Rabu, 09 Januari 2013

“Pelangi Bersamamu”



Kalian pasti pernah ditanya orang-orang terdekat atau teman kalian seperti ini: kamu suka warna apa? Maka kalian akan menyebut satu-dua atau bahkan tiga warna yang menjadi favorit kalian. Sampai semua barang-barang kalian berwarna sesuai dengan warna kegemaran. Namun berbeda jika pertanyaan itu diajukan kepadaku. Aku tidak tahu warna apa yang aku suka. Bagiku semua warna itu indah. Semua warna memiliki korelasi antara satu dengan yang lain. Seperti halnya pelangi. Merah, jingga, kuning, hijau, biru, nila dan ungu. Aku suka dengan warna pelangi. Dan aku suka sekali dengan rainbow cake.


“Bunda.. Kita jadi kan ke bukit? Ayo buruan, nanti keburu hilang.” Mita kecil sedang menarik-narik tangan ibunya. Ada yang menarik perhatian Mita dari atas bukit itu. Hujan baru saja reda. Sepanjang jalan setapak menuju bukit itu licin dan becek. Mita kecil sudah terbiasa naik ke atas bukit setelah hujan. Jadi dia sudah tidak takut lagi jatuh terpeleset. Sesuatu yang ingin diraih pasti butuh perjuangan. Mita yang baru tujuh tahun paham sekali soal itu. Ibunya dengan senang hati mengantar Mita ke bukit sehabis turun hujan. Senyum dan tawa kecil di bibir Mita adalah segalanya.

***

“Kenapa? Masih mau kabur lagi? Terus ngambek sama Bunda lagi? Oh, kamu mau manjat pagar lagi malam-malam?” Bunda sengaja menyindir. Mita yang tengah minum susu langsung terbatuk. Terakhir, ia memang kabur dengan memanjat pagar. Mita tidak menyangka jika ibunya tahu itu.

“Nggak sih.. Tapi, kenapa kita harus pindah sih, Bun?” Mita menusuk-nusuk roti tawar di piring dengan pisau. Mita setahun terakhir—semenjak pindah rumah ke kota ini—selalu bertindak aneh-aneh. Mulai dari acara kabur sampai mengancam berhenti kuliah. Ada-ada saja alasan untuk membuat ibunya kembali ke rumah yang lama. Rumah yang dekat bukit itu. Tetapi setahun ini pula ia gagal membujuk ibunya. Dan Mita sebal sekali, ia sudah kehabisan akal.

“Kan nanti kalau liburan kamu bisa ke sana, Mit. Tentu saja Bunda tidak akan melarangmu..” Bunda tersenyum melihat mulut Mita yang penuh dengan roti tawar.

***

Beberapa tahun silam...


Mita kecil yang sudah beranjak dewasa. Wajahnya yang dulu menggemaskan, kini berubah banyak. Mulai ada jerawat di wajahnya. Ia cantik dengan rambut pendeknya. Ia juga terlihat cantik dengan baju maskulin-nya.


Libur semester akhirnya tiba. Ini yang sudah lama ditunggu-tunggu Mita. Libur itu bertepatan dengan musim penghujan. Ini akan menjadi hari-hari yang menyenangkan untuk Mita. Tentu ia tidak akan menyia-nyiakan kesempatan begitu saja. Malah ia dengan konyolnya ingin berkemah di bukit itu. Tetapi Bunda melarang keras.


“Pelanginya tidak usah kamu jaga. Dia tidak akan pergi, dia masih di sana, dan pasti akan kembali setelah hujan reda. Pelangi tidak akan mengingkarinya.” Itu kata Bunda, Mita hanya manggut-manggut.


“Kamu yakin ke sana sendirian?” tanya Bunda cemas.

“Berdua kok, Bun.” Mita terkekeh, Bunda membulatkan mata.

“Emang bayangan tubuh Mita nggak boleh ikut?” sahut Mita melihat ekspresi keberatan dari ibunya.

“Nanti pulangnya jangan malam-malam,” pesan Bunda. Hari memang sudah sore. Mita masih saja ngotot pergi ke bukit. Melihat pelangi.


Mita sudah sampai di bukit setelah lima belas menit berjalan kaki dari rumahnya. Jalan menuju bukit memang terlihat licin dan becek. Ini urusan yang mudah untuknya. Ia sudah terbiasa sejak kecil. Bukit ini tidak terlalu tinggi. Letaknya dekat dengan sawah. Jadi kalau sore begini banyak burung yang terbang melintasi bukit, pulang ke sarangnya.


Semua di luar dugaan Mita. Ia yang sudah terbiasa melewati jalan setapak itu. Ia yang dari dulu tidak pernah jatuh atau terpeleset. Kini ia merasakan sakitnya terjatuh sekaligus terpeleset. Tubuh Mita tersangkut di semak. Sekujur tubuhnya memar. Pelipisnya sedikit sobek. Dan kakinya? Mita mengaduh saat mencoba menggerakkan kakinya. Rencananya sore ini berantakan sudah. Ia tidak bisa bangkit, tubuhnya melemah. Senja berganti dengan malam. Mita tahu, mungkin hanya keajaiban ada orang di bukit ini. Karena jarang sekali orang menyambangi bukit ini. Jadi ia harus meminta bantuan kepada siapa? Apa harus menunggu sampai pagi? Mita menelan ludah. Maafkan Mita, Bunda.

Tidak. Mita salah besar. Apa yang ia pikirkan tidak terbukti. Sore itu ada orang di sana, yang baru turun dari bukit. Mita samar-samar mendengar derap langkahnya. Dan tangan itu menyentuh pipinya. Mita tidak sempat melihat wajah orang itu. Ia jatuh pingsan kemudian.


Mita membuka matanya, satu kerjapan, dua kerjapan. Ia ada di mana? Kamar siapa ini? Mita berusaha bangun, namun tubuhnya terasa sakit saat digerakan. Orang itu datang dan membantu Mita bangun.

“Aku di mana?” tanya Mita bingung. Ia tidak kenal dengan kamar ini. Apalagi dengan laki-laki di hadapannya ini. Terlihat asing.

“Di villa-ku. Tadi aku menemukanmu di semak. Sepertinya kamu terpeleset, dan kakimu keseleo.” Ungkap orang itu. Ia menuangkan air putih ke gelas, lalu menyodorkan ke Mita.

“Aku ingin pulang sekarang. Bunda pasti khawatir..” Mita menyingkirkan gelas itu dari hadapannya. Mita kalap begitu teringat ibunya.

“Tapi kamu belum pulih. Ini juga sudah larut malam,” ucap orang itu mengingatkan.

“Tapi aku harus pulang. Aku bisa sendiri.” Mita tetap bersikeras berdiri, memaksa kakinya untuk melangkah. Tentu ia tahu resikonya apa. Terjatuh.

“Hati-hati.” Orang itu sigap menangkap tubuh Mita. Suaranya terdengar lembut.

“Tunggu sampai besok pagi. Dan aku akan mengantarmu pulang,” tegas orang itu. Mita mau tidak mau menurut. Orang itu tersenyum, lantas meninggalkan kamar itu.



Matahari tidak muncul pagi ini. Diganti dengan gerimis. Mita sudah terjaga sejak tengah malam. Ia tidak bisa tidur dengan tenang. Ia memikirkan ibunya yang pasti cemas menunggunya di rumah.

“Sarapan dulu,” orang itu datang membawa segelas susu dan roti tawar. Mita hanya meminum susu saja, tidak berselera makan.

“Terimakasih. Kalau nggak ada kamu mungkin aku udah mati di sana.” Mita tersenyum tipis.

“Takdir yang mempertemukan kita.” Orang itu mengangkat bahu. Mita menautkan alis. Takdir? Kita?

“Ng.. Kamu jadi pulang sekarang?” Orang itu sengaja mengalihkan pembicaraan. Mita mengangguk. Orang itu memapah Mita menuju mobilnya. Gerimis membuat pagi semakin berembun. Jalanan terlihat basah. Sawah-sawah terlihat berlinang. Dan bukit itu berkabut.


***


“Oke. Lima menit sudah!” Ikmal menunjuk arlojinya.

“Eh.. Apanya yang lima menit?” tanya Wahyu yang tiba-tiba tersadar.

“Lima menit gue jadi patung di sini. Nunggu lo selesai ngelamun! Puas?” pekik Ikmal menuding hidung Wahyu dengan telunjuknya.

“Santai.. Tarik napas..” Wahyu menyingkirkan telunjuk Ikmal. Ikmal kembali duduk.

“Lo sebenarnya kenapa sih?” tanya Ikmal seraya menumpangkan kedua kakinya di kursi yang kosong. Cafe itu sedang ramai. Banyak mahasiswi berlalu-lalang. Ikmal bersiul menggoda mereka. Wahyu melempar Ikmal dengan sedotan.

“Gue jatuh cinta, Mal.”

“Hah? Apa? Bilang kalau gue nggak mimpi! Please, tampar gue!” Ikmal langsung heboh mendengarnya. Wahyu menampar pipi Ikmal sesaat kemudian.

“Sakit, bego!” teriak Ikmal.


***

“Mit, ayo kita pulang. Udah mau hujan ini!” Dara merajuk. Ia takut melihat awan di atasnya. Hitam pekat.

“Ngapain pulang? Ini kan masih siang!” ucap Mita yang masih fokus dengan kamera di tangannya. Pemandangan dari atas bukit selalu indah. Tidak pernah berubah sedikit pun.

“Tahu gitu gue tadi ke kebun teh aja! Nggak di bukit yang banyak nyamuk gini!” Dara kesal sekali. Sedari tadi yang ia lakukan hanya menepuk nyamuk yang hinggap di tangannya.

“Kan nggak ada yang maksa lo ikut. Salah sendiri kenapa belum mandi.” Mita menoleh, menyeringai meledek. Dara memberengut.

“Ya udah. Ayo kita pulang.” Mita akhirnya mengalah. Padahal sebentar lagi hujan, dan pelangi akan melingkar di bukit ini. Tapi ya sudahlah. Lain kali ia tidak akan mengajak Dara lagi.

“Jalannya pelan aja!” teriak Mita yang tertinggal di belakang. Gerimis yang turun membuat jalan semakin licin.

“Keburu hujan, Mita!” pekik Dara tanpa mengindahkan perkataan Mita.

“Arrrgh!!”

“Dara!” Mita langsung panik mendengar jeritan itu. Ia berjalan lebih cepat, berpegangan pada rumput yang tumbuh menjulang.


Mita menghentikan langkahnya mendadak. Lega melihat Dara tidak terperosok. Mita yang tadi menatap Dara, sekarang mengalihkan pandangannya tepat ke orang yang menangkap tubuh Dara. Mita melihat Dara dan orang itu saling bertatapan.
Mita mendehem. Orang itu melepas tangannya yang melingkar di pinggang Dara.

“Thanks ya. Dara memang ceroboh,” ucap Mita pada orang itu. Dara sedari tadi hanya bengong, tak henti menatap sosok laki-laki di depannya. Mita mendehem lagi, kali ini lebih keras.

“Eh iya, thanks ya. Gue belum terbiasa ke sini sih,” kata Dara sok imut dan manis. Mita memutar bola matanya dengan sebal.

“Kita duluan ya,” Mita tersenyum, berpamitan kepada orang itu. Dara sudah melangkah lebih dulu.

“Senang bisa ketemu kamu lagi.” Orang itu meraih tangan Mita. Mita langsung menoleh ke belakang. Tatapan matanya? Mita sepertinya kenal. Tapi siapa? Mita memiringkan kepalanya, menyipitkan mata.

“Kamu dulu juga ceroboh seperti dia.” Orang itu menyunggingkan bibir. Mita ingat sekarang!

Gerimis menjadi saksi pertemuan mereka yang kedua kalinya.

***

Wahyu menghabiskan libur semester di villa keluarganya di Bogor. Ikmal juga memaksa ikut. Liburan ini akan menyenangkan bagi Wahyu. Apalagi bertepatan dengan musim penghujan. Bukit itu alasan utama mengapa ia memilih untuk berlibur di kota ini.

“Tadi gue ketemu bidadari,” celetuk Wahyu saat mereka berdua sedang duduk di teras, menikmati malam yang sedikit gerimis. Ikmal yang sedang menyeruput kopinya terkejut. Kopi itu muncrat dari mulutnya. Dan mengenai baju Wahyu.

“Ish! Jorok lo!!” teriak Wahyu ketika mendapati bajunya terkena semburan kopi.

“Maaf, maaf nggak sengaja. Ketemu bidadari di mana?” Ikmal tergesa bertanya. Nyaris menumpahkan kopi yang akan ia letakkan kembali di meja.

“Di bukit tadi sore,” jawabnya singkat.

“Berapa?” desak Ikmal.

“Dua sih. Eh, satu kayaknya.” Wahyu menatap langit-langit, meralat perkataannya.

“Jadi ada satu atau dua?” Ikmal mendesak lagi.

“Satu!” Wahyu mengangkat telapak tangannya.

“Itu dua!” Ikmal memprotes Wahyu yang mengacungkan dua jarinya.

“Okelah, whatever! Mau tiga, empat, lima, sepuluh…” Ikmal mengoceh sendiri. Wahyu tidak mendengarkan. Ia sedang membayangkan wajah bidadarinya yang cantik. Yang tadi tidak sengaja bertemu di bukit. Dara? Bukan, bukan. Tapi yang satunya lagi. Ah! Wahyu lupa tidak bertanya siapa namanya.


***

“Kenapa senyam-senyum? Dih, kesambet ya lo?” ucap Mita menempelkan punggung tangannya di kening Dara, “Nggak panas kok!”

“Yang tadi cakep banget ya, Mit.” Dara nyengir. Mita beralih duduk di kursi.

“Siapa?” tanya Mita, tangannya meraih toples berisi kacang.

“Ih, yang tadi ketemu di bukit. Cowok yang nolong gue.” Dara gemas hampir mencekik Mita.

“Biasa aja tuh!” Mita bersungut-sungut, menyumpalkan kacang ke mulutnya sampai penuh. Dara masih cengar-cengir. Ada rasa takut yang menghantui Mita. Ia tidak tahu bagaimana jadinya jika Dara benar-benar jatuh hati pada orang itu. Memang bukan sekarang, tapi cepat atau lambat semua pasti akan terjadi.

“Mit, besok gue ikut ke bukit lagi ya! Gue janji deh besok nggak akan rewel lagi,” desak Dara sambil meringis, juga menarik-narik lengan Mita.

“Oke, oke, oke! Lepas nggak?” Mita risih menyingkirkan tangan Dara.

***

“Eits.. Mau kemana?” Ikmal menghadang di dekat pagar. Meletakkan satu tangannya di teralis besi.

“Cari angin,” jawab Wahyu.

“Ikut ya? Siapa tahu ketemu bidadari.” Ikmal meringis, membiarkan Wahyu berlalu. Ia lantas mengekor di belakang.

“Kita kemana?” tanya Ikmal. Ia menatap sekitar. Sawah? Kenapa tidak ke kebun teh saja?

“Naik ke bukit. Jadi ikut?” tawar Wahyu, berharap Ikmal berubah pikiran dan memilih pulang.

“Ya jelas ikut dong! Bukit itu kan? Kecil…” Ikmal berseru, menyepelekan. Wahyu hanya menyeringai.

“Eh, awas!” teriak Wahyu ketika melihat Ikmal yang berjalan mundur, tepat di belakangnya ada gadis itu. Sedetik kemudian, Ikmal menabrak tubuh di belakangnya. Wahyu bergerak cepat, menarik lengan gadis itu yang hendak terjatuh. Keadaan tanah yang miring membuat Wahyu kesulitan menjaga keseimbangan. Mau tak mau Wahyu juga ikut jatuh terperosok ke bawah. Jatuh berguling bersama gadis itu. Wahyu baru menyadari siapa gadis itu setelah mereka bertatapan.

“Kamu?” ujar gadis itu. Wahyu hanya mengerutkan dahi. Tidak menyangka akan bertemu dengan gadis ini lagi.

“Mit, kamu nggak apa-apa kan?” Dara hati-hati mendekat, membantu Mita bangun. Ikmal yang menyusul di belakang hendak membantu Wahyu bangkit. Namun Wahyu menepis tangan Ikmal.

“Heh, kalau jalan mata di depan! Cuma orang sinting jalan mundur!” Dara berteriak kesetanan, menuding Ikmal galak. Seolah ia lupa ada Wahyu di sampingnya.

“Iya, maaf nggak sengaja.” Ikmal gemetaran.

“Nggak cukup kata maaf doang!” Dara masih berteriak, tidak terima.

“Oh, jadi lo mau lapor polisi?” tantang Ikmal berkacak pinggang.

“Iya! Kenapa? Lo takut? Terus mau sembunyi di bawah ketek emak lo?” Dara yang tertantang semakin menyerocos. Pertengkaran di antara mereka terdengar samar di udara ketika dua pasang mata itu sejak tadi saling tatap. Teriakkan Dara seperti mengambang di udara, dan hilang terbawa angin. Mita tergugu menatap Wahyu. Tidak ada yang mengingkari tatapan di antara mereka. Dan pertemuan mereka pagi ini juga tidak ada yang memungkiri. Semua terjadi seperti memang sudah seharusnya terjadi.

“Maaf,” suara pelan itu keluar dari mulut Mita. Kalimat itu untuk Wahyu, bukannya malah… Ikmal dan Dara menoleh, melupakan pertengkaran mereka.

"Eh, dia yang salah! Kenapa minta maaf sih, Mit?” tandas Dara menunjuk Ikmal.

“Mau mampir ke villa-ku?” tawar Wahyu memutus pertengkaran.

“Boleh!” Dara menyambut tawaran itu dengan sukacita.

“Ng.. Sepertinya lain waktu aja.” Mita menyanggah.

“Sekarang aja boleh kan?” Dara mengerlingkan mata. Wahyu mengangguk.

“Nggak!” bentak Mita seraya memelototi Dara.

“Ehm.. Maksudku—” Mita memperbaiki kalimatnya.

“Nggak ada salahnya kan kalau sekarang aja? Dekat kok dari sini.” Wahyu memutus kalimat. Dara tersenyum lebar. Mita setengah mengangguk.

***

“Yah, malah hujan,” keluh Mita yang menengadahkan sebelah telapak tangannya di udara. Wahyu berdiri di sampingnya. Dara memilih untuk meringkuk di dekat perapian. Dan Ikmal? Ia sibuk di alam mimpinya. Hari masih siang. Mendung itu membuat siang seolah hampir petang. Dan hujan membuat kabut sepanjang mata memandang.


Wahyu mengangkat sebelah tangannya. Meletakkan telapak tangannya pelan-pelan di atas telapak tangan Mita yang sejak tadi tertimpa air hujan. Mita menoleh, antara terkejut dan gugup bercampur menjadi satu.

“Aku suka hujan, aku selalu merasa damai setiap kali melihat hujan.” ucap Wahyu. Ia belum menurunkan tangannya. Membuat Mita lupa bernapas.

“Aku.. Aku suka pelangi,” Mita tersenyum.

***

Mita sedang merapikan rambut pendeknya di depan cermin. Wahyu datang ke rumahnya pagi ini. Mendadak. Jangan bayangkan keadaan Mita sewaktu membuka pintu untuk Wahyu tadi. Dan Wahyu dibiarkan menunggu setengah jam di teras, hanya untuk menunggu Mita selesai mandi.

“Eh, gitar gue mau dibawa ke mana?” Mita menghentikan gerakan tangannya begitu melihat Dara dari cermin. Dara yang mengendap-endap masuk.

“Pinjam sebentar,” ujar Dara meringis. Dara langsung menutup pintu tanpa menunggu jawaban Mita.


Mita mendengar gitar miliknya dipetik. Pelan ia mulai melangkah ke teras. Sumber suara itu dari sana. Tentu saja bukan Dara yang memainkannya. Apa mungkin Wahyu?


Mita berdiri di bawah bingkai pintu. Diam-diam mengamati Wahyu yang sedang memetik gitar. Sementara Dara sesekali tertawa lepas atau sekadar iseng mencubit lengan Wahyu. Mita sesak melihat mereka yang cepat akrab. Tetapi apa perlu Mita cemburu? Untuk apa? Mita menyandarkan kepalanya di daun pintu. Suara tawa Dara masih terdengar jelas.

***

Tidak ada yang bisa mengganggu gugat keputusan Mita sore itu. Dara juga sudah lelah memprotes. Padahal liburan itu masih tersisa satu minggu. Namun Mita memilih untuk berkemas, dan pulang lebih cepat. Bukan karena Mita sakit hati dengan apa yang ia lihat pagi tadi. Tetapi akan lebih baik jika ia pergi sekarang. Sebelum rasa itu semakin terasa jelas. Sebelum semuanya terlanjur.

“Iya. Kita pulang mendadak. Apa? Mita? Ini lagi nyetir.” Dara sibuk berbicara dengan seseorang di balik telepon. Mita menoleh begitu mendengar namanya disebut.

“Oh ya? Terus? Wah, bagus dong! Tapi kenapa harus ke sana? Jauh banget!” Dara tampak manyun. Mita menggaruk rambutnya dengan sebal. Kapan mereka berhenti mengobrol?

“Yah, lowbat!” Dara mengaduh, Mita menyeringai menang. Namun tanpa ba-bi-bu Dara langsung merampas ponsel Mita yang tergeletak di dashboard.

“Eh, eh!” sergah Mita. Namun ia kalah cepat dengan tangan Dara.

“Halo? Iya, ini gue. Pakai handphone-nya Mita.” Dara tertawa, entah kali ini sedang membicarakan apa dengan Wahyu. Mita hanya mendengus. Apa ia cemburu?



***


Di sini,
Aku menemukan warna hidupku,
Ada pelangi dan kamu,
Meski kamu tidak seindah pelangi,
Namun pelangi tidak berwarna tanpa kamu,
Kamu yang membuat warna itu amat nyata untukku,
Kamu membuat hidup ini terasa hidup,
Membuat semua pelangi iri kepadaku..
Saat bersamamu sama artinya dengan aku bernapas,
Berdiri di sampingmu sama artinya dengan melihat sejuta warna,
Dan melihatmu tersenyum di sampingku sama halnya dengan setiap detak jantungku,
Tidak ada yang mengingkarinya,
Barangkali waktu lah yang ingkar.
Berada di sampingmu membuatku mengerti,
Senyum yang mengembang di bibirmu membuatku semakin paham,
Kalau kita bertemu bukan karena alasan biasa,
Bukan untuk membingkai kenangan yang sebentar,
Dan bukan untuk menghabiskan waktu, hari, dan udara yang singkat—


Mita menumpukan kedua tangannya di pembatas balkon. Udara pagi masih terasa sejuk. Embun masih menyelimuti dedaunan. Ini pagi yang entah ke berapa semenjak Mita memutuskan untuk pergi dan melupakan segalanya.


Soal Wahyu? Ya, Mita tahu semuanya dari cerita-cerita Dara setiap hari. Tentang Wahyu yang melanjutkan kuliah di Austria. Tentang apa saja yang berhubungan dengan Wahyu. Termasuk pagi ini.

“Eh, besok dia pulang ke Indonesia hlo!” Dara berkata dari balik majalah. Mita berbalik, sekarang menyandarkan pinggangnya di pembatas seraya melipat tangan di depan dada.

“Bagus dong. Jadi kalian nggak LDR lagi,” sambut Mita, memaksa bibirnya tersenyum. Dara meletakkan majalahnya di atas meja, lalu menghampiri Mita.

“LDR?” Dara tertawa miris.
“Resmi aja belum.” Air mukanya berubah muram.
“Cuma libur sebentar. Udah gitu dia balik lagi ke sana.” Dara tampak kecewa. Mita menyentuh pundak Dara. Menghibur.


Dua ponsel yang tergeletak di atas meja bergetar secara bersamaan. Mita dan Dara langsung menoleh.

“Ah, itu pasti Wahyu!” tebak Dara sumringah, lalu ia berlari meraih ponselnya.

“Yah, bukan dari Wahyu.” Dara memberengut sebal, menghentakan satu kakinya di lantai.


Mita tahu siapa pemilik nomor yang tertera di layar LCD-nya. Mita memang sengaja tidak memberinya nama. Dan sengaja tidak mau mengangkatnya.

“Kok nggak diangkat?” tanya Dara heran.

“Nggak penting,” sergah Mita. Sudah berpuluh kali Mita tidak menghiraukan panggilan itu. Dan kali ini layarnya berkedip lagi. Satu sms masuk.

‘Aku berharap takdir belum membuatmu benar-benar pergi dariku, Mita. Seperti sore itu kamu memutuskan untuk pergi.’


Mita menahan napas, kembali bersadar pada pembatas sebelum tubuhnya jatuh. Ponselnya terjatuh di lantai. Dara yang hendak membaca majalah langsung menaruhnya kembali di meja.

“Kenapa, Mit?” Dara membantu mengambil ponsel itu dari lantai.

“Yah! Tuh kan mati. Lo ceroboh sih,” cerocos Dara. Lebih baik ponsel itu mati daripada Dara membaca sms dari Wahyu.


***

Ikmal gelisah bukan main, sedari tadi mondar-mandir. Duduk, berdiri, lalu duduk lagi. Begitu saja terus selama setengah jam. Dan tentu itu membuat Dara semakin sebal dengan tingkah Ikmal.
“STOP Ikmal! Lo bisa duduk kan?” Dara yang sudah gemas dan jengkel akhirnya berteriak. Mita yang melamun di sampingnya sampai terkejut.

“Apa sih? Lo malu dikit kek! Lo kira ini hutan rimba? Mikir dong mikir!” Ikmal balas membentak. Dara sudah membuka mulut, namun Mita cepat mencegah.

“Lo ajak gue ke sini bukan untuk lihat lo sama Ikmal bertengkar kan?” Mita berbisik seraya membekap mulut Dara. Ikmal langsung diam dan duduk begitu mendapat tatapan tajam dari petugas bandara.


Tidak ada yang menggembirakan kecuali siang ini. Ikmal bergegas berdiri, menyambut kedatangan Wahyu dengan pelukan. Dara juga tidak ketinggalan, ia malah berinisiatif mencium kedua pipi Wahyu. Lalu bagaimana dengan Mita? Ia hanya berdiri kaku. Jujur saja, ia tidak berani mendekat. Jangankan menyambut seperti Ikmal dan Dara tadi. Sekadar berjabat tangan saja Mita tidak yakin bisa melakukannya. Sampai Wahyu yang melangkah menghampirinya.

“Senang lihat kamu makin chubby.” Wahyu tersenyum. Mita menoleh ke arah lain untuk menutupi pipinya yang memerah.

“Nah, mumpung Wahyu pulang. Gimana kalau kita liburan ke villa?” usul Ikmal yang mengambil alih pembicaraan.

“Tapi—” ucap Mita mengambang.

“Kita setuju kok. Mita juga pasti setuju. Iya kan, Mit?” Dara merangkul bahu Mita, memaksa.

***

‘Pelanginya tidak usah kamu jaga. Dia tidak akan pergi, dia masih di sana, dan pasti akan kembali setelah hujan reda. Pelangi tidak akan mengingkarinya.’


Selama perjalanan ke villa, kalimat itu selalu memenuhi otak Mita. Bunda, apa kalimat itu juga berlaku untuk takdir cintaku? Karena pada hakekatnya tiada pelangi tanpa hujan yang mengawalinya. Kini hujan itu kembali, Bunda. Ia datang lagi dalam hidupku. Membuat pelangi-ku semakin berwarna. Membuatku tidak membutuhkan pelangi, karena ada dia di sampingku. Apa semua memang akan seindah itu?

“Ini musim kemarau aneh deh. Masa’ hujan sih?” Ikmal mengeluh, menatap jendela mobil yang dipenuhi rintik air. Dara kali ini mengiyakan. Mita malah membuka jendela di sampingnya. Ia menjulurkan telapak tangannya keluar. Wahyu yang melihat Mita melakukan hal demikian hanya tersenyum.

***

“Kita mau langsung balik ke rumah—” ucapan Mita terhenti ketika Wahyu meraih tangannya. Ikmal dan Dara sedang mengambil koper di bagasi. Itu pun mereka sempat-sempatnya bertengkar karena Ikmal tidak sengaja menginjak kaki Dara.

“Ada sedikit kejutan untukmu,” ujar Wahyu menarik tangan Mita ke dalam villa.

“Kejutan apa?” tanya Mita saat mereka menaiki tangga. Wahyu masih menggandeng tangannya. Untuk apa? Mita masih mampu menaiki anak tangga sendiri.

“Kok ke sini?” Mita bertanya ketika mereka sampai di lantai tiga, lantai yang memang beratapkan langit.

“Balik badan kamu sekarang,” ucap Wahyu tersenyum. Mita berbalik secara teratur. Dan, astaga? Mita mendekap mulutnya saking takjubnya. P-e-l-a-n-g-i? Mita menoleh ke Wahyu. Yang ditoleh hanya menyunggingkan bibir. Ini luar biasa indah. Tampak lebih memesona dilihat dari atas sini daripada di bukit itu. Pelangi yang melingkar di sisi bukit itu terlihat sangat anggun. Mita berdecak kagum, kemudian melangkah ke tubir. Wahyu ikut berdiri di sampingnya.

“Hanya di sini, di tempat ini, dan di kota ini aku menemukan pelangi paling indah. Dan ketika aku kembali. Pelangi itu tidak benar-benar pergi dari hidupku. Ia ada di sini sekarang, berdiri menatap langit di sampingku.” Wahyu menyentuh jemari Mita. Ini yang Wahyu tunggu sejak bertahun-tahun lamanya. Melihat pelangi bersama Mita.

“Aku kira hujan tidak pernah datang sewaktu musim kemarau. Aku kira aku telah kehilangan banyak waktu. Ternyata aku salah besar. Ia datang kembali, membawa pelangi untukku.” Mita menggenggam erat tangan Wahyu.

“Aku kembali karena aku tahu, aku tidak akan pernah menemukan pelangi terindah di mana pun, kecuali di sini—” Wahyu tersenyum mengacak rambut gadis di sampingnya. Gerimis kecil yang turun kembali seolah tidak mengingkari. Karena semua terjadi memang sudah seharusnya terjadi.


Dari kejauhan samar-samar terdengar pertengkaran Ikmal dan Dara di teras. Kali ini mereka berebut pintu, siapa yang masuk terlebih dahulu. Wahyu dan Mita tertawa kecil mendengar pertikaian yang entah sampai kapan akan berujung. Dan di sini semua berawal, maka di sini pula semua akan dimulai—



Kita bersama bukan tanpa sengaja,
Di tempat kita berdiri sekarang adalah buktinya,
Setiap pertemuan selalu berakhir dengan perpisahan,
Aku takut mendengarnya,
Jika kita berpisah,
Artinya kamu membawa separuh hatiku,
Dan sisanya kamu biarkan layu di sini.
Tetaplah di sini, bernapas di sampingku.
Jangan biarkan pelangi-ku tidak berwarna lagi,
Jangan biarkan ia memudarkan warnanya,
Buatlah pelangi-ku tetap ada,
Sekalipun musim kemarau tanpa hujan,
Karena aku tidak butuh pelangi itu, selama kamu di sampingku.
Buatlah semua semakin nyata di depan mataku,
Lengkapilah pelangi-pelangi itu dengan kehadiranmu di sampingku,
Jangan biarkan waktu membuat semua terhenti,
Tidak ada yang mengingkari pertemuan kita,
Juga tidak akan ada yang memisahkan kita,
Sejengkal pun...





TAMAT

1 komentar:

  1. http://pelangiqq123.blogspot.com/2017/11/selain-neymarreal-madrid-juga-bidik.html

    http://pelangiqq123.blogspot.com/2017/11/tegang-seketika-saat-di-pijiti-alat.html

    http://pelangiqq123.blogspot.com/2017/11/bagaimana-jika-anak-pergoki-anda-sedang.html

    Masih Bingung Mencari Situs Poker Online Yang Bisa Di Percaya ?
    Perkenalkan Kami Adalah Agen Poker Terpercaya .
    Menang Berapa Pun Akan Kami Bayar !!
    Nikmati Fasilitas Exclusive Dari Kami :
    Proses Transaksi Yang Cepat Dan Super Mudah .
    Minimal Depo & WD Terjangkau , Cuma 25Rb .
    Kartu Di Meja Juga Lebih Ringan !!
    Dapat Kan Tips & Trick Yang Super Jitu Dari CS Kami ..
    Mudah Di Akses Dari Berbagai Gadget .
    Layanan CS Yang Ramah Dan Online 24 Jam Setiap Hari Nya .
    Jangan Pusing Lagi Boss .
    Bermain lah Dengan Santai Dan Tenang Bersama Kami .
    Kembang Kan Hobi Anda Dan Warnai Hidup Anda Bersama Kami
    WWW.RATUPELANGI.COM

    BalasHapus

Cari Blog Ini