Sabtu, 24 September 2011

Satu Jam Saja

Waktu bergulir sangat cepat. Poros kehidupan juga berputar sesuai siklus. Tapi kali ini waktu telah menunjukkan titik nadinya untuk Mita. Seorang gadis berumur duapuluhempat tahun pengidap leukumia stadium IV. Gadis yang kini tergolek lemah tak berdaya di kasur Rumah Sakit. Sebuah monitor berdecit, garis hijau berderet-deret naik turun. Menunjukkan kestabilan detak jantung-nya.
Ya Allah, untuk bernafas saja dia membutuhkan tabung oksigen.
Belalai plastik sempurna menyelubunginya. Wajahnya pucat pasi, tak ada lagi senyum indahnya. Mita sempurna terlelap saat beberapa menit yang lalu Dokter mengecek kondisi denyut jantungnya. Semua masih normal, entah besok atau lusa. Setiap dua jam sekali Dokter akan memantaunya.
Dan lihatlah gadis yang terisak di samping Mita. Menangis, menciumi jemari-jemari Mita yang dingin. Dara. Gadis berumur duapuluh tahun itu meratapi keadaan sang kakak yang hanya tinggal menunggu waktu saja. Maka semua akan berubah dengan sendirinya.

Dara tetap tak bergeming. Fokus membaca penggalan ayat-ayat suci Al-Quran untuk Mita. Selalu berharap akan ada sebuah keajaiban dari Sang Ilahi. Kakak yang dulu amat melindunginya, kakak yang selalu berusaha terlihat baik-baik saja meskipun kondisi akan menyangkalnya. Langit menjadi saksi haru-biru pemandangan ini.
Burung-burung ikut menangis, bintang-gemintang di langit meredup seakan ikut larut dalam tangisnya. Awan hitam berarak sempurna menutupi rembulan-penuh. Air langit buncah bersama derai airmata Dara. Diluar hujan. Gemericik bilur air hujan seolah merintih melihat Mita.

Dara masih ingat betul bagaimana insiden dua hari yang lalu. Hari dimana dirinya mendapati tubuh Mita yang tersungkur di lantai kamar mandi. Darah dimana-mana. Dara memeluk tubuh Mita yang dingin. Gemetar merogoh sakunya, mencari telepon genggamnya. Berusaha mencari pertolongan secepat mungkin. Ia tak boleh terlambat sekalipun hanya satu detik saja. Satu detik akan amat sangat berharga di sisa-sisa helaan nafas Mita. Malam itu akan sangat fatal jika Ikmal tidak datang tepat waktu.

Ikmal datang tepat waktu selang limabelas menit yang lalu Dara meneleponnya. Mengadu. Suara Dara bergetar saat mengabarkan Mita yang jatuh di kamar mandi. Dan lihatlah berapa besar cinta Ikmal untuk Mita. Demi Mita, ia rela membatalkan keberangkatannya ke Singapura; dalam rangka mengekspansi proyek periklanan yang teramat menjanjikan. Memutuskan semua secara sepihak. Tidak peduli kolega-kolega yang berseru geram. Tidak peduli dengan proyek besar itu. Malam ini, ia harus ada untuk Mita.
Berlari. Meninggalkan bandara Soetta, lantas memacu mobilnya dengan cepat. Tak ada waktu lagi. Mita harus selamat. Belahan jiwa-nya itu harus tetap hidup.

*

Pintu terdorong. Terbuka. Seseorang mendekat, wajah yang amat lelah. Mengambil kursi. Duduk di dekat Dara yang tertegun.
Dengan lembut Ikmal menyentuh pundak Dara.
“Sabar Dar, ini cuma masalah waktu. Mita pasti baik-baik saja.” Ikmal pelan menyela diantara isak tangis Dara.
Dara menoleh, “Bila waktu bisa kuhentikan, aku ingin waktu berhenti berputar. Aku belum siap kalau waktu akan mengambilnya saat ini. Sungguh... Aku ingin waktu ini membeku, membiarkan kak Mita tetap ada disini.”
Ikmal tergugu, sadar betul dengan semua keadaan ini. Selama ini ia merasa bersalah. Terlalu memaksa Mita untuk menerima kehadirannya. Ikmal juga ingat saat Mita menolak mentah-mentah lamarannya malam itu. Tapi biarlah meski perasaannya membeku menahan tangis. Ia akan tetap mencintai Mita. Sampai kapanpun. Hingga waktu tak berujung. Cintanya tetap untuk Mita. Meskipun alam akan memisahkannya.

Sudah tigahari duamalam Mita terbaring bersama selang-selang penyambung nyawanya. Hingga suatu sore Mita terbangun. Berkata lirih. Memanggil nama Dara beberapa kali; seperti mengigau. Dara mendengar dengan jelas meski terdengar lamat-lamat.
Dara beringsut mendekat, membisikkan sepatah-dua patah kata di telinga Mita.
“Dara disini kak,” meremas jemari Mita dengan lembut. Ikmal hanya menyaksikan pemandangan ini dari belakang Dara. Tidak berani menatap bola mata Mita yang kosong. Ikmal menangis tertahan mendengar kalimat Mita yang bergetar.


“Da...ra...” suara itu bergetar lagi. Mita meraih tangan Dara dengan sisa-sisa tenaganya. Seperti akan merajuk minta sesuatu. Dara mengusap lengan Mita, “Iya kak, Dara disini.” menangis, bulir airmata menetes di lengan Mita.
“Antar kakak ke tempat itu Dar, sekali ini saja kamu antar aku kesana.” Mita menatap Dara lekat, berharap penuh.
Dara mengusap wajahnya, bingung harus mengiyakan atau tidak. Dalam hati, sungguh Dara tak kuasa menolak permintaan kakaknya itu.
Berbagai alasan ia lontarkan tapi tetap saja tidak membuat sifat Mita yang keukeuh itu mencair.

“Dokter pasti tidak mengijinkan, apalagi kondisi kakak masih lemah. Butuh banyak istirahat.” Dara hampir kehilangan kata-kata untuk beralasan. Dara semakin tak tega. Beberapa kali menoleh ke Ikmal penuh ragu. Ikmal hanya mengangguk, mengiyakan.

“Kawah Putih itu jauh kak,” sekali lagi Dara berusaha mencegah. Ini alasan kelima-nya.
“Tak akan lama Dar, hanya satu jam saja. Kakak mohon...” Mita bersuara parau.
Dara menggigit bibir. Dan Ikmal, tanpa disuruh, sedari tadi sibuk beragumen dengan Dokter. Meminta ijin dan pengertian kepada Dokter. Banyak memaksa. Hingga mau tak mau, Dokter mengijinkan Mita pergi.
Ini tidak mudah, mengingat perjalanan yang memakan waktu duajam.
Tapi demi Mita, dengan ikhlas Ikmal mau mengantar.
Mita berjalan tertatih. Ikmal dan Dara membimbingnya. Saran dari Dokter tak pernah didengarnya. Seharusnya Mita memakai kursi roda, namun ditolaknya mentah-mentah. Alasannya “Aku masih bisa berjalan!!”

***

Mita menerawang jauh, menatap kaca mobil yang lembab -sisa hujan- yang menyisakan embun.
Lembayung jingga menemani perjalanan Jakarta-Bandung. Sempurna, semua saling diam termangu. Hanya deru mesin mobil yang memenuhi sepanjang jalan membentang. Tak ada harapan apa-apa, hanya perasaan rindu kepada tempat itu yang terselip diantara bekunya hati Mita. Tempat yang menjadi saksi bisu masa kanak-kanaknya dulu, saat keluarganya masih lengkap.


“Kak Mita! Lihat deh...gelembung Dala besal-besal!” Dara kecil berseru riang, meniup gelembung sabun. Dara kecil yang tertawa lepas. Umurnya waktu itu baru limatahun dan Mita sudah sembilantahun.
Kawah Putih menjadi tempat mereka menghabiskan masa kecil. Tak pernah terlintas jika kehidupan akan berputar lebih cepat. Dua anak kecil itu juga tidak akan pernah menyangka takdir hidup akan kejam. Mereka masih terlalu polos untuk masalah ini.

Tapi, lihatlah sekarang...

Mereka bukan anak kecil lagi, tumbuh dewasa tanpa orang tua. Mita memang berhasil menjadi kakak terbaik diantara yang terbaik. Menjadi penopang untuk Dara, menjadi tameng untuk adiknya. Mita ikhlas. Menjadi benteng saat kehidupan mulai tak adil pada Dara. Menjadi sandaran untuknya.
Ya Allah, sampai kapanpun ia tidak pernah tega meninggalkan Dara seorang diri. Bagaimanalah jika Tuhan berkata lain. Ya, semua ini hanya masalah waktu.
Waktu yang akan merampas potongan hidup Mita. Menjadikannya potongan-potongan puzzle yang bercecer, tidak lengkap lagi. Potongan kehidupan yang tidak akan pernah sempurna. Bukankah kehidupan di dunia ini tidak ada yang sempurna, bukan?

*

Mita duduk menjuntai di bibir kawah. Diikuti Dara dan Ikmal. Mereka banyak diam. Mita sibuk melukis potret kehidupan keluarganya yang bahagia didinding-dinding kawah, dulu sebelum tragedi kebakaran itu terjadi; yang merenggut nyawa kedua orang tua-nya. Kabut tebal melingkupi kawah, mendesah, tertahan di udara. Pemandangan di kawah ini masih sama seperti limabelas tahun silam.
Mita tertunduk, menggigit bibir, menahan rasa sakit yang menderanya.
“Ya-Allah, jangan ambil nyawa Mita sekarang. Mita masih ingin menghirup udara segar ini beberapa menit lagi,” desah Mita dalam diam.
Dara panik, bergegas mengambil tissue. Ikmal juga terkesiap, takut terjadi apa-apa dengan Mita. Tadi baru saja darah segar keluar dari hidungnya, kali ini amat banyak, meninggalkan bercak merah di baju putih-nya.
Mita menepis pelan tangan Dara yang bermaksud membersihkan darah itu. Mita tersenyum simpul, “Biar Dar, sudah terlanjur kotor bajunya.”
Dara menangis, sementara diam-diam Ikmal sedari tadi sudah menangis tanpa suara.

Lima menit berlalu. Sepuluh menit berlalu. Menit ke duapuluh. Hingga menit ke tigapuluh.
Keadaan Mita mulai mengkhawatirkan, namun ia sekuat tenaga menahan rasa sakit. Ingin terlihat baik-baik saja didepan Dara dan Ikmal.

“Dar, kalau kakak pergi, jangan pernah kamu menangisi jasad kakak. Kakak nggak mau lihat kamu cengeng. Dikala keadaan sedang tidak berbaik hati, maka ingatlah sejatinya pemilik hidup ini sedang menunjukkan kuasa-Nya. Jangan pernah menangisi keadaan....” suara Mita hilang diujung kalimat. Satu kata sama dengan satu tarikan nafas. Terpatah-patah. Sejak tadi kepalanya sudah bersandar di pundak Dara, pusing yang teramat menyiksa.
Dara menggigit bibir, menahan airmata yang akan jebol. Sungguh. Ini pukulan telak untuknya. Ia tak tahu apa artinya dia hidup bila tanpa Mita, kakaknya yang selalu menjadi tumpuan hidup.

“Kak Mita... Dara mohon, jangan pergi!” suara Dara serak, menahan hatinya yang hancur-lebur. Ini lebih menyakitkan jika dibandingkan dengan penyakit apapun didunia ini. Airmata Dara akhirnya pecah, jatuh menetes di lengan Mita. Dengan terpatah-patah, Mita mengusap pipi Dara yang basah.
“Tuh kan, kok cengeng sih?” gurau Mita, tertawa kecil.

Ikmal beringsut mendekati Mita. Memegang lembut jemari Mita. Ikmal tahu, waktu Mita tidak banyak lagi.
Mendekap bahu Mita.
“Maaf Mal, aku sudah membuat kamu terlalu lama menunggu keputusan ini. Tapi aku berjanji, sebentar lagi kamu akan mengetahui jawaban itu tanpa perlu aku mengucapkannya.” Mita berkata pelan, nafasnya hampir habis. Tersengal-sengal. Tetap tersenyum. Hingga nafas itu berhenti berhembus. Semua berakhir sudah. Dara memeluk erat tubuh Mita. Janjinya ia tepati, Dara hanya akan menangis jika Mita menyuruhnya. Dan Ikmal sudah mendapat semua jawaban. Ini semua sudah teramat menjelaskan. Mita akan tetap menjadi sebuah memoar tak bersurat. Semua tersimpan rapat di ulu hati yang paling dalam. Mendapat tempat yang paling hakiki. Sempurna. Tigaribuenamratus detik terakhir untuk Mita.

Kadangkala semua kehidupan tidak berakhir dengan happy ending. Sekali lagi, inilah salah satu bentuk penerimaan atas takdir hidup.

Penuh rasa ikhlas.


TAMAT

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Cari Blog Ini