Sabtu, 24 September 2011

Jangan Pergi Sahabatku....

Jangan Pergi Sahabatku

Kriiing!. Bel pulang menggema ke seluruh penjuru sekolah. Semua murid berhamburan keluar,begitu juga denganku. Aku berlari tergopoh-gopoh,memaksa jantungku bekerja lebih keras. Menerabas segerombolan murid yang berjalan beriringan,tentu saja mereka marah karena aku telah mengusik mereka yang tengah asyik bercengkrama. Tapi apa peduliku dengan sumpah-serapah yang mereka lontarkan? Tak penting untukku hanya akan membuang waktuku percuma. Aku tetap berlari dan berlari,tak peduli jantungku memprotesnya. Beberapa menit aku pun sampai di halte bus. Nafasku tersengal-sengal bukan main. Keringatku sudah tak terbendung lagi,beberapa kali aku sudah menyekanya. Aku duduk mengatur nafas,memainkan genggaman tanganku,menghentak-hentakkan kakiku. Sesekali aku melirik pergelangan tanganku,mondar-mandir di halte itu berusaha membunuh waktu. Kenapa tak ada bus yang lewat? Hatiku mulai buncah. Langit mulai tak bersahabat,awan cerah kini beralih mendung gelap yang menutup rapat matahari siang ini. Angin berhembus menemani kesendirianku,tak ada orang disini satupun. Sepertinya hujan akan membungkus kota ini beberapa menit lagi. Aku takut! Takut semuanya akan terlambat.

Satu jam sudah aku lontang-lantung di halte ini. Aku memeluk diriku sendiri,kedinginan. Hujan turun begitu deras,gemercik air yang membasahi jalanan,menggenang bebas tanpa ada yang mengusiknya. Jalanan memang cukup lengang,tak seperti biasanya. Aku mulai menggigil,kalimat itu masih terngiang-ngiang jelas di kedua telingaku, “Keadaannya memburuk! Sepulang sekolah segeralah kesini,dia membutuhkanmu!”. Aku menangis,mendengar berita itu dari ponselku,wanita paruh baya menelponku saat jam istirahat tadi. Lagi-lagi keadaannya memburuk? Aku memang tak tau keadaannya akhir-akhir ini karena aku belum sempat menjenguknya lagi. Tetapi menurutku tak ada perubahan yang signifikan,terapi-terapi itu hanya akan menyakitinya saja. Aku ingat betul saat ia mengadu kepadaku bahwa ia sudah tak tahan lagi. Ya Tuhan,apakah aku tega membujuknya supaya mau menjalani terapi-terapi itu? Sedangkan wanita paruh baya itu terus memaksa. Aku prihatin melihatnya. Tetapi apa yang bisa kuperbuat? Selain memberinya semangat hidup,memberinya sebuah arti hidup yang penuh jalan setapak. Aku selalu menguatkannya,tak akan aku biarkan keresahan menghinggapinya.


***

Aku menyunggingkan bibirku,memaksa untuk tersenyum. Terlihat sebuah bus datang dari tikungan utara. Ya,pikiranku mulai tenang setidaknya aku tak akan menjadi ‘patung selamat datang’di halte ini. Bus berhenti tepat didepanku. Menerabas buliran air hujan dan membiarkannya jatuh bebas di atas rambutku. Aku duduk di dekat jendela berembun yang diterpa air hujan dan angin yang membentuk sebuah pemandangan samar di kaca itu,kaca yang dinginnya merasup ke jari-jari tanganku,aku mengusap kaca itu berkali-kali. Aku meringis,menggosok-gosokkan kedua telapak tanganku,aku basah kuyup. Aku menyibak anak rambut yang tergerai di sudut di mataku. Entah berapa tetes derai air mata yang sudah menetes,aku tak memedulikannya!. Pikiranku kalap,hatiku kacau-balau tak menentu. Hatiku berjerit pilu,sesak. Aku tak bisa membayangkan jika sosok itu pergi dari kehidupanku,aku tak mau! Sungguh. Terlalu sulit untuk menapaki jalan kehidupan yang penuh liku tanpa kehadirannya. Sahabat yang sudah menjadi separuh ragaku. Menghabiskan masa-masa tuaku nanti bersamanya, bagaikan sebuah mimpi yang mengambang bebas di tengah radar. Mungkin sekarang aku tak mau muluk-muluk mengumbar janji padanya. Aku takut mengecewakannya!


Bus itu berhenti,aku sampai tak menyadarinya karena terlalu sibuk dengan lamunanku. Kondektur bus menepuk pundakku,“ Sudah sampai mbak”. Aku terkesiap lantas menoleh ke kanan dan ke kiriku. Setelah membayarnya,aku bergegas turun. Untung saja hujan mulai mereda hanya menyisakan rintik-rintik kecil. Aku mematung di depan gedung bertingkat yang berdiri kokoh di hadapanku. Aku memaksakan kedua kakiku untuk melangkah menuju pelataran Rumah Sakit itu meski dengan langkah kecil dan sangat pelan.Mengumpulkan semua keberanian untuk melihat keadaannya. Aku takut jika semua sudah berubah begitu cepat.


Aku membuka pintu koridor,tak perlu waktu lama untuk menemukan ruangannya. Berjalan menelusuri lorong-lorong dengan tatapan kosong,jiwa yang melayang-layang seolah ikut larut dalam kegetiran hatiku. Aku berjalan gontai,merilekskan otot-otot leherku yang mulai tegang,tapi tetap saja tak bisa menenangkan hatiku yang kadung buncah. Sekarang,tepat aku berdiri didepan ruang ICU berplat dua puluh delapan. Aku menyeringai tipis. Ah,itu kan nomor favoritnya. Tertunduk kemudian menatap langit-langit yang bercak putih,tak akan aku biarkan air mataku menetes lagi meski nanti akan pecah juga. Aku membuang nafas,menggigit bibirku dan pelan-pelan aku julurkan tanganku ke gagang pintu. Membukanya perlahan penuh kegetiran.

***


Aku menelan ludah,membelalak membulatkan mataku,air mata mulai menggenang di sudut mataku. Aku melangkah masuk,seluruh tubuhku gemetaran hebat seperti ada gempa dadakan yang mendera tubuhku berkekuatan delapan skala rhicter. Wanita paruh baya itu setia menungguinya,duduk di sampingnya kemudian menangisinya. Melihat kedatanganku,ia beranjak dari duduknya. Menyambutku lantas memelukku hambar. Aku bisa merasakan kegalauan hatinya,air matanya tumpah ruah di pundakku. Memelukku semakin erat lagi. Wanita paruh baya itu tetap mematung dalam dekapanku. “Tante,bagaimana keadaan Vita?” tanyaku parau.
“Dia sedang dalam masa-masa kritisnya,” jawabnya dengan nada yang bergetar hebat. Aku melepaskan pelukannya perlahan,mengusap air matanya dengan lembut. “Tante yang tabah ya...Kinan bisa merasakan perasaan seorang Ibu jika harus melihat keadaan anaknya seperti ini. Tak ada seorang pun yang pernah menginginkan Vita mengidap penyakit ini. Sungguh,” aku mencoba melapangkan hatinya. Ia hanya tertunduk tak menggeleng maupun mengangguk. Ya,aku tau aku tak bisa memaksanya untuk tidak menangis. Aku sendiri saja sangat sulit untuk membendungnya. Aku menoleh,menelan ludah dan berjalan mendekati ranjangnya. Ya,jujur aku tak kuasa untuk tidak menangisinya. Keadaannya sangat memprihatinkan siapapun yang melihatnya. Tubuhnya mulai kurus kering,wajahnya pucat pasi,terdapat garis hitam yang tergurat jelas di bawah matanya,mata yang dulu sangat teduh itu. Diam. Senyap. Hanya terdengar isakan tangis dan alat-alat medis yang berdecak untuk menyambung nyawanya. Astaga! Sekujur tubuhnya dipenuhi selang-selang yang aku sendiri tak pernah mengerti satu per satu dari selang itu. Aku tercekat pilu,mencoba meraih tangannya yang dingin. Ia masih tertidur pulas. Aku mencobalebihmendekatinya.
“Vita...kamu harus bertahan!” kusetel suaraku sepelan mungkin. Aku yakin ia bisa merasakan kehadiranku. Sudah empat belas tahun kami bersahabat. Ya,sepantaran dengan umur kami berdua. Jadi,tak mungkin Vita tidak mengenaliku. Aku mendesah. Tak ada respon apa-apa darinya. Seharusnya aku sadar betul kalau ia sedang terlelap. Entah mengapa,aku menjadi paranoid ketika melihat Vita tertidur pulas seperti ini. Aku takut ia tak akan pernah membuka matanya lagi. Ah,aku tidak boleh berpikiran negatif seperti ini! Apalagi berasumsi yang tidak-tidak. Aku yakin dia masih bisa bertahan! Dia sempat berjanji kepadaku seminggu yang lalu. Bukankah takdir itu bisa dirubah selagi masih ada kesempatan? Tak ada yang mustahil di dunia ini,bukan?

***

Aku duduk di bangku depan ruangan itu,aku membiarkan Vita yang masih pulas. Tante Ratna juga mengikutiku,duduk disampingku masih dengan isaknya. Aku tak berani menyela diantara tangisnya,mungkin dengan begitu ia bisa sedikit mengurangi kegelisahannya. Sementara,memori otakku berputar cepat,menyeruakkan kembali kenanganku bersama Vita sebelum ia divonis kanker otak tiga bulan yang lalu. Sebelum akhirnya ia harus terbaring tak berdaya di ruangan itu. Canda tawa itu,senda guraunya,kejahilannya,senyum manisnya sudah tak bisa kurasakan lagi. Semua berubah sangat cepat,seperti sebuah bom waktu yang sudah sampai puncaknya dan siap untuk meledak. Penyakit itu telah merenggut kebahagiaan itu. Merampasnya begitu saja tanpa ampun. Penyakit yang mulai menggerogoti tubuh Vita. Perlahan tapi pasti. Membuatnya mati-matian berjuang untuk tetap bernafas. Penyakit yang menggubah jalan hidupnya. Kenapa harus Vita, Tuhan? Ia tak pantas menerima takdir ini. Aku juga tertunduk,ikut larut dalam jeritan hati Tante Ratna. Menetes begitu deras. Sengaja aku membiarkannya jatuh bebas berlinangan dipipiku.
“Kinan...” ucapnya datar. Aku mengernyit heran, “Ada apa Tante?”. Aku menatapnya nanar,menelusup bola matanya yang menerawang jauh. “Tante benar-benar takut kehilangan Vita,harapan untuk bertahan hidup hanya dua puluh persen,” tuturnya. Aku terkesiap,mengatupkan mulutku,mengelus pundak Tante Ratna. Memberinya dukungan moril. Astaga,aku tak pernah mengetahui jika keadaan Vita jauh lebih buruk dari ketakutanku. Semua memang sudah berubah begitu cepat, tanpa aku menyadarinya. Fisiknya yang mulai terkujur kaku,seharusnya aku bisa menyadarinya. Apa mungkin masalah ini terlalu pelik untuk anak seumuranku? Aku yang masih menggunakan seragam SMP? Banyak yang menganggapku anak ingusan yang belum pantas tau urusan orang dewasa. Tapi setidaknya aku sudah bisa mengerti arti sebuah ‘kematian’. Kematian yang dulu merenggut kedua orangtuaku dari sisiku. Apa sekarang aku harus mengalaminya lagi? Terpisahkan oleh jembatan ‘kematian’. Hatiku bergidik lelah, lelah bila harus kehilangan orang yang ku sayangi untuk kesekian kali.


Hentakkan kaki yang memburu memecahkan suasana yang sempat hening,membuatku terhenyak. Dokter dan suster-suster berlarian menuju ruangan Vita. Aku terperanjat,begitu juga dengan Tante Ratna. Ada apa ini? hatiku mulai gundah gulana. Ingin aku menyusul Dokter dan suster-suster itu,tetapi Tante Ratna menarik lenganku,mencengkram pundakku, “Jangan!”. Tante Ratna hanya menggeleng penuh kepasrahan dan aku menurutinya. Aku tau Vita pasti....apa dia sudah sadar? Atau sebaliknya? Hatiku menerka-nerka ganjil. Aku mengusap wajahku dengan telapak tanganku. Tuhan,selamatkan dia....kumohon. Aku termangu penuh harap. Setidaknya hanya ‘harap’ yang bisa memberiku janji,entah janji manis atau janji semu? Ya, karna aku tak bisa memastikannya. Mungkin Tuhan belum mau berbicara tentang takdirnya. Aku menelan ludah, apa mungkin aku bisa melihat Vita hidup lebih lama lagi? Semoga saja.

***

Dokter keluar dari ruangan itu. Aku menghampirinya cepat. Raut wajah Dokter itu penuh teka-teki,aku tak bisa menebaknya. Tante Ratna menyela di belakangku, “Ada apa dengan anak saya, Dok?”. Dokter hanya diam sesekali membenarkan posisi kacamatanya yang sebenarnya tak ada masalah apa-apa dengan kacamata itu. Tapi Dokter itu seperti mengulur-ngulur waktu. Nafasku memburu,mengepalkan kedua tanganku,bersiap menerima kemungkinan terburuk,seburuk apapun itu. Aku melihat raut wajah tegang di antara pori-pori kulit wajah Tante Ratna yang mulai menua. Firasatku sudah tak enak.

“Maaf, kami sudah berjuang semampu kami tapi Tuhan berkata lain,” Dokter itu menggeleng kecewa. Aku tersentak,berlari masuk ke dalam ruangan itu. Tante Ratna tetap mematung di luar. Aku menggigit bibirku sekuat mungkin untuk tidak menangisinya. Tapi apa daya,air mataku tetap mengalir mengiringi kepergiannya,
“Vita!!” teriakku sekencang mungkin. Ada beberapa suster yang menahanku untuk tidak mendekati jasad Vita. Aku tetap nekad, memegang tangannya dengan jemariku untuk terakhir kalinya. Menatapnya kosong,bom waktu itu sudah meledak. Meledak tepat di hatiku dan hati Tante Ratna. Apakah Tuhan sudah berbicara? Inikah takdir yang ingin diperlihatkan-Nya. Takdir yang menohok batinku,menyayat pilu hatiku dengan sembilu. Lututku bergetar,air mataku tumpah ruah,aku mendekapnya untuk terakhir kalinya. Aku sadar tak akan bisa menemukan sahabat seperti Vita. Vita yang sudah menjadi separuh ragaku. Kini aku harus merelakan separuh hidupku pergi untuk selama-selamanya. Ya, Tuhan sangat menyayanginya dan inilah alasan kenapa Tuhan mengambil nyawa Vita. Dan aku yakin, Vita akan mendapatkan kehidupan yang lebih baik di akhirat nanti. Ia tak perlu merintih kesakitan lagi. Selamat jalan sahabatku, Vita.




Tamat

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Cari Blog Ini