Minggu, 24 Juni 2012

Semua Tentang Kita | part 6




“Felisa!” panggil Mama yang duduk disofa ruang tengah.

“Iya Ma?” Mama berdiri, sebelumnya menutup majalahnya. Icha duduk di karpet, asyik merancang lego. Aku rasa monster kecil itu tidak tertarik melihat kedatanganku.

“Sini duduk,” ucapnya, menyuruhku duduk di sebelahnya.

“Ada apa, Ma?” tanyaku setelah duduk.

“Mama punya sesuatu untuk kamu.” Mama meraih amplop putih diatas meja. Lantas menyodorkannya kepadaku. Aku menerimanya ragu-ragu.

“Coba kamu buka.” Mama tersenyum membelai kepalaku. Perasaanku menjadi tidak enak.

“Tiket kereta, Ma? Buat apa?” tanyaku cepat. Kaget. Ya, untuk apa memangnya?

“Itu tiket kereta ke Bandung, sayang. Fel kan udah janji?” kata Mama serius, alisnya naik sebelah ketika menagih janjinya.

“Tapi kan, Ma—” ucapanku terhenti sesaat melihat wajah sumringah Mama.

“Oma seminggu yang lalu menelepon. Oma ingin sekali kamu kuliah disana.” Mama berkata dengan semangat. Aku menggeleng, tidak, aku menepuk pipiku tiga kali, ini sungguhan. Aku tahu persis bagaimana Mama, semua perkataannya pantang untuk dibantah. Tetapi, bagaimana dengan Farish? Aku benar-benar tidak bisa membayangkannya. Apa jadinya hidupku jika tanpa Farish?

“Fel nggak mau, Ma!” seruku bangkit dari sofa. Mama terkejut mendengar aku membantahnya. Icha sampai melongo melihat ke arahku. Monster kecil itu mungkin sedang membayangkan nenek lampir mengamuk!

“Fel, dengar Mama! Ini semua untuk kebaikan kamu. Mama tidak mau tahu, besok lusa kamu harus berangkat.” Mama ikut berdiri, mukanya memerah. Mama memaksaku menerima amplop itu. Setelah itu, Mama pergi dari hadapanku. Aku terduduk lagi, menutup wajahku dengan amplop tadi. Aku menangis tanpa suara, itu karena aku sadar Icha masih memerhatikanku, tidak mungkin aku meluapkannya didepan Icha.

“Kak Fel, jangan nangis! Nanti Icha juga ikut sedih.” Tangan mungil itu menyentuh lenganku. Icha? Aku membuka tanganku, menatap Icha dengan mata sembabku. Tangan kecil itu terangkat, Icha mengusap kedua pipiku.

“Kak Fel nggak nangis beneran kok. Ini cuma latihan drama.” Aku mencolek hidungnya yang pesek. Alasan yang benar-benar konyol!

Aku memang sengaja berbohong, Icha masih terlalu kecil untuk mengetahui urusan ini.

“Kak Fel baik-baik saja kok.” Aku mengacak poninya.

Icha manggut-manggut, dia paham, kali ini dia tidak banyak bertanya lagi. Aku bergegas masuk ke kamar, kulihat Icha kembali sibuk bermain dengan lego-legonya.
             Aku menatap nanar langit-langit kamarku. Aku menyesal, kenapa aku mengiyakan saja ketika Mama memintaku berjanji? Sejak awal aku memang tidak berpikir panjang.

Kutatap kalender diatas meja, lusa aku akan pergi? apa aku bisa pergi dari Farish? apakah aku memang harus melakukan ini? Tuhan, adakah jalan yang terbaik?

Aku segera bangkit dari tidurku, kuraih Hp yang tergeletak di dekat kalender itu. Beberapa kali aku mencoba menghubungi Farish, sia-sia, ponselnya tidak aktif.


***


Keesokan harinya, aku kembali mencoba menelepon Farish. Dua-tiga kali, gagal. Empat kalinya, dia mengangkat teleponku. Aku sangat senang mendengar suaranya.

“Halo, yank?” sapa Farish dalam telepon.

“Kamu lagi sakit, yank?” tanyaku sangat cemas begitu mendengar suaranya yang berat. Suaranya berbeda dari biasanya.

“Ehm.. enggak kok, yank. Aku sehat-sehat aja, mungkin baru bangun tidur, jadi suaranya masih kedengeran berat.” Farish terdengar sabar menjelaskan kepadaku.

Aku memaklumi, mungkin saja semalam dia begadang menonton bola lagi. Farish sudah terbiasa bangun kesiangan.

“Maaf ya yank, kemarin hp-ku lowbat.” Farish menambahkan.

“Tak masalah.” Ucapku tidak keberatan.

“Kamu kenapa? Sepertinya sedang ada masalah?” Suaranya masih saja terdengar serak. Farish menebak, dan tebakannya benar.

“Kita perlu ketemu, yank. Secepatnya.” Aku sedikit mendesak. Terdengar suara batuk Farish.

“Aku nggak percaya kamu sehat!” seruku jengkel. Aku merasa dibohongi.

“Beneran, aku nggak apa-apa.” Farish tetap saja berusaha menyangkal.

“Aku nggak suka kamu bohong sama aku!” sentakku lagi. Dia tetap bersikeras untuk berbohong.

“Kapan kita bisa bertemu, Fel?” tanyanya, disertai batuk. Terlihat sekali dia memutar topik pembicaraan.

“Tunggu sampai kamu sembuh.” Aku menolak dengan lirih.
           
           “Kita ketemu besok di taman kota,” suaranya semakin pecah oleh batuk.

Farish bersikeras. Aku mendengar dia terbatuk lagi, kali ini lebih keras. Tak terasa, satu titik air mataku menetes. Aku menutup mulutku, menangis sesenggukan.

Telepon terputus. Aku yang sengaja mematikannya, sudah tak kuasa mendengar Farish terus mengelak kalau dia sehat-sehat saja. Sudah terbukti dengan jelas sekali.

Farish memang pintar menyembunyikannya, bukan karena apa, aku tahu, dia tidak ingin aku terlalu mengkhawatirkannya. Aku lama-lama sebal dengan perangainya itu.

Hp kubiarkan tergolek begitu saja diatas meja. Sungguh menyesakkan. Aku berjalan pelan mendekati jendela. Tanganku mencengkeram teralis besi dibingkai jendela.

Aku tidak tahu harus mengutuk siapa sekarang. Hitungan jam aku akan segera berpisah dengan Farish. Aku lulus dengan nilai yang cukup memuaskan. Mama pun senang.

Oma pun tak kalah senang, sampai-sampai ngotot menyuruhku agar kuliah di Bandung saja. Apa yang harus aku katakan pada Farish nantinya? Ini sangat menyedihkan.


***

Aku duduk manis di kursi rotan, di teras depan rumah. Pagi-pagi begini aku sudah tenggelam dalam carut marut kebimbangan-kebimbangan hatiku.

“Kak Fel, anterin aku sekolah dong!” Suara itu tidak asing lagi bagiku. Siapa lagi kalau bukan monster kecil?

“Males! Sana, berangkat sama Mama!” tolakku sebal.

“Fel, tolong antar Icha. Mama nggak bisa, keran air bocor!” Mama berteriak dari arah dapur. Aku mendengus sebal melihat Icha nyengir. Tidak ada alasan untuk aku menolaknya. Padahal, aku sedang menunggu Farish. Sekali lagi aku menatap Icha yang sengaja memasang wajah memelas. Baiklah. Aku berdiri, meraih tangan mungilnya.


Letak sekolah Icha hanya berjarak dekat dari rumah. Aku mengantarnya berjalan kaki. Sepanjang jalan aku tak melihat monster kecil itu cerewet seperti biasanya.

“Icha lagi sakit gigi?” tanyaku gemas. Dia menggeleng, tidak.

“Kok diem?” tanyaku lagi. Icha mendongak memandangiku sebentar. Aku melihat bola matanya yang bening.

“Kenapa? Cerita sama kak Fel.” Aku duduk jongkok, mensejajari tinggi tubuhnya. Mengusap rambutnya dengan pelan. Icha malah membuang muka.

“Nggak apa-apa kalau Icha nggak mau cerita. Kak Fel nggak akan maksa.” Aku menyentuh kedua lengannya. Lantas menggandeng tangannya lagi.

“Kak Fel jangan pergi, ya.” Icha berkata lirih. Aku berniat menjawabnya, urung, Icha sudah tahu tentang kepergianku besok.


Sampai di sekolahnya, Icha juga tak kunjung melepaskan tanganku. Dia merajuk, ingin ditemani barang sehari saja. Aku mengerjap, tetapi bagaimana dengan janjiku pada Farish?


Icha semenit yang lalu sudah menyeret tanganku masuk halaman sekolah. Aku tidak bisa berbuat apa-apa. Icha terlihat senang begitu aku mau menuruti kemauannya.


Aku duduk di bangku dekat teras, sekolah TK yang lumayan mengasyikan, pikirku. Terlihat monster kecil itu sedang bermain dengan teman-teman sebayanya. Tertawa-tawa. Tersipu malu ketika seorang anak cowok mendekatinya, menjulurkan sekuntum bunga mawar untuk Icha. Aku meringis melihat pemandangan ini. Bagaimana tidak? Tadi aku sempat melihat betapa susahnya anak kecil itu memetik mawar yang tumbuh menjulang di dekat pagar. Betapa beratnya tadi teman yang lain rela menjadi tangga darurat. Aku bergidik, anak-anak sekecil mereka sudah mengerti cinta-cintaan?


Seseorang datang dari belakang, menepuk pundakku. Aku sedikit terkesiap, lantas mengangguk tersenyum.
“Felisa, kakaknya Icha.” Aku memperkenalkan diri tanpa diminta.

“Saya Sania. Anak-anak biasa memanggil Bu Nia.” Dia tersenyum ramah menjabat tanganku. Wanita cantik yang berkerudung. Dia melangkah, lantas permisi duduk di sampingku, bergabung melihat keceriaan anak-anak didiknya.

“Icha anak yang cerdas. Menggemaskan, bukan?” ucapnya yakin. Astaga! Menggemaskan? Mungkin Bu Nia akan menggeleng-geleng melihat tingkah-polah Icha di rumah.

“Icha memang rada aktif, Bu.” Aku ikut memuji. Icha bahkan jauh lebih beringas ketimbang anak sepantarnya.


Aku banyak mengobrol dengan Bu Nia. Membicarakan banyak hal. Hanya satu, aku tidak membicarakan bagaimana perangai Icha di rumah. Dari cerita Bu Nia, aku jadi paham, ternyata banyak orang yang menyukai Icha. Aku nyengir sekilas, monster kecil itu ternyata menjadi pusat perhatian.

 
GUBRAK!


Seketika jeritan anak-anak yang sedang bermain menggelegar. Semua gerakan tangan terhenti. Aku dan Bu Nia terperangah, membuka mata lebar-lebar. Anak yang lain mencicit takut, lutut mereka bergetar menghampiri tubuh yang terkulai tak sadarkan diri. Aku berlari, tidak, aku berharap apa yang aku lihat ini hanyalah mimpi di pagi buta. Sayangnya, begitu aku mendekat, semua ini terlihat amat nyata. Sungguhan. Aku cepat mendekap kepalanya, kepala yang tadi sempurna menghujam tanah aspal. Icha, bagaimana tadi aku lalai untuk mengawasinya? Sampai-sampai Icha terjatuh dari ayunan. Telapak tanganku gemetar saat darah menempel di atasnya.


Bu Nia bergerak cepat. Ambulans segera datang membawa Icha. Aku ikut duduk di sampingnya saat mobil ambulans melesat meninggalkan sekolah TK itu. Jemariku gemetar menekan tombol panggil. Aku menyeka pipiku. Menelepon Mama. Aku terpatah-patah mengabarinya, Mama tidak bertanya lagi, hanya nada yang tak kalah kalap. Mama akan langsung menuju rumah sakit.


Aku mendekap mulut kuat-kuat. Tak terelakkan, air mataku tumpah sekejap. Icha dengan mata terpejam. Kening yang bersimbah darah.

“Bertahanlah Icha, sayang!” ucapku gentar. Aku sangat takut terjadi sesuatu yang buruk.

Sepanjang koridor, aku selalu berbisik lirih, menguatkan. Ranjang dorong yang tadi membawa Icha hampir sampai di ruang UGD. Mama yang sudah duduk menunggu, terlonjak berdiri. Mama syok melihat Icha. Aku nanar menatap Mama, tanganku menahan Mama yang hendak memaksa ingin ikut masuk ke ruang UGD. Aku menggeleng. Suster perawat tadi sudah melarang keras.


Tanganku berdecit menempel di kaca jendela. Mama berdiri kaku di sebelahku, sangat cemas melihat wajah tegang dokter yang sedang menangani Icha. Aku mengusap wajah. Sudah hampir tiga puluh menit. Dokter dan suster akhirnya keluar. Mama sigap mendekat pintu, menyentuh lengan dokter yang baru saja keluar.

“Putri Anda hanya mengalami pendarahan kecil, Nyonya. Tidak ada yang perlu dicemaskan. Sudah boleh dijenguk.” Dokter itu tersenyum, lantas pergi. Mama mendorong pintu terbuka, aku melangkah di belakangnya. Icha masih belum sadar. Kepalanya dibebat dengan kain kasa. Aku gentar saat mendatangi ranjangnya. Mama sudah terisak, duduk di kursi samping ranjang. Aku pelan menyentuh jemarinya, tangan yang terpasang selang infus. Aku juga tak kuasa untuk tidak menangis. Disela menangis aku sempat tersenyum haru. Monster kecil, anak nakal ini, seperti ini gara-gara aku. Aku yang tidak becus menjaganya dengan baik.

“Fel yang salah, Ma.” Aku tertunduk, memainkan ujung baju. Mama bergeming menolehku.

“Tidak. Mama tidak akan menyalahkan kamu, Fel.” Mama berkata serak. Tidak ingin mengungkit apa penyebabnya.


Aku memutuskan keluar dari ruangan itu. Mengeluarkan hp dari saku celana. Aku benar-benar lupa dengan Farish. Berkali-kali aku mengutuk diriku sendiri. Melirik jam dinding sekilas. Pukul sebelas. Aku berlari melewati koridor rumah sakit. Beberapa kali menabrak suster yang berlalu-lalang. Yang ditabrak mendesis sebal. Kedua telapak tanganku menyatu. Maaf.


Sial! Aku mengeluh dalam hati. Hujan turun begitu deras. Apa boleh buat, aku harus menerabas hujan itu. Setelah membuka pesan singkat dari Farish, aku baru menyadari jika Farish sudah hampir tiga jam menungguku di taman kota.







Bersambung—

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Cari Blog Ini