Rabu, 26 Desember 2012

“Biarkan Aku Mencintaimu” (ending)


Epilog


Aku telah gagal membunuhnya. Padahal tinggal sedikit lagi. Tapi aku tidak tega melihat laki-laki tua itu terkapar. Jadi aku berteriak minta tolong. Dan Ikmal datang tepat waktu. Aku memang berbohong kepada Ikmal. Ia sempat-sempatnya menyuruhku pergi.

Sejak mengenalnya, aku tidak pernah tahu apa yang ada di pikirannya. Ikmal selalu baik kepadaku. Selalu ada selayaknya teman yang mau kubagi beban hidupku. Dia selalu memaksaku bercerita tentang masa laluku. Aku takut, setelah aku menceritakan semuanya, ia akan menjauhiku. Aku salah besar. Bahkan ketika ia tahu kalau aku yang mencoba membunuh Papanya, malah sempat-sempatnya ia menyuruhku pergi sebelum polisi mencariku.


Ikmal mencintaiku? Ya, aku tahu itu. Aku tidak terlalu bodoh mengartikan semua perhatiannya kepadaku. Aku pura-pura saja tidak peka. Bukan karena aku ingin mempermainkannya, tapi ia berhak mendapat wanita yang lebih baik sebagai pendampingnya. Dia terlalu baik untukku.


Banyak waktu yang aku habiskan bersamanya. Hidupku terasa indah, kebahagiaanku terasa lengkap. Aku merasa sempurna berada di sampingnya. Ikmal yang membuatku terasa sempurna. Meskipun seringkali aku menepis perasaanku sendiri. Karena pada suatu hari nanti, cepat atau lambat, Ikmal akan pergi dari hidupku. Aku sendiri yang akan membuatnya pergi. Meski aku juga tidak yakin, Ikmal terlalu keras kepala.


Masih kental di ingatanku tentang peristiwa seminggu silam. Aku menaburkan bunga di pusara Metha. Sampai aku mendengar suara mobil memasuki area pemakaman. Aku dengan cepat bisa menebak siapa yang datang. Aku berdiri, memilih pohon kamboja yang besar sebagai tempat persembunyianku. Ikmal datang mendekat, sepertinya ia tahu aku ada di sini. Ia tahu dari bunga yang aku tabur tadi. Mungkin ini saatnya. Aku keluar dari balik pohon kamboja. Melihat punggungnya dari tempatku berdiri. Hatiku bergetar hebat. Ikmal menoleh, aku terkesiap. Aku mengatakan semuanya. Ikmal yang mendengar pengakuanku terdiam terpaku. Aku tidak peduli. Cara ini akan membuat Ikmal pergi jauh-jauh dari hidupku. Detik berikutnya, aku mendengar suara sirine itu semakin mendekat. Aku mendekap kepalaku dengan kedua tanganku. Suara itu bagai nyanyian kematian bagiku! Empat polisi bertubuh kekar membekukku, mereka memborgol kedua tanganku. Di tengah gemuruh hujan yang deras, sedikit pun aku tidak berani menatap Ikmal.

Aku masuk penjara. Satu minggu aku tidur di dalam sel. Merasakan dinginnya lantai penjara. Pagi itu, seorang dokter memeriksaku. Aku heran, padahal aku tidak sakit apa-apa. Hingga hari ini, jam ini, detik ini, aku duduk di sini. Sendirian. Aku sedang beradaptasi dengan tempatku yang baru. Dan taman ini menjadi tujuanku pagi ini. Ada banyak orang di sini, sama seperti diriku, mereka juga mengenakan baju serba putih. Ada yang tertawa keras, mengamuk, menangis, merenung—


Aku menautkan jari-jari tanganku. Melihat ke sekitarku. Aku bingung, ini bukan duniaku. Tidak seharusnya aku berada di sini. Aku tidak mengenal siapa pun di sini. Mereka sangat asing bagiku.


Aku menghabiskan pagi ini di taman. Seperti ada yang sedang aku tunggu. Tapi aku tidak tahu siapa orang itu. Mataku senyap menatap kolam ikan, airnya tenang, bening. Kosong yang aku rasa sekarang. Keluargaku? Mama? Metha? Kalian di mana?


Satu denting turun dari kelopak mataku, jatuh di tanganku. Sedikit pun aku tidak bergeming dari dudukku. Aku tidak peduli kalau duniaku akan berhenti sekarang. Untuk apa aku masih di sini? Untuk apa aku masih bertahan? Jika aku sendiri tidak tahu kemana semua ini akan bermuara.


Aku merasakan sentuhan lembut di pundakku. Dia memelukku dari belakang, merengkuh kedua bahuku dengan tangannya. Dia meletakkan dagunya di bahu kananku. Tanpa aku melihatnya pun, aku bisa menebak siapa yang datang. Kenapa dia datang kemari? Kenapa dia mencariku? Bukankah jika aku pergi jauh dari hidupnya, itu jauh lebih baik? Lalu, kenapa dia ada di sini sekarang?


Lama sekali dia mendekapku. Bahuku terasa hangat, aku tahu, dia menangis. Untuk apa dia menangis untukku? Aku bukan orang yang pantas untuk dia tangisi. Dia juga diam membisu. Kesenyapan mengungkung taman ini, seakan semua berhenti di sini. Tangisku pecah lagi. Tidak semudah itu aku membuang kenangan-kenangan bersamanya. Semua kembali terkuak, seperti waktu sengaja memutarnya kembali. Aku tahu, waktu yang sudah pergi tidak akan pernah datang kembali. Tapi tidak dengan cintaku. Dia selalu berada di sampingku. Dia yang mengajarkanku bagaimana cinta tumbuh di batas perbedaan. Dan ini bukan cinta terlarang.







TAMAT

“Biarkan Aku Mencintaimu” (bagian 11)


(Bukan) Cinta Terlarang



“Mama mau apa?” tanyaku curiga melihat gelagat Mama yang kalap memencet ponselnya.

“Mama!” sergahku, menarik lengannya. Mama mengibaskan tanganku.

“Mama akan telepon polisi untuk menyeret perempuan itu ke penjara. Dia pikir, dia bisa lari begitu saja!” ucap Mama berapi-api. Perempuan itu? Mita?

“Halo,” Mama menyapa setelah menunggu sekian detik. Aku menelan ludah. Aku mundur teratur, berbalik, berlari meninggalkan rumah sakit. Aku harus bisa memastikan Mita aman di manapun ia berada sekarang.


***

Mita tidak main-main dengan perkataannya tempo hari. Ia pergi menghilang begitu saja, tanpa jejak. Aku sudah bertanya ke petugas apartemen, ke siapa saja, termasuk satpam apartemen. Dan tidak ada satu pun dari mereka yang tahu keberadaan Mita. Aku harus mencarimu kemana lagi? Sebuah tempat terlintas dalam otakku. Kuburan itu. Ya, pasti Mita ada di sana. Aku segera melajukan mobilku, menerabas gerimis yang turun.


Pemakaman itu selalu sepi. Aku memarkirkan mobilku sembarangan. Tidak ada tanda-tanda Mita berada di sana. Tapi aku tetap tertarik untuk turun. Melangkah mendekat pusara itu. Aku heran melihat taburan bunga yang masih segar. Ini artinya Mita datang ke sini, dan aku terlambat. Aku mengedarkan pandanganku, memutar tubuhku, tidak ada siapa-siapa kecuali bunga kamboja yang gugur diterpa angin.

“Ikmal?” Suara itu dari belakangku. Aku menoleh, sangat kenal siapa pemilik suara itu.

“Mita? Kau ada di sini? Sejak kapan? Aku tidak melihat siapa-siapa sejak tadi,” ucapku mengerutkan dahi. Bagaimana ia bisa muncul secara tiba-tiba? Jatuh dari langit? Lupakan.

“Sekarang lihat kan?” tanyanya diplomatis. Aku mengangguk. Nyaris aku melangkah mendatanginya.

“Jangan mendekat, sedikit pun, jangan. Berhenti di sana.” Mita menunjuk tempat aku berdiri sekarang. Aku menurutinya.

“Kau mau tahu satu hal, Ikmal?” ucap Mita dengan nada serius. Aku melipat dahi.

“Apa?” sahutku cepat.

“Sungguh? Kau siap mendengarnya?” Mita sengaja mengulur waktu, membuatku semakin penasaran. Apa yang sebenarnya akan ia katakan?

Mita tersenyum amat ganjil. Aku tidak bisa menebak apa yang ia pikirkan.

“Aku yang ada di ruangan Papamu. Hanya aku,” ucap Mita datar. Wajah itu berubah seketika.

“Iya, aku tahu itu.” Aku bingung, ia tidak perlu mengatakannya pun aku sudah tahu.

“Aku yang memegang pisau itu,” lanjutnya.

“Iya, aku juga tahu itu.” Aku terkekeh, sebenarnya tidak ada yang lucu. Mita mengatupkan rahang, menatapku seolah bilang ‘Aku serius, Ikmal!’

“Hanya aku yang ada di sana. Aku yang menggenggam pisau itu. Aku yang melakukannya—” Mita berbalik, memutus pandangan di antara kami.

“Coba bilang sekali lagi…” Ucapku berusaha dengan nada normal. Aku pasti salah dengar tadi. Mita yang aku kenal tidak mungkin sejahat itu.

“Aku yang telah melakukannya, Ikmal. Kau kira untuk apa aku datang ke kota ini, selain untuk balas dendam?” Mita berbalik lagi, ia menangis. Di sela tangisnya itu ia tergelak, tertawa. Apa acara balas dendamnya ini terdengar lucu? Ya Tuhan, kali ini kupingku tidak salah dengar. Mita yang selama ini aku bela mati-matian di depan Mama dan Papa, tega mengkhianatiku.

“Kenapa harus Papaku, Mit? Sekarang kau boleh membunuhku. Jika itu bisa membuat dendammu lunas.” Aku marah, benci, kecewa dengan kenyataan yang aku dengar. Mita menyeringai. Aku hanya bisa berdoa, semoga polisi tidak datang kemari.

“Pergilah.. Sebelum semuanya terlambat. Pergi sejauh yang kau bisa!” Aku berseru lemah. Suaraku hilang di tenggorokan. Orang yang selama ini aku percaya, diam-diam menusukku dari belakang.

“Sejak pertama kita bertemu. Sedikit pun aku tidak pernah menginginkan kita sedekat ini. Karena pada akhirnya kau akan terluka. Aku sudah berusaha melakukan apa saja untuk membuatmu benci kepadaku. Tapi yang kau lakukan malah sebaliknya.” Mita menghela napas. Tidak ada lagi tawa atau seringaian. Diam. Hujan rintik turun. Aku tidak tahu jika langit tiba-tiba mendung.

“Apa yang kau harapkan dari aku, Ikmal? Tidak ada! Sia-sia. Semua waktu yang kau habiskan bersamaku hanya percuma. Seharusnya kau mendengar perkataan ibumu!” Mita hanya tertawa kecil.

Gerimis dengan cepat berganti dengan hujan deras. Bersamaan dengan dua mobil yang masuk ke area makam. Suara itu? Aku menoleh. Empat polisi muncul dari balik pintu mobil, bersiap mengepung. Aku beralih menatap Mita. Ia sudah terduduk di rumput yang basah. Kedua tangannya digunakan untuk mendekap kepalanya. Bukan, bukan karena ia takut dengan polisi. Ia takut dengan bunyi sirine. Reflek. Aku melangkah, aku ingin memeluknya, menenangkan. Tapi ketika tanganku hampir menyentuh pundak Mita, seseorang dari belakang sudah menarikku. Kejadian itu terjadi sangat cepat. Air langit yang turun seperti mengambang di udara. Waktu berputar begitu pelan.

Semua kenangan bersama Mita terkuak dalam otakku begitu saja. Tanganku menggapai udara, tubuh itu tidak terjangkau oleh tanganku. Polisi memborgol tangan Mita. Ia hanya menunduk, tidak sedikit pun berusaha untuk menatapku. Tidak ada yang bisa kuperbuat. Mama tidak semudah itu melepaskanku. Polisi itu membawa Mita masuk ke dalam mobil. Hujan deras kembali terasa membasahi tubuhku. Waktu seakan sudah melesat cepat. Mobil itu berlalu, meninggalkan komplek pemakaman. Aku jatuh bersimpuh, setelah Mama mengendurkan cengkeraman tangannya di kedua lenganku. Aku tidak akan pernah bisa membencinya.


***

Aku dengan geram melempar koran ke tempat sampah. Semua media massa pagi ini tidak absen memuat berita tentang Mita. Berita itu bahkan menjadi tajuk utama di semua koran, juga terpampang dengan jelas di halaman muka. Mereka semua tidak tahu tentang Mita. Aku yang lebih tahu segalanya!


Kabar baik, siang itu Mama menelepon dari rumah sakit. Bilang kalau Papa sudah siuman, dan ingin bertemu denganku. Aku segera meluncur ke rumah sakit. Hanya Papa orang terakhir yang aku harapkan. Aku tidak tega melihat Mita berlama-lama mendekam di penjara.


Mama menoleh begitu aku datang. Papa juga mengarahkan pandangannya kepadaku. Aku berjalan mendekat. Mama terlihat sudah tenang. Tidak seperti kemarin-kemarin yang selalu marah-marah. Ya, mungkin Mama bahagia karena berhasil membuat Mita enyah dari hidupku.

“Ikmal senang Papa sudah sadar,” ucapku duduk di kursi samping ranjangnya. Aku sedang merangkai kata yang cocok, agar Mama yang ikut mendengarnya tidak salah paham.

“Papa senang kau lepas dari perempuan itu.” Papa berkata lemah, mengelus kepalaku perlahan. Semua kalimat yang sudah tersusun hancur sudah. Tapi aku harus bertanya, aku ingin mendengarnya langsung dari mulut Papa sendiri.

“Tidak ada yang harus kau tanyakan lagi, Ikmal. Semua sudah sangat jelas. Apa yang Papa katakan waktu itu terbukti. Jangan mencoba mengingkarinya, Ikmal.” Papa menangkap maksud dari sorot mataku sebelum sempat aku membuka mulut. Aku menelan ludah, urung membuka mulut. Tertunduk kemudian. Mita yang melakukannya? Mita yang memang datang ke kota ini untuk balas dendam? Mita yang sampai detik ini aku cintai? Tuhan, kenapa harus Mita-ku? Kenapa bukan Mita-Mita yang lain?

“Kau terlalu buta mencintai perempuan itu. Coba buka mata kamu, Ikmal! Lihat kenyataan yang ada di depan matamu.” Mama menambahkan. Aku semakin terpojok. Apa cinta ini salah karena tumbuh di tempat yang salah? Bukankah semua rasa cinta itu indah, sekalipun di tempat yang salah?

“Ikmal tidak akan berhenti mencintainya. Aku belum siap melupakannya, Ma, Pa.” Aku mendongakkan kepala, bergantian menatap Mama dan Papa. Papa menghela napas, menyerah, tidak tahu harus membujuk dengan cara apa lagi. Mama sudah membuka mulut, bersiap menumpahkan semuanya. Tapi aku sudah berdiri, keluar dari ruangan itu. Aku sendiri juga tidak tahu dari mana kekuatan itu datang. Hatiku semakin yakin kalau Mita memang untukku. Aku tidak peduli sampai kapan waktu akan memisahkan.


***

Kantor polisi itu masih terlihat lengang. Ini pertama kalinya aku menjenguk Mita, satu minggu setelah peristiwa di makam itu. Entah aku harus senang atau sedih. Semua campur-aduk menjadi satu. Aku duduk menunggu. Seorang polisi datang menghampiriku.
"Mungkin ini bisa membantu Anda untuk mencarinya," ucap polisi seraya menyerahkan kertas kecil bertuliskan sebuah alamat. Polisi itu menepuk-nepuk bahuku, lantas pergi dari hadapanku. Aku mulai membacanya perlahan.

“Rumah Sakit Jiwa Husada Mulia—”



***

“Biarkan Aku Mencintaimu” (bagian 9)


                                      Beri Aku Penjelasan


Aku tidak pulang ke rumah. Aku habiskan malam dengan menatap langit, hanya berdiri mematung di dekat jendela. Sedikit pun tidak tidur. Hingga perlahan langit memudarkan bintang, berganti dengan matahari. Aku mengusap tengkuk, mulai beranjak dari jendela. Pagi ini aku harus ke kantor, mendesak Papa bicara.


Aku mengenakan kemeja krem, lengan kemeja digulung, celana hitam, serta sepatu yang mengkilat. Aku memutar kunci, menutup pintu dari luar. Di sebelahku ada Mita yang juga melakukan hal yang sama. Demi apa pun, aku tidak berani menoleh, apalagi untuk menyapanya. Baru sedetik kemudian aku yang tadi pura-pura membenarkan posisi dasiku, buru-buru menoleh kaku. Aku melihat punggungnya saat menghilang di pintu lift. Aku berlari memasuki lift yang lain, berharap di lantai basement aku akan berpapasan dengan Mita.


Lift berdenting, kedua sisi pintunya terbuka. Aku membiarkan beberapa orang keluar dahulu. Setelah aku pikir-pikir bukan sekarang waktu yang tepat untuk bertemu Mita. Tetapi sungguh, dugaanku salah besar. Begitu aku berniat membuka pintu lobi, tanpa sengaja aku menyentuh tangan yang juga hendak membuka pintu. Bergetar aku menatap mata beningnya. Waktu berhenti sejenak. Mita mendeham. Aku melepas tanganku dari gagang pintu, membiarkan Mita berlalu. Senyap yang kurasa. Sungguh, bila aku diberi pilihan. Aku memilih melihat Mita yang marah-marah setiap hari ketimbang Mita yang diam membisu.

***

“Pa, apa susahnya memberiku penjelasan? Jangan diam seperti ini.” Aku melihat Papa duduk tenang di balik meja kerjanya. Sibuk menandatangani berkas-berkas.

“Keluarlah. Papa sibuk. Tidak ada penjelasan yang harus kau dengar. Mengerti?” Papa mengangkat wajah. Aku yang berdiri di hadapannya merasa disepelekan. Seolah-olah masalah ini amat kecil, sehingga aku tak perlu lagi bertanya. Aku mengeluh dalam-dalam.

“Oke. Jadi pada intinya Papa tidak ingin melihatku bahagia. Itu kan yang Papa inginkan?” Aku mengangkat kedua tanganku. Papa hendak membuka mulut ketika aku memutuskan untuk keluar dari ruangan itu.

Sepanjang hari di kantor kuhabiskan untuk duduk bermalas-malasan, menolak siapa pun yang meminta bertemu. Aku sedang tidak berselera bertemu dengan siapapun.


“Kau seperti anak kecil saja.” Seseorang datang dari balik pintu. Aku memutar kursi untuk melihatnya.

“Andaikan kau tahu mengapa Papa tidak menjelaskan semuanya kepadamu.” Papa melangkah mendekat, berdiri menghadap jendela.

“Tentu saja aku tidak tahu,” jawabku sebal.

“Kau akan sakit bila mendengarnya, Mal. Dan yang paling Papa takutkan, kau akan membenci Papa seumur hidup.” Ujarnya berat, terdengar helaan napas panjang.

“Aku ingin tahu semuanya, Pa.” Aku berdiri dari kursi, melangkah ke jendela.

“Kau tentu tahu, Papa dulu pernah berkeluarga sebelum akhirnya menikah dengan Mamamu.” Papa menarik napas. Aku semakin memasang telinga lebar-lebar.

“Beberapa puluh tahun silam, Papa menikah dengan seorang janda yang mempunyai dua anak kembar. Anak-anak yang sangat menggemaskan. Papa sudah menganggapnya seperti anak Papa sendiri. Tetapi, salah satu dari mereka begitu membenci Papa sampai detik ini.” Papa menyeka hidungnya, terbatuk.

“Semua kebencian itu karena kesalahan Papa. Semua itu karena Papa, Ikmal. Kolega-kolega yang menuntut hak pengembalian saham malam itu mengamuk besar. Merusak apa saja yang ada di rumah. Papa tidak mampu mencegahnya. Mereka terlalu banyak, sedangkan Papa hanya sendiri. Dan kau tahu, mereka menyelesaikan amarah dengan membakar rumah itu. Mereka membakarnya tanpa ampun. Papa tidak tahu lagi di mana istri Papa kala itu. Si kembar bahkan entah hilang ke mana. Semuanya kacau, rumah yang kokoh berubah dengan cepat menjadi puing-puing hangus. Papa sempat menyelamatkan diri. Tetapi, mereka, entahlah.” Papa mengusap wajahnya, terisak mengenang masa lalunya. Aku tak kalah termenung. Dengarlah, inikah alasan Mita datang ke kota ini? Datang sengaja untuk membalas dendam? Tidak, aku membuang pikiran itu jauh-jauh.

“Papa dipenjara. Hancur sudah. Tidak ada lagi harapan secuil pun yang tersisa. Sudah hangus ikut terbakar malam itu. Lenyap tak berbekas.”

“Gadis itu tidak pernah berubah banyak. Papa masih bisa mengenali setiap gurat wajahnya—yang sekarang, penuh dengan kebencian. Tetapi, amat berbeda jika ia sedang menatapmu.” Papa menoleh, aku gelagapan.

“Papa sangka selama ini Mita tidak selamat. Tetapi nyatanya, sekarang malah ia tinggal di kota ini. Entah, Papa harus senang atau malah sebaliknya.” Papa kembali menatap gedung-gedung di luar sana.

“Tidak seharusnya kau mencintainya,” ucapnya tegas.

“Kenapa begitu?” tanyaku tidak terima.

“Papa tidak ingin kau terluka. Itu saja. Jadi, mulai sekarang kau jauhi dia. Itu akan lebih baik,” kata Papa diktator.

“Aku tidak bisa melakukan itu, Pa!” Suaraku spontan meninggi.

“Apa kau tidak pernah curiga dengan Mita? Bisa saja ia datang ke kota ini sengaja untuk membalas dendam.” Papa menanggapi dengan diplomatis.

“Cukup, Pa. Ikmal yakin Mita tidak mungkin—”

“Kau harus selalu waspada,” potongnya cepat, berkata cemas. Aku menelan ludah, aku tahu Mita tidak akan tega melakukan hal yang seperti Papa cemaskan.

“Biar itu menjadi urusanku, Pa.”

“Terserah kau saja. Jangan pernah menyesal jika apa yang Papa katakan terbukti.” Papa melangkah keluar dari ruanganku. Aku menyandarkan kepalaku di jendela kaca. Kaca itu berembun oleh hembusan napasku.

***

“Aku sudah tahu semuanya.” Aku memberanikan diri bersitatap dengannya.

“Cerita bagian mana yang kurang jelas?” tanyanya dingin. Tadi, sekitar dua menit yang lalu, setelah pulang dari kantor, aku menunggu Mita di dekat lobi. Di dalam lift hanya ada kami berdua. Aku yang berani mengawali pembicaraan.

“Kenapa kau begitu membenci Papa? Dan, kebakaran itu, bukan murni karena kesalahannya.” Aku berkata memperjelas. Mita menoleh, tatapan itu menjelaskan keberatannya.

“Kau bisa bilang begitu karena kau belum pernah merasakannya! Dia tidak pernah kembali untuk mencari kami. Dia lari dari tanggung jawab itu. Setelah kebakaran itu, keluargaku menderita, Mama sakit-sakitan. Mama seorang diri membanting tulang untuk menghidupi aku dan Metha. Hidup kami hancur dan kau tidak pernah mengerti bagaimana rasanya... Arrrgh!" Mita mengepalkan tangannya, menghantamkannya tepat di dinding sebelahku. Dalam seketika, dari jarak yang begitu dekat, aku bisa melihat api membakar mata teduhnya. Tanganku hendak terangkat, aku mendadak menjadi gentar. Ya,mungkin umurku terpaut tiga tahun lebih muda dari Mita.

Begitu pintu lift terbuka, Mita menarik tangannya dari dinding, lantas melangkah keluar. Sama sekali tidak menghiraukanku yang masih tergugu di dalam lift. Aku berjalan di belakangnya. Bahkan aku terlalu sibuk untuk menyadari jika ada Mama di depan kamarku, menangkupkan kedua tangan di dada. Astaga! Mama? Aku mempercepat langkah.


“Jadi kau orangnya? Berani-beraninya kau membuat Ikmal membantah saya! Wanita tidak tahu diri!” Mama bergerak cepat, mencengkeram lengan Mita. Yang dicengkeram tidak melawan, hanya diam, bersiap mendapat bentakan selanjutnya.

“Ma, lepaskan Mita.” Aku mendekat, mencoba melepaskan tangan Mama dari lengan Mita. Gagal. Mama terlalu mengotot.

“Heh! Kau tidak tahu diri ya? Lihat, apa kau pantas bersanding dengan Ikmal? Dandanan saja berantakan begini!” Mama menunjuk-nunjuk Mita. Aku kewalahan menenangkannya. Aku mengeluh, kenapa Mita hanya membisu? Ayolah, katakan apa saja untuk membela diri.

“Maaf. Anda salah jika menghakimi saya! Saya tidak pernah suka dengan anak Anda!” Mita menepis tangan Mama. Dia tadi bilang apa? Aku menelan ludah getir. Pegangan tanganku pada lengan Mama sedikit mengendur. Aku terlambat untuk menyadarinya. Mama malah bertindak diluar dugaanku. Baru saja, ketika aku sibuk mencerna kalimat Mita, hal itu terjadi begitu cepat. Satu tamparan telak mendarat di pipi mulusnya dalam hitungan detik.

“Cukup, Ma! Jangan menuduh Mita macam-macam. Ikmal yang salah. Ikmal yang seharusnya Mama pukul, bukan Mita.” Aku menengahi, berdiri di antara mereka berdua, memunggungi Mita. Aku benar-benar tidak tega melihat Mita dibentak-bentak, lantas ditampar.

“PULANG SEKARANG, Ikmal!” Mama berteriak kesetanan. Aku berpikir cepat, mungkin lebih baik jika aku menuruti Mama. Aku tidak mau melihat Mita lebih terluka lagi. Beberapa langkah, aku menoleh, mendapati Mita masih berdiri di sana. Aku berhenti sejenak menatapnya. Bola matanya terlihat berlinang. Pipinya yang memerah karena tamparan tadi. Bibir yang selalu mengatup rapat. Dia lalu membuang muka.

***

“Saya tidak pernah suka dengan anak Anda!”


Aku masih saja dihantui sepenggal kalimat itu. Hingga beberapa hari semenjak kejadian malam itu. Hariku bertambah kacau. Setiap hari Mama juga tidak berhenti marah-marah. Ada saja hal kecil yang membuatnya marah. Dan sempurna akan mengamuk jika aku menyinggung tentang Mita.

“Bulan depan kau harus menikah dengan Adiesty! Tidak ada protes, juga tidak ada acara kabur-kaburan lagi! Mengerti?” kata Mama saat kami sarapan bersama. Papa, seperti biasa, hanya diam menyimak.

“Aku tidak akan menikah dengan siapa-siapa, kecuali dengan Mita!” Aku berdiri, jengkel memukul meja. Mama dan Papa terperangah. Mama hendak berdiri menyusulku, tetapi Papa sudah mencegah terlebih dahulu. Lengkap sudah, aku terperangkap, tidak ada alasan untuk kabur lagi. Jelas saja, Mama sudah memasang beberapa bodyguard di sudut-sudut halaman rumah. Aku tak habis pikir Mama akan melakukan itu.


“Tidak berangkat ke kantor?” tanya Papa yang tiba-tiba muncul dari belakangku.

“Aku sedang tidak bersemangat untuk bekerja, Pa.” Aku mengarang jawaban. Papa melangkah, ikut menumpukan kedua tangannya di pembatas balkon.

“Ikmal, kau terlalu memaksa gadis itu untuk mencintaimu.” Papa menoleh kepadaku. Aku mengernyitkan dahi.

“Aku tidak merasa begitu, Pa.” Ucapku sebal.

“Tapi lihat apa yang sudah kau lakukan. Kau membuat Mita menjadi sasaran amukan Mama. Tentu kau tidak ingin itu terjadi lagi. Lepaskan dia, dan mulailah belajar melupakannya.” Papa menerangkan, seakan aku berada dipihak yang patut disalahkan. Namun sebagian hatiku sepakat dengan apa yang Papa katakan.

“Sulit untuk melakukan itu, Pa.” Aku mendesah getir.

“Kau pasti bisa.” Papa menepuk pundakku, menyemangati.

“Lantas apa Papa juga setuju tentang rencana pernikahan itu?” tanyaku kemudian. Papa terbatuk, tidak siap dengan pertanyaan spontan itu.

“Apa salahnya Mal? Cinta bisa tumbuh kapan saja. Asal kau ikhlas melupakan Mita.” Papa mengangkat bahu, tersenyum. Apa hanya sampai di sini ceritaku dengan Mita? Apa semua akan berakhir dengan sebuah perpisahan?





 
Bersambung—
Top of Form
aBottom of Form

Cari Blog Ini