“Aku
mencintaimu, Kay!” seru Rehan, membuat semua mata tertoleh. Petugas taman yang
sedang sibuk merapikan rumput juga ikut menoleh. Rehan sukses membuat ia dan
Kay menjadi pusat perhatian dadakan. Orang-orang menatap penuh minat.
“Aku..”
Kay menggigit bibir, takut-takut melihat tatapan aneh orang yang ada di taman
itu.
“....”
“Aku,
maaf, aku tidak bisa.” Kay berlari meninggalkan taman. Rehan tertunduk lemas.
Sudah sembilan kali ia menyatakan cinta. Dan ini yang ke sepuluh, ditolak juga.
Rehan mengusap wajahnya. Gadis itu selalu misterius.
***
Kanaya
kembali dilarikan ke rumah sakit. Ibunya sangat terkejut ketika mendapati putri
semata-wayangnya tak sadarkan diri di dalam kamar. Ibu Kay menatap nanar,
bersedekap tangan, menangis tersedu di depan ruangan yang tak asing lagi
baginya. Ruangan UGD itu berdengking lagi. Seminggu yang lalu Kay juga
menempati ruangan yang sama, masih di ranjang yang sama.
“Kay
akan sembuh, Tante.” Rehan berdiri di samping Ibu Kay. Ia cepat-cepat datang
begitu Ibu Kay meneleponnya setengah jam lalu. Rehan terpaksa menerobos
padatnya lalu-lintas menjelang petang. Senja ini ia kembali bersedih, sama
seperti seminggu yang lalu.
“Dokter
bilang kesempatan hidupnya kecil. Tante pasrah. Biarlah. Barangkali Kay akan
bahagia di tempat lain, bukan disini.” Ibu Kay menyeka sudut matanya. Ray
menatap ke dalam, kaca pembatas di depannya berdecit saat tangannya menyentuh
kaca bening itu.
“Rehan
tidak akan tinggal diam, Tante. Kay tidak akan pergi kemana-mana.” Rehan
berjanji, yang entah barangkali sudah berpuluh kali ia ucapkan. Ia tidak pernah
bosan mengatakan kalimat itu. Sama seperti ia tak kunjung bosan mengatakan
cinta kepada Kay. Ia selalu percaya Kay juga mencintainya. Dan ia akan menanti
hari itu tiba, ketika Kay menerimanya. Rehan tahu masalah ini tidak main-main.
Dan ia akan selalu memperjuangkannya.
“Lihatlah
wajah itu. Tante selalu terluka melihat semua kenyataan pahit ini. Tetapi Kay
selalu saja berusaha tegar, seolah ia hanya mengidap penyakit—” Ibu Kay
tercekat, urung berkata lagi.
***
Rehan
tercenung lama sekali. Ia duduk di samping ranjang, setia terjaga menunggu Kay
sepanjang malam. Rehan ragu-ragu menggores kertasnya yang masih kosong. Bolpen
yang ia genggam basah oleh keringat. Rehan meneguhkan hati. Perlahan. Ia mulai
menulis sepatah kata di atas kertas. Ia tidak menghiraukan kepalanya yang terus
berdenyut. Ia tetap menulis kalimat selanjutnya, di larik berikutnya. Hingga
darah segar menetes dari hidungnya. Darah yang membuat satu-dua bercak merah di
sela tulisannya. Ia hampir selesai. Dan semua urusan akan segera berakhir malam
ini juga. Rehan melipat kertas itu, memasukannya bersama dengan sebuah alamat
ke dalam amplop putih.
Rehan
mendongak ketika tangan Kay yang ia genggam bergerak pelan. Kay mengerjapkan
mata, silau dengan lampu ruangan. Rehan mengusap bercak merah yang masih
menempel.
“Kay...”
Rehan mendekat, berbisik lirih.
“Kau
tidak perlu menjawabnya,” sergah Rehan, melihat Kay bersiap membuka mulutnya.
Alat bantu pernapasan itu membuatnya sulit bicara. Kay mengangguk pelan.
“Kau
akan kembali melihat indahnya dunia dengan nafasku, Kay. Kau akan kembali
normal. Hidup dengan jantung yang normal.” Rehan menatap gadis itu lamat-lamat.
Kay yang tidak mengerti maksud kalimat Rehan, hanya mengangguk lagi, mengamini.
Namun semua terasa ganjil di hati Kay.
“R-e-h-a-n.”
Kay terpatah-patah berkata, ia menatap Rehan dengan ganjil.
***
Satu minggu
berlalu...
“Sedang
menunggu siapa, Kay?” tanya Ibu melihat putrinya yang tak kunjung bosan duduk
berlama-lama di teras sepanjang hari. Apalagi
kalau bukan melamun?
“Rehan,
Bu. Kemana sih dia? Apa dia nggak tahu kalau Kay kangen—eh!” Kay langsung
membungkam mulutnya sendiri, kelepasan mengucapkan kata yang terakhir. Ibu
tersenyum penuh bimbang.
“Ibu
tahu, Kay. Kau juga sangat mencintainya, bukan? Jadi.. Kenapa waktu itu kau
menolaknya lagi?” Ibu menarik napas, mencoba bersikap se-normal mungkin, meski
suara yang keluar tetap saja bergetar.
“Dulu
kan beda, Bu. Kay nggak mau hidup Rehan sia-sia hanya untuk memperjuangkan
cinta Kay.” Gadis itu menunduk, pipinya bersemu merah merona.
“Apa itu, Bu?” Tanya Kay melihat
tangan Ibunya dibalik punggung.
“Amplop
ini Ibu temukan di tepi ranjangmu waktu di rumah sakit.” Ibu menyodorkan sebuah
amplop yang masih rapi. Kay meraihnya dengan ragu. Ia mulai membukanya, merobek
bagian tepi amplop dengan hati-hati. Kay menemukan sebuah alamat di dalamnya.
Ia urung membuka lipatan kertas yang lain. Kay menatap wajah Ibu yang tergugu
di sampingnya.
“Kay
tidak mengerti. Maksudnya apa? Ini alamat siapa, Bu?” Kay mengerutkan alis. Ibu
menyeka sudut matanya.
“Kau
harus pergi sekarang. Temui dia, Kay. Katakan apa yang selama ini kau pendam.
Katakan padanya kalau kau juga amat mencintainya. Ceritakan apa yang kau simpan
di hatimu. Kau memang sudah terlambat. Tetapi, percayalah, kau tidak pernah
menyesal karena kau sempat mengenalnya.” Ibu menangis tersedu. Kay semakin
bingung. Apa maksud dari perkataan
Ibunya?
***
Sore
itu, ketika senja tersaput mendung tipis. Kay memutuskan untuk mencari alamat
itu. Rintik hujan yang turun sedikit membuatnya bertambah gelisah. Ia menatap
kaca di sampingnya yang berembun. Kalimat itu kembali terngiang di otaknya,
mengambang bersama desau angin di sela hujan.
‘Kau akan kembali melihat indahnya dunia
dengan nafasku, Kay. Kau akan kembali normal. Hidup dengan jantung yang normal.’
Kay
terkesiap ketika pak sopir memanggil namanya untuk ketiga kalinya. Kay tersadar
dari lamunan, menurunkan kaca jendela, memperhatikan pemandangan yang
menghampar di luar sana.
“Mang,
ini beneran tidak salah alamat, kan? Kok kita kesini?” Kay kembali menaikkan
kaca jendela, bertanya dengan cemas.
“Mamang
tidak salah alamat, Non. Ini sesuai dengan alamat yang tertulis di kertas itu.”
Pak sopir menjelaskan. Kay melupakan soal itu. Perhatiannya tersita dengan
amplop yang masih ia genggam, hampir
melupakannya. Kay membuka lipatan kertas, menggigit bibir.
Kanaya...
Aku tahu, detik ini kau sedang menikmati duniamu dengan sempurna..
Kau sedang merasakan apa yang selama ini sempat sirna dalam hidupmu..
Kau tahu, aku selalu mencintaimu..
Tetapi, aku sadar, kita tidak pernah bisa bersatu..
Bukan karena waktu telah memisahkan kita..
Aku tahu, detik ini kau sedang menikmati duniamu dengan sempurna..
Kau sedang merasakan apa yang selama ini sempat sirna dalam hidupmu..
Kau tahu, aku selalu mencintaimu..
Tetapi, aku sadar, kita tidak pernah bisa bersatu..
Bukan karena waktu telah memisahkan kita..
Karena cinta tak butuh mata untuk melihat..
Tak butuh telinga untuk mendengar..
Tak perlu mulut untuk berbicara..
Juga tak butuh kaki untuk berjalan..
Tetapi cinta membutuhkan nafas untuk tetap hidup..
Dan cinta itu ada bersamamu, Kay..
Andaikan waktu tetap bersama kita..
Aku ingin kau mencintaiku, barang satu detik saja..
Tak butuh telinga untuk mendengar..
Tak perlu mulut untuk berbicara..
Juga tak butuh kaki untuk berjalan..
Tetapi cinta membutuhkan nafas untuk tetap hidup..
Dan cinta itu ada bersamamu, Kay..
Andaikan waktu tetap bersama kita..
Aku ingin kau mencintaiku, barang satu detik saja..
Kay
menjatuhkan kertas itu. Air matanya mengalir begitu deras. Kay menghambur
keluar. Pak sopir berseru, mengingatkan tentang payung. Kay tidak butuh payung. Biarlah hujan sedikit membasuh luka
hatinya. Kay berlari di atas rumput yang licin. Ia jatuh terpeleset, lalu
bangkit lagi. Bahkan ia tidak merasa sakit, semuanya telah mati rasa, kecuali
hatinya. Tubuh Kay kuyup oleh hujan dan air mata. Tuhan, katakan ini hanya mimpi buruk..
Kay
tersengal. Ia sudah sampai persis ketika tubuhnya ambruk. Kay bersimpuh,
tertunduk dalam. Ia tercekat, tidak tahu kalimat apa yang seharusnya keluar
dari mulutnya. Detik-detik dalam diam.
Hanya suara riak air hujan menghujam tanah merah serta angin yang membuat
satu-dua bunga kamboja putih gugur dari dahannya. Kay menghela napas berat,
perlahan ia memberanikan diri untuk menatap nisan di depannya. Dan ia tetap
saja masih membisu.
“Maafkan
aku..” Suara itu nyaris hilang ditelan hujan dan angin. Kay sangat menyadari
keterlambatannya.
“Kau
seharusnya tidak perlu melakukan apa-apa, Rehan!” Kay berseru lemah. Ia marah
dengan dirinya sendiri.
“Kau
harusnya membiarkan aku mati saja..” Kay tercekat lagi.
“Maafkan
aku..” Kalimat itu keluar lagi dari mulut Kay. Kali ini ia menyadari
kebodohannya.
“Aku
tidak pernah bermaksud membuatmu terluka dengan penolakan-penolakan itu. Kau
tidak pernah menyerah. Kau selalu mengatakannya lagi dan lagi.. Sampai aku
tidak menyadari kalimat itu untuk yang terakhir kalinya.” Kay tergugu, hujan
sedikit mereda. Langit gelap berganti awan jingga.
“Waktu
itu aku takut mengatakannya. Aku takut mengakui kalau aku juga sangat
mencintaimu, Rehan.” Kay menyeka pipi dengan punggung tangan. Ia tidak sanggup
berdiri. Kay telah kehilangan sekeping
hatinya.
TAMAT
salam kenal, mba linda. ijin folow blognya yaa :D
BalasHapusiya, salam kenal juga ;)
BalasHapus