Sabtu, 22 Oktober 2011

Lilin-Lilin Kecil


Lagi-lagi aku menatap nanar kue tart berangka tujuhbelas diatas meja, didekat kolam renang. Hening. Senyap. Aku memang merayakannya seorang diri, sudah terbiasa, kan kak Mita orang yang super-duper sibuk. Aku menatap penuh kebencian, emosiku buncah sekejap. Kadang aku mondar-mandir, kesana-kemari, bertanya dengan cemas.

“Apa kak Mita sudah pulang?”

Aku mengkerut, bukan takut tetapi aku kecewa melihat gelengan kepala Pak Satpam. Kenapa kak Mita tak kunjung datang?
Apa dia tak ingat kalau hari ini aku ulangtahun? Ah tidak mungkin. Tadi pagi saja, kak Mita sms aku. Ya, hanya sms saja tidak lebih. Katanya sedang sibuk rapat.

       Apa kak Mita lebih memilih pekerjaannya ketimbang adiknya? Entahlah. Apa aku sudah tidak ada artinya lagi? Entahlah.

       Aku hampir putus asa, api menyulut hatiku. Tanganku spontan membuang kue berhias indah itu, tidak peduli dengan lantai yang kotor, tidak peduli sekalipun kue itu khusus di kirim kak Mita dari Ausie.
Memangnya aku butuh kue itu? Tidak!
Dan apa artinya gaun ini? Gaun yang tadi datang bersama kue ulangtahun.
Jadi, untuk apa semua itu?
Aku tak butuh kue itu!
Aku juga tak menginginkan gaun ini!
       

Yang aku butuhkan hanya kak Mita, bukan yang lain. Aku rindu kecupan manisnya dikeningku. Tiga tahun ini aku terpaksa menelan pahitnya kerinduan menunggu kedatangannya. Kak Mita selalu sibuk. Dua tahun yang lalu ada rapat besar, setahun yang lalu ada proyek dadakan, dan malam ini pesawat sedang delay.
Memangnya aku butuh semua alasan itu? Aku sudah bosan! Yang ingin aku tahu adalah sekarang kak Mita datang dan mengecup keningku seperti empat tahun silam. Aku ingin mendengar kalimat ini: “Neng, sweetseventeen ya. Jangan moody lagi!”

       Aku membenamkan dalam-dalam wajahku diatas bantal empuk. Untuk ketiga kalinya aku merasa dibohongi. Aku kecewa, marah, benci!!
 

Beberapa kali BB-ku berdering nyaring. Kuabaikan, memangnya peduli apa? Sekalipun handphone itu jebol pun aku tetap tak peduli.
Aku tahu, itu kak Mita. Berusaha menjelaskan ini-itu, minta maaf karena batal pulang, entahlah sekarang dengan alasan apa lagi.
Menangis?
      
Bagaimana caranya aku bisa menangis jika airmataku telah terkuras habis. Hatiku perlahan membatu. Di dunia ini yang aku punya hanya kak Mita. Tapi lihatlah, aku seperti tidak mempunyai kakak. Sebatang kara. Mana pernah kak Mita datang tepat waktu? Akan selalu ada alasan-alasan basi kenapa ia tidak sempat pulang.

     Aku menguap lebar, tadi ada yang mengetuk pintu. Setelah aku membuka pintu, hanya ada kotak besar didepan pintu. Dari siapa? Aku pun tidak tahu. Dengan malas aku menyeret kotak besar itu masuk. Aku penasaran apa isinya. Sembarangan aku merobek bungkusnya, dan isinya? Apa ini? Aku mendesis benci. Memangnya aku bisa disogok dengan boneka beruang madu yang amat besar ini?
Sekali lagi aku menyeringai sebal. Aku tidak butuh hadiah ini, jadi untuk apa repot-repot mengirimnya? Tetap saja tak membuat aku melupakan kemarahanku.
 

     Ini kali ketiganya kak Mita mengirim hadiah seperti ini. Dua tahun yang lalu boneka teddy bear, setahun yang lalu boneka dolphin dan tahun ini boneka beruang madu.
Aku tidak suka boneka, jadi terpaksa aku membuat boneka-boneka itu hangus terbakar di tong sampah belakang rumah. Memangnya untuk apa sehingga aku perlu menyimpannya?

     Kali ini giliran telpon rumah yang berdengking, mungkin sudah bosan menelpon beberapa kali melalui BB tapi tak pernah kupedulikan. Aku juga punya hati, aku bisa marah, bisa kecewa, dan bisa memberontak.
 
            “Kok dibakar sih neng?”

     Suara itu. Aku terhenyak. Aku sangat amat mengenal suara itu. Suara yang sangat aku rindukan. Dan semerbak harum ini adalah...

Kak Mita?

    Aku bergeming, benar-benar menangis saat tahu yang dihadapanku adalah kak Mita. Ya Tuhan, akhirnya ia menepati janjinya kali ini. Benar-benar datang... Hei, tapi kenapa wajahnya terlihat pucat pasi? Entahlah.
Sekejap aku menghambur dalam pelukannya. Aku merasa aneh, kurasa tubuhnya sedingin es.

    “Kak Mita kedinginan ya? Kakak sakit? Kak Mita juga terlihat kurus,” aku melepas pelukanku, menatap dari ujung kepala sampai kaki.

     “Aku baik-baik saja kok! Tidak ada yang perlu dicemaskan,” tersenyum haru. Kulihat matanya berkilat-kilat, mungkin saja kak Mita kurang tidur waktu di pesawat.
Semua kemarahanku melumer, mengelupas oleh dinding hati yang tadinya mengeras. Bagaimanalah, kehadiran kak Mita teramat jauh lebih penting ketimbang sikap moody-ku. Aku harus mengesampingkan egoku demi kak Mita. Aku tak mau merusak malam ini dengan hal-hal yang sepele.

    “Neng, sweetseventeen ya. Jangan moody lagi! Maaf kalau aku terlambat, pesawat delay sampai tiga jam, katanya sih tadi cuaca buruk.” kak Mita mengecup keningku, aku tak kuasa menahan segala airmata kebahagiaan ini. Semua sempurna seperti yang kubayangkan tadi saat aku meradang kebencian.


  “Tapi kak—” aku menggigit bibir bawahku.
 

   “Kuenya pasti sudah hancur kan?” kak Mita memotong, tertawa geli. Sudah hapal kalau aku mengamuk bagaimana.
  

   Aku menggaruk kepalaku, malu sendiri dengan sikapku yang kekanak-kanakan.

     “Kita buat lilin kecil yuk? Tapi buatnya ditepi kolam renang, supaya kerlip cahayanya terlihat sempurna—” kak Mita menarik lenganku, aku tersenyum lebar.

      Dengan antusias aku menyulut satu per satu sumbu lilin hias yang sudah tertata rapi membentuk pola kolam renang itu. Lilin-lilin yang kecil. Cahayanya berpendar-pendar diterpa angin malam. Meliuk-liuk. Malam ini terasa indah bermandikan pancaran puluhan lilin yang memesona.

      Sesekali aku membulatkan mata, terheran-heran, kenapa telpon rumah terus saja berdering? Memangnya siapa yang telpon malam-malam begini? Kak Mita kan sudah pulang. Atau sedari tadi telpon itu memang bukan dari kak Mita? Lantas siapa?

Aku menaruh korek api sembarangan, berniat ingin mengangkat telpon. Tentu saja karena aku penasaran.

   “Dara—” kak Mita menghentikan langkahku, suaranya bergetar, menatap penuh hangat.
 

   “Sebentar kak, aku angkat telpon dulu. Aku melambaikan tangan, bergegas masuk.

     Belum sempat aku mengangkat gagang telpon, perhatianku terusik melihat tv yang masih menyala. Pasti tadi bibi lupa mematikan.

Tapi tunggu dulu...

Berita apa ini?

    Aku ternganga, tubuhku gemetar, patah-patah aku menutup mulut dengan ujung jari-jariku. Airmata menggumpal di sudut mata. Menderai jatuh menetes. P-e-r-l-a-h-a-n.
Aku menjatuhkan gagang telpon yang tadi kugenggam.

     Pesawat tujuan Australia-Jakarta meledak? Dua jam yang lalu? Tidak ada korban yang selamat? Akibat cuaca yang buruk? Radar yang bermasalah? Atau memang mesin pesawat yang trouble? Entahlah.

   Tapi bukankah tadi kak Mita bilang kalau pesawat sedang delay?

    Airmata deras mengalir, aku mengarahkan pandanganku ke kolam renang lewat pintu kaca. Dalam hati aku berharap pesawat itu bukan pesawat yang ditumpangi kak Mita. Tidak mungkin kan kak Mita tega meninggalkanku sendiri?
      

     Aku berlari, berniat kembali menemui kak Mita. Langkahku terhenti, mana kak Mita?
Tadi kan kak Mita masih ada disamping kolam?
 

   Aku menyusuri tepian kolam, tetap tak ada. Menyisakan daun-daun kering yang berterbangan bersama deru angin, meliuk-meliuk tajam.

Aku mematung sejenak, jangan-jangan...
      

Aku terpekur di pelataran kolam yang penuh lilin, gemetar memeluk kedua lututku. Kristal bening mengalir, membuat parit di kedua pipiku. Angin malam menderu kencang, membuat cahaya lilin-lilin itu bergeming kekanan-kiri. Dalam satu-dua terpaan angin saja, api kecil itu padam satu per satu sampai sempurna semua cahaya temaram. Sepi. Senyap. Kosong. Hampa. Sia-sia! Untuk apa lilin-lilin ini kalau kak Mita harus pergi lagi? Aku tak butuh puluhan lilin ini! Bahkan, sekarang kak Mita pergi ke tempat yang sangat jauh. Tempat yang tak pernah terjangkau oleh kakiku. Langit? Aku mendongak, langit malam seolah melukis senyum indah kak Mita. Berjuta bintang menghampar luas, menghias tiap lekukan wajah kak Mita. Penuh takzim, seakan malaikat-malaikat ikut menerangi malam ini.

     Ya Tuhan, sungguh aku sangat ikhlas bila Engkau mengambil kak Mita. Tetapi kenapa harus sekarang? Kenapa kak Mita pergi disaat hari bahagiaku?

     Ah, sampai kapanpun aku akan tetap menunggu kedatangannya kembali. Mungkin tahun depan saat aku berulang tahun, pasti kak Mita akan pulang lagi. Aku sudah tidak sabar. Nanti sebelum kak Mita datang, aku akan menghias kolam renang ini dengan puluhan lilin yang jauh lebih indah. Aku ingin mendapat hadiah boneka lagi dari kak Mita.


Tamat

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Cari Blog Ini