Saat
pulang sekolah aku tidak langsung pulang. Aku melangkah menuju lapangan basket.
Tidak peduli meski di atas sana awan-awan hitam sedang berarak. Setelah
meletakkan tas di pinggir lapangan, kemudian aku melangkah gontai menghampiri
bola yang ada di bawah ring. Aku
meraih bola itu, tanganku hanya memantul-mantulkannya, aku tergugu menatap ke bawah,
bukan bola tetapi lantainya.
Percikan air mulai membuncah di lantai, titik demi
titik yang semakin membesar. Hujan turun begitu saja. Rambut bahkan seluruh
tubuhku mulai basah. Aku membanting bola itu dengan keras. Bola itu
menggelinding begitu saja. Aku menyibak rambutku yang kuyup. Beberapa detik
kemudian air hujan itu sudah tidak menimpa kepalaku. Aku mendongak, melihat
payung hitam diatas kepalaku. Siapa yang
memayungiku? Aku menoleh ke kanan-kiri tidak ada orang. Begitu aku memutar
badanku, aku melihat Farish yang berdiri dibelakangku.
“Nanti
kalau sakit bagaimana?” Farish tersenyum tipis, terlihat khawatir.
“Kenapa
belum pulang juga?” tanyaku tersenyum kecut.
“Aku
kan nungguin kamu.” Farish menyeringai.
“Buat
apa? Bianka tuh urusin!” Aku mundur satu-dua langkah. Hujan kembali mengguyur
badanku.
“Bibirnya
sampai sobek kamu tonjok tadi.” Farish beringsut mendekatiku. Terdengar suara
air yang membuncah di atas payung, rupanya hujan semakin deras.
“Biar
dia tahu rasa. Kalau kamu mau belain dia, silahkan!” Aku menuding hidungnya
dengan telunjukku. Farish menautkan kedua alisnya.
“Kamu
nggak percaya lagi sama aku?” Farish menangkap tanganku, menggenggamnya lalu
meletakkan di dadanya.
“Dengarkan
setiap detak jantung ini. Irama yang selalu tercipta saat aku bersamamu, Fel.”
Farish menatapku dalam-dalam, “Dan mata ini yang akan menjadi saksi abadi.”
Aku
menarik tanganku dari genggamannya. Cukup. Sudah cukup aku terbuai. Masalah ini
tidak semudah selama Bianka masih ada disini.
“Aku
mau sendiri.” Ucapku lirih, menunduk, menangis bersama deraian air hujan yang
kembali menerpaku. Payung itu terjatuh, aku tahu Farish sengaja menjatuhnya.
Angin yang berhembus sedikit kencang membuat payung itu bergeming.
Farish
basah-kuyup, air menetes dari ujung rambutnya.
“Kumohon.
Pulang sekarang!” ucapku, sedikit memohon, meraih lengannya.
“Aku
tidak akan pulang sebelum kamu ikut pulang bersamaku.” Farish mengusap
wajahnya. Aku hanya khawatir penyakit asmanya kambuh lagi. Aku mengangguk,
meraih tasku. Lalu berjalan di samping Farish menuju halte yang ada di depan
sekolah. Farish tersenyum tipis seraya memegang payungnya. Tak lama bus pun
datang dari arah barat. Aku duduk di dekat jendela. Farish sejak tadi sibuk
mengusap rambut basahnya.
“Enak
juga ya naik bus berdua sama kamu,” ucapnya girang. Aku meliriknya yang sedang
nyengir. Tidak menjawab kalimat tadi, aku hanya menatap kaca jendela yang
berembun. Di luar masih hujan deras. Aku menggosok-gosokkan kedua belah telapak
tanganku. Lantas aku menempelkan tanganku di punggung tangan Farish. Dia
tersenyum manis, balas menggenggam tanganku.
***
“Emangnya
Icha mau sekolah dimana sih, Ma?” tanyaku saat kami sedang sarapan pagi.
“Itu
TK yang ada di ujung jalan.” Mama tersenyum ke arah Icha.
“Yakin,
Ma? Monster kecil kayak Icha nih susah diatur.” Aku menunjuk Icha dengan
sendok. Icha melempar sepotong roti tawar ke wajahku. Icha mencembungkan pipi
tembamnya, kali ini bersiap melempar serbet ke arahku.
“Icha
kan anak pintar, cantik pula.” Mama menahan tangan Icha yang sudah teracung
tinggi. Aku tahu, Mama hanya pura-pura memuji Icha. Itu juga karena Mama takut
kalau-kalau meja makan menjadi berantakan.
“Icha
nggak mau ngomong sama kak Fel lagi!” Icha berseru jengkel, mengibaskan
kakinya, satu sepatu lepas terpelanting di lantai. Aku menjulurkan lidah, kedua
telapak tanganku diatas kuping, meledeknya habis-habisan.
“Ih,
dasar mak lampir!” Monster itu menunjukku, memegangi perutnya, lantas tertawa
geli, terkekeh.
“Icha,
sama kak Fel nggak boleh begitu.” Ucap Mama menatap Icha dan aku secara
bergantian,
“Dan
kamu Fel, jangan pernah ganggu Icha lagi.” Mama menudingku galak. Siapa juga yang mulai duluan? Bukankah
monster kecil itu yang selalu menganggu hidupku? Selalu diam-diam masuk ke
kamarku? Mengambil boneka-bonekaku?
***
“Ehem!”
Rere datang dari belakangku.
“Eh?”
Aku sedikit terkejut menoleh ke arahnya.
“Lagi
ngapain? Kayaknya seru nih?” Rere melangkah ke sampingku.
“Pantesan,
ceritanya udah damai nih sama Farish?” ucap Rere, iseng menjawil hidungku. Aku
menepis tangannya.
“Oh
ya, Dewi mana?” tanyaku sedikit melirik Rere yang duduk di kursi belakangku.
“Paling
juga lagi ngapelin si Dika.” Ucap Rere menyeruput es kopi di gelasnya. Aku
nyengir, tidak minat bertanya lagi, mataku kembali konsen pada lapangan basket.
Ada Farish dan teman-teman sekelasnya, mereka sedang berolahraga. Farish
beberapa kali mengacungkan jempol ke arahku, itu tandanya dia baik-baik saja.
Terkadang aku terlalu mencemaskan hal ini, makanya aku selalu memantau Farish
dari kantin yang berdampingan dengan lapangan basket. Tidak sengaja, mataku
langsung memicing begitu tahu ada Bianka di tepi lapangan. Bersorak. Bertepuk
tangan dengan heboh. Dan menyerukan nama “Farish!”
Aku
duduk disamping Rere. Sambil meremas rok-ku sendiri, aku mendumal dalam hati.
Rere hampir tersedak melihat tingkahku.
“Kenapa?
Tadi aja masih nyengir nggak jelas. Sekarang malah cemberut?” Rere meletakkan
gelasnya, lalu menyeka bibirnya.
“Gue
males. Lihat aja tuh, ada si perusak suasana.” Ujarku mendesis sebal. Rere
mengerutkan dahi.
“Maksudnya
si Bangkai? Eh, Bianka?” Rere merubah posisinya, memandang sekilas ke lapangan.
Rere terkekeh menepuk pahanya.
“Apanya
yang lucu?” tanyaku galak. Rere menoyor pipiku.
“Ya
tenang aja kali, buk. Farish aja cuek banget,” ujar Rere masih tertawa. Aku
menyikut lengannya. Memang iya Farish tidak menghiraukan Bianka. Tetapi, aku
hanya risau saja melihatnya.
“Udah
ah. Ayo balik ke kelas. Bentar lagi pelajaran Bu Endang nih.” Rere sedikit
gentar melihat jam ditangannya. Lantas bergegas menarik lenganku.
***
Singkat
cerita, setelah beberapa minggu melewati berbagai macam ujian kelulusan,
akhirnya, hari ini tiba saatnya untuk mengambil pengumuman. Sebenarnya aku
ingin berangkat bersama Farish, namun setelah kupikir ulang, aku lebih baik
berangkat dengan Mama saja.
“Setelah
lulus, Fel mau kan menuruti apa kata Mama?” tanyanya tiba-tiba ketika kami
sampai di depan gerbang sekolah. Mama menarik tanganku.
“Fel
janji, Ma.” Aku mengangguk tanpa berpikir panjang. Mama tersenyum lebar. Aku
sedikit ragu sebenarnya, harusnya tadi aku tidak perlu janji-janji terlebih
dahulu. Mama benci jika janji itu ingkar.
Aku
bergabung dengan Dewi dan Rere di depan kelas.
“Eh,
lihat Farish nggak?” tanyaku. Mereka berdua menggeleng dengan kompak.
“Memangnya
lo tadi kesini nggak sama Farish?” tanya Dewi heran.
“Mana
gue berani, kalau Mama lihat gimana!” jawabku kesal.
“Eh,
kok gitu? Farish kan setiap hari antar-jemput lo. Buktinya sampai sekarang fine-fine aja.” Rere ikut memprotes. Aku
sebal membungkam mulutnya.
“Iya
sih, ya itu pinter-pinternya gue aja.” Aku meringis. Rere menyingkirkan
tanganku dari mulutnya.
“Itu,
dia datang!” seru Rere menunjuk ke belakangku. Aku spontan menoleh untuk
melihatnya.
“Kutu
kupret itu? Males gila!” ceplosku sangat jengkel melihat Dika berjalan ke
arahku.
“Ih,
pangeranku bawa bunga mawar. Pasti buat gue!” ucap Dewi terkesima, matanya
mengerjap-ngerjap aneh. Aku dan Rere hanya mengerutkan dahi.
“Special for my princess.” Aku kaget
bukan kepalang, begitu aku menoleh, bunga mawar itu sudah ada di depan mataku.
Sementara yang memegang mawar itu mengulum senyum sok-manisnya. Aku tahu apa
reaksi Dewi sekarang. Aku menepuk jidatku. Dewi bahkan terlanjur menangis,
memukul-mukul dan menendang-nendang tembok. Rere kewalahan mencegahnya.
“Ng..
Dika salah orang kok. Seharusnya bunga ini buat lo, Wi.” Aku menyambar bunga
itu dari tangan Dika, lantas menyodorkannya kepada Dewi. Dika mencoba protes,
mulutnya sudah terbuka, hampir satu kata keluar. Aku cepat-cepat menoleh,
melotot tajam. Dika mengatupkan mulutnya rapat-rapat.
“Permisi,
pinjam Fel sebentar ya.” Farish datang menyela.
“Lama
juga nggak apa-apa!” seru Rere girang.
“Tunggu,
tunggu! Nggak boleh!” Dika menahanku, dia menarik tangan kiriku. Aku risih
melihat dia berani memegang tanganku.
“Apa
sih?” Farish kesal, dia berusaha melepas tangan Dika dari tanganku. Kemudian
Farish membawaku pergi. Dari kejauhan aku melihat Dika menendang tong sampah.
Aku terkekeh melihatnya.
“Setelah
lulus, kamu mau kuliah dimana, yank?” tanyaku memulai pembicaraan. Kami
berjalan pelan melewati koridor-koridor kelas. Farish tersenyum mengacak
rambutku.
“Kali
ini jawab dong,” ucapku sangat memohon. Farish tidak pernah serius menjawab
jika kutanya hal serupa. Dia seperti sedang menghindar.
“Kalau
kamu mau kuliah dimana?” tanyanya balik. Aku menghela nafas, apa susahnya sih menjawab pertanyaanku?
“Aku
akan jawab setelah kamu menjawab pertanyaanku.” Aku tetap bersikeras. Enak
saja, dia bisa mengabaikan pertanyaanku, maka aku pun bisa melakukan hal yang
sama.
“Aku
mungkin tidak sempat kuliah.” Farish berhenti, lalu menatapku. Aku melongo,
sama sekali tidak mengerti apa maksud dari ucapannya.
“Kamu
harus kejar cita-citamu, yank. Buktikan sama aku kalau kamu bisa melakukannya.”
Lanjutnya lagi. Aku tidak diberi kesempatan untuk bertanya lebih banyak. Farish
tidak sedang bercanda, berbeda dari biasanya, kali ini wajahnya amat serius.
“Penulis,
ya, kamu pasti bisa!” Farish merengkuh kepalaku. Aku diam, memang sengaja diam.
Entah, aku merasa benar-benar aneh.
“Se-angkatan
kita lulus semua hlo, yank!” Farish kembali menggandeng tanganku. Aku berjalan
dengan mata berkaca. Bahkan, aku tidak tahu apa yang membuatku bersedih. Aku
menarik nafas, mengerjapkan mata cepat, memaksa air mataku agar tidak jatuh.
“Oh
ya? Alhamdulillah kalau gitu.” Aku tersenyum tertahan, lalu menghela nafas
lagi.
“Mama
kamu kan yang ambil?” tanyaku kemudian. Aku sudah lama tidak bertemu Tante
Reva.
“Mungkin
sebentar lagi keluar dari aula.” Farish melihat arlojinya. Aku dan Farish duduk
menunggu di hall. Tanganku
menggenggam tangan Farish erat.
Bersambung—
Tidak ada komentar:
Posting Komentar