Sebenarnya
Ada Apa?
“Astaga!
Jatuh dari tangga? Kenapa waktu itu kau ceroboh sekali?” seruku kaget saat Mita
selesai bercerita sebab kakinya harus digips sampai hari ini. Pagi ini, kami
berdua sedang duduk santai di kursi taman belakang rumah sakit. Tak kusangka
jika suaraku tadi membuat orang-orang menoleh, mendeham.
“Jadi
kau menyalahkanku?” Mita melotot, berkata dengan suara normal.
“Bukan
begitu, maksudku, setidaknya kau berteriak memanggilku. Mungkin tidak akan
seperti ini akibatnya.” Aku sengaja menyentuh lututnya. Mita galak menepuk
tanganku agar menyingkir.
“Sakit
tahu!” protesnya sebal.
“Memangnya
ada apa sampai rela mengejarku? Sampai harus jatuh dari tangga pula.” Aku sengaja
mencibirnya, memancingnya agar bereaksi.
“Aku
takut kau marah. Ya, itu saja. Apa lagi?” Mita membuang muka, mengangkat bahu,
enggan bertatap denganku. Tentu saja aku tidak percaya dengan jawaban itu.
“Aku
ingin segera pulang!” katanya tajam, dari nada bicaranya, kalimat itu bagaikan
perintah yang pantang untuk ditentang.
“Memangnya
kenapa? Kakimu saja belum ada perkembangan.” Aku sudah menjulurkan tangan,
hampir menyentuh lututnya lagi. Tapi kali ini sebelum Mita marah aku sudah
menarik tanganku lagi.
“Kau
pikir aku suka setiap hari disuntik? Dicerca dengan jarum mengerikan itu!” Mita
berkata pedas. Aku menggaruk kepala, benar juga. Aku juga kasihan melihat ia
meringis kesakitan saat disuntik.
“Tunggu
sampai lusa. Dokter itu amat keras kepala. Kau sungguh tak tahu bagaimana aku
mati-matian meminta izin tempo hari.” Aku melihatnya yang sudah mencembungkan
pipi, tidak terima. Dari sorot matanya aku bisa membaca rasa tidak sukanya.
“Ayolah.
Kali ini saja kau bisa kan tidak membuatku bertingkah konyol?” aku bingung
dengan cara apa lagi agar membuatnya tenang sedikit.
“Kau
boleh minta apa saja dariku, akan aku turuti. Asal kau berhenti merengek minta
pulang.” Aku mengeluarkan cara terakhir yang aku percaya sangat mujarab. Mita
meletakkan jari telunjuk di pelipisnya, pura-pura berpikir keras. Aku berharap,
dia tidak minta macam-macam.
“Sudah
belum?” tanyaku mulai tak sabaran, hampir sepuluh menit Mita tak kunjung
bicara.
“Kapan
kau kembali ke apartemen?” Mita menyeringai. Kenapa ia malah menanyakan hal
itu?
“Belum
tahu. Memangnya kenapa?” tanyaku diselimuti rasa ingin tahu.
“Aku
takut, apartemenmu kosong. Nanti banyak hantunya! Hiiii.” Mita mengangkat kedua
tangannya, meringis, untung kukunya tidak panjang-panjang.
“Kurasa
bukan itu alasanmu.” Aku terkekeh, menurunkan tangannya yang tadi sempat
memperagakan adegan mencakar.
“Ah,
terserah kalau tidak percaya!” Mita manyun, nekad hendak berdiri. Aku cepat
menyergah, menahan sebelah lengannya. Hampir saja ia jatuh.
“Hati-hati!”
pekikku gemas. Ia selalu saja ceroboh. Mita mendengus jengkel . Aku mengantar
Mita untuk istirahat. Sepanjang lorong rumah sakit, aku terus mempertimbangkan
pertanyaan Mita tadi. Bagaimanalah, rasanya akan sulit sekali kembali ke
apartemen itu. Mama tidak akan tinggal diam.
***
“Sejak
kapan kau jadi pembangkang seperti ini? Kau tidak boleh tinggal disana lagi!”
Mama berteriak galak—lebih galak dari Mita. Aku berhasil membuat suasana makan
malam menjadi panas.
“Mama
bisa mengunjungiku kapan saja.” Aku menunduk gentar. Siapa pula yang berani menatap Mama saat ia sedang marah-marah?
“Apa
susahnya menuruti apa kata Mama? Kau anak Mama satu-satunya, Ikmal!” Mama
membanting sendok di piring. Aku terkesiap, diam-diam melirik Papa yang duduk
diam memperhatikan. Siapa pula yang akan
berselera makan jika melihat Mama tengah mengamuk?
“Biarkan
Ikmal memilih tinggal dimana. Dia sudah besar. Tak perlu kau teriaki ini-itu
lagi.” Papa angkat bicara, setelah cermat membaca situasi, dan segera tanggap
dengan lirikanku tadi. Kini giliran Mama yang menatap Papa, seakan bilang, sebaiknya kau diam atau kau tidak usah ikut campur atau lebih baik kau pura-pura saja tidak tahu.
“Kendalikan
emosimu, Ma. Kau tidak dengar tadi? Ikmal sudah meminta izin baik-baik. Kau mau
lihat dia kabur loncat pagar lagi, seperti dulu?” Papa menengahi dengan sabar,
sepenuhnya mendukung keputusanku, dan berada dipihakku.
Mama
sebal bukan main, bergegas bangkit, melempar serbet ke meja. Aku dan Papa diam
menyaksikan bentuk kekecewaan Mama.
“Kau
tenang saja. Papa tetap mengizinkan kau tinggal lagi di apartemen.” Papa
tersenyum, menyuapkan nasi yang sudah dingin ke dalam mulut.
“Mama
gimana, Pa?” tanyaku masih saja risau.
“Biar
saja. Nanti biar Papa yang urus,” ucapnya melambaikan tangan. Aku tersenyum
lega. Mungkin besok aku mulai bisa mengemasi barang-barangku.
“Papa
ingin sekali bertemu dengan calon menantu.” Papa enteng saja mengatakan hal
itu. Aku yang sedang minum, tersedak-sedak dibuatnya. Calon menantu? Astaga! Wanita siapa lagi yang dimaksud?
“Apa
maksudnya, Pa?” aku menyeka sudut bibirku.
“Ah,
kau pura-pura bodoh atau memang bodoh?” Papa menyeringai, berbisik, takut Mama
yang di lantai dua mendengarnya. Aku masih mengerutkan dahi, meminta
penjelasan.
“Siapa
lagi kalau bukan gadis yang belakangan membuat duniamu jungkir balik?” Papa
tertawa kecil, menggodaku. Baiklah. Aku tahu maksudnya apa.
“Jadi,
kapan Papa bisa berkenalan dengannya?” ia bertanya lagi. Aku menekuk wajahku,
pura-pura tidak berselera menanggapi. Aku masih mencari waktu yang tepat.
Tetapi, entah hal apa yang membuat Papa begitu yakin, sementara Papa juga tahu
Mita telah menolakku.
“Papa
yakin akan merestuiku nanti?” Aku sudah berbunga-bunga, seolah aku mempunyai
harapan baru lagi.
“Tentu
saja!” Papa berkata riang. Aku manggut-manggut tak kalah senang.
***
Pagi
buta aku langsung meluncur ke rumah sakit. Membuka pintu dengan hati-hati.
Tentu saja aku masih mendapati Mita tertidur pulas. Aku iseng berjalan
mendekati jendela, menyingkap gorden lebar-lebar. Cahaya matahari sempurna
menerangi separuh ruangan. Mita menggeliat, mengucek mata, menggeliat lagi.
“Tutup
gordennya lagi!” serunya sebal. Aku nyengir.
“Kau
tidak malu dengan ayam?” aku bergurau, Mita sebal menutup kepalanya dengan
bantal.
“Kau
tidak lekas bangun, itu berarti kau tidak pulang siang ini!” aku bersedekap
tangan. Mita menyingkirkan bantal dari kepalanya, langsung tertarik dengan
kalimat barusan.
Tiba saat Mita pulang. Dokter bilang, sebenarnya luka
di kaki Mita tidak terlalu mencemaskan. Maka siang itu, sebelum Mita merengek
agar cepat pulang, dokter memutuskan untuk melepas gips yang menempel di kaki
kanan Mita.
Aku membimbingnya menuju mobilku. Mita berseru galak
ketika kepalanya hampir terbentur bingkai pintu mobil. Mobilku cepat
meninggalkan pelataran rumah sakit. Menyisakan Mita yang masih manyun.
***
“Eh, kau mau kemana?” teriak Mita spontan ketika aku
hendak melangkah ke pintu. Mita berdiri dari kasur, hendak menghampiriku,
tetapi aku melangkah mendekat lebih dulu.
“Aku pulang sebentar, tidak lama.” Aku mengacak
rambutnya. Mita diam, tidak bertanya lagi.
Baru sampai di lantai basement aku dibuat terkejut
dengan kedatangan Papa yang tiba-tiba. Sepertinya sengaja benar datang kemari
untuk mengantar koperku. Aku segera mengajaknya menaiki lift.
“Sejak kapan Papa mempunyai inisiatif datang kemari?”
aku menatap curiga.
“Papa hanya ingin membantu. Untung saja tadi Mamamu
sedang ke salon.” Papa terkekeh saat lift berdenting, pintu terbuka. Aku
menarik koper, Papa berjalan di belakangku, sepatunya yang mengkilat terdengar
berdecit di lantai yang habis dipel. Aku memutar gagang pintu. Membiarkan Papa
sejenak menelisik setiap detail sudut apartemenku. Sementara aku bergegas
mendatangi Mita. Ini waktu yang tepat, pikirku.
“Cepat sekali? Kau naik apa barusan?” Mita bertanya,
melipat majalah yang tadi asyik ia baca.
“Aku tidak jadi pulang. Kabar baiknya, ada yang
berbaik hati datang mengantar koperku.” Aku tersenyum tipis.
“Akhirnya kau tinggal lagi di sebelah!” serunya kalap,
hampir kelepasan memelukku, kalaupun jadi aku juga tidak akan keberatan
dipeluk.
“Ada yang ingin bertemu denganmu.” Tanpa menunggu
anggukan Mita, aku sudah menarik Mita keluar. Ia cukup ribut menanyakan siapa
yang ingin bertemu dengannya. Aku menjawabnya dengan seringaian.
Detik berikutnya...
“Pa, ini Mita.” Aku membuat Papa yang sedang menatap
keluar jendela, buru-buru menoleh. Papa yang sempat tersenyum langsung
mengatupkan rahang.
Majalah
yang sejak tadi ia genggam terlepas begitu saja dari tangan Mita. Ada apa ini?
Kenapa semuanya terasa membeku seketika. Aku melihat Papa yang gemetar menatap
Mita. Ada raut yang berbeda disana.
Detik
berikutnya...
Mita
berusaha keras melepas lengannya dari tanganku. Aku mengalah, mengendurkan
pegangan tanganku. Papa menatapku kaku, mata bening itu pias. Mita tertatih
meninggalkan apartemenku, aku tak sempat atau tepatnya tak berani mencegahnya.
Kudengar ia membanting pintu keras-keras. Ada
apa sebenarnya?
“Kenapa?
Kalian sudah saling mengenal? Atau—” Aku tercekat melihat mata Papa memerah.
Tentu aku tahu, ada masalah besar. Tetapi
masalah apa?
“Lupakan
gadis itu, Mal. Lebih baik kau cari yang lain. Jangan dia!” ujarnya dengan
kalap, dengan intonasi yang bergetar.
“Apa
maksud Papa? Bukankah Papa sangat mendukungku? Kenapa sekarang malah berubah pikiran?”
Aku tidak bisa menutupi kekecewaanku. Harapanku seperti menguap sudah, habis
oleh hal yang belum kumengerti.
“Lebih
baik kau turuti apa kata Mamamu. Kau pulang saja. Tetap tinggal di rumah. Kau
tak perlu berharap muluk-muluk dengan gadis itu! Papa tak ingin melihatmu sakit
hati lagi.” Papa melangkah keluar. Aku dibiarkan begitu saja dengan segala
bentuk kebingungan ini. Tidak ada yang bisa aku rangkai menjadi sebuah
penjelasan. Semuanya terlalu rumit. Aku mengusap wajah kebasku. Menendang koper
di depanku dengan kasar. Astaga! Aku tak habis pikir. Aku harus memulai
bertanya kepada siapa? Papa atau Mita?
Aku
hati-hati mengetuk pintu. Sia-sia. Sudah pasti, Mita tidak mau aku temui. Aku
menempelkan wajahku di daun pintu. Samar-samar aku mendengar helaan napas
tertahan, ada isak tangis terdengar lamat di balik pintu. Aku bisa
merasakannya. Ya Tuhan.. Sebenarnya ada
apa?
Bersambung—
Tidak ada komentar:
Posting Komentar