Selasa, 27 September 2011

Memoar Terindah Untuk Mita | Part 2


Di kala roda kehidupan berputar, pelan kehidupan baru mulai teruntai. Dan kebahagiaan mengkungkung keluarga itu. Pelan, semua berangsur membaik. Akan tetapi, kebahagiaan itu tidak untuk Mita.

Mita berumur limabelas tahun, dan umur Dara baru tujuh tahun.
“Kak Mita, main yuk! Kita ke taman yang banyak mawar kuningnya itu hlo!” Dara berseru, tangannya mengayun mengekspresikan kata ‘banyak’. Sekali-dua kali Mita hanya nyengir, membuat Dara gemas hingga menarik manja ujung baju Mita. Merajuk, Mita menengadah. Langit hitam pekat. Tapi kalau Dara sudah merajuk, siapa yang bisa mencegahnya.
Mita tersenyum, “Besuk pagi aja ya? Mau hujan tuh.” Mita menunjuk langit penuh gumpalan awan hitam.
Dara menggeleng cepat, “Pokoknya sekarang ya sekarang! Ayolah kak, cuma sebentar kok”.
Mita berdehem, terpaksa menaruh gitarnya di meja. Dara menyeret lengan Mita, antusiasnya menggebu-gebu.
“Pokoknya cuma sebentar ya, nanti Papa dan Mama khawatir!” seru Mita, Dara tak menghiraukan; sedari tadi asyik berlarian di antara hamparan mawar kuning. Mita mengawasi, duduk di bangku taman, berpangku tangan. Langit semakin gelap, sudah lima kali Mita mengajak Dara pulang. Namun, jawabannya selalu “Nanti kak, Dara masih betah disini, lima menit lagi deh!”
Tapi lihatlah, awan hitam mulai menumpahkan air langit. Bilur-bilur air membasahi bunga-bunga di taman. Dara, entahlah sepertinya ia sejak tadi terhipnotis oleh indahnya mawar kuning hingga tak menyadari badannya yang basah-kuyup. Mita tak habis pikir, mulai cemas, takut kalau nanti Dara sakit karena kehujanan. Mita berdiri, menerabas derai air hujan, menyeret lengan Dara.
“Sudah cukup Dar, besok kita kemari lagi. Kakak takut nanti kamu sakit!”
Dara menunduk, menangis. Mita menyibak anak rambut yang menjuntai di sudut mata Dara. Menyentuh pundak Dara dengan takzim. Bagaimanalah, Mita tak kuasa melihat adiknya menangis seperti ini. Namun, biarlah. Mereka harus cepat sampai rumah, sebelum hari beranjak malam.
Mita berjalan gontai, menarik tangan Dara yang mengekor di belakangnya. Menggigil dingin.
Tubuh kurus itu menunduk, air menetes dari tubuhnya, membasahi lantai ruang tengah. Dara sembunyi di balik tubuh Mita. Lelaki paruh-baya membentaknya, setelah dua kali menampar pipi Mita.
“Sudah berapa kali Papa bilang, ha? Jangan pernah kamu membuat Dara nakal seperti kamu! Urak-urakan, beringasan, tidak punya aturan. Apa kamu mau Dara juga rusak seperti kamu?” lelaki itu mencerca anaknya bak tersangka yang pantas di bui.
Mita mendongak, mata-nya berkaca-kaca. Ya Tuhan, bahkan Ayah-nya sendiri menyalahkannya. Apa ini adil? Ya, Mita memang urakan, beringasan, tidak punya aturan. Tapi apakah ia pantas menerima semua ini, selalu mendapat perangai buruk dari sang Ayah, mendapatkan tuduhan bahkan hina-dina yang menusuk hati.
“Mita bukan anak kecil lagi, Pa! Apa Papa juga akan menyalahkan almarhumah Mama karena telah melahirkan aku ke dunia ini? Apa belum cukup semua penderitaan Mama sebagai istri yang di poligami! Di sisa-sisa hidupnya, apa pernah Papa ada untuk Mama? Papa malah sibuk mengurus perempuan ini!” Mita menuding Mama tiri-nya, matanya memicing tajam. Sementara yang di tuding menunduk, merasa bersalah telah menjadi duri dalam rumah tangga orang lain. Namun, bagaimanalah semua ini sudah terlanjur menjadi kenyataan. Tak akan ada yang bisa memutar waktu, tak ada lagi yang bisa membuat Mita semanis dulu. Inilah Mita yang sekarang, penampilan yang tak sewajarnya perempuan pada umumnya. Sangat bertolak belakang. Keadaan-lah yang mengubahnya menjadi seperti ini. Setelah kehidupan kejam merenggut satu-satunya orang paling berharga, kini tak ada lagi jemari renta yang setia membelai dalam pangkuan. Semua hilang, menyisakan batu nisan itu.

“Sekarang kamu mulai kurang ajar ya? Berani-beraninya kamu membangkang! Dan wanita ini, mulai sekarang kamu harus memanggilnya ‘Mama’. Dia istri Papa!”

“Denger Pa, Mita cuma punya satu Mama! Dan perempuan ini, apakah dia pantas dipanggil ‘Mama’ setelah mencerai-berai keluarga ini? Dia tak lebih hanya orang asing dalam hidup Mita!”
Plaak. Satu tamparan lagi dengan mulusnya melayang ke pipi Mita.
Dara menangis terisak, menyeka ujung-ujung matanya, mengerti betul keadaan ini. Pelan, tubuh mungil Dara marangsek maju, ingin rasanya membela Mita. Ini semua salahnya, bukan salah kakaknya, Mita.

“Pa, kak Mita nggak salah! Dara yang minta di antar ke taman itu. Jadi Dara-lah yang pantas Papa marahi” Dara mengoyak-ngoyak lengan Papa, berusaha meredam amarah yang kadung buncah.
“Enggak Dar, biar kakak saja yang dimarahi. Kakak ikhlas, kamu masih terlalu kecil untuk masalah ini” Mita berbisik, menarik lengan Dara.
Lelaki paruh-baya itu mengatupkan rahang, langsung menyeret lengan Dara masuk kamar. Dan Mita di biarkan begitu saja, tak peduli dengan Mita yang juga menggigil kedinginan. Perhatian memang jarang di dapatnya, sudah terbagi dengan keluarga barunya. Ah, sejak dulu mana pernah Papa -nya bersikap manis. Nonsens.

Mita menoleh, seseorang menenteng handuk, memakaikan handuk itu ke tubuh Mita yang bergetar. Orang itu menebar senyum, Mita hanya memicingkan mata, tidak bersimpatik sedikitpun.
“Makasih!” ucap Mita ketus, setidaknya ia masih tahu rasa berterima kasih.
“Aku tahu kamu nggak salah. Bahkan, aku tahu kalau sebenarnya kamu orang berhati mulia. Hanya saja, entahlah kamu sengaja menutupi semua itu.” Orang itu pelan menyentuh bahu Mita. Mita membuang muka, “Ini bukan urusan kamu! Jadi jangan pernah berusaha untuk ikut campur!” Mita beringsut pergi, meninggalkan Rio yang mematung.

Rio adalah kakak kandung Dara, umurnya sepantar dengan Mita, hanya selisih beberapa bulan saja. Diam-diam Rio selalu memperhatikan gerak-gerik Mita, selalu bangga melihat Mita yang tegar dan mandiri. Mita yang apa-adanya dan penuh kesahajaan.

Rio tersenyum takzim, melihat punggung Mita yang semakin menjauh.
Dan entah, kenapa hanya kepada Dara saja Mita bersikap manis. Mungkin sosok kecil itu terlalu sayang untuk di benci. Mita sangat menyayangi Dara, ingin selalu menjadi pelindungnya. Menemani setiap kali Dara merajuk minta di antar ke taman. Tetapi, Mita belum bisa menerima Rio seperti ia menerima Dara. Semua memang butuh proses, proses penerimaan atas sebuah siklus kehidupan. Metamorfosis yang tidak sempurna.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Cari Blog Ini