Sabtu, 01 Oktober 2011

Cerita Cinta


 Satu! semua orang terlihat tegang. Dua! semua orang mulai merangsek maju, berdesakan bin berjubel. Dan tiga! Hap! bunga ditangkap.
Dengan mulus bunga itu terlempar, tertangkap oleh seorang janda beranak satu. Semua tamu undangan bersorak-sorai, entah ikut senang atau malah merasa iri. Ah, tidak penting juga kan. Ini kan hanya sebuah ritual kuno. Ritual yang kadung menjadi sebuah kewajiban mendasar.
Dan ini hanya sekilas potret hidup yang tinggal puing-puing kehancuran. Yang tidak pernah menjadi kenyataan, terlambat sudah untuk menatanya kembali. Hancur-lebur menjadi debu.
Wanita itu tetap mematung, duduk di kursi panjang. Tangannya lunglai memainkan piano. Larut dalam lantunan lagu. Matanya sayu, guratan wajah mengundang rasa iba. Sekali-dua kali mulutnya terbuka, menggeleng, tertawa terbahak-bahak lalu menangis histeris. Tak tanggung-tanggung, air mata tak pernah kering dari mata yang sebenarnya begitu indah. Selalu ada saja buliran bening menetes dengan mulusnya. Wanita berusia hampir duapuluhtujuh tahun itu menghentikan gerakan tangannya. Mulai merintih kesakitan, sibuk memegangi perutnya yang membuncit. Berteriak, meminta pertolongan. Namun sayang, tidak ada satupun yang mendengar teriakan itu. Terang saja, dia hanya tinggal seorang diri. Sebatang kara, semuanya serba dilakukan sendiri. Darah segar keluar, pelan ujung jemari-nya menyentuh lutut yang basah oleh darah. Menangis tertahan, menyeret langkahnya secara perlahan menuju suatu tempat. Langkahnya yang kecil dipaksakan untuk menopang perutnya yang besar.

“Sayang...coba lihat anak kita, sebentar lagi calon bayi kita akan terlahir ke dunia ini.” wanita itu terduduk di tanah, tak kuat berdiri lama-lama.
“Sayang...aku juga akan menceritakan kepada anak kita nanti, kalau dia punya seorang Ayah yang begitu tampan dan baik hati.” pelan wanita itu mengusap batu nisan, bertuliskan nama ‘Andreas’. Sekalipun anak itu bukan anak dari Andreas.
Pemandangan ironik, apa boleh buat, dunia pun seakan-akan hanya milik mereka seorang. Biarlah, wanita itu terlihat sangat bahagia bila berada di pusara suaminya, lebih tepatnya calon suaminya.
Pelan tangannya mengepal gumpalan tanah, menahan rasa sakit yang teramat.

***

Seorang lelaki datang, pelan membuka pintu dengan senyum khasnya. Menyapa calon istrinya itu. Sang wanita menyambutnya dengan peluk cium di kedua pipi. Wajahnya yang tirus terlihat sangat eksotis, mengenakan gaun berwarna putih gading, dengan aksen bunga melati di rambut hitam-nya yang di sanggul. Terlihat sempurna, jikalau ada bidadari turun dari kahyangan maka wanita itu yang dimaksud.
“Kamu cantik sekali,” puji lelaki itu, terbuai senyum merona sang calon istri.
“Kamu juga tampan!” timpal wanita itu, memegang tangan lelaki itu penuh takzim.
“Sudah siap kan sayang? Sebentar lagi kita akan berangkat ke Masjid.” sekali lagi lelaki yang bernama Andreas itu menebar senyum kebahagiaan. Sang wanita merasa tersanjung, hari ini adalah hari bahagianya bersama Andreas. Setelah dua tahun terakhir merangkai cinta, mengukir cinta yang abadi. Dan sekarang dalam hitungan menit, ikrar janji suci akan segera terucap. Ah, inilah yang selalu mereka damba-dambakan. Mengikrarkan nama cinta dalam bingkai kehidupan yang baru.

Perlahan, mobil Merci dengan aksen beberapa bunga diatasnya, melaju membelah jalanan pagi yang cukup lengang.
Andreas menoleh, rasa bangga tertoreh, bangga mempunyai calon istri yang begitu menawan. Dia tersenyum, memperlihatkan gigi gingsulnya.
“Jangan dipelototin begitu dong, nanti bedak aku luntur hlo.” wanita itu tertunduk, pipinya merah merona tersipu malu.
Andreas mengelus perut wanita itu, wanita itu merengkuh lengan Andreas.
“Aku berjanji sayang, setelah menikah nanti aku akan menganggap anak ini sebagai anakku sendiri. Aku akan menyayanginya seperti aku menyayangi ibunya.” Andreas mencium kening wanita itu. Dan wanita itu langsung tertunduk, tertegun. Dadanya sesak demi mengingat kejadian itu, air matanya menetes, sedikit membuat bedak dipipi-nya memudar. Duabulan yang lalu ia telah diperkosa, didzalimi oleh orang yang sungguh keji dan tidak bermoral, merenggut kesucian wanita itu tanpa ampun. Menyisakan banyak trauma yang berkecamuk dihati kecilnya. Sungguh, ia amat beruntung mendapatkan Andreas.
Andreas mengusap pipi wanita itu. Merasa bersalah telah membuat bidadari-nya menangis. Wanita itu tersenyum tertahan, meski hatinya pontang-panting menahan segala emosi yang kadung membuncah. Ah, bukankah hari ini awan kelabu itu akan segera berganti dengan awan cerah yang diselimuti pelangi indah?
Namun sayang...
Tak semudah itu takdir akan berbaik hati memberikan kebahagiaan itu sekarang.

Roda mendecit, mesin menderu tajam, terguling beberapa kali. Sempurna mobil Merci itu terpelanting beberapa kilo setelah truk berlawanan arah kehilangan kendali, menghantam pembatas jalan dan terjungkir-balik di badan-jalan. Membuat arus lalulintas terhenti sejenak, tak sedikit pengguna jalan yang menjadi saksi kejadian tragis ini. Polisi-polisi yang berada di pos jaga pun berlari menuju TKP, sementara polisi yang lain sibuk dengan HT-nya, menghubungi ambulans. Dan bukankah mobil itu milik Andreas? Mobil yang berhias bunga pengantin itu? Tentu saja benar, dan entah tak ada seorang pun yang mengetahui keadaan mereka detik ini.

Darah segar bercucuran dari kepalanya. Kepala Andreas menghantam atap mobil, menjadi perisai untuk bidadari-nya. Tak peduli seberapa sakit yang menderanya, keselamatan calon istrinya jauh lebih penting diatas segalanya. Belahan jiwanya harus selamat, tanpa luka gores sedikit pun di kulit putihnya.
Gaun putih milik wanita itu bersimbah darah, tangannya gemetar memeluk tubuh Andreas yang penuh luka.
“Keluar sekarang sayang, kamu harus selamat! Mobil ini akan meledak!” Andreas bersuara di sisa-sisa tenaganya.
Wanita itu menggeleng, tubuhnya bergetar demi mendengar gemiricik tetesan bensin yang menetes di aspal jalan.
“Tidak! Aku mohon, bila takdir menginginkan kita mati sekarang. Biarlah aku mati dalam dekapanmu, aku ingin selalu bersamamu dalam keadaan apapun!” wanita itu bersuara parau, memberi penekanan pada kalimat ‘dalam keadaan apapun’. Menangis tersedu, apakah semua akan benar-benar hancur dalam detik ini? Ya Tuhan, apakah kebahagiaan itu akan ingkar?

Lama menunggu, namun bantuan tak kunjung datang.Wanita itu memucat, hatinya bergeming menyaksikan lelaki yang amat dicintainya meradang nyawa. Apa mereka semua tahu kalau mobil ini akan meledak? Sehingga mendekat sepuluh meter pun rasanya tak sudi.
“Tidak ada waktu lagi sayang…keluar sekarang!” Andreas berkata terbata-bata, antara terdengar dan tidak. Wanita itu semakin merengkuh pundak Andreas, tetap bersikukuh tak akan meninggalkannya dalam keadaan apapun.
“Tidak! Aku mohon jangan paksa aku lagi, biarlah aku tetap disini.” Suaranya hilang diujung kalimat, keukeuh mempertahankan kesetiaannya.

Dentuman keras terdengar memekakkan telinga. Semua orang beringsut menjauh, takut sekaligus was-was. Dan api sempurna membakar mobil itu, setelah terdengar ledakan beberapa kali. Wanita itu tersungkur di pinggir jalan, menangis meronta-ronta. Tangannya menjulur, ingin rasanya ia menarik tubuh Andreas keluar dari mobil itu, namun sangat mustahil. Semuanya terlambat, hanya menyisakan puing-puing sisa ledakan yang bercecer di aspal. Mata wanita itu memaku, melihat api yang mengganas, meluluh-lantakkan mobil itu. Dan Andreas? Wanita itu mengusap wajah dengan tangannya, dadanya sesak menahan tangis, hatinya menjerit kehilangan. Andaikan ia tidak selamat, mungkin ia akan bahagia mati bersama belahan nyawanya. Tadi, sebelum mobil itu benar-benar meledak, seseorang datang, memberanikan diri mendekat tanpa rasa gentar. Bak pahlawan yang datang tepat waktu. Beberapa kali mencongkel pintu mobil, dan entah dengan alat apa. Andreas selalu berpesan, “Tolong selamatkan calon istri saya.”
Orang itu mengangguk paham, bergegas menarik tubuh wanita itu keluar. Wanita itu bergeming, semakin bersikukuh.
“Tidak!!” teriak wanita itu, namun tetap saja tak berhasil mencegah tangan orang itu yang menariknya keluar dari mobil yang sudah dalam keadaan ringsek. Setelah berhasil keluar dari mobil itu, dan baru saja wanita itu ingin berbalik badan namun apa yang dilihatnya? Matanya seakan mati melihat takdir yang begitu nyata didepan mata, takdir yang sekarang menjadi batas nyata antara ia dan Andreas. Orang tadi menyeret lengan wanita itu untuk menjauh. Merunduk, menghindari imbas dari ledakan itu. Beberapa kali wanita itu meneguhkan hati, cintanya akan tetap hidup.Sampai kapanpun.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Cari Blog Ini