“Felisa!”
panggil Mama yang duduk disofa ruang tengah.
“Iya
Ma?” Mama berdiri, sebelumnya menutup majalahnya. Icha duduk di karpet, asyik
merancang lego. Aku rasa monster kecil itu tidak tertarik melihat kedatanganku.
“Sini
duduk,” ucapnya, menyuruhku duduk di sebelahnya.
“Ada
apa, Ma?” tanyaku setelah duduk.
“Mama
punya sesuatu untuk kamu.” Mama meraih amplop putih diatas meja. Lantas
menyodorkannya kepadaku. Aku menerimanya ragu-ragu.
“Coba
kamu buka.” Mama tersenyum membelai kepalaku. Perasaanku menjadi tidak enak.
“Tiket
kereta, Ma? Buat apa?” tanyaku cepat. Kaget. Ya, untuk apa memangnya?
“Itu
tiket kereta ke Bandung, sayang. Fel kan udah janji?” kata Mama serius, alisnya
naik sebelah ketika menagih janjinya.
“Tapi
kan, Ma—” ucapanku terhenti sesaat melihat wajah sumringah Mama.
“Oma
seminggu yang lalu menelepon. Oma ingin sekali kamu kuliah disana.” Mama
berkata dengan semangat. Aku menggeleng, tidak, aku menepuk pipiku tiga kali,
ini sungguhan. Aku tahu persis bagaimana Mama, semua perkataannya pantang untuk
dibantah. Tetapi, bagaimana dengan Farish? Aku benar-benar tidak bisa
membayangkannya. Apa jadinya hidupku jika tanpa Farish?
“Fel
nggak mau, Ma!” seruku bangkit dari sofa. Mama terkejut mendengar aku
membantahnya. Icha sampai melongo melihat ke arahku. Monster kecil itu mungkin
sedang membayangkan nenek lampir mengamuk!
“Fel,
dengar Mama! Ini semua untuk kebaikan kamu. Mama tidak mau tahu, besok lusa
kamu harus berangkat.” Mama ikut berdiri, mukanya memerah. Mama memaksaku
menerima amplop itu. Setelah itu, Mama pergi dari hadapanku. Aku terduduk lagi,
menutup wajahku dengan amplop tadi. Aku menangis tanpa suara, itu karena aku
sadar Icha masih memerhatikanku, tidak mungkin aku meluapkannya didepan Icha.
“Kak
Fel, jangan nangis! Nanti Icha juga ikut sedih.” Tangan mungil itu menyentuh
lenganku. Icha? Aku membuka tanganku, menatap Icha dengan mata sembabku. Tangan
kecil itu terangkat, Icha mengusap kedua pipiku.
“Kak
Fel nggak nangis beneran kok. Ini cuma latihan drama.” Aku mencolek hidungnya
yang pesek. Alasan yang benar-benar konyol!
Aku
memang sengaja berbohong, Icha masih terlalu kecil untuk mengetahui urusan ini.
“Kak
Fel baik-baik saja kok.” Aku mengacak poninya.
Icha
manggut-manggut, dia paham, kali ini dia tidak banyak bertanya lagi. Aku
bergegas masuk ke kamar, kulihat Icha kembali sibuk bermain dengan
lego-legonya.
Aku menatap nanar langit-langit kamarku. Aku
menyesal, kenapa aku mengiyakan saja ketika Mama memintaku berjanji? Sejak awal
aku memang tidak berpikir panjang.
Kutatap
kalender diatas meja, lusa aku akan pergi? apa aku bisa pergi dari Farish?
apakah aku memang harus melakukan ini? Tuhan, adakah jalan yang terbaik?
Aku
segera bangkit dari tidurku, kuraih Hp yang tergeletak di dekat kalender itu.
Beberapa kali aku mencoba menghubungi Farish, sia-sia, ponselnya tidak aktif.
***
Keesokan
harinya, aku kembali mencoba menelepon Farish. Dua-tiga kali, gagal. Empat
kalinya, dia mengangkat teleponku. Aku sangat senang mendengar suaranya.
“Halo,
yank?” sapa Farish dalam telepon.
“Kamu
lagi sakit, yank?” tanyaku sangat cemas begitu mendengar suaranya yang berat.
Suaranya berbeda dari biasanya.
“Ehm..
enggak kok, yank. Aku sehat-sehat aja, mungkin baru bangun tidur, jadi suaranya
masih kedengeran berat.” Farish terdengar sabar menjelaskan kepadaku.
Aku
memaklumi, mungkin saja semalam dia begadang menonton bola lagi. Farish sudah
terbiasa bangun kesiangan.
“Maaf
ya yank, kemarin hp-ku lowbat.”
Farish menambahkan.
“Tak
masalah.” Ucapku tidak keberatan.
“Kamu
kenapa? Sepertinya sedang ada masalah?” Suaranya masih saja terdengar serak.
Farish menebak, dan tebakannya benar.
“Kita
perlu ketemu, yank. Secepatnya.” Aku sedikit mendesak. Terdengar suara batuk
Farish.
“Aku
nggak percaya kamu sehat!” seruku jengkel. Aku merasa dibohongi.
“Beneran,
aku nggak apa-apa.” Farish tetap saja berusaha menyangkal.
“Aku
nggak suka kamu bohong sama aku!” sentakku lagi. Dia tetap bersikeras untuk
berbohong.
“Kapan
kita bisa bertemu, Fel?” tanyanya, disertai batuk. Terlihat sekali dia memutar
topik pembicaraan.
“Tunggu
sampai kamu sembuh.” Aku menolak dengan lirih.
“Kita ketemu besok di taman kota,” suaranya semakin pecah oleh batuk.
Farish
bersikeras. Aku mendengar dia terbatuk lagi, kali ini lebih keras. Tak terasa,
satu titik air mataku menetes. Aku menutup mulutku, menangis sesenggukan.
Telepon terputus. Aku yang sengaja mematikannya, sudah
tak kuasa mendengar Farish terus mengelak kalau dia sehat-sehat saja. Sudah
terbukti dengan jelas sekali.
Farish memang pintar menyembunyikannya, bukan karena
apa, aku tahu, dia tidak ingin aku terlalu mengkhawatirkannya. Aku lama-lama
sebal dengan perangainya itu.
Hp kubiarkan tergolek begitu saja diatas meja. Sungguh
menyesakkan. Aku berjalan pelan mendekati jendela. Tanganku mencengkeram
teralis besi dibingkai jendela.
Aku tidak tahu harus mengutuk siapa sekarang. Hitungan
jam aku akan segera berpisah dengan Farish. Aku lulus dengan nilai yang cukup
memuaskan. Mama pun senang.
Oma pun tak kalah senang, sampai-sampai ngotot
menyuruhku agar kuliah di Bandung saja. Apa yang harus aku katakan pada Farish
nantinya? Ini sangat menyedihkan.
***
Aku duduk manis di kursi rotan, di teras depan rumah.
Pagi-pagi begini aku sudah tenggelam dalam carut marut kebimbangan-kebimbangan
hatiku.
“Kak Fel, anterin aku sekolah dong!” Suara itu tidak
asing lagi bagiku. Siapa lagi kalau bukan monster kecil?
“Males! Sana, berangkat sama Mama!” tolakku sebal.
“Fel,
tolong antar Icha. Mama nggak bisa, keran air bocor!” Mama berteriak dari arah
dapur. Aku mendengus sebal melihat Icha nyengir. Tidak ada alasan untuk aku
menolaknya. Padahal, aku sedang menunggu Farish. Sekali lagi aku menatap Icha
yang sengaja memasang wajah memelas. Baiklah. Aku berdiri, meraih tangan
mungilnya.
Letak
sekolah Icha hanya berjarak dekat dari rumah. Aku mengantarnya berjalan kaki.
Sepanjang jalan aku tak melihat monster kecil itu cerewet seperti biasanya.
“Icha
lagi sakit gigi?” tanyaku gemas. Dia menggeleng, tidak.
“Kok
diem?” tanyaku lagi. Icha mendongak memandangiku sebentar. Aku melihat bola
matanya yang bening.
“Kenapa?
Cerita sama kak Fel.” Aku duduk jongkok, mensejajari tinggi tubuhnya. Mengusap
rambutnya dengan pelan. Icha malah membuang muka.
“Nggak
apa-apa kalau Icha nggak mau cerita. Kak Fel nggak akan maksa.” Aku menyentuh
kedua lengannya. Lantas menggandeng tangannya lagi.
“Kak
Fel jangan pergi, ya.” Icha berkata lirih. Aku berniat menjawabnya, urung, Icha
sudah tahu tentang kepergianku besok.
Sampai
di sekolahnya, Icha juga tak kunjung melepaskan tanganku. Dia merajuk, ingin
ditemani barang sehari saja. Aku mengerjap, tetapi bagaimana dengan janjiku
pada Farish?
Icha
semenit yang lalu sudah menyeret tanganku masuk halaman sekolah. Aku tidak bisa
berbuat apa-apa. Icha terlihat senang begitu aku mau menuruti kemauannya.
Aku
duduk di bangku dekat teras, sekolah TK yang lumayan mengasyikan, pikirku.
Terlihat monster kecil itu sedang bermain dengan teman-teman sebayanya.
Tertawa-tawa. Tersipu malu ketika seorang anak cowok mendekatinya, menjulurkan
sekuntum bunga mawar untuk Icha. Aku meringis melihat pemandangan ini.
Bagaimana tidak? Tadi aku sempat melihat betapa susahnya anak kecil itu memetik
mawar yang tumbuh menjulang di dekat pagar. Betapa beratnya tadi teman yang
lain rela menjadi tangga darurat. Aku bergidik, anak-anak sekecil mereka sudah
mengerti cinta-cintaan?
Seseorang
datang dari belakang, menepuk pundakku. Aku sedikit terkesiap, lantas
mengangguk tersenyum.
“Felisa,
kakaknya Icha.” Aku memperkenalkan diri tanpa diminta.
“Saya
Sania. Anak-anak biasa memanggil Bu Nia.” Dia tersenyum ramah menjabat
tanganku. Wanita cantik yang berkerudung. Dia melangkah, lantas permisi duduk
di sampingku, bergabung melihat keceriaan anak-anak didiknya.
“Icha
anak yang cerdas. Menggemaskan, bukan?” ucapnya yakin. Astaga! Menggemaskan?
Mungkin Bu Nia akan menggeleng-geleng melihat tingkah-polah Icha di rumah.
“Icha
memang rada aktif, Bu.” Aku ikut memuji. Icha bahkan jauh lebih beringas
ketimbang anak sepantarnya.
Aku
banyak mengobrol dengan Bu Nia. Membicarakan banyak hal. Hanya satu, aku tidak
membicarakan bagaimana perangai Icha di rumah. Dari cerita Bu Nia, aku jadi
paham, ternyata banyak orang yang menyukai Icha. Aku nyengir sekilas, monster
kecil itu ternyata menjadi pusat perhatian.
GUBRAK!
Seketika
jeritan anak-anak yang sedang bermain menggelegar. Semua gerakan tangan
terhenti. Aku dan Bu Nia terperangah, membuka mata lebar-lebar. Anak yang lain
mencicit takut, lutut mereka bergetar menghampiri tubuh yang terkulai tak
sadarkan diri. Aku berlari, tidak, aku berharap apa yang aku lihat ini hanyalah
mimpi di pagi buta. Sayangnya, begitu aku mendekat, semua ini terlihat amat
nyata. Sungguhan. Aku cepat mendekap kepalanya, kepala yang tadi sempurna
menghujam tanah aspal. Icha, bagaimana tadi aku lalai untuk mengawasinya?
Sampai-sampai Icha terjatuh dari ayunan. Telapak tanganku gemetar saat darah
menempel di atasnya.
Bu
Nia bergerak cepat. Ambulans segera datang membawa Icha. Aku ikut duduk di
sampingnya saat mobil ambulans melesat meninggalkan sekolah TK itu. Jemariku
gemetar menekan tombol panggil. Aku menyeka pipiku. Menelepon Mama. Aku
terpatah-patah mengabarinya, Mama tidak bertanya lagi, hanya nada yang tak
kalah kalap. Mama akan langsung menuju rumah sakit.
Aku
mendekap mulut kuat-kuat. Tak terelakkan, air mataku tumpah sekejap. Icha
dengan mata terpejam. Kening yang bersimbah darah.
“Bertahanlah
Icha, sayang!” ucapku gentar. Aku sangat takut terjadi sesuatu yang buruk.
Sepanjang koridor, aku selalu berbisik lirih,
menguatkan. Ranjang dorong yang tadi membawa Icha hampir sampai di ruang UGD.
Mama yang sudah duduk menunggu, terlonjak berdiri. Mama syok melihat Icha. Aku
nanar menatap Mama, tanganku menahan Mama yang hendak memaksa ingin ikut masuk
ke ruang UGD. Aku menggeleng. Suster
perawat tadi sudah melarang keras.
Tanganku berdecit menempel di kaca jendela. Mama
berdiri kaku di sebelahku, sangat cemas melihat wajah tegang dokter yang sedang
menangani Icha. Aku mengusap wajah. Sudah hampir tiga puluh menit. Dokter dan
suster akhirnya keluar. Mama sigap mendekat pintu, menyentuh lengan dokter yang
baru saja keluar.
“Putri Anda hanya mengalami pendarahan kecil, Nyonya.
Tidak ada yang perlu dicemaskan. Sudah boleh dijenguk.” Dokter itu tersenyum,
lantas pergi. Mama mendorong pintu terbuka, aku melangkah di belakangnya. Icha
masih belum sadar. Kepalanya dibebat dengan kain kasa. Aku gentar saat
mendatangi ranjangnya. Mama sudah terisak, duduk di kursi samping ranjang. Aku
pelan menyentuh jemarinya, tangan yang terpasang selang infus. Aku juga tak
kuasa untuk tidak menangis. Disela menangis aku sempat tersenyum haru. Monster
kecil, anak nakal ini, seperti ini gara-gara aku. Aku yang tidak becus
menjaganya dengan baik.
“Fel yang salah, Ma.” Aku tertunduk, memainkan ujung
baju. Mama bergeming menolehku.
“Tidak. Mama tidak akan menyalahkan kamu, Fel.” Mama
berkata serak. Tidak ingin mengungkit apa penyebabnya.
Aku memutuskan keluar dari ruangan itu. Mengeluarkan
hp dari saku celana. Aku benar-benar lupa dengan Farish. Berkali-kali aku
mengutuk diriku sendiri. Melirik jam dinding sekilas. Pukul sebelas. Aku
berlari melewati koridor rumah sakit. Beberapa kali menabrak suster yang
berlalu-lalang. Yang ditabrak mendesis sebal. Kedua telapak tanganku menyatu.
Maaf.
Sial! Aku mengeluh dalam hati. Hujan turun begitu
deras. Apa boleh buat, aku harus menerabas hujan itu. Setelah membuka pesan
singkat dari Farish, aku baru menyadari jika Farish sudah hampir tiga jam
menungguku di taman kota.
Bersambung—
Tidak ada komentar:
Posting Komentar