Minggu, 24 Juni 2012

Endless Love | part 3


Hari Pertunangan



Rumah besar itu tampak sibuk. Lalu-lalang orang cekatan mengangkat bebungaan. Dari satu sudut ke sudut lainnya. Ibu Satria malah ikut turun tangan, memberi aba-aba dari kursi rodanya. Kinta menawarkan bantuan, namun ditolak mentah-mentah.

“Tidak usah, Kin. Kau temani Kayla ngobrol saja. Dia ada di halaman samping. Sudah sana.” Kinta mengangguk patuh.


Kinta mendapati Kayla sedang duduk di tepian kolam ikan. Kinta melangkah mendekat. Lalu menyapa Kayla dengan ramah.

“Eh, Kinta. Sejak kapan datang?” Rambut Kayla yang panjang sedikit tersibak saat ia menoleh ke belakang.

“Baru saja,” jawab Kinta pendek.

“Duduk, Kin.” Kayla tersenyum menawarkan. Gadis itu tidak seburuk yang dipikirkan Kinta. Kayla justru sangat ramah, tatapan yang bersahabat. Kinta ikut duduk di tepian kolam.

“Kau pasti menyusulku kesini karena diusir Tante Ema.” Kayla melempar sesuatu yang sejak tadi ia genggam ke dalam kolam. Dalam sekejap, ikan-ikan membuat air berkecipak.

“Kau benar sekali.” Kinta menyeringai.

“Aku juga mengalami hal itu tadi.” Kayla menahan tawa.

“Oh ya, Satria mana? Aku tidak melihatnya.” Kinta mengedarkan pandangan. Kayla menoleh, melupakan sejenak kolam di depannya.

“Dari semalam Satria belum keluar dari kamarnya. Aku sudah coba membujuk, dan gagal. Tante Ema juga tidak bisa berbuat lebih. Mungkin hanya kau yang bisa membujuknya. Tolong, kau temui dia sekarang. Aku takut terjadi apa-apa dengannya.” Kayla menatap penuh harap. Kinta menelan ludah. Aku juga sangat takut terjadi apa-apa dengan Satria. Kinta cepat berdiri, menghilang di balik pintu, membiarkan Kayla duduk sendirian disana.


Kinta menaiki anak tangga, cepat-cepat. Dalam benaknya ia sangat khawatir. Kinta mengetuk pintu dengan tangan gemetar.

“Satria, ini aku.” Kinta sedikit menempelkan kepalanya di daun pintu, berkata amat lirih. Pintu terbuka, Kinta gelagapan, mencoba menyeimbangkan tubuhnya. Satria terlihat berantakan. Kinta mengerutkan alis. Apa pula yang terjadi dengan laki-laki ini?

“Kau kenapa? Ada masalah apa?” Kinta menggamit kedua bahu Satria.
Satria melangkah kembali ke kamar, tidak menjawab pertanyaan Kinta tadi. Ia duduk di tepi kasur. Kinta berjalan ke arah jendela, membuka gorden lebar-lebar. Sinar matahari menyilaukan mata, persis menerpa wajah Satria yang kusut. Kinta menarik kursi, duduk tepat di hadapan Satria. Pandangan mereka saling bertemu.

“Katakan apa yang mengganggu hatimu. Aku tahu, jadi kau tak perlu menutupinya.” Kinta mendesak. Satria menghela napas, beranjak berdiri.

“Biarlah cukup aku yang tahu. Lebih baik kau pulang, Kin.” Satria menatap langit cerah di luar sana dari jendela. Kinta tergagap.

“Aku hanya ingin mengurangi bebanmu. Jadi, apa salahnya aku tahu?” Kinta masih saja mendesak.

“Kau datang kan malam ini?” ucap Satria sengaja mengalihkan pembicaraan.

“Tentu saja. Mana mungkin aku melewatkan momen penting seperti ini.” Kinta sungguh sesak mengatakan kalimat itu. Momen penting?

“Akhirnya!” seru seseorang di ambang pintu. Satria dan Kinta kompak menoleh.

“Kau hebat, Kin. Dan kau Satria, kau berhasil membuat aku dan Tante Ema begitu khawatir. Tapi untungnya Kinta datang tepat waktu.” Kayla menghambur masuk. Kinta mendeham, aku bahkan jauh lebih khawatir. Satria mengusap wajahnya.

“Emm, daripada bengong. Lebih baik kita makan bersama di luar. Bagaimana? Kalian setuju kan?” Kayla berhasil membuat suasana mencair.

“Ide yang bagus.” Kinta menimpali. Satria tidak tertarik untuk menjawab. Tetapi mau tidak mau ia harus ikut.


Cukup lama Kinta dan Kayla menunggu Satria keluar dari kamarnya. Baru setengah jam kemudian Satria muncul dari balik pintu. Kinta dan Kayla serempak berdiri bersamaan untuk menyambut Satria. Kinta kalah cepat. Kayla yang berhasil mengambil posisi, bergelayut manja di lengan Satria. Entahlah apa yang dirasakan Kinta saat ini.


“Kita mau makan dimana?” tanya Kinta menoleh ke belakang. Ia memang duduk di kursi depan. Satria dan Kayla duduk di belakang.

“Terserah kau saja.” Satria yang menjawab. Kayla hanya tersenyum di samping Satria. Kinta menarik napas. Ia begitu takut ketika perlahan posisinya direbut oleh Kayla.

Mereka tiba di sebuah restoran. Satria memilih posisi duduk di dekat jendela. Kinta dan Kayla duduk bersebelahan, saling bersitatap heran, sekaligus merasa aneh dengan sikap Satria yang masih dingin. Seorang pelayan datang menghampiri meja mereka. Setelah selesai menyebutkan pesanan, pelayan itu pun berlalu.

“Kau terlihat murung. Harusnya begini.” Kayla menyentuh kedua pipi Satria, menarik pipinya hingga tersungging seulas senyum. Kinta acuh tak acuh.

“Aku bisa senyum sendiri.” Satria melepas tangan Kayla dari pipinya. Kayla langsung terdiam.

“Kapan kalian akan menikah?” tanya Kinta, ia sebenarnya tidak berminat melontarkan pertanyaan itu. Itu sama saja membuat luka hatinya menganga.

“Kinta, kita saja belum resmi bertunangan. Aku terserah Satria saja. Bahkan lebih cepat lebih baik, bukan?” tawa Kayla pecah. Satria diam, menatap kebisingan suara Kayla dengan datar. Kinta mengutuk dirinya sendiri. Lihat saja seberapa jauh jawaban itu mampu merobohkan hatinya. Lebih cepat lebih baik. Kinta tergugu, enggan bertanya macam-macam.


Pesanan datang, dua orang pelayan yang mengantar. Kayla senang hati melayani Satria, meraih gelas di nampan dengan hati-hati.

“Oh ya, kapan kau akan menyusul kami berdua?” tanya Kayla setelah dua pelayan tadi pergi. Satria menatap Kayla, menggeleng pelan, jangan pertanyaan itu. Kayla yang paham dengan isyarat itu buru-buru mengalihkan pembicaraan.

“Lebih baik kita cepat makan. Nanti keburu dingin.” Kayla tersenyum kaku. Kinta menghela napas tertahan.


 ***


Seusai dari restoran, mereka mampir ke sebuah kedai es cream. Lagi-lagi karena Kayla yang memintanya. Hanya Kayla yang turun dari mobil. Sedangkan Satria dan Kinta menunggu di dalam mobil.

“Aku lelah, Kin.” Satria berkata lirih. Kinta sontak menoleh, menggigit bibir.

“Yakinlah ini semua memang yang terbaik. Kau tak boleh menyerah. Kayla wanita yang sangat baik.” Kinta memandangi spion yang memantulkan wajah Satria yang layu.

“Dan aku harus menepiskan hatiku demi perjodohan ini.” Satria mengiyakan. Percakapan itu berakhir ketika Kayla kembali.



***


“Kau mau aku jemput, Kin?” kata Satria di ujung telepon.

“Tidak perlu. Aku pergi bersama Arga. Setengah jam lagi dia datang menjemput.” Kinta menolak secara halus. Asal tahu saja, Kinta tidak pernah menolak apapun yang berhubungan dengan Satria. Kali ini menjadi pengecualian.

“Satria..” panggil Kinta ragu.

“Ada apa? Kau berubah pikiran?” tebak Satria terdengar senang.

“Semoga kau akan bahagia dengan pilihan ini.” Kinta mendekap mulutnya, air mata bergulir begitu deras. Satria tercekat, segera menutup telepon. Kinta mendekap ponselnya, ia menyandarkan tubuhnya di dinding sudut kamar. Di lain tempat, dalam waktu yang bersamaan, Satria menyandarkan punggungnya di bingkai jendela. Semua terasa menyakitkan. Satria menangis dalam diam.


***


Kinta duduk mematung di depan cermin. Tangannya bergerak amat lambat. Bedak tipis membuat wajah putihnya terlihat natural. Sekian lama ia menatap pantulan dirinya dalam cermin. Sekian menit. Hingga terdengar suara klakson yang membuat Kinta tersadar. Kinta bergegas berdiri. Ia sedikit kerepotan saat menuruni anak tangga dengan high heels. Gaunnya yang panjang membuat langkah kakinya terganggu. Benar saja. Tepat ketika hampir sampai di anak tangga terakhir, Kinta tersandung.

“Aduh, hati-hati, Nona!” Arga berhasil menangkap tubuh Kinta yang hampir terjungkal. Kinta menyeka dahinya.

“Untung kau datang.” Kinta tersenyum lega. Arga takjub memandangi Kinta dari atas sampai bawah. Gaun itu terlihat sempurna. Cantik. Kinta melambaikan tangan.

“Eh, maaf, habisnya kau cantik sekali!” Arga menggaruk kepala, gugup. Kinta nyengir.


***

“Kau tidak mau berpegangan? Kalau jatuh, aku tak mau tanggung.” Arga pura-pura menakut-nakuti.

“Baiklah.” Kinta terpaksa menggandeng lengan Arga sesaat ketika sudah sampai di pelataran dan berniat akan menaiki anak tangga. Arga senantiasa mengumbar senyum. Bagaimana tidak? Kinta, gadis yang ia cintai sejak setahun yang lalu, kini seperti sudah di depan mata. Tinggal menunggu kapan waktu yang tepat untuk mengatakannya. Arga sibuk membenak harapan-harapan indah.

Kinta gemetar menginjakkan kaki di ruangan itu. Ruangan yang megah itu penuh dengan pendar lampu-lampu yang indah. Bunga-bunga yang menghias dinding. Kinta menelan ludah. Tamu undangan memenuhi setiap sudut, saling bercengkerama. Kinta mengedarkan pandangannya. Persis ketika Satria dan Kayla berdampingan menuruni tangga, Kinta tertegun. Arga tersenyum di sampingnya.


Kinta berusaha untuk bertahan, ia bertekad tidak akan meninggalkan acara. Bibirnya menyunggingkan seulas senyum. Sementara hatinya tersayat. Lihatlah bagaimana detik-detik ketika Satria dan Kayla bertukar cincin. Kinta memilih membuang muka atau menunduk, ia tak sanggup melihatnya.


Satria tampak ragu ketika hendak memasang cincin di jari manis Kayla. Ibunya terus meyakinkan. Tetapi apa yang terjadi? Cincin itu jatuh, menggelinding, dan tepat berhenti di bawah Kinta.


Kinta cukup terkejut melihat cincin itu tergeletak di dekat kakinya. Ia membungkuk untuk mengambilnya. Kinta melangkah maju untuk menyerahkan kembali cincin itu pada Satria. Kalau ada yang menyadari, langkah Kinta terasa sangat rapuh. Satria memandang ke arahnya. Kinta mengulurkan tangan menyerahkan cincin tadi, tersenyum kaku. Satria sempat melihat mata Kinta yang memerah.


Kinta berbalik. Ia tidak berani berlama-lama menatap Satria. Tepuk tangan buncah di ruangan itu dalam sekejap. Kinta menoleh, tidak, ia takut melihatnya. Ia bergegas menyibak kerumunan. Berlari. Ia melepas high heels, mengangkat gaunnya yang panjang. Kinta berlari melewati jalan setapak yang ditumbuhi rumput liar. Ia menangis. Langit bergemuruh, petir menyalak tajam. Ia terjatuh tepat ketika satu rintik air turun dari langit. Ia bangkit, tidak peduli kakinya yang terkilir. Kinta kembali berlari di tengah hujan yang semakin deras. Ya Tuhan, apakah ada yang tahu seberapa sakit ia sekarang?


Kinta terduduk lemas di tepi danau kecil yang tak jauh dari rumah Satria. Ia tertunduk lemah di sana. Ia tidak peduli tubuhnya yang kuyup, juga tak peduli gaun putihnya kotor. Biarlah ia sesuka hati melampiaskan rasa sakit hatinya.

Di tengah acara, Arga tampak gelisah mencari Kinta. Satria juga merasakan hal yang serupa. Ia sudah berusaha mencari di setiap sudut ruangan, tetap saja tidak ada.

“Kinta dimana?” tanya Satria panik.

“Aku juga sedang berusaha mencarinya.” Arga terdengar tak kalah cemas.

“Kita coba mencarinya di luar,” usul Arga. Satria mengangguk tanpa mempedulikan acara yang belum selesai. Kayla dan ibunya sempat melarang, namun Satria tetap pergi. Kayla kecewa dibuatnya.


“Tadi ada yang melihat Kinta berlari ke arah danau.” Arga mengembangkan payung di teras.

“Kita harus cepat. Aku takut terjadi apa-apa dengannya.” Satria hampir kalap. Mereka berdua melangkah cepat, menerabas tingginya ilalang. Satria bisa melihat sosok itu terpekur di tepi danau. Ia ingin berlari menghampiri, tetapi Arga mencegah.

“Biar aku saja,” ucap Arga mengambil langkah cepat. Entah dengan alasan apa, Satria menurutinya.


Arga persis berdiri di belakang gadis itu. Ia ragu saat menyentuh pundak Kinta dari belakang. Kinta menoleh, dan mendapati Arga yang kehujanan sedang berdiri di belakangnya. Arga membimbing Kinta untuk berdiri.

“Kau kenapa? Katakan padaku,” desak Arga menggamit kedua lengan Kinta. Hujan semakin menderas.

“Jawab aku, Kin!” teriak Arga mengoyak lengan Kinta.

“Aku hanya ingin sendiri.” Kinta menepis tangan Arga.

“Tidak. Aku tidak akan membiarkanmu sendirian disini.” Arga tetap bersikeras.

“Aku mohon..” Kinta berkata lirih. Arga mendekap gadis itu kuat-kuat. Kinta tidak menolaknya. Kinta sungguh tidak tahu kalau sebenarnya ada Satria disana.


Payung yang sejak tadi ia genggam kini terjatuh, lantas terhempas oleh deru angin. Ia tidak sanggup melihatnya. Satria mematung, matanya tak sedikitpun berkedip dari dua sosok itu. Perasaan apa ini? Satria tidak rela melihat Kinta berada dalam pelukan Arga. Kenapa bukan ia yang berada disana? Kenapa bukan ia saja yang mendekap dan menenangkan Kinta? Mengapa harus Arga yang melakukan semua? Satria memutuskan untuk pergi dari sana. Ia sangat takut jika hatinya tergores semakin dalam. Cukup malam ini saja.





Bersambung—


Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Cari Blog Ini