanyaan bodoh. Dara terperangah mendengarnya.
“Sudah siap calon mempelai?” Pak penghulu menyela. Dara samar mengangguk.
“Tunggu, pak. Saya ingin mencari saudara kembar saya terlebih dahulu,” tegasku, tidak peduli Bunda yang mencegah, atau tatapan tajam dari Ayah. Aku tidak menghiraukannya. Aku berlari melewati Dara, tangannya sempat menarikku, lalu dengan sendirinya ia melepas tanganku.
Baru satu langkah berpijak pada anak tangga pertama, aku mendengar suara benda jatuh. Cukup keras. Sehingga membuat para tamu, Ayah dan Bunda, juga Dara terkejut. Aku tak kalah terkejutnya. Aku berlari melewati anak tangga ke lantai atas.
“Mit, kamu kenapa?” teriakku menggedor pintu kamarnya yang terkunci.
“Mit, kamu di dalam?” teriakku lagi. Aku mengambil ancang-ancang untuk mendobrak pintunya. Dalam hentakan bahu lima kali pintu baru bisa terbuka. Kamarnya dalam keadaan kosong. Mataku menyapu ke sudut-sudut kamar. Aku beralih menggedor pintu kamar mandi. Sial! Terkunci. Aku berniat mendobraknya lagi, tapi Ayah yang baru menyusul sudah mencegahku.
“Kendalikan emosimu, Yu!” Ayah menahanku. Aku mendengar sirine ambulans di halaman depan.
“Mita di mana, Yah?” aku mengoyak lengan Ayah.
“Di kamar Bundamu,” katanya dengan tenang. Aku berlari menuruni tangga secepat yang aku bisa.
“Mita…”
“Mita…”
Dengan sigap aku menyibak kerumunan tamu di depan kamar itu. Juga menyibak petugas medis yang hendak mengangkat tubuh Mita. Bunda menangis histeris di dekat pintu, tidak berani mendekat.
“Mita…” kataku pelan. Kuangkat kepalanya yang terkulai lemas. Di sekitarnya banyak kepingan guci yang tadi pecah. Aku mengusap pipinya yang penuh dengan darah. Darah terus keluar dari hidungnya. Aku membopongnya, dengan teratur tamu yang tadi berjubel di depan pintu kini berangsur menepi, memberi jalan. Dara? Aku tidak sempat melihat keberadaannya.

***

            Dengan hati yang penat aku menyandarkan kepalaku pada dinding koridor rumah sakit. Bunda menangis dalam dekapan Ayah. Sejak tadi tangisannya belum mereda. Banyak yang memenuhi otakku. Keadaan Mita bagaimana di dalam sana? Bagaimana dengan Dara? Bagaimana dengan pernikahanku? Sudahlah, aku bahkan tidak peduli jika kemejaku penuh dengan darah. Aku tidak akan bisa tenang selama kepastian tentang keadaan Mita belum kudapat. Perlahan aku melirik Ayah. Tatapanku seolah meminta penjelasan. Ayah menunduk dan tidak menatapku lagi.
            “Keadaan Mita gimana?” seseorang menepuk bahuku. Aku refleks mendongak. Ikmal?
            “Sorry baru bisa datang. Ada urusan keluarga di Jakarta.” Ia duduk di sampingku, setelah tersenyum kepada Ayah dan Bunda.
            “Eh, Dara kok nggak kelihatan?” tanyanya kemudian. Aku mengusap wajahku.
            “Ya udah, nggak usah dijawab. Gue sangat paham, ini berat buat lo.” Ikmal menepuk-nepuk pundakku.
            “Gue sayang mereka berdua, Mal. Gue nggak mau salah satu di antara mereka terluka. Tapi lo lihat kan apa yang udah gue lakukan? Gue melukai salah satunya. Dara.” Aku menatap lantai di bawahku, menautkan kesepuluh jariku dengan kuat.
            “Lo juga nggak akan menduga ini bakal terjadi kan? Jadi jangan terus-terusan nyalahin diri lo.” Ikmal menghiburku lagi.


Ada banyak hal yang aku takutkan saat kamu tidak ada dalam hidupku, Mita. Kamu tahu? Aku akan kehilangan pelangi dalam hidupku. Aku akan kehilangan hujan dalam hidupku. Untuk apa ada hujan di musim kemarau jika pelangi tidak akan muncul lagi? Melewati waktu bersamamu sama berartinya dengan aku bernapas. Berada di dekatmu membuatku tenang menghadapi apa pun, karena kamu adalah kekuatanku. Kamu yang memiliki separuh raga ini. Sehingga ketika kamu pergi, sama halnya kamu membawa separuh duniaku pergi bersamamu—


“Wahyu?”
“……..”
“WAHYU!” Aku tidak tahu Ikmal memanggilku berapa kali. Aku terlelap sejak satu jam yang lalu.
“Mita sadar,” ujarnya. Aku mengucek mataku.
            “Eittttss. Tunggu!” sergahnya. Aku mengerutkan alis, “kenapa?”
            “Ada Dara di dalam. Lo udah siap ketemu sama dia?” katanya dengan hati-hati. Aku sedikit gamang, namun aku tetap ingin masuk.
            Benar apa yang dikatakan Ikmal. Dara berdiri di samping Mita. Ia menatapku sejenak lalu menunduk dalam-dalam.
            “Aku nggak mau sampai kamu kenapa-napa,” bisikku saat aku memeluknya. Mita mengelus punggungku.
            “Kak Wahyu nggak bakal ninggalin aku kan?” katanya, dan hanya aku yang bisa mendengarnya. Aku tahu kecemasan itu, karena aku juga merasakannya. Aku mengangguk untuk menjawabnya.
            “Kakak pengen lihat kamu cepat sembuh. Biar kita bisa main ke bukit lagi,” kataku dengan tersedu. Aku masih dalam posisi memeluk Mita yang terbaring di kasur. Aku sedikit mengesampingkan urusan Dara.
            “Kapan ya ada pelangi di bukit lagi? Mita udah lama nggak lihat pelangi, kak. Mita keseringan tidur ya? Jadi nggak tahu deh,” ia tersenyum sendiri. Aku melihat Bunda menyeka sudut matanya. Dara? Ia berlari keluar seraya menahan tangis.
            “Eh, ada Ikmal?” Mita sudah kembali ceria. Aku melepas pelukanku. Ikmal mendekat.
            “Kangen nih sama Mita yang dulu,” ucap Ikmal, berusaha menciptakan suasana baru. Sayang sekali, rasanya tidak tepat untuk saat ini.
            “Semua orang berhak berubah. Tuh rambutmu aja udah nggak jabrik lagi,” timpal Mita, tertawa. Ikmal hanya tersenyum.
            Sore itu kami menyangka keadaan Mita menujukkan tanda-tanda akan membaik. Mita sudah tertawa lepas seperti dulu. Seperti Mita yang masih mempunyai pelangi di bola matanya. Mita yang selalu terlihat apa adanya. Mita yang selalu menganggapku selalu membawa hujan pada musim kemarau. Tetapi kami harus menelan ludah penuh kegetiran. Menjelang malam hari ia pergi begitu saja. Tanpa sepatah kata pun. Tanpa berpamitan. Malam itu langit menggelegar. Satu per satu air jatuh ke bumi, seperti sengaja mengiringi kepergian Mita.
            Kakiku terasa lemas sehingga aku terduduk di depan kamar jenazah. Bunda pingsan beberapa menit yang lalu. Ikmal dan Dara mematung di dekatku. Mereka sama sekali tidak berani menggangguku. Mulut kukunci rapat-rapat, bahkan aku tidak membiarkan air mataku jatuh. Biarkan aku menangisinya di dalam hatiku, tempat di mana aku meletakkan seluruh kenanganku bersama Mita. Tempat yang akan, masih dan terus ditempati oleh Mita.

            Maafkan aku Mita, aku tidak bisa menepati janjiku kepadamu. Begitu banyak hal yang aku takutkan ternyata terjadi terlalu cepat. Senyummu. Pelangimu. Hujan di musim kemarau. Semua seperti hilang begitu saja dari hidupku, tanpa kata permisi.

            Tanpa aku sadari, di luar sana, di langit yang sedang tumpah. Warna-warna yang tercetak dengan sendirinya menghias langit malam. Langit yang kelam tanpa bulan dan bintang, nyatanya tersemat sebuah pelangi yang melengkung teramat indah. Sayang, Mita sudah tidur.





TAMAT                               
           

SEPTEMBER (Kau dan Aku)





Aku adalah salah satu orang di antara milyaran orang di bumi yang menjadi korban ‘broken home’. Mempunyai jiwa pemberontak, tentu saja. Kehidupanku sangat berbeda jauh dengan mereka yang mempunyai keluarga yang utuh. Aku anak tunggal yang selalu menjadi piala bergilir untuk Mama dan Papa. Mereka akan berlomba-lomba memaksaku tinggal dengan salah satu di antara mereka. Lantas, setelah aku menuruti apa mau mereka, kalian tahu apa yang mereka lakukan? Sama saja. Mereka lebih memilih sibuk dengan bisnis mereka. Aku hanya dijadikan pajangan di rumah besar mereka.
Hingga aku memutuskan untuk kabur. Terlalu nekad untuk ukuran seorang perempuan. Status itu tidak masalah bagiku—selama aku bisa menjaga diri. Aku melambaikan tangan saat sebuah bis muncul dari seberang jalan.
Aku duduk persis di dekat jendela, kebetulan hujan turun dan membuat hatiku tenang. Hujan selalu membuatku lega, ada perasaan tenang saat melihat air turun dari langit. Seperti ada yang menemani tangisku—meski di depan semua orang aku tidak pernah menangis. Ternyata hujan turun lebih cepat di awal bulan September.
Hujan masih deras saat aku turun dari bis. Aku berlari kecil, langsung ke arah danau. Tidak banyak yang tahu dengan keberadaan danau ini, karena letaknya yang kurang strategis—jauh dari pusat kota. Butuh waktu sepuluh menit untuk sampai ke danau dari tempatku turun dari bis tadi.
“Maaf…” Ia menoleh begitu aku datang. Aku mengerutkan dahi, lantas berpikir sejenak. Mungkin orang ini menyadari keterkejutanku atau memang ia meminta maaf karena telah mengambil ‘tempat’ku. Aku menggeleng. Ia juga basah kuyup sepertiku. Heran saja melihat ada orang di sini. Padahal selama bertahun-tahun aku ke sini, aku tidak pernah melihat orang menyambangi danau ini.
“Sekali lagi maaf ya, Mas?” katanya ragu.
“Mas?” aku melongo, terkaget-kaget.
“Saya udah pantas dipanggil ‘mas’ ya?” tanyaku balik. Ia memiringkan kepala, memandangiku dari ujung sepatu sampai ke rambut. Dan bodohnya, aku ikutan memandangi penampilanku sendiri.
            “Terus saya harus panggil apa?” tanyanya berbasa-basi. Entah mengapa, aku tidak sesebal seperti biasanya. Mungkin karena ia mempunyai tatapan yang ramah.
            “Panggil Septi aja,” kataku mengulurkan tangan. Tunggu.. kenapa aku se-extrovert ini? padahal bisa saja orang ini orang jahat. Ia menyambut uluran tanganku.
            “Fajar… Fajar Septa.” Ia mantap menyebutkan namanya. Aku tertegun.
            “Lahir bulan September juga?” tanyaku, spontan. Ia mengangguk. Aku menatapnya cukup lama. Lelaki ini seperti mempunyai apa yang aku cari selama ini. Saking lamanya aku menatapnya, sampai aku tidak sadar jika dari tadi kami kehujanan. Kulihat ia mulai menggigil.
            “Berteduh di bawah pohon, yuk!” aku menarik tangannya ke sebuah pohon rindang yang besar. Ia menurut.
            “Baru pertama kali ke sini?” tanyaku kemudian, setelah kami duduk di akar pohon yang besar. Ia mengangguk.
            “Ini kan udah sore. Mama kamu nggak bakal khawatir?” entah mengapa tiba-tiba ia bertanya demikian. Aku terhenyak.
            “Nggak. Mamaku nggak bakal khawatir,” jawabku, memaksakan bibirku tersenyum.
            “Kamu sendiri?” tanyaku saat melihat ia terdiam.
            “Saya nggak seberuntung kamu, atau orang-orang pada umumnya. Saya nggak punya orangtua. Sewaktu saya masih kecil saya hidup di panti.” Ia bercerita seraya menatapku.
            “Dan sekarang, meski saya mempunyai hidup yang layak. Saya tidak pernah merasa bahagia, karena tidak ada orangtua di samping saya.” Lanjutnya. Aku memutus pandangan kami. Hujan sudah reda beberapa menit yang lalu.
            “Maaf, saya jadi cerewet gini,” ia tersenyum. Aku menggeleng, tidak masalah.
            “Ini hampir petang. Dan saya harus pulang. Saya harap kamu juga pulang. Orangtua kamu pasti cemas sekali.” Ia berdiri dan mengulurkan satu tangannya kepadaku. Aku menggeleng. Ia berkerut dahi.
            “Saya masih pengen di sini,” kataku, menjawab kebingungannya.
            “Baiklah, saya akan temani kamu di sini sampai kamu mau pulang,” katanya, sangat tulus. Lalu ia kembali duduk di sampingku.
            “Percuma,” kataku. Ia sedikit mencodongkan tubuhnya untuk menatap wajahku. “Saya nggak akan pulang,” lanjutku.
            “Kamu mau ikut saya ke panti? Nggak jauh kok dari sini. Kebetulan saya kangen pengen mampir sana. Kamu bahaya kalau di sini sendirian,” ucapnya, penuh perhatian.
            “Nggak. Saya nggak mau merepotkan siapa pun. Nggak masalah kalau saya sendiri di sini, sudah terbiasa.” Aku menoleh, dan mendapati ia yang menghela napas. Mungkin sudah bingung membujukku dengan cara apa lagi.
            Ia tersenyum sekali lagi, “baiklah, saya akan temani kamu di sini, sampai pagi.” Ia lalu berjalan ke tepi danau, duduk menghadap danau. Aku menatap punggungnya, lantas menyusulnya.
            “Kenapa kamu baik banget sama saya? Kita kan baru kenal?” tanyaku sangat penasaran.
            Tanpa menoleh ia pun menjawab, “saya yakin kamu sedang menghadapi masalah besar. Meski saya tidak tahu masalah apa itu.”
            “Kamu lihat bulan itu?” tanyanya, mengalihkan pembicaraan. Aku mengangguk, meski ia tidak menoleh kepadaku.
            “Cahayanya selalu menenangkan. Bagi saya apa pun bentuk bulan, tetap saja indah dipandang.” Ceritanya dengan antusias, sementara aku menatap pantulan bulan di permukaan danau yang tenang.
            “Fajar?” gumamku.
            “Iya?” sahutnya cepat.
            “Tanpa saya melihat bulan di langit. Saya sudah merasa ada bulan di samping saya, tanpa saya melihatnya, cahayanya bisa saya rasakan.” Ia tertawa setelah mendengar kalimatku ini.
            “Saya digombalin nih,” ia masih tertawa. Aku menyikut lengannya.
            Tuhan, terimakasih untuk pertemuan tidak sengaja ini. Setelah sekian lama aku menganggap semua orang egois, kini aku menemukan seseorang yang mampu mematahkan semua prasangka burukku. Selama ini aku terlalu sulit menemukan orang yang benar-benar tulus. Tetapi kali ini, aku mulai percaya jika di antara milyaran orang di bumi, ada di antara mereka yang hadir untuk menemani kesedihanku.
            Aku tergeragap mendengar dering ponsel. Saat menoleh aku mendapati Fajar sedang mengangkat ponselnya.
            “Halo? Iya? Aku lagi di danau. Iya iya, besok aku pulang.” Ia langsung menutup teleponnya, obrolan yang singkat.
            “Dari siapa?” tanyaku dengan lancang.
            “Hmm.. calon istri,” jawabnya serius. Aku tersenyum sebisa mungkin.
            “Dia pasti sangat bahagia sekali.” Aku kembali menatap tenangnya air danau.
            “Aku tidak tahu apakah dia bahagia atau tidak,” katanya.
            “Kenapa? Aku kalau jadi dia pasti akan selalu bersyukur karena punya kamu.” Aku samar tertawa. Sampai butuh beberapa detik untuk menyadari apa yang sudah aku katakan. Ia diam, hanya menatapku sekilas.

***

            “Om Septa!!!” Semua anak-anak kecil berlari dari teras tanpa diberi aba-aba. Aku yang berdiri di sampingnya sampai tersingkirkan.
            Anak-anak itu menggiring tangan Septa ke dalam panti. Aku hanya mengekor di belakang mereka. Septa sepenuhnya menguasai hati anak-anak kecil itu. Aku tersenyum melihat Fajar yang mulai kewalahan.
            “Septa? Kapan datang?” Wanita paruhbaya muncul dari dapur. Fajar mencium tangan wanita itu.
            “Ini teman saya, Bun.” Fajar mengenalkanku. Wanita itu tersenyum dan menjabat uluran tanganku.
            “Septi,” kataku. Ia mematung begitu mendengar namaku.
            “Astaga.. nama kalian sangat mirip!” Ia berseru, membuat anak-anak berdecak.
            “Cuma kebetulan, Bunda.” Fajar menyela. Aku tersenyum kikuk.
            “Bau gosong, Bunda!!” anak-anak kompak berseru. Bunda kalap, lantas berlari ke dapur. Fajar tersenyum maklum.
           
Aku berkeliling panti yang mempunyai halaman belakang cukup luas. Fajar menemaniku. Suasana yang masih pagi membuat udara masih terasa sejuk. Embun masih menempel di pucuk dedaunan, juga di rumput yang terpotong rapi.
            “Di sini damai banget!” komentarku. Kami berhenti sejenak. Aku duduk di salah satu ayunan kayu. Fajar menyandarkan tubuhnya di tiang ayunan.
            “Kalau mau kamu bisa tinggal di sini,” katanya.
            “Memang boleh?” tanyaku, belum yakin.
            “Boleh banget,” ia mengacak rambut pendekku dengan gemas.
            “Septi! Septa! Ayo sarapan dulu!” Bunda berteriak dari ambang pintu belakang. Kami menoleh dengan kompak. Bisa dibayangkan bagaimana aku cukup terkejut dengan panggilan dua nama itu. Seolah-olah aku dan Fajar ini saudara kembar. Aku juga baru sadar jika semua penghuni panti selalu memanggilnya ‘Septa’.
            “Ayo jangan sungkan-sungkan,” Bunda tersenyum dengan ramahnya kepadaku. Fajar malah berinisiatif menyendokkan nasi goreng ke piringku, aku menahan tangannya. Dan aku terjebak dalam tatapan matanya yang teduh. Suara gaduh dari anak-anak yang berebut krupuk pun membuyarkan tatapan mata kami. Untung saja tidak ada yang menyadarinya.
            Setelah selesai sarapan aku ikut bergabung dengan anak-anak di halaman belakang. Aku ikut bermain bola dengan mereka. Dengan cepat aku melipat jeans panjangku sampai ke lutut. Fajar menjadi wasitnya. Permainan semakin sengit saat aku berhasil mencetak gol. Anak-anak yang tidak se-team denganku memprotes kepada Septa. Mereka tidak terima. Jadilah Septa mau tidak mau ikut bermain di team lawan.
            Keadaan berimbang, kedua team saling susul menyusul skor. Kami melakukan celebration—yang menurutku cukup aneh—setiap kali berhasil membuat gol. Tapi ini sangat mengasyikkan. Aku tidak pernah se-gembira ini.

BRUKKK!

            Aku terjatuh ketika ada anak yang tidak sengaja menyingkat kaki kananku. Fajar berlari menghampiriku.
            “Mana yang sakit?” tanyanya dengan panik. Aku menggigit bibir saat pergelangan kakiku terasa nyeri. Fajar memijat kakiku, aku mengaduh kesakitan saat ia menyentuh bagian yang sakit.
            “Anak-anak, udahan ya mainnya. Sekarang waktunya mandi,” katanya memberi perintah untuk bubar. Aku masih meringis kesakitan.
            “Bisa berdiri?” tanyanya kemudian setelah anak-anak membubarkan diri. Aku mencoba berdiri sendiri, dan.. HAP! Aku yang nyaris terjatuh ke tanah tertahan oleh kedua tangannya.
            “Biar saya gendong ya?” ia menawarkan diri, lalu berjongkok di depanku. Aku langsung naik ke punggungnya. Ia membawaku ke kamar Bunda.
            “Hloh, Septi kenapa?” Bunda bertanya dengan heran.
            “Tadi jatuh pas main bola sama anak-anak. Kakinya keseleo.” Fajar menjelaskan saat aku hendak membuka mulut.
            Bunda duduk di tepi kasur, menyentuh kakiku yang kini mulai kebiruan. Lalu tanpa aba-aba ia memijat kakiku. Aku refleks mencari pegangan yang ada di dekatku. Terpaksa, satu tangan Fajar kuremas dengan kencang. Kulihat Fajar tidak keberatan, meski aku tahu ia pasti kesakitan. Aku sampai ingin menangis karena terasa sakit sekali.
            “Sudah.. besok pasti akan sembuh,” kata Bunda, selesai mengurut kakiku. Aku lega sekali. Tangan Fajar yang sejak tadi aku pegang sudah berkeringat.
            “Maaf ya..” Aku melepas tangannya.
            “Nggak apa-apa,” lagi-lagi ia menatapku dengan ramah.
            “Saya jadi merepotkan,” kataku. Bunda menggeleng.
            “Kamu ini, apanya yang merepotkan.” Bunda berkata tegas.
            “Oh ya, tadi Rani telepon. Dia khawatir sama kamu, katanya kamu disuruh pulang.” Bunda berbalik setelah sampai di ambang pintu. Fajar hanya mengangguk.
            “Jangan bikin dia tambah khawatir,” kataku. Fajar hanya diam.
            “Saya nggak punya pilihan lain.” Ia menatapku sekilas, lantas melangkah keluar kamar.

***
           
Danau ini seperti biasanya, selalu sepi, bahkan siang sekali pun. Hanya derap angin yang samar terdengar, membawa dedaunan kering terbang. Air danau itu tetap tenang dan bening seperti biasanya. Masih sama seperti kemarin. Hanya saja bedanya tidak ada Fajar di sini. Jelas sekali perbedaannya. Aku mengais satu kerikil dari tanah, lalu mengambil ancang-ancang untuk melemparkannya ke tengah danau. Aku ingin melampiaskan semuanya. Perasaan sendiri, kesepian, semua sesak di dada. Aku ingin melemparnya bersama dengan kerikil itu. Namun yang terjadi malah sebaliknya, aku merasa duniaku semakin sepi.
            “Kakak lagi ngapain?” Aku terkejut karena tiba-tiba anak kecil itu sudah berdiri di sampingku.
            “Eh, kamu.. Maaf ya, kakak nggak bisa ikut main bola lagi.” Aku menepuk-nepuk bahunya.
            “Dimas minta maaf ya kak. Kemarin pagi aku bikin kakak jatuh, sampai kakak harus kesakitan waktu dipijat Bunda.” Anak yang bernama Dimas itu tertunduk, merasa sangat bersalah. Aku rasa kemarin ia tidak berani meminta maaf karena takut Bunda marah.
            “Nggak apa-apa. Nggak sakit kok,” kataku berdusta.
            “Kakak udah kenal lama sama kak Septa?” tanyanya, memutar balik topik pembicaraan.
            “Baru beberapa hari yang lalu. Di danau ini,” jawabku. Ia kemudian tampak berpikir.
            “Sayang ya, sebentar lagi kak Septa bakal nikah!” katanya dengan nada yang kecewa.
            “Terus kalau nggak nikah emangnya kenapa?” tanyaku sembarangan.
            “Ya biar nikah sama kakak aja,” katanya dengan lugu. Aku membelalakkan mata. Anak sekecil ini berbicara demikian?
            “Dimas mau lihat kak Septa bahagia kan?” tanyaku. Ia mangangguk cepat.
            “Tapi aku nggak suka sama kak Rani!” serunya, membuatku terheran lagi.
            “Tetapi kamu harus menghargai apa yang sudah menjadi keputusan kak Septa. Nanti kalau kamu sudah dewasa pasti akan mengerti,” aku tersenyum. Dimas tidak mengotot lagi, ia akhirnya diam.

***

            Mendung sudah berarak di atas sana, membentuk segumpalan awan hitam. Hujan pasti akan turun sebentar lagi. Aku sama sekali belum mau beranjak dari tepi danau. Tanpa terasa, sudah satu minggu aku tinggal di panti. Hidup di tengah anak-anak yang masih lugu, ikut bermain dengan mereka. Dengan di sini aku seperti bisa mengganti waktu bersama keluargaku. Berada di antara mereka aku bisa merasakan rasanya mempunyai keluarga yang lengkap. Meski aku tahu, setiap anak panti selalu mempunyai kisah masing-masing. Tapi mereka selalu ceria, tidak pernah mengeluh. Sangat berbeda jauh denganku.
            “Septi…”
            “Iya?” aku menoleh secara teratur. Mataku berhenti sejenak pada sosoknya yang berdiri di belakangku.
            “Ah, kapan datang?” aku tanpa sadar langsung memeluknya.
            “Baru aja.. sama Rani,” jawabnya. Secepat mungkin aku melepas pelukanku saat mendengar nama itu disebut.
            “Di mana dia sekarang?” tanyaku, melongokkan kepala ke sekitar.
            “Lagi di panti,” ia beringsut duduk di tepi danau. Aku masih berdiri.
            “Kapan kalian menikah?” tanyaku, tanpa bergeming.
            “Lusa. Kamu jangan lupa datang ya.” Ia menoleh dan tersenyum kepadaku.
            “Saya pasti akan datang,” jawabku tanpa ragu.
            “Sayang.. kamu di sini ternyata. Aku cari kemana-mana nggak ketemu!” aku membalikkan badan, dan mendapati wanita cantik dengan rambut tergerai berdiri di belakang persis dari tempatku berdiri. Itu pasti Rani. Aku menoleh ke samping tepat saat Fajar berjalan ke arah Rani berdiri. Dibanding dengan Rani aku tidak ada apa-apanya.
            “Rani,” katanya, mengulurkan tangannya yang putih mulus. Aku menjabat tangannya, “Septi.”
            Pertemuan itu seperti menyadarkanku, kalau aku ini bukan siapa-siapa di mata Fajar. Seperti diingatkan kalau sebentar lagi mereka akan menikah. Seperti yang aku katakan waktu itu. Alangkah bahagianya menjadi wanita ini, sebentar lagi ia akan bersanding dengan Fajar. Sementara aku, pungguk merindukan bulan.

***
           
Aku merindukan saat-saat dimana kamu ada untukku, dan hanya untukku. Kamu pernah bilang jika kamu tidak memiliki pilihan lain. Kenapa? Sementara ada aku yang ingin menjadi pilihanmu yang entah ke berapa. Tetapi besok kamu akan menjadi miliknya. Apakah kita bisa duduk bersama di tepi danau seperti biasanya?
Kenapa setiap aku merasa hidupku telah lengkap, takdir harus mengambilnya kembali? Apa aku tidak berhak untuk bahagia?
“Saya akan pulang nanti.” Aku menatap dua burung yang terbang rendah di atas danau.
“Akhirnya..” katanya sangat lega.
“Saya sangat bahagia karena sempat mengenal orang sepertimu. Tapi, apakah suatu hari nanti kita akan bertemu kembali?” ujarku masygul.
Ia tertawa, “besok jadi datang kan? Berarti kita masih bisa bertemu.”
“Maksud saya.. apakah kita bisa duduk bersama di tepi danau seperti sekarang?” tandasku. Fajar mengatupkan bibirnya.
“Saya tidak tahu,” gumamnya lirih.

Saat itu aku mengerti bagaimana rasanya kehilangan orang yang sangat kita sayangi.

***

Hari yang aku takutkan sudah tiba di depan mataku. Tinggal menunggu beberapa jam saja maka harapanku akan padam. Aku duduk termenung di bingkai jendela kamarku. Aku tidak tahu, apakah aku harus datang atau tidak ke pernikahan itu. Yang jelas Mama menyerahkan semua keputusan kepadaku. Tentu saja ia memilih memikirkan proyek-proyeknya daripada ikut campur dalam masalahku.
Hujan turun pagi itu, hanya rintik kecil, namun sedikit membuatku tenang. Aku sudah yakin dengan keputusanku. Apa pun yang terjadi, aku tidak akan datang ke pernikahan itu. Pengecut? Iya, aku memang pengecut. Aku terlalu lemah untuk urusan semacam ini.
Fajar.. aku selalu berharap jika suatu hari nanti Tuhan masih mengijinkan kita untuk bertemu.

***

            Tahun-tahun berlalu sebagaimana mestinya—
             

            Tidak ada Septi yang dulu. Septi yang pemberontak sudah tidak ada. Juga tidak ada Septi yang maskulin. Yang ada sekarang adalah Septi yang baru. Penurut dan bisa menerima keadaan sesakit apa pun itu. Aku akhirnya bisa menerima segala hal yang memang seharusnya aku hadapi, bukan malah aku hindari. Aku belajar banyak tentang arti kehidupan dari anak-anak panti, dan tentu saja dari Fajar. Lelaki itu mengajariku banyak hal. Termasuk cara ia tersenyum. Tanpa sengaja aku mulai terbiasa meniru cara ia tersenyum. Papa dan Mama sampai tidak percaya dengan perubahanku yang drastis. Meskipun sampai detik ini aku belum bertemu dengan Fajar. Padahal aku sudah mencoba mencarinya berulang kali ke panti, juga ke danau. Tapi tidak ada, Bunda juga tidak tahu keberadaan Fajar. Katanya, terakhir kali Fajar ke panti sudah setahun yang lalu.
           
             Ia seperti sengaja menghilang tanpa jejak. Selalu membuat tidurku tidak pernah nyenyak setiap malamnya. Atau memang ia sengaja menghindar dariku? Alasannya apa? Apa ia takut aku akan membuat rumah tangganya dengan Rani berantakan? Aku sangat yakin bukan itu alasannya. Walau—bisa dibilang—aku baru mengenalnya, aku sangat tahu ia tidak mungkin sejahat itu.
            Aku mengisi hari-hariku dengan hunting novel ke semua toko buku yang ada di kota ini. Papa dan Mama sebenarnya sudah berpuluh kali menyuruhku bekerja di kantor mereka, tetapi aku selalu menolaknya. Bagiku, aku belum siap untuk fokus bekerja selama… aku belum menemukan Fajar.

            “Semua jadinya dua ratus lima puluh ribu, Mbak.” Kasir itu mengeja angka yang tertera di layar komputernya, selesai menghitung novel-novel yang kubeli.
            “Sebentar ya, Mas.” Aku segera merogoh dompet yang ada di dalam tas tanganku. Tanganku sulit sekali untuk mencarinya. Karena cukup kesal, aku menarik sembarangan note kecil yang menghalangi tanganku. Tanpa kuduga, ponselku ikut tertarik keluar dan terpelanting ke lantai. Aku menaruh tasku di meja kasir. Aku berniat berjongkok untuk mengambil ponselku. Tetapi seseorang sudah terlebih dahulu mengambilnya dari lantai.
            “Lain kali hati-hati ya, Mbak. Untung nggak rusak,” katanya, menyodorkan ponselku.
            “Iya, terimakas..” aku mendongakkan wajah untuk melihat siapa orang yang telah berbaik hati mengambilkan ponselku.
            “Saya.. saya nggak mimpi kan?” Aku menepuk pipiku dua kali. Tidak mudah untuk menyadarinya. Aku menutup mulutku saking shocknya. Orang yang selama beberapa tahun aku cari kini berdiri tegak di hadapanku. Senyumannya masih sama seperti yang dulu. Tidak pernah berubah sedikit pun.
            Aku berlinangan air mata. Ini untuk pertama kalinya aku menangis. Tuhan mengabulkan semua doa-doaku selama ini. Aku cepat menghapus air mata yang terlanjur menetes di pipi. Fajar tak kalah terkejutnya denganku. Ia diam mematung.
            Aku langsung membayar novel-novelku begitu dompet sudah kutemukan. Saat aku menoleh, Fajar sudah menghilang. Aku berlari keluar. Kulihat ia melangkah cepat di trotoar. Aku berlari menyusulnya, tidak peduli meski aku memakai high heels.
            “Fajar! Fajar!!!” teriakku. Namun ia tidak mau berhenti, menoleh saja tidak. Aku sampai tidak menyadari ada batu di depanku.
            “Arrrrghhh!” pekikku. Tubuhku terjatuh di kerasnya trotoar. Semua novelku berhamburan dari plastiknya. Aku tidak sanggup berdiri.
            “Mana yang sakit?”
            Ternyata ia masih peduli kepadaku. Ia kembali saat mendengar jeritanku tadi. Fajar membantuku berdiri, ia yang mengais novel-novelku yang jatuh berserakan. Ia mengajakku duduk di taman yang tak jauh dari sana.
            “Kenapa kamu menghindari saya?” tanyaku heran. Ia belum mengeluarkan suara.
            “Saya salah apa? Soal pernikahan itu? Saya minta maaf, waktu itu saya tidak datang karena.. karena.. karena..” Aku terbata-bata, bingung mencari alasan yang tepat.
            “Saya tidak jadi menikah,” gumamnya. Aku cukup terkejut, “kenapa tidak jadi?” desakku.
            “Rani hamil tanpa sepengetahuan saya, dan dia lebih memilih lelaki itu. Padahal saya ikhlas menerima ia apa adanya, termasuk bayi yang dikandungnya,” katanya seraya mengusap wajahnya. Aku membulatkan mata, tidak percaya.
            “Bukan hamil sama saya, tapi sama mantannya.” Fajar kali ini menatapku, takut aku salah sangka.
            “Alasan selama ini kamu menghilang karena ini?” tanyaku refleks.
            “Saya terlalu mencintai dia. Hingga butuh waktu bertahun-tahun untuk membuat hati saya ikhlas..” Fajar melanjutkan ceritanya. Aku, untuk kedua kalinya meneteskan air mata.
            “Kok malah kamu yang nangis?” ia tersenyum, menyeka pipiku. Aku bergetar saat jemarinya menyentuh pipiku. Getaran apa ini? apa ini yang orang sebut dengan cinta? Apa aku yang terlalu bodoh untuk menyadari perasaanku sendiri? Hei, untuk apa selama bertahun-tahun aku selalu resah menantinya? Bukankah ini yang dibilang cinta? Kenapa aku tidak peka?
            “Kok malah bengong?” ia melambaikan tangan di depan wajahku.
            “Eh.. ini jujur hlo, saya menangis dua kali waktu bertemu kamu. Padahal saya selama ini selalu berpura-pura tegar di depan semua orang. Tapi tadi di luar kemampuan saya,” aku terkekeh. Fajar juga tertawa mendengar penjelasanku.
            “Kamu sekarang berubah banyak ya? Dulu waktu aku bertemu kamu pertama kali di danau, wajah kamu murung, walau kamu memang berhasil menutupinya.” Fajar berhasil membawaku memutar kembali memori pertemuan kami di danau beberapa tahun silam.
            “Kamu itu baiknya persis malaikat. Tapi masih aja ada wanita yang menyia-nyiakan kamu,” aku mencoba mengungkapkan kebencianku pada Rani.
            “Mungkin memang takdir saya belum bertemu dengan jodoh saya,” ia berkata dengan tenang.
            “Saya selalu berharap kamu mendapatkan jodoh terbaik.. wanita yang berperangai sempurna.” Aku tersenyum, persis dengan cara ia tersenyum.
            “Mungkin hanya kamu yang bisa menirukan cara saya tersenyum.. dengan persis.” Fajar terkekeh. Aku mati kutu seketika karena ketahuan menjiplak senyumnya.
            “Terima kasih untuk semua pelajaran hidup yang kamu berikan kepada saya. Saya selalu beruntung setiap kali bertemu dengan kamu. Saya seperti menemukan kembali bulan saya. Ya, saya tahu, tapi bagi saya bulan di langit tidak indah tanpa ada kamu,” ucapku, ia hanya tersenyum tidak mengerti.
            “Wah, saya digombalin lagi!” ia tertawa lebar.
            “Saya serius..” Aku sedikit kesal.
            “Saya juga serius mau nikah sama kamu!” tandasnya, tidak mau kalah. Tunggu…
            “Iya, saya juga se… apa? Apa yang kamu bilang barusan?” aku sampai lupa bernapas. Ya Tuhan—
            Ia berdiri, lalu secara perlahan berlutut di depanku. Ia mengeluarkan sebuah kotak kecil dari saku celananya. Semua orang yang ada di taman mulai tertarik untuk melihat lebih dekat. Bahkan para pengguna jalan ikutan penasaran dengan apa yang tengah terjadi. Wajahku bersemu merah padam. Seluruh tubuhku bergetar hebat.
            “Saya mau kamu menjadi tempat saya meletakkan hati saya,” ia mulai merangkai kata. Satu tanganku ia genggam dengan lembut. Semua orang bersiul, ada yang bertepuk tangan.
            “Saya ingin kamu menjadi tempat saya pulang. Menjadi tempat saya bermuara,” lanjutnya, bersiap memakaikan cincin ke jari tengahku. Aku hampir meleleh. Tepuk tangan semakin riuh terdengar.
            “Yang terakhir. Saya ingin… saya-lah yang menjadi bulan untukmu. Selamanya—” Tepuk tangan membahana.
            Fajar menunggu jawaban dariku. Ia menatapku dengan mata yang teduh. Tepuk tangan sudah mereda. Puluhan pasang mata yang menyaksikan menahan napas mereka. Situasi berganti tegang dan mendebarkan. Aku mengangguk pelan, diiringi dengan banjir tepuk tangan. Ia perlahan memakaikan cincin ke jari tengahku. Aku memeluknya yang masih berlutut di depanku. Tuhan— apa ini kebahagiaan yang sudah lama menantiku? Aku mengerti arti kata ‘bahagia’ sekarang.






TAMAT.

Cari Blog Ini