Minggu, 16 Oktober 2011

Maafkan Sayang


Langkahnya tertatih, mondar-mandir di ruang tamu. Sesekali matanya terpaku pada jam dinding, kenapa waktu serasa berjalan ditempat? Gelisah hati bercampur baur bersama letupan amarah. Akhirnya wanita itu memutuskan untuk duduk, kakinya mulai kesemutan menopang dua orang sekaligus, dirinya dan jabang bayi dalam kandungannya.
Mita menarik napas pelan, bayinya menendang-nendang perutnya lagi. Rasa sakit sekuat tenaga ia tahan, demi menunggu suaminya pulang. Suami yang amat ia benci saat ini, meski lelaki itu sangat dicintainya.
Hingga jam ruang tamu berdenting sebelas kali, tak kunjung juga suaminya pulang. Sebenarnya, Mita sudah gemas ingin segera membuat perhitungan dengan suaminya. Lagi-lagi emosinya dipaksa untuk mengalah dan menunggu.
Mita menyibak gorden jendela depan, ini untuk terakhir kalinya. Ia sudah mengantuk, badannya yang sedikit gempal karena hamil mulai pegal-pegal. Kalau malam ini Ikmal tidak pulang, ia tahu pasti suaminya berada dimana.
Mita mengibaskan tangan, percuma saja menunggu Ikmal pulang. Mita membalikkan badan menuju kamar, langkahnya terhenti, mendengar laju mobil yang datang. Mita membuka pintu, menatap tajam pada sosok suaminya.
“Kamu mabuk?” tanya Mita, melotot tajam.
“Kok nuduh sembarangan sih? Aduh istriku, aku nggak macem-macem kok. Bisa dipegang omonganku ini,” Ikmal hanya tertawa, mendengar hardikan dari istrinya. Ikmal sudah terbiasa dengan sikap Mita yang oportunis.
“Kamu pikir aku bodoh ya? Terus semua ini maksudnya apa?” ucap Mita setengah berteriak, melempar dengan kasar lembaran foto ke wajah Ikmal.
Ikmal terperangah melihat beberapa lembar foto jatuh berserakan di lantai, foto dirinya bersama wanita lain.
“A..aa... Aku bisa jelasin semua ini, Mit!” terbata-bata Ikmal meyakinkan, secerca penyesalan mencuat dalam sekejap.
“Semua foto-foto itu sudah cukup buat aku, Mal! Foto itu juga yang menjawab semua kecurigaanku selama ini! Kamu selingkuh!!” Mita menuding Ikmal, tangannya bergemetar hebat. Bagaimana tidak? Lihatlah, bagaimana susah payah Mita mengandung darah daging Ikmal.
Kalau saja Mita tidak tengah hamil tua, mungkin saja dengan entengnya ia akan meminta Ikmal menceraikannya.
Namun, Mita memilih untuk tetap bertahan demi calon bayinya. Ia tak ingin nantinya buah hatinya bernasib sama seperti ibunya yang tak pernah mengenal sosok ‘Ayah’.

Lama saling tertunduk membisu, akhirnya Ikmal mulai sadar akan kekeliruannya. Harusnya ia selalu mendampingi Mita, bukan malah berpura-pura tenggelam diantara pekerjaan kantornya.

Bahkan sedari tadi, airmata tak kuasa Mita bendung.
“Kenapa kamu tega Mal? Seharusnya dari awal kamu terus terang saja kalau tak pernah mencintaiku. Bukan seperti ini caranya, aku terlanjur mengandung anak kamu Mal! Sama saja kamu membunuh aku dan bayi ini secara perlahan,” Mita mendesah, tangannya sibuk memegangi dadanya yang sesak.
“Maafkan aku Mit. Jujur, aku khilaf, aku lalai, aku telah berkhianat!” Ikmal bersimpuh, bersujud di kedua kaki Mita.

Mita menggelengkan kepala, tak semudah itu memaafkan Ikmal. Bukankah, selama ini selalu saja ia mengumbar kata ‘maaf’ hanya sebagai kamuflase belaka?

Disela tangisnya, Mita merasakan perutnya mengeras. Setelah kontraksi mendera berulang kali tanpa ampun.
Peluh menetes deras dari keningnya, napasnya naik-turun menahan rasa sakit yang bertubi-tubi.
Mita mengaduh, kali ini kontraksi terasa berlipat ganda lebih menyakitkan.

Ikmal mendongak, bangkit dari sujudnya. Terperanjat melihat Mita yang akan ambruk. Sigap Ikmal menangkap tubuh Mita.
                                         
***

Mita mengerjap-ngerjapkan mata, tangannya senantiasa tergenggam erat oleh tangan Ikmal, setelah satu jam yang lalu Mita sampai di Rumah Sakit.
Mita membuang muka begitu melihat Ikmal berada didekatnya, namun tetap tak membuat genggaman tangannya terlepas.
“Aku tahu, aku sungguh tidak pantas untuk menerima kata ‘maaf’ darimu. Aku juga tahu kamu sangat membenciku. Tapi, tetaplah berjuang sayang. Bukan untuk aku, lakukan ini demi anak kita,” Ikmal membelai ubun-ubun Mita, memberi dukungan sebisanya.
Mita tetap tak bergeming, rasa kecewanya belum sirna. Tak semudah itu membuat Mita melunak.
Mita tetap diam, tetap mengacuhkan Ikmal.
Seorang dokter masuk, mengecek kondisi janin Mita untuk terakhir kalinya sebelum melakukan operasi persalinan. Ya, kondisi kandungan Mita sangat lemah. Penyebabnya, kecapaianlah, banyak pikiranlah atau apalah itu. Sehingga dokter tidak mau mengambil resiko dengan persalinan normal. Walaupun, beberapa kali Mita meminta untuk menjalani persalinan normal saja. Sejurus kemudian, hanya mendapat larangan keras dari dokter. Mita terpaksa menurut. Bagaimanalah, sebenarnya ia ingin sekali memperjuangkan malaikat kecil itu dengan tarikan demi tarikan napasnya.

Jadi, diambil-lah keputusan untuk operasi caesar demi keselamatan ibu dan bayinya. Bahkan, tadi Ikmal telah mentandatangai beberapa surat pernyataan berkenaan dengan operasi yang akan berjalan.

Selang beberapa menit, Mita mulai memasuki ruang operasi. Ikmal tersenyum takzim, memandang lekat pada istrinya. Berharap semua akan berjalan lancar tanpa ada aral yang melintang.

Ikmal memainkan kepalan tangannya, kakinya menghentak-hentak di lantai ruang tunggu itu. Sedari tadi berjalan kesana-kemari, berdiri-duduk lantas berdiri dan akhirnya duduk lagi. Terus saja begitu. Dan kali ini, ia melirik pergelangan tangannya, berusaha membunuh waktu.

Merasa bosan menunggu, Ikmal menyandarkan kepalanya di tembok bercat putih gading itu. Derap jantungnya bekerja dua kali lebih cepat. Deg-degan menanti dirinya yang akan berpredikat ‘Ayah’.
Mengusap wajah berulang-ulang, keringat dingin membasahi seluruh raganya.

Ikmal mengucap syukur begitu melihat pintu ruang operasi terbuka. Segera ia menghampiri dokter yang berada diambang pintu.
Dokter itu tersenyum lebar,
“Selamat pak, Anda menjadi ayah. Bayi Anda perempuan,” dokter itu menjabat tangan Ikmal.
Ikmal hanya melontar senyum lega, sulit melukiskan kebahagiaan yang tiada tara seperti yang ia rasakan detik ini.
                                    
***

Penuh ragu Ikmal melangkah masuk, hatinya senyap, takut kalau Mita akan mengusirnya.
Tapi semua ketakutan Ikmal tak pernah terbukti.
Ikmal mendekati Mita yang tengah terbaring. Malaikat mungil itu pulas didekapan Mita. Ikmal berusaha melangkah, memperpendek jarak antara dirinya dan Mita.
Ikmal berdehem pelan, lantas tertunduk dalam. Matanya berbinar-binar melihat malaikat kecilnya yang sangat cantik nan rupawan. Bayi itu putih, tubuh mungilnya dibebat kain. Sungguh, inilah anugerah terindah dalam hidupnya.

Pelan Ikmal memberanikan diri membelai pipi malaikat kecilnya, airmata hampir menetes dari pelupuknya.
Pipi itu terasa lembut bak sutra, tersentuh jemarinya.

Kali ini Mita bergeming, sekilas menatap Ikmal.
“Kamu tidak mau mengadzani anak kita?” Mita bersuara, apapun yang terjadi, anak ini tetap darah daging Ikmal.
Ikmal menengadah, sedikit melongo mendengar Mita yang akhirnya bicara.
Ikmal mengangguk, mengambil alih bayi itu. Dengan kyusuk suara adzan pelan terlantun, Ikmal membisikkan kalimat-kalimat suci itu ditelinga kanan putri kecilnya.
Mita tersenyum, pelan air mata menetes tanpa henti. Tangisan bahagia atas keadaan ini.

“Eh, kok kamu malah nangis sih?” Ikmal sedikit bergurau, tangannya terjulur demi menghapus air mata istrinya.
“Aku sangat bahagia,” Mita bersuara pelan, kalimatnya nyaris tenggelam dalam isaknya.

“Maafkan aku, Mit. Seharusnya aku selalu bersyukur mempunyai bidadari dunia seperti kamu. Apalagi sekarang malaikat kecil telah menyempurnakan kehidupan kita. Tetapi, aku selalu saja membuat kamu marah dan kecewa,” nada penyesalan memenuhi setiap helaan napasnya.

Mita tersenyum lebar, “Selalu ada kata maaf yang selalu terpatri untuk kamu, Mal.”

“Hanya kamu Mit, yang selalu bertahta dalam hati ini. Aku sadar, cintaku kepadamu jauh lebih besar dari apapun. Kamu percaya kan?” Ikmal menyentuh tangan istrinya, melukis senyum penuh asa.

“Iya, aku percaya. Asal kamu mau berjanji untuk tidak mengulangi kesalahan kamu yang lalu,” ucap Mita, kini bongkahan amarahnya telah melumer. Bak es kutub utara yang telah mencair.

“Iya, janji kok sayang. Swear deh!” Ikmal meringis, mengacungkan dua jarinya, membentuk huruf ‘V’.
Mita tertawa geli melihat tingkah suaminya yang konyol.
“Dia mirip ya sama ayahnya,” ucap Mita, mengalihkan perhatiannya.
“Nggak ah, dia kan cantik seperti ibunya. Hidungnya aja mirip sama kamu tuh,” timpal Ikmal.
“Iya, tapi lihat deh Mal. Matanya persis sama mata kamu,” tandas Mita.
“Ya sudah kalau begitu kita kasih nama ‘IKTA’ aja? Ikmal dan Mita. Bagaimana?” usul Ikmal, tangannya pelan menimang-nimang buah hatinya.
“Bagus!” Mita mangangguk, mengiyakan.

Apapun masalah yang telah berlalu, maka biarlah masalah itu sirna dengan sendirinya seiring bergulirnya waktu. Sampai kapanpun kita memang tidak akan pernah bisa menghapus masalah yang teramat pahit sekalipun. Tetapi bukankah kebahagiaan akan datang bak secerca cahaya dalam kegelapan?
Bagaikan oase dihamparan padang pasir.

Kini kehidupan baru telah datang, berdua akan menyongsong hari baru bersama malaikat kecil mereka. Ada kebahagiaan yang selalu datang menghampiri bagi mereka yang berhasil melalui jengkal tiap jengkal rintangan hidup yang membentang. Selalu tersimpan kata ‘maaf’ yang tiada habis untuk orang terkasih.


Tamat

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Cari Blog Ini