Minggu, 24 Juni 2012

“Biarkan Aku Mencintaimu” (bagian 8)


Sebenarnya Ada Apa?




“Astaga! Jatuh dari tangga? Kenapa waktu itu kau ceroboh sekali?” seruku kaget saat Mita selesai bercerita sebab kakinya harus digips sampai hari ini. Pagi ini, kami berdua sedang duduk santai di kursi taman belakang rumah sakit. Tak kusangka jika suaraku tadi membuat orang-orang menoleh, mendeham.

“Jadi kau menyalahkanku?” Mita melotot, berkata dengan suara normal.

“Bukan begitu, maksudku, setidaknya kau berteriak memanggilku. Mungkin tidak akan seperti ini akibatnya.” Aku sengaja menyentuh lututnya. Mita galak menepuk tanganku agar menyingkir.

“Sakit tahu!” protesnya sebal.

“Memangnya ada apa sampai rela mengejarku? Sampai harus jatuh dari tangga pula.” Aku sengaja mencibirnya, memancingnya agar bereaksi.

“Aku takut kau marah. Ya, itu saja. Apa lagi?” Mita membuang muka, mengangkat bahu, enggan bertatap denganku. Tentu saja aku tidak percaya dengan jawaban itu.

“Aku ingin segera pulang!” katanya tajam, dari nada bicaranya, kalimat itu bagaikan perintah yang pantang untuk ditentang.

“Memangnya kenapa? Kakimu saja belum ada perkembangan.” Aku sudah menjulurkan tangan, hampir menyentuh lututnya lagi. Tapi kali ini sebelum Mita marah aku sudah menarik tanganku lagi.

“Kau pikir aku suka setiap hari disuntik? Dicerca dengan jarum mengerikan itu!” Mita berkata pedas. Aku menggaruk kepala, benar juga. Aku juga kasihan melihat ia meringis kesakitan saat disuntik.

“Tunggu sampai lusa. Dokter itu amat keras kepala. Kau sungguh tak tahu bagaimana aku mati-matian meminta izin tempo hari.” Aku melihatnya yang sudah mencembungkan pipi, tidak terima. Dari sorot matanya aku bisa membaca rasa tidak sukanya.

“Ayolah. Kali ini saja kau bisa kan tidak membuatku bertingkah konyol?” aku bingung dengan cara apa lagi agar membuatnya tenang sedikit.

“Kau boleh minta apa saja dariku, akan aku turuti. Asal kau berhenti merengek minta pulang.” Aku mengeluarkan cara terakhir yang aku percaya sangat mujarab. Mita meletakkan jari telunjuk di pelipisnya, pura-pura berpikir keras. Aku berharap, dia tidak minta macam-macam.
“Sudah belum?” tanyaku mulai tak sabaran, hampir sepuluh menit Mita tak kunjung bicara.

“Kapan kau kembali ke apartemen?” Mita menyeringai. Kenapa ia malah menanyakan hal itu?

“Belum tahu. Memangnya kenapa?” tanyaku diselimuti rasa ingin tahu.

“Aku takut, apartemenmu kosong. Nanti banyak hantunya! Hiiii.” Mita mengangkat kedua tangannya, meringis, untung kukunya tidak panjang-panjang.

“Kurasa bukan itu alasanmu.” Aku terkekeh, menurunkan tangannya yang tadi sempat memperagakan adegan mencakar.

“Ah, terserah kalau tidak percaya!” Mita manyun, nekad hendak berdiri. Aku cepat menyergah, menahan sebelah lengannya. Hampir saja ia jatuh.

“Hati-hati!” pekikku gemas. Ia selalu saja ceroboh. Mita mendengus jengkel . Aku mengantar Mita untuk istirahat. Sepanjang lorong rumah sakit, aku terus mempertimbangkan pertanyaan Mita tadi. Bagaimanalah, rasanya akan sulit sekali kembali ke apartemen itu. Mama tidak akan tinggal diam.


***


“Sejak kapan kau jadi pembangkang seperti ini? Kau tidak boleh tinggal disana lagi!” Mama berteriak galak—lebih galak dari Mita. Aku berhasil membuat suasana makan malam menjadi panas.

“Mama bisa mengunjungiku kapan saja.” Aku menunduk gentar. Siapa pula yang berani menatap Mama saat ia sedang marah-marah?

“Apa susahnya menuruti apa kata Mama? Kau anak Mama satu-satunya, Ikmal!” Mama membanting sendok di piring. Aku terkesiap, diam-diam melirik Papa yang duduk diam memperhatikan. Siapa pula yang akan berselera makan jika melihat Mama tengah mengamuk?

“Biarkan Ikmal memilih tinggal dimana. Dia sudah besar. Tak perlu kau teriaki ini-itu lagi.” Papa angkat bicara, setelah cermat membaca situasi, dan segera tanggap dengan lirikanku tadi. Kini giliran Mama yang menatap Papa, seakan bilang, sebaiknya kau diam atau kau tidak usah ikut campur atau lebih baik kau pura-pura saja tidak tahu.

“Kendalikan emosimu, Ma. Kau tidak dengar tadi? Ikmal sudah meminta izin baik-baik. Kau mau lihat dia kabur loncat pagar lagi, seperti dulu?” Papa menengahi dengan sabar, sepenuhnya mendukung keputusanku, dan berada dipihakku.

Mama sebal bukan main, bergegas bangkit, melempar serbet ke meja. Aku dan Papa diam menyaksikan bentuk kekecewaan Mama.

“Kau tenang saja. Papa tetap mengizinkan kau tinggal lagi di apartemen.” Papa tersenyum, menyuapkan nasi yang sudah dingin ke dalam mulut.

“Mama gimana, Pa?” tanyaku masih saja risau.

“Biar saja. Nanti biar Papa yang urus,” ucapnya melambaikan tangan. Aku tersenyum lega. Mungkin besok aku mulai bisa mengemasi barang-barangku.

“Papa ingin sekali bertemu dengan calon menantu.” Papa enteng saja mengatakan hal itu. Aku yang sedang minum, tersedak-sedak dibuatnya. Calon menantu? Astaga! Wanita siapa lagi yang dimaksud?

“Apa maksudnya, Pa?” aku menyeka sudut bibirku.

“Ah, kau pura-pura bodoh atau memang bodoh?” Papa menyeringai, berbisik, takut Mama yang di lantai dua mendengarnya. Aku masih mengerutkan dahi, meminta penjelasan.

“Siapa lagi kalau bukan gadis yang belakangan membuat duniamu jungkir balik?” Papa tertawa kecil, menggodaku. Baiklah. Aku tahu maksudnya apa.

“Jadi, kapan Papa bisa berkenalan dengannya?” ia bertanya lagi. Aku menekuk wajahku, pura-pura tidak berselera menanggapi. Aku masih mencari waktu yang tepat. Tetapi, entah hal apa yang membuat Papa begitu yakin, sementara Papa juga tahu Mita telah menolakku.

“Papa yakin akan merestuiku nanti?” Aku sudah berbunga-bunga, seolah aku mempunyai harapan baru lagi.

“Tentu saja!” Papa berkata riang. Aku manggut-manggut tak kalah senang.


 
***


Pagi buta aku langsung meluncur ke rumah sakit. Membuka pintu dengan hati-hati. Tentu saja aku masih mendapati Mita tertidur pulas. Aku iseng berjalan mendekati jendela, menyingkap gorden lebar-lebar. Cahaya matahari sempurna menerangi separuh ruangan. Mita menggeliat, mengucek mata, menggeliat lagi.

“Tutup gordennya lagi!” serunya sebal. Aku nyengir.

“Kau tidak malu dengan ayam?” aku bergurau, Mita sebal menutup kepalanya dengan bantal.

“Kau tidak lekas bangun, itu berarti kau tidak pulang siang ini!” aku bersedekap tangan. Mita menyingkirkan bantal dari kepalanya, langsung tertarik dengan kalimat barusan.


Tiba saat Mita pulang. Dokter bilang, sebenarnya luka di kaki Mita tidak terlalu mencemaskan. Maka siang itu, sebelum Mita merengek agar cepat pulang, dokter memutuskan untuk melepas gips yang menempel di kaki kanan Mita.


Aku membimbingnya menuju mobilku. Mita berseru galak ketika kepalanya hampir terbentur bingkai pintu mobil. Mobilku cepat meninggalkan pelataran rumah sakit. Menyisakan Mita yang masih manyun.

 
***


“Eh, kau mau kemana?” teriak Mita spontan ketika aku hendak melangkah ke pintu. Mita berdiri dari kasur, hendak menghampiriku, tetapi aku melangkah mendekat lebih dulu.

“Aku pulang sebentar, tidak lama.” Aku mengacak rambutnya. Mita diam, tidak bertanya lagi.


Baru sampai di lantai basement aku dibuat terkejut dengan kedatangan Papa yang tiba-tiba. Sepertinya sengaja benar datang kemari untuk mengantar koperku. Aku segera mengajaknya menaiki lift.

“Sejak kapan Papa mempunyai inisiatif datang kemari?” aku menatap curiga.

“Papa hanya ingin membantu. Untung saja tadi Mamamu sedang ke salon.” Papa terkekeh saat lift berdenting, pintu terbuka. Aku menarik koper, Papa berjalan di belakangku, sepatunya yang mengkilat terdengar berdecit di lantai yang habis dipel. Aku memutar gagang pintu. Membiarkan Papa sejenak menelisik setiap detail sudut apartemenku. Sementara aku bergegas mendatangi Mita. Ini waktu yang tepat, pikirku.


“Cepat sekali? Kau naik apa barusan?” Mita bertanya, melipat majalah yang tadi asyik ia baca.

“Aku tidak jadi pulang. Kabar baiknya, ada yang berbaik hati datang mengantar koperku.” Aku tersenyum tipis.

“Akhirnya kau tinggal lagi di sebelah!” serunya kalap, hampir kelepasan memelukku, kalaupun jadi aku juga tidak akan keberatan dipeluk.

“Ada yang ingin bertemu denganmu.” Tanpa menunggu anggukan Mita, aku sudah menarik Mita keluar. Ia cukup ribut menanyakan siapa yang ingin bertemu dengannya. Aku menjawabnya dengan seringaian.


Detik berikutnya...


“Pa, ini Mita.” Aku membuat Papa yang sedang menatap keluar jendela, buru-buru menoleh. Papa yang sempat tersenyum langsung mengatupkan rahang.


Majalah yang sejak tadi ia genggam terlepas begitu saja dari tangan Mita. Ada apa ini? Kenapa semuanya terasa membeku seketika. Aku melihat Papa yang gemetar menatap Mita. Ada raut yang berbeda disana.


Detik berikutnya...


Mita berusaha keras melepas lengannya dari tanganku. Aku mengalah, mengendurkan pegangan tanganku. Papa menatapku kaku, mata bening itu pias. Mita tertatih meninggalkan apartemenku, aku tak sempat atau tepatnya tak berani mencegahnya. Kudengar ia membanting pintu keras-keras. Ada apa sebenarnya?


“Kenapa? Kalian sudah saling mengenal? Atau—” Aku tercekat melihat mata Papa memerah. Tentu aku tahu, ada masalah besar. Tetapi masalah apa?

“Lupakan gadis itu, Mal. Lebih baik kau cari yang lain. Jangan dia!” ujarnya dengan kalap, dengan intonasi yang bergetar.

“Apa maksud Papa? Bukankah Papa sangat mendukungku? Kenapa sekarang malah berubah pikiran?” Aku tidak bisa menutupi kekecewaanku. Harapanku seperti menguap sudah, habis oleh hal yang belum kumengerti.

“Lebih baik kau turuti apa kata Mamamu. Kau pulang saja. Tetap tinggal di rumah. Kau tak perlu berharap muluk-muluk dengan gadis itu! Papa tak ingin melihatmu sakit hati lagi.” Papa melangkah keluar. Aku dibiarkan begitu saja dengan segala bentuk kebingungan ini. Tidak ada yang bisa aku rangkai menjadi sebuah penjelasan. Semuanya terlalu rumit. Aku mengusap wajah kebasku. Menendang koper di depanku dengan kasar. Astaga! Aku tak habis pikir. Aku harus memulai bertanya kepada siapa? Papa atau Mita?


Aku hati-hati mengetuk pintu. Sia-sia. Sudah pasti, Mita tidak mau aku temui. Aku menempelkan wajahku di daun pintu. Samar-samar aku mendengar helaan napas tertahan, ada isak tangis terdengar lamat di balik pintu. Aku bisa merasakannya. Ya Tuhan.. Sebenarnya ada apa?




Bersambung—


Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Cari Blog Ini