Selasa, 12 Juni 2012

Semua Tentang Kita | part 5



Saat pulang sekolah aku tidak langsung pulang. Aku melangkah menuju lapangan basket. Tidak peduli meski di atas sana awan-awan hitam sedang berarak. Setelah meletakkan tas di pinggir lapangan, kemudian aku melangkah gontai menghampiri bola yang ada di bawah ring. Aku meraih bola itu, tanganku hanya memantul-mantulkannya, aku tergugu menatap ke bawah, bukan bola tetapi lantainya.

Percikan air mulai membuncah di lantai, titik demi titik yang semakin membesar. Hujan turun begitu saja. Rambut bahkan seluruh tubuhku mulai basah. Aku membanting bola itu dengan keras. Bola itu menggelinding begitu saja. Aku menyibak rambutku yang kuyup. Beberapa detik kemudian air hujan itu sudah tidak menimpa kepalaku. Aku mendongak, melihat payung hitam diatas kepalaku. Siapa yang memayungiku? Aku menoleh ke kanan-kiri tidak ada orang. Begitu aku memutar badanku, aku melihat Farish yang berdiri dibelakangku.

“Nanti kalau sakit bagaimana?” Farish tersenyum tipis, terlihat khawatir.

“Kenapa belum pulang juga?” tanyaku tersenyum kecut.

“Aku kan nungguin kamu.” Farish menyeringai.

“Buat apa? Bianka tuh urusin!” Aku mundur satu-dua langkah. Hujan kembali mengguyur badanku.

“Bibirnya sampai sobek kamu tonjok tadi.” Farish beringsut mendekatiku. Terdengar suara air yang membuncah di atas payung, rupanya hujan semakin deras.

“Biar dia tahu rasa. Kalau kamu mau belain dia, silahkan!” Aku menuding hidungnya dengan telunjukku. Farish menautkan kedua alisnya.

“Kamu nggak percaya lagi sama aku?” Farish menangkap tanganku, menggenggamnya lalu meletakkan di dadanya.

“Dengarkan setiap detak jantung ini. Irama yang selalu tercipta saat aku bersamamu, Fel.” Farish menatapku dalam-dalam, “Dan mata ini yang akan menjadi saksi abadi.”

Aku menarik tanganku dari genggamannya. Cukup. Sudah cukup aku terbuai. Masalah ini tidak semudah selama Bianka masih ada disini.

“Aku mau sendiri.” Ucapku lirih, menunduk, menangis bersama deraian air hujan yang kembali menerpaku. Payung itu terjatuh, aku tahu Farish sengaja menjatuhnya. Angin yang berhembus sedikit kencang membuat payung itu bergeming.

Farish basah-kuyup, air menetes dari ujung rambutnya.

“Kumohon. Pulang sekarang!” ucapku, sedikit memohon, meraih lengannya.

“Aku tidak akan pulang sebelum kamu ikut pulang bersamaku.” Farish mengusap wajahnya. Aku hanya khawatir penyakit asmanya kambuh lagi. Aku mengangguk, meraih tasku. Lalu berjalan di samping Farish menuju halte yang ada di depan sekolah. Farish tersenyum tipis seraya memegang payungnya. Tak lama bus pun datang dari arah barat. Aku duduk di dekat jendela. Farish sejak tadi sibuk mengusap rambut basahnya.

“Enak juga ya naik bus berdua sama kamu,” ucapnya girang. Aku meliriknya yang sedang nyengir. Tidak menjawab kalimat tadi, aku hanya menatap kaca jendela yang berembun. Di luar masih hujan deras. Aku menggosok-gosokkan kedua belah telapak tanganku. Lantas aku menempelkan tanganku di punggung tangan Farish. Dia tersenyum manis, balas menggenggam tanganku.

 
***


“Emangnya Icha mau sekolah dimana sih, Ma?” tanyaku saat kami sedang sarapan pagi.

“Itu TK yang ada di ujung jalan.” Mama tersenyum ke arah Icha.

“Yakin, Ma? Monster kecil kayak Icha nih susah diatur.” Aku menunjuk Icha dengan sendok. Icha melempar sepotong roti tawar ke wajahku. Icha mencembungkan pipi tembamnya, kali ini bersiap melempar serbet ke arahku.

“Icha kan anak pintar, cantik pula.” Mama menahan tangan Icha yang sudah teracung tinggi. Aku tahu, Mama hanya pura-pura memuji Icha. Itu juga karena Mama takut kalau-kalau meja makan menjadi berantakan.

“Icha nggak mau ngomong sama kak Fel lagi!” Icha berseru jengkel, mengibaskan kakinya, satu sepatu lepas terpelanting di lantai. Aku menjulurkan lidah, kedua telapak tanganku diatas kuping, meledeknya habis-habisan.

“Ih, dasar mak lampir!” Monster itu menunjukku, memegangi perutnya, lantas tertawa geli, terkekeh.

“Icha, sama kak Fel nggak boleh begitu.” Ucap Mama menatap Icha dan aku secara bergantian,
“Dan kamu Fel, jangan pernah ganggu Icha lagi.” Mama menudingku galak. Siapa juga yang mulai duluan? Bukankah monster kecil itu yang selalu menganggu hidupku? Selalu diam-diam masuk ke kamarku? Mengambil boneka-bonekaku?


***


“Ehem!” Rere datang dari belakangku.

“Eh?” Aku sedikit terkejut menoleh ke arahnya.

“Lagi ngapain? Kayaknya seru nih?” Rere melangkah ke sampingku.

“Pantesan, ceritanya udah damai nih sama Farish?” ucap Rere, iseng menjawil hidungku. Aku menepis tangannya.

“Oh ya, Dewi mana?” tanyaku sedikit melirik Rere yang duduk di kursi belakangku.

“Paling juga lagi ngapelin si Dika.” Ucap Rere menyeruput es kopi di gelasnya. Aku nyengir, tidak minat bertanya lagi, mataku kembali konsen pada lapangan basket. Ada Farish dan teman-teman sekelasnya, mereka sedang berolahraga. Farish beberapa kali mengacungkan jempol ke arahku, itu tandanya dia baik-baik saja. Terkadang aku terlalu mencemaskan hal ini, makanya aku selalu memantau Farish dari kantin yang berdampingan dengan lapangan basket. Tidak sengaja, mataku langsung memicing begitu tahu ada Bianka di tepi lapangan. Bersorak. Bertepuk tangan dengan heboh. Dan menyerukan nama “Farish!”


Aku duduk disamping Rere. Sambil meremas rok-ku sendiri, aku mendumal dalam hati. Rere hampir tersedak melihat tingkahku.

“Kenapa? Tadi aja masih nyengir nggak jelas. Sekarang malah cemberut?” Rere meletakkan gelasnya, lalu menyeka bibirnya.

“Gue males. Lihat aja tuh, ada si perusak suasana.” Ujarku mendesis sebal. Rere mengerutkan dahi.

“Maksudnya si Bangkai? Eh, Bianka?” Rere merubah posisinya, memandang sekilas ke lapangan. Rere terkekeh menepuk pahanya.

“Apanya yang lucu?” tanyaku galak. Rere menoyor pipiku.

“Ya tenang aja kali, buk. Farish aja cuek banget,” ujar Rere masih tertawa. Aku menyikut lengannya. Memang iya Farish tidak menghiraukan Bianka. Tetapi, aku hanya risau saja melihatnya.

“Udah ah. Ayo balik ke kelas. Bentar lagi pelajaran Bu Endang nih.” Rere sedikit gentar melihat jam ditangannya. Lantas bergegas menarik lenganku.


***

Singkat cerita, setelah beberapa minggu melewati berbagai macam ujian kelulusan, akhirnya, hari ini tiba saatnya untuk mengambil pengumuman. Sebenarnya aku ingin berangkat bersama Farish, namun setelah kupikir ulang, aku lebih baik berangkat dengan Mama saja.

“Setelah lulus, Fel mau kan menuruti apa kata Mama?” tanyanya tiba-tiba ketika kami sampai di depan gerbang sekolah. Mama menarik tanganku.

“Fel janji, Ma.” Aku mengangguk tanpa berpikir panjang. Mama tersenyum lebar. Aku sedikit ragu sebenarnya, harusnya tadi aku tidak perlu janji-janji terlebih dahulu. Mama benci jika janji itu ingkar.


Aku bergabung dengan Dewi dan Rere di depan kelas.

“Eh, lihat Farish nggak?” tanyaku. Mereka berdua menggeleng dengan kompak.

“Memangnya lo tadi kesini nggak sama Farish?” tanya Dewi heran.

“Mana gue berani, kalau Mama lihat gimana!” jawabku kesal.

“Eh, kok gitu? Farish kan setiap hari antar-jemput lo. Buktinya sampai sekarang fine-fine aja.” Rere ikut memprotes. Aku sebal membungkam mulutnya.

“Iya sih, ya itu pinter-pinternya gue aja.” Aku meringis. Rere menyingkirkan tanganku dari mulutnya.

“Itu, dia datang!” seru Rere menunjuk ke belakangku. Aku spontan menoleh untuk melihatnya.

“Kutu kupret itu? Males gila!” ceplosku sangat jengkel melihat Dika berjalan ke arahku.

“Ih, pangeranku bawa bunga mawar. Pasti buat gue!” ucap Dewi terkesima, matanya mengerjap-ngerjap aneh. Aku dan Rere hanya mengerutkan dahi.

Special for my princess.” Aku kaget bukan kepalang, begitu aku menoleh, bunga mawar itu sudah ada di depan mataku. Sementara yang memegang mawar itu mengulum senyum sok-manisnya. Aku tahu apa reaksi Dewi sekarang. Aku menepuk jidatku. Dewi bahkan terlanjur menangis, memukul-mukul dan menendang-nendang tembok. Rere kewalahan mencegahnya.

“Ng.. Dika salah orang kok. Seharusnya bunga ini buat lo, Wi.” Aku menyambar bunga itu dari tangan Dika, lantas menyodorkannya kepada Dewi. Dika mencoba protes, mulutnya sudah terbuka, hampir satu kata keluar. Aku cepat-cepat menoleh, melotot tajam. Dika mengatupkan mulutnya rapat-rapat.

“Permisi, pinjam Fel sebentar ya.” Farish datang menyela.

“Lama juga nggak apa-apa!” seru Rere girang.

“Tunggu, tunggu! Nggak boleh!” Dika menahanku, dia menarik tangan kiriku. Aku risih melihat dia berani memegang tanganku.

“Apa sih?” Farish kesal, dia berusaha melepas tangan Dika dari tanganku. Kemudian Farish membawaku pergi. Dari kejauhan aku melihat Dika menendang tong sampah. Aku terkekeh melihatnya.


“Setelah lulus, kamu mau kuliah dimana, yank?” tanyaku memulai pembicaraan. Kami berjalan pelan melewati koridor-koridor kelas. Farish tersenyum mengacak rambutku.

“Kali ini jawab dong,” ucapku sangat memohon. Farish tidak pernah serius menjawab jika kutanya hal serupa. Dia seperti sedang menghindar.

“Kalau kamu mau kuliah dimana?” tanyanya balik. Aku menghela nafas, apa susahnya sih menjawab pertanyaanku?

“Aku akan jawab setelah kamu menjawab pertanyaanku.” Aku tetap bersikeras. Enak saja, dia bisa mengabaikan pertanyaanku, maka aku pun bisa melakukan hal yang sama.

“Aku mungkin tidak sempat kuliah.” Farish berhenti, lalu menatapku. Aku melongo, sama sekali tidak mengerti apa maksud dari ucapannya.

“Kamu harus kejar cita-citamu, yank. Buktikan sama aku kalau kamu bisa melakukannya.” Lanjutnya lagi. Aku tidak diberi kesempatan untuk bertanya lebih banyak. Farish tidak sedang bercanda, berbeda dari biasanya, kali ini wajahnya amat serius.

“Penulis, ya, kamu pasti bisa!” Farish merengkuh kepalaku. Aku diam, memang sengaja diam. Entah, aku merasa benar-benar aneh.


“Se-angkatan kita lulus semua hlo, yank!” Farish kembali menggandeng tanganku. Aku berjalan dengan mata berkaca. Bahkan, aku tidak tahu apa yang membuatku bersedih. Aku menarik nafas, mengerjapkan mata cepat, memaksa air mataku agar tidak jatuh.

“Oh ya? Alhamdulillah kalau gitu.” Aku tersenyum tertahan, lalu menghela nafas lagi.

“Mama kamu kan yang ambil?” tanyaku kemudian. Aku sudah lama tidak bertemu Tante Reva.

“Mungkin sebentar lagi keluar dari aula.” Farish melihat arlojinya. Aku dan Farish duduk menunggu di hall. Tanganku menggenggam tangan Farish erat.






Bersambung—

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Cari Blog Ini