Hari
Pertunangan
Rumah
besar itu tampak sibuk. Lalu-lalang orang cekatan mengangkat bebungaan. Dari
satu sudut ke sudut lainnya. Ibu Satria malah ikut turun tangan, memberi
aba-aba dari kursi rodanya. Kinta menawarkan bantuan, namun ditolak mentah-mentah.
“Tidak
usah, Kin. Kau temani Kayla ngobrol saja. Dia ada di halaman samping. Sudah
sana.” Kinta mengangguk patuh.
Kinta
mendapati Kayla sedang duduk di tepian kolam ikan. Kinta melangkah mendekat.
Lalu menyapa Kayla dengan ramah.
“Eh,
Kinta. Sejak kapan datang?” Rambut Kayla yang panjang sedikit tersibak saat ia
menoleh ke belakang.
“Baru
saja,” jawab Kinta pendek.
“Duduk,
Kin.” Kayla tersenyum menawarkan. Gadis itu tidak seburuk yang dipikirkan
Kinta. Kayla justru sangat ramah, tatapan yang bersahabat. Kinta ikut duduk di
tepian kolam.
“Kau
pasti menyusulku kesini karena diusir Tante Ema.” Kayla melempar sesuatu yang
sejak tadi ia genggam ke dalam kolam. Dalam sekejap, ikan-ikan membuat air
berkecipak.
“Kau
benar sekali.” Kinta menyeringai.
“Aku
juga mengalami hal itu tadi.” Kayla menahan tawa.
“Oh
ya, Satria mana? Aku tidak melihatnya.” Kinta mengedarkan pandangan. Kayla
menoleh, melupakan sejenak kolam di depannya.
“Dari
semalam Satria belum keluar dari kamarnya. Aku sudah coba membujuk, dan gagal.
Tante Ema juga tidak bisa berbuat lebih. Mungkin hanya kau yang bisa
membujuknya. Tolong, kau temui dia sekarang. Aku takut terjadi apa-apa
dengannya.” Kayla menatap penuh harap. Kinta menelan ludah. Aku juga sangat takut terjadi apa-apa dengan
Satria. Kinta cepat berdiri, menghilang di balik pintu, membiarkan Kayla
duduk sendirian disana.
Kinta
menaiki anak tangga, cepat-cepat. Dalam benaknya ia sangat khawatir. Kinta
mengetuk pintu dengan tangan gemetar.
“Satria,
ini aku.” Kinta sedikit menempelkan kepalanya di daun pintu, berkata amat
lirih. Pintu terbuka, Kinta gelagapan, mencoba menyeimbangkan tubuhnya. Satria
terlihat berantakan. Kinta mengerutkan alis. Apa pula yang terjadi dengan laki-laki ini?
“Kau
kenapa? Ada masalah apa?” Kinta menggamit kedua bahu Satria.
Satria
melangkah kembali ke kamar, tidak menjawab pertanyaan Kinta tadi. Ia duduk di
tepi kasur. Kinta berjalan ke arah jendela, membuka gorden lebar-lebar. Sinar
matahari menyilaukan mata, persis menerpa wajah Satria yang kusut. Kinta
menarik kursi, duduk tepat di hadapan Satria. Pandangan mereka saling bertemu.
“Katakan
apa yang mengganggu hatimu. Aku tahu, jadi kau tak perlu menutupinya.” Kinta
mendesak. Satria menghela napas, beranjak berdiri.
“Biarlah
cukup aku yang tahu. Lebih baik kau pulang, Kin.” Satria menatap langit cerah
di luar sana dari jendela. Kinta tergagap.
“Aku
hanya ingin mengurangi bebanmu. Jadi, apa salahnya aku tahu?” Kinta masih saja
mendesak.
“Kau
datang kan malam ini?” ucap Satria sengaja mengalihkan pembicaraan.
“Tentu
saja. Mana mungkin aku melewatkan momen penting seperti ini.” Kinta sungguh
sesak mengatakan kalimat itu. Momen
penting?
“Akhirnya!”
seru seseorang di ambang pintu. Satria dan Kinta kompak menoleh.
“Kau
hebat, Kin. Dan kau Satria, kau berhasil membuat aku dan Tante Ema begitu
khawatir. Tapi untungnya Kinta datang tepat waktu.” Kayla menghambur masuk.
Kinta mendeham, aku bahkan jauh lebih khawatir. Satria mengusap wajahnya.
“Emm,
daripada bengong. Lebih baik kita makan bersama di luar. Bagaimana? Kalian
setuju kan?” Kayla berhasil membuat suasana mencair.
“Ide
yang bagus.” Kinta menimpali. Satria tidak tertarik untuk menjawab. Tetapi mau
tidak mau ia harus ikut.
Cukup
lama Kinta dan Kayla menunggu Satria keluar dari kamarnya. Baru setengah jam
kemudian Satria muncul dari balik pintu. Kinta dan Kayla serempak berdiri
bersamaan untuk menyambut Satria. Kinta kalah cepat. Kayla yang berhasil
mengambil posisi, bergelayut manja di lengan Satria. Entahlah apa yang
dirasakan Kinta saat ini.
“Kita
mau makan dimana?” tanya Kinta menoleh ke belakang. Ia memang duduk di kursi
depan. Satria dan Kayla duduk di belakang.
“Terserah
kau saja.” Satria yang menjawab. Kayla hanya tersenyum di samping Satria. Kinta
menarik napas. Ia begitu takut ketika perlahan posisinya direbut oleh Kayla.
Mereka
tiba di sebuah restoran. Satria memilih posisi duduk di dekat jendela. Kinta
dan Kayla duduk bersebelahan, saling bersitatap heran, sekaligus merasa aneh
dengan sikap Satria yang masih dingin. Seorang pelayan datang menghampiri meja
mereka. Setelah selesai menyebutkan pesanan, pelayan itu pun berlalu.
“Kau
terlihat murung. Harusnya begini.” Kayla menyentuh kedua pipi Satria, menarik
pipinya hingga tersungging seulas senyum. Kinta acuh tak acuh.
“Aku
bisa senyum sendiri.” Satria melepas tangan Kayla dari pipinya. Kayla langsung
terdiam.
“Kapan
kalian akan menikah?” tanya Kinta, ia sebenarnya tidak berminat melontarkan
pertanyaan itu. Itu sama saja membuat luka hatinya menganga.
“Kinta,
kita saja belum resmi bertunangan. Aku terserah Satria saja. Bahkan lebih cepat
lebih baik, bukan?” tawa Kayla pecah. Satria diam, menatap kebisingan suara
Kayla dengan datar. Kinta mengutuk dirinya sendiri. Lihat saja seberapa jauh
jawaban itu mampu merobohkan hatinya. Lebih cepat lebih baik. Kinta tergugu,
enggan bertanya macam-macam.
Pesanan
datang, dua orang pelayan yang mengantar. Kayla senang hati melayani Satria,
meraih gelas di nampan dengan hati-hati.
“Oh
ya, kapan kau akan menyusul kami berdua?” tanya Kayla setelah dua pelayan tadi
pergi. Satria menatap Kayla, menggeleng pelan, jangan pertanyaan itu. Kayla yang paham dengan isyarat itu
buru-buru mengalihkan pembicaraan.
“Lebih
baik kita cepat makan. Nanti keburu dingin.” Kayla tersenyum kaku. Kinta
menghela napas tertahan.
***
Seusai
dari restoran, mereka mampir ke sebuah kedai es cream. Lagi-lagi karena Kayla
yang memintanya. Hanya Kayla yang turun dari mobil. Sedangkan Satria dan Kinta
menunggu di dalam mobil.
“Aku
lelah, Kin.” Satria berkata lirih. Kinta sontak menoleh, menggigit bibir.
“Yakinlah
ini semua memang yang terbaik. Kau tak boleh menyerah. Kayla wanita yang sangat
baik.” Kinta memandangi spion yang memantulkan wajah Satria yang layu.
“Dan
aku harus menepiskan hatiku demi perjodohan ini.” Satria mengiyakan. Percakapan
itu berakhir ketika Kayla kembali.
***
“Kau mau aku jemput, Kin?” kata Satria di ujung
telepon.
“Tidak perlu. Aku pergi bersama Arga. Setengah jam
lagi dia datang menjemput.” Kinta menolak secara halus. Asal tahu saja, Kinta
tidak pernah menolak apapun yang berhubungan dengan Satria. Kali ini menjadi
pengecualian.
“Satria..” panggil Kinta ragu.
“Ada apa? Kau berubah pikiran?” tebak Satria terdengar
senang.
“Semoga kau akan bahagia dengan pilihan ini.” Kinta
mendekap mulutnya, air mata bergulir begitu deras. Satria tercekat, segera
menutup telepon. Kinta mendekap ponselnya, ia menyandarkan tubuhnya di dinding
sudut kamar. Di lain tempat, dalam waktu yang bersamaan, Satria menyandarkan
punggungnya di bingkai jendela. Semua terasa menyakitkan. Satria menangis dalam
diam.
***
Kinta duduk mematung di depan cermin. Tangannya
bergerak amat lambat. Bedak tipis membuat wajah putihnya terlihat natural.
Sekian lama ia menatap pantulan dirinya dalam cermin. Sekian menit. Hingga
terdengar suara klakson yang membuat Kinta tersadar. Kinta bergegas berdiri. Ia
sedikit kerepotan saat menuruni anak tangga dengan high heels. Gaunnya yang panjang membuat langkah kakinya terganggu.
Benar saja. Tepat ketika hampir sampai di anak tangga terakhir, Kinta
tersandung.
“Aduh, hati-hati, Nona!” Arga berhasil menangkap tubuh
Kinta yang hampir terjungkal. Kinta menyeka dahinya.
“Untung kau datang.” Kinta tersenyum lega. Arga takjub
memandangi Kinta dari atas sampai bawah. Gaun itu terlihat sempurna. Cantik.
Kinta melambaikan tangan.
“Eh, maaf, habisnya kau cantik sekali!” Arga menggaruk
kepala, gugup. Kinta nyengir.
***
“Kau tidak mau berpegangan? Kalau jatuh, aku tak mau
tanggung.” Arga pura-pura menakut-nakuti.
“Baiklah.” Kinta terpaksa menggandeng lengan Arga
sesaat ketika sudah sampai di pelataran dan berniat akan menaiki anak tangga.
Arga senantiasa mengumbar senyum. Bagaimana tidak? Kinta, gadis yang ia cintai
sejak setahun yang lalu, kini seperti sudah di depan mata. Tinggal menunggu
kapan waktu yang tepat untuk mengatakannya. Arga sibuk membenak harapan-harapan
indah.
Kinta
gemetar menginjakkan kaki di ruangan itu. Ruangan yang megah itu penuh dengan
pendar lampu-lampu yang indah. Bunga-bunga yang menghias dinding. Kinta menelan
ludah. Tamu undangan memenuhi setiap sudut, saling bercengkerama. Kinta
mengedarkan pandangannya. Persis ketika Satria dan Kayla berdampingan menuruni
tangga, Kinta tertegun. Arga tersenyum di sampingnya.
Kinta
berusaha untuk bertahan, ia bertekad tidak akan meninggalkan acara. Bibirnya
menyunggingkan seulas senyum. Sementara hatinya tersayat. Lihatlah bagaimana
detik-detik ketika Satria dan Kayla bertukar cincin. Kinta memilih membuang muka
atau menunduk, ia tak sanggup melihatnya.
Satria
tampak ragu ketika hendak memasang cincin di jari manis Kayla. Ibunya terus
meyakinkan. Tetapi apa yang terjadi? Cincin itu jatuh, menggelinding, dan tepat
berhenti di bawah Kinta.
Kinta
cukup terkejut melihat cincin itu tergeletak di dekat kakinya. Ia membungkuk
untuk mengambilnya. Kinta melangkah maju untuk menyerahkan kembali cincin itu
pada Satria. Kalau ada yang menyadari, langkah Kinta terasa sangat rapuh.
Satria memandang ke arahnya. Kinta mengulurkan tangan menyerahkan cincin tadi,
tersenyum kaku. Satria sempat melihat mata Kinta yang memerah.
Kinta
berbalik. Ia tidak berani berlama-lama menatap Satria. Tepuk tangan buncah di
ruangan itu dalam sekejap. Kinta menoleh, tidak, ia takut melihatnya. Ia
bergegas menyibak kerumunan. Berlari. Ia melepas high heels, mengangkat gaunnya
yang panjang. Kinta berlari melewati jalan setapak yang ditumbuhi rumput liar.
Ia menangis. Langit bergemuruh, petir menyalak tajam. Ia terjatuh tepat ketika
satu rintik air turun dari langit. Ia bangkit, tidak peduli kakinya yang
terkilir. Kinta kembali berlari di tengah hujan yang semakin deras. Ya Tuhan, apakah ada yang tahu seberapa
sakit ia sekarang?
Kinta
terduduk lemas di tepi danau kecil yang tak jauh dari rumah Satria. Ia
tertunduk lemah di sana. Ia tidak peduli tubuhnya yang kuyup, juga tak peduli
gaun putihnya kotor. Biarlah ia sesuka hati melampiaskan rasa sakit hatinya.
Di
tengah acara, Arga tampak gelisah mencari Kinta. Satria juga merasakan hal yang
serupa. Ia sudah berusaha mencari di setiap sudut ruangan, tetap saja tidak
ada.
“Kinta
dimana?” tanya Satria panik.
“Aku
juga sedang berusaha mencarinya.” Arga terdengar tak kalah cemas.
“Kita
coba mencarinya di luar,” usul Arga. Satria mengangguk tanpa mempedulikan acara
yang belum selesai. Kayla dan ibunya sempat melarang, namun Satria tetap pergi.
Kayla kecewa dibuatnya.
“Tadi
ada yang melihat Kinta berlari ke arah danau.” Arga mengembangkan payung di
teras.
“Kita
harus cepat. Aku takut terjadi apa-apa dengannya.” Satria hampir kalap. Mereka
berdua melangkah cepat, menerabas tingginya ilalang. Satria bisa melihat sosok
itu terpekur di tepi danau. Ia ingin berlari menghampiri, tetapi Arga mencegah.
“Biar
aku saja,” ucap Arga mengambil langkah cepat. Entah dengan alasan apa, Satria
menurutinya.
Arga
persis berdiri di belakang gadis itu. Ia ragu saat menyentuh pundak Kinta dari
belakang. Kinta menoleh, dan mendapati Arga yang kehujanan sedang berdiri di
belakangnya. Arga membimbing Kinta untuk berdiri.
“Kau
kenapa? Katakan padaku,” desak Arga menggamit kedua lengan Kinta. Hujan semakin
menderas.
“Jawab
aku, Kin!” teriak Arga mengoyak lengan Kinta.
“Aku
hanya ingin sendiri.” Kinta menepis tangan Arga.
“Tidak.
Aku tidak akan membiarkanmu sendirian disini.” Arga tetap bersikeras.
“Aku
mohon..” Kinta berkata lirih. Arga mendekap gadis itu kuat-kuat. Kinta tidak
menolaknya. Kinta sungguh tidak tahu
kalau sebenarnya ada Satria disana.
Payung
yang sejak tadi ia genggam kini terjatuh, lantas terhempas oleh deru angin. Ia
tidak sanggup melihatnya. Satria mematung, matanya tak sedikitpun berkedip dari
dua sosok itu. Perasaan apa ini? Satria
tidak rela melihat Kinta berada dalam pelukan Arga. Kenapa bukan ia yang berada
disana? Kenapa bukan ia saja yang mendekap dan menenangkan Kinta? Mengapa harus
Arga yang melakukan semua? Satria memutuskan untuk pergi dari sana. Ia
sangat takut jika hatinya tergores semakin dalam. Cukup malam ini saja.
Bersambung—
Tidak ada komentar:
Posting Komentar