Senin, 04 Juni 2012

“Priceless Love”




“Aku mencintaimu, Kay!” seru Rehan, membuat semua mata tertoleh. Petugas taman yang sedang sibuk merapikan rumput juga ikut menoleh. Rehan sukses membuat ia dan Kay menjadi pusat perhatian dadakan. Orang-orang menatap penuh minat.

“Aku..” Kay menggigit bibir, takut-takut melihat tatapan aneh orang yang ada di taman itu.

“....”

“Aku, maaf, aku tidak bisa.” Kay berlari meninggalkan taman. Rehan tertunduk lemas. Sudah sembilan kali ia menyatakan cinta. Dan ini yang ke sepuluh, ditolak juga. Rehan mengusap wajahnya. Gadis itu selalu misterius.

***

Kanaya kembali dilarikan ke rumah sakit. Ibunya sangat terkejut ketika mendapati putri semata-wayangnya tak sadarkan diri di dalam kamar. Ibu Kay menatap nanar, bersedekap tangan, menangis tersedu di depan ruangan yang tak asing lagi baginya. Ruangan UGD itu berdengking lagi. Seminggu yang lalu Kay juga menempati ruangan yang sama, masih di ranjang yang sama.

“Kay akan sembuh, Tante.” Rehan berdiri di samping Ibu Kay. Ia cepat-cepat datang begitu Ibu Kay meneleponnya setengah jam lalu. Rehan terpaksa menerobos padatnya lalu-lintas menjelang petang. Senja ini ia kembali bersedih, sama seperti seminggu yang lalu.

“Dokter bilang kesempatan hidupnya kecil. Tante pasrah. Biarlah. Barangkali Kay akan bahagia di tempat lain, bukan disini.” Ibu Kay menyeka sudut matanya. Ray menatap ke dalam, kaca pembatas di depannya berdecit saat tangannya menyentuh kaca bening itu.

“Rehan tidak akan tinggal diam, Tante. Kay tidak akan pergi kemana-mana.” Rehan berjanji, yang entah barangkali sudah berpuluh kali ia ucapkan. Ia tidak pernah bosan mengatakan kalimat itu. Sama seperti ia tak kunjung bosan mengatakan cinta kepada Kay. Ia selalu percaya Kay juga mencintainya. Dan ia akan menanti hari itu tiba, ketika Kay menerimanya. Rehan tahu masalah ini tidak main-main. Dan ia akan selalu memperjuangkannya.

“Lihatlah wajah itu. Tante selalu terluka melihat semua kenyataan pahit ini. Tetapi Kay selalu saja berusaha tegar, seolah ia hanya mengidap penyakit—” Ibu Kay tercekat, urung berkata lagi.

***


Rehan tercenung lama sekali. Ia duduk di samping ranjang, setia terjaga menunggu Kay sepanjang malam. Rehan ragu-ragu menggores kertasnya yang masih kosong. Bolpen yang ia genggam basah oleh keringat. Rehan meneguhkan hati. Perlahan. Ia mulai menulis sepatah kata di atas kertas. Ia tidak menghiraukan kepalanya yang terus berdenyut. Ia tetap menulis kalimat selanjutnya, di larik berikutnya. Hingga darah segar menetes dari hidungnya. Darah yang membuat satu-dua bercak merah di sela tulisannya. Ia hampir selesai. Dan semua urusan akan segera berakhir malam ini juga. Rehan melipat kertas itu, memasukannya bersama dengan sebuah alamat ke dalam amplop putih.


Rehan mendongak ketika tangan Kay yang ia genggam bergerak pelan. Kay mengerjapkan mata, silau dengan lampu ruangan. Rehan mengusap bercak merah yang masih menempel.

“Kay...” Rehan mendekat, berbisik lirih.

“Kau tidak perlu menjawabnya,” sergah Rehan, melihat Kay bersiap membuka mulutnya. Alat bantu pernapasan itu membuatnya sulit bicara. Kay mengangguk pelan.

“Kau akan kembali melihat indahnya dunia dengan nafasku, Kay. Kau akan kembali normal. Hidup dengan jantung yang normal.” Rehan menatap gadis itu lamat-lamat. Kay yang tidak mengerti maksud kalimat Rehan, hanya mengangguk lagi, mengamini. Namun semua terasa ganjil di hati Kay.

“R-e-h-a-n.” Kay terpatah-patah berkata, ia menatap Rehan dengan ganjil.

***


Satu minggu berlalu...


“Sedang menunggu siapa, Kay?” tanya Ibu melihat putrinya yang tak kunjung bosan duduk berlama-lama di teras sepanjang hari. Apalagi kalau bukan melamun?

“Rehan, Bu. Kemana sih dia? Apa dia nggak tahu kalau Kay kangen—eh!” Kay langsung membungkam mulutnya sendiri, kelepasan mengucapkan kata yang terakhir. Ibu tersenyum penuh bimbang.

“Ibu tahu, Kay. Kau juga sangat mencintainya, bukan? Jadi.. Kenapa waktu itu kau menolaknya lagi?” Ibu menarik napas, mencoba bersikap se-normal mungkin, meski suara yang keluar tetap saja bergetar.

“Dulu kan beda, Bu. Kay nggak mau hidup Rehan sia-sia hanya untuk memperjuangkan cinta Kay.” Gadis itu menunduk, pipinya bersemu merah merona.
            “Apa itu, Bu?” Tanya Kay melihat tangan Ibunya dibalik punggung.
“Amplop ini Ibu temukan di tepi ranjangmu waktu di rumah sakit.” Ibu menyodorkan sebuah amplop yang masih rapi. Kay meraihnya dengan ragu. Ia mulai membukanya, merobek bagian tepi amplop dengan hati-hati. Kay menemukan sebuah alamat di dalamnya. Ia urung membuka lipatan kertas yang lain. Kay menatap wajah Ibu yang tergugu di sampingnya.

“Kay tidak mengerti. Maksudnya apa? Ini alamat siapa, Bu?” Kay mengerutkan alis. Ibu menyeka sudut matanya.

“Kau harus pergi sekarang. Temui dia, Kay. Katakan apa yang selama ini kau pendam. Katakan padanya kalau kau juga amat mencintainya. Ceritakan apa yang kau simpan di hatimu. Kau memang sudah terlambat. Tetapi, percayalah, kau tidak pernah menyesal karena kau sempat mengenalnya.” Ibu menangis tersedu. Kay semakin bingung. Apa maksud dari perkataan Ibunya?

***


Sore itu, ketika senja tersaput mendung tipis. Kay memutuskan untuk mencari alamat itu. Rintik hujan yang turun sedikit membuatnya bertambah gelisah. Ia menatap kaca di sampingnya yang berembun. Kalimat itu kembali terngiang di otaknya, mengambang bersama desau angin di sela hujan.


‘Kau akan kembali melihat indahnya dunia dengan nafasku, Kay. Kau akan kembali normal. Hidup dengan jantung yang normal.’


Kay terkesiap ketika pak sopir memanggil namanya untuk ketiga kalinya. Kay tersadar dari lamunan, menurunkan kaca jendela, memperhatikan pemandangan yang menghampar di luar sana.

“Mang, ini beneran tidak salah alamat, kan? Kok kita kesini?” Kay kembali menaikkan kaca jendela, bertanya dengan cemas.

“Mamang tidak salah alamat, Non. Ini sesuai dengan alamat yang tertulis di kertas itu.” Pak sopir menjelaskan. Kay melupakan soal itu. Perhatiannya tersita dengan amplop yang masih ia genggam, hampir melupakannya. Kay membuka lipatan kertas, menggigit bibir.




Kanaya...
Aku tahu, detik ini kau sedang menikmati duniamu dengan sempurna..
Kau sedang merasakan apa yang selama ini sempat sirna dalam hidupmu..
Kau tahu, aku selalu mencintaimu..
Tetapi, aku sadar, kita tidak pernah bisa bersatu..
Bukan karena waktu telah memisahkan kita..
Karena cinta tak butuh mata untuk melihat..
Tak butuh telinga untuk mendengar..
Tak perlu mulut untuk berbicara..
Juga tak butuh kaki untuk berjalan..
Tetapi cinta membutuhkan nafas untuk tetap hidup..
Dan cinta itu ada bersamamu, Kay..
Andaikan waktu tetap bersama kita..
Aku ingin kau mencintaiku, barang satu detik saja..



Kay menjatuhkan kertas itu. Air matanya mengalir begitu deras. Kay menghambur keluar. Pak sopir berseru, mengingatkan tentang payung. Kay tidak butuh payung. Biarlah hujan sedikit membasuh luka hatinya. Kay berlari di atas rumput yang licin. Ia jatuh terpeleset, lalu bangkit lagi. Bahkan ia tidak merasa sakit, semuanya telah mati rasa, kecuali hatinya. Tubuh Kay kuyup oleh hujan dan air mata. Tuhan, katakan ini hanya mimpi buruk..


Kay tersengal. Ia sudah sampai persis ketika tubuhnya ambruk. Kay bersimpuh, tertunduk dalam. Ia tercekat, tidak tahu kalimat apa yang seharusnya keluar dari mulutnya. Detik-detik dalam diam. Hanya suara riak air hujan menghujam tanah merah serta angin yang membuat satu-dua bunga kamboja putih gugur dari dahannya. Kay menghela napas berat, perlahan ia memberanikan diri untuk menatap nisan di depannya. Dan ia tetap saja masih membisu.


“Maafkan aku..” Suara itu nyaris hilang ditelan hujan dan angin. Kay sangat menyadari keterlambatannya.

“Kau seharusnya tidak perlu melakukan apa-apa, Rehan!” Kay berseru lemah. Ia marah dengan dirinya sendiri.

“Kau harusnya membiarkan aku mati saja..” Kay tercekat lagi.

“Maafkan aku..” Kalimat itu keluar lagi dari mulut Kay. Kali ini ia menyadari kebodohannya.

“Aku tidak pernah bermaksud membuatmu terluka dengan penolakan-penolakan itu. Kau tidak pernah menyerah. Kau selalu mengatakannya lagi dan lagi.. Sampai aku tidak menyadari kalimat itu untuk yang terakhir kalinya.” Kay tergugu, hujan sedikit mereda. Langit gelap berganti awan jingga.

“Waktu itu aku takut mengatakannya. Aku takut mengakui kalau aku juga sangat mencintaimu, Rehan.” Kay menyeka pipi dengan punggung tangan. Ia tidak sanggup berdiri. Kay telah kehilangan sekeping hatinya.












TAMAT

2 komentar:

Cari Blog Ini