“Apa yang
terlihat oleh kedua mataku tidak cukup untuk mengubah harapan menjadi kenyataan
indah. Aku salah jika menyimpulkan atas apa yang aku lihat saja, tanpa
mendengar. Aku yang salah di sini. Karena aku berani mempertaruhkan harapanku
pada waktu semu. Aku membiarkan hatiku luruh bersama waktu yang kembali membawa
cinta itu. Cinta yang tak akan pernah bisa kusentuh dengan mata hatiku. Cinta yang
membutuhkan waktu bertahun-tahun untuk menghapusnya...”
Aku sedang duduk di depan kelas ketika seseorang
memanggil namaku. Suara yang sudah tidak asing lagi bagiku. Aku menoleh secara
teratur, sambil menahan senyum dengan malu-malu. Orang yang tadi memanggil
namaku tersenyum kepadaku. Wajah teduh itu. Sayangnya, aku hanya menatapnya
datar. Ingin aku membalas senyumnya. Namun, aku langsung teringat jika semua
ini hanya kepalsuan. Aku sudah tahu semuanya, apa maksud dari senyum itu. Sejak
saat itu, aku berjanji dengan hatiku, tidak akan pernah berharap kepadanya
lagi.
***
“RE! REEEEENA!!” Orang di sampingku berteriak
histeris, tidak tahu berapa kali dia memanggilku. Aku spontan menoleh dengan
sebal. Seenaknya saja dia memutus lamunanku.
“Aduh! Jangan lihat ke gue! Awas itu di depan!!”
Teriaknya lagi. Aku kembali menatap ke depan. Menginjak pedal rem sekuat
mungkin. Orang di sampingku sudah menjerit, menutup kedua matanya. Aku juga
kalap ketika aku berhasil membanting setir. Mobilku memang tidak
kenapa-kenapa.. Tapi, tapi.. Aku langsung gemetar.
“Jantung gue copot!” komentar Gita, mengelus dada
sambil mengatur nafas.
“Eh, lo mau kemana? Jangan bilang lo mau nolongin dia!”
Gita melotot, menarik sebelah lenganku. Satu tanganku sudah membuka pintu.
“Gue takut dia kenapa-kenapa. Ini semua juga gara-gara
gue.” Aku berusaha melepas cengkramannya.
“Bahaya Re. Ini tempat sepi. Lo nggak takut kalau
ternyata orang itu penipu?” Gita mulai gelisah, mempererat lenganku.
“Terserah. Lo mau di sini apa ikut gue keluar,” kataku
tegas. Gita melepas tanganku. Aku berlari keluar, ke arah sebuah pohon besar di
ujung jalan. Kepulan asap mulai mengepul dari mesin mobil. Aku mengetuk kaca
pintunya berkali-kali. Coba membuka pintu. Sial. Terkunci dari dalam.
“Udah, Re! Mending kita kabur aja. Gue taku..” Gita
menyusul, menarik-narik lenganku.
“Kabur? Lo nggak lihat?!” Aku menunjuk kepulan asap
yang menebal.
“Terus.. Terus.. Kita harus berbuat apa?” Gita ikut
panik, berusaha membuka pintu.
“Percuma. Sekarang, lo ambil tongkat di bagasi.”
Perintahku gusar. Gita menanggapi dengan cepat intruksiku.
Setelah
tongkat sudah ada di tanganku, aku mundur selangkah. Tepat dalam satu hantaman,
kaca itu retak. Dua hantaman, kaca itu sempurna berguguran menjadi kepingan
kecil. Aku melempar tongkat sembarangan. Bergegas tanganku membuka pintu dari
dalam, lewat pecahan kaca. Setelah pintu terbuka, aku beralih menatap Gita yang
mematung melihat siapa sosok yang ada di dalam mobil.
“Jangan
bengong. Bantu gue. Cepat!” teriakku yang kewalahan memapah orang itu keluar
dari mobil. Gita tersadar, bergegas membantu. Tepat ketika baru dua langkah
dari mobil itu, ledakan hebat terdengar. Aku dan Gita refleks terjatuh bersama
orang itu. Aku menarik nafas berat, tidak terbayangkan bagaimana kalau
terlambat satu detik saja.
Api mengungkung mobil sampai hangus tak berbentuk. Aku dan Gita bangkit, secepat mungkin melaju ke rumah sakit terdekat. Gita yang mengemudi. Aku duduk di belakang bersama orang itu. Kepalanya yang bersimbah darah kuletakkan di pahaku. Tidak peduli dress putih-ku penuh bercak merah.
Api mengungkung mobil sampai hangus tak berbentuk. Aku dan Gita bangkit, secepat mungkin melaju ke rumah sakit terdekat. Gita yang mengemudi. Aku duduk di belakang bersama orang itu. Kepalanya yang bersimbah darah kuletakkan di pahaku. Tidak peduli dress putih-ku penuh bercak merah.
Dalam
diam, Gita sibuk dengan jalan di depan, sementara tanganku meraba pelipis orang
itu yang sobek. Entah datangnya dari mana, air mata tiba-tiba menggelayut di
sudut mataku. Aku mengusap rambutnya. Melihat dia yang samar terbatuk kecil.
Aku langsung menyingkirkan tanganku dari kepalanya. Nafasku tersendat di dada.
Air mataku terlanjur jatuh tanpa bisa kutahan. Dalam diam aku menangis. Dalam
diam aku juga mulai mengenali siapa orang ini.
***
Sudah
hampir satu jam aku dan Gita tiba di rumah sakit. Aku tidak banyak bicara,
menyerahkan orang itu kepada dokter dan suster. Gita duduk di sampingku,
membersihkan luka sisa pecahan kaca di tangan kananku dengan kapas.
“Kok
dari tadi lo diam terus?” Gita memutus lamunanku, mulai membebatkan kain kasa.
“Nggak
kenapa-kenapa,” jawabku pendek.
“Gue
kayak pernah lihat orang itu sebelumnya. Tapi di mana ya?” ucap Gita, setelah
selesai dengan urusan membebat. Aku berdiri, membelakangi Gita yang masih
duduk.
“Siapa?”
Gita ikut berdiri, menyentuh bahuku. Aku sedikit menoleh, lantas menunduk.
Aku
hanya mampu menggelengkan kepala untuk menjawab pertanyaan Gita. Untuk apa
menyebut nama itu lagi. Bertahun-tahun aku habiskan percuma untuk mengubur nama
itu. Tapi kini semua usahaku terasa sia-sia.
“Saudari
Rena..” Suara dokter menyela, aku bergegas melangkah ke depan pintu.
“Pasien
terus-menerus menyebut nama Anda.” Dokter itu berkata jelas. Tanpa menunggu
perintah, aku masuk ke ruangan di mana orang itu tergeletak dengan
selang-selang plastik di sekujur tubuh. Tidak sempat berhenti ketika Gita
mencoba mencegahku.
“Re..na..
Re..na.” Suara yang samar terdengar dari balik alat bantu pernapasan. Tubuhku
membeku seketika. Dia memanggil namaku
berkali-kali? Dengan mata yang tertutup rapat dia menyebut namaku? Aku tak percaya
ini. Tuhan, katakan padaku kalau semua ini tidak nyata.
Lima
menit diam mematung di samping ranjangnya. Akhirnya aku terpatah-patah meraih
tangannya yang diinfus. Setitik bening menetes di tangannya. Ruangan ini
menjadi hampa. Otakku mulai memutar kenangan-kenangan masa lalu. Aku menutup
mata, menghilangkan apa yang sedang ada dalam otakku sekarang. Gagal. Tidak ada
yang bisa kuhilangkan. Semua sudah terlanjur kembali.
“Aku
ada di sini,” kataku pelan sekali, tercekat. Hanya itu kalimat yang mampu keluar
dari bibirku. Sisanya hanya diam, membiarkan suara mesin pengontrol detak
jantung serta tetesan infus yang memenuhi ruangan.
***
Pagi-pagi
sekali aku sudah duduk di balik meja kantor. Duduk diam, menyibak gorden
jendela lebar-lebar. Berpangku tangan, memainkan bolpen di tangan. Membiarkan
ponselku yang berdering berkali-kali. Juga membiarkan pintu ruanganku diketuk
Gita berpuluh kali. Aku menyibak rambutku dengan jari-jariku. Sesak menjalari
dadaku sejak semalam. Membuat waktuku berantakan dalam sekejap.
“Re..
Buka pintunya! Ada telepon dari pihak rumah sakit!” Gita berteriak keras, sudah
putus asa mengetuk pintuku tanpa hasil. Aku tidak peduli seberapa keras
suaranya, berita itu membuatku bertindak cepat. Spontan meraih ponsel di meja,
memutar kunci sembarangan. Lantas menarik tangan Gita.
“Suster
bilang apa?” tanyaku panik. Antara ingin mendengar jawaban Gita dan takut
mendengar berita yang buruk.
“Dia
udah sadar,” jawab Gita seadanya. Aku terdiam sekarang. Dia sadar? Apa aku kuat bertemu dengannya sekarang?
“Lo
jadi aneh semenjak...” Ucap Gita ragu.
“Apanya
yang aneh?” tanyaku tidak terima. Gita fokus mengemudi.
“Gue
tahu dari mata lo, Re. Jadi.. Siapa dia?” tanyanya penuh selidik.
“.....”
“RE?”
“Emang
penting ya?”
“Gue
serius Re..”
“Lo
nanti juga bakal tahu sendiri.” Aku memutus percakapan. Gita nampak kesal. Aku
menghela nafas.
***
Koridor
menuju ruangan tempat ia dirawat terasa lebih panjang. Semakin aku melangkah,
maka keraguan semakin menggelayut di hatiku. Tidak. Aku harus tetap melangkah.
Aku ingin melihat kondisinya sekarang.
Ruangan
itu berada di sudut, aku sudah dekat, dan bisa melihat siapa yang sedang
berdiri di depan pintu. Langkah kuperlambat, Gita yang berjalan cepat menyadari
aku yang tertinggal di belakang.
“Ayo,
Re. Kenapa malah berhenti di sini.” Gita menghampiri, menarik lenganku. Aku
diam menurut.
Terlihat
wanita anggun berdiri di depan kamar Zam.
“Eh,
temannya Zam ya?” Wanita itu menoleh, urung membuka pintu.
“ZAM?!”
Gita berkerut dahi.
“I..ya
mbak,” jawabku, sebelum Gita bertanya macam-macam.
“Prita..”
Wanita itu mengulurkan tangan.
“Rena.”
Aku menjabat tangannya. Gita melamun, baru setelah aku menepuk pundaknya, ia
menyebut nama.
“Ayo
masuk..” Prita mempersilahkan, tersenyum anggun. Gita yang melangkah terlebih
dahulu. Aku yang terakhir menutup pintu. Butuh beberapa detik untuk membalikkan
badan. Dan.. Ya, aku melihat dia yang sedang berusaha duduk, dengan bantuan
Prita. Tapi, tunggu.. Siapa Prita?
Hubungan mereka apa?
Prita
memeluk Zam begitu melihat Zam membuka matanya. Aku yang berada di belakang
Gita hanya menunduk, seperti belum siap bertemu dengan Zam sekarang. Sebenarnya apa yang harus aku takutkan? Tidak
ada. Kenapa aku tidak bisa mengendalikan
kecemasanku? Aku melamun, dan Gita dengan sengaja menyikut perutku. Aku
mengaduh.
“Re..na?”
Suara itu mengarah kepadaku. Mampus! Aku menggigit bibir bawahku. Setelah
kupikir lagi, lebih baik aku tadi tidak usah memaksa datang kemari.
“Ng..
Iya? Eh, gimana keadaan kamu? Sudah baikan?” Aku menggeser tubuhku ke samping,
sejajar dengan Gita. Ya, setidaknya hanya kalimat itu yang mampu keluar.
“Makasih
ya,” katanya tersenyum kepadaku.
“Buat
apa?” tanyaku tidak mengerti. Aku melirik Gita yang memutar bola matanya.
Mungkin ia mulai sebal dengan tingkahku yang aneh.
“Buat
malam itu. Meski aku tidak sepenuhnya sadar. Aku melihat kamu berjuang untuk
menyelamatkanku. Aku tidak tahu jika terlambat sedetik saja, mungkin aku sudah
hangus ikut terbakar.” Zam menceritakan dengan detail. Dia ingat apa yang terjadi malam itu? Apa dia juga melihat aku yang
hendak menyentuh wajahnya? Kuharap dia lupa dengan bagian itu.
“Aku
yang seharusnya minta maaf. Aku yang—” Kalimatku terpotong begitu Gita sengaja
menginjak kakiku. Aku melotot kepada Gita, tidak mau kalah, Gita juga malah
mempelototiku. Aku tahu maksudnya mengapa tiba-tiba ia menginjak kakiku. Tapi
aku harus tetap mengatakannya. Prita yang sejak tadi memilih diam, sekarang
berdehem. Aku menyudahi aksi mata dengan Gita. Zam menunggu aku melanjutkan
kalimatku.
“Aku
tahu mungkin malam itu kamu nggak konsen nyetir.” Zam mendahului, tersenyum.
Aku dan Gita terkesiap. Prita juga ikut membulatkan matanya.
“Maaf...”
Ucapku sangat menyesal.
“Iya,
aku maafin,” kata Zam singkat. Sepertinya aroma keberatan tercium dari Prita.
“Hloh?
Nggak bisa gitu aja dong, Sayang! Dia yang bikin kamu celaka. Nggak mudah
dibayar hanya dengan kata maaf!” Prita meledak sudah, galak sekali menatapku.
Sampai-sampai membuat Gita tak berkutik. Wanita ini diam-diam menghanyutkan!
Tunggu.. Prita
memanggil Zam dengan sebutan Sayang?
“Tenang, Sayang, lagian aku juga nggak apa-apa.” Zam
menenangkan wanita di sampingnya itu. Sayang?
Aku sesak mendengar sebutan itu. Apa yang
harus aku cemburukan? Tidak ada.
“Dan kalian berdua, jangan pernah datang kemari lagi!
Sudah cukup Zam seperti ini. Apa kalian belum puas?” Sepertinya usaha Zam
sia-sia. Kali ini Prita dengan intonasi tinggi mengusirku dan Gita, menunjuk
pintu dengan telunjuknya.
“Biasa aja ya! Emang lo pikir kita apa? Masih mending
kita mau tanggung jawab!” Gita menanggapi dengan geram. Ternyata sejak tadi
Gita diam bukan karena takut dengan Prita. Tetapi rupanya sedang mengumpulkan
tenaganya. Jika tidak cepat kupegang tangan Gita, mungkin mereka berdua sudah
saling menjambak rambut. Atau saling mencakar? Ya, mungkin dua-duanya.
“Aku pamit ya, Zam. Semoga cepat sembuh,” kataku
berpamitan, Zam mengangguk pelan. Gita menjulurkan lidahnya, sengaja mengejek
Prita.
***
“Cewek sinting!” umpat Gita di dalam mobil. Emosinya
belum mereda.
“Ngapain sih lo ambil hati. Dia berhak marah, secara
dia kan pacarnya Zam.” Ucapku, berat rasanya menyebut kata ‘pacarnya’.
“Kenapa? Jangan bilang lo cemburu!” Gita menudingku,
pintar sekali membaca gelagatku.
“Udahlah, yang penting Zam nggak marah dan nuntut
kita.” Aku mengalihkan pembicaraan. Untung Gita tidak tertarik membahasnya
lagi.
“Eh...”
“Apa lagi?” tanyaku sebal. Kali ini apa yang akan
terlontar dari mulut cerewetnya?
“Zam itu siapa sih, Re? Aku yakin banget, aku pernah
lihat. Tapi di mana ya?” Gita menggaruk kepalanya yang tidak gatal. Aku
mendengus kesal. Kenapa malah pertanyaan ini yang keluar?
“Zam itu kakak kelas kita dulu. Ingat nggak?” tanyaku
menoleh kepadanya. Ia sedang mengingat-ingat. Tidak kusangka jika daya ingatnya
sudah turun.
“Astaga!! Jadi dia orangnya? Aduh, jodoh kali sama lo,
Re!” Gita terkekeh. Apa yang lucu? Aku dengan sengaja menginjak pedal rem. Gita
hampir mencium dashboard.
“Lo jangan ngawur deh, Git. Lo bilang jodoh? Bullshit!”
Sergahku cepat. Tidak semudah itu, ini terlalu rumit.
***
Beberapa
hari aku tidak menjenguk Zam, meski aku sangat mengkhawatirkannya. Aku hanya
sekadar ingin tahu kondisinya, tapi Gita berhasil mencegahku. Lagipula ada
Prita yang menjaga Zam. Lantas kenapa aku malah gelisah? Bukankah keberadaanku
di sana hanya akan mengganggu saja?
Aku
tidak pernah mengira jika orang di masa laluku datang kembali. Tanpa permisi.
Semesta seperti berkonspirasi mengatur kecelakaan malam itu. Hingga akhirnya
aku bertemu Zam. Cinta yang tidak pernah bisa kumiliki sejak dulu hingga
sekarang. Tidak ada yang salah dengan takdir. Hanya saja, menyakitkan ketika
aku harus menghadapi apa yang seharusnya hilang dari hidupku.
Seperti
pagi ini. Aku melajukan mobilku menuju kantor tempatku bekerja. Ada yang
berbeda pagi ini. Aku membanting setir, berbelok ke kanan. Tidak, aku tidak
lupa jalan ke kantorku. Tapi entah mengapa mendadak aku mengambil keputusan
untuk menuju rumah sakit. Sekuat mungkin aku menahan diri. Maka semakin yakin
aku ingin melihat keadaan Zam. Aku membuang napas, untung Gita tidak berangkat
bersamaku.
Dari
jarak lima meter aku memandangnya diam-diam. Zam sedang duduk di teras belakang
yang menghadap ke taman. Ia duduk di kursi roda, diam, dan terlihat sendirian. Apa Prita baru saja pulang atau memang
belum datang?
Dari
tempatku berdiri, aku bisa melihat separuh wajahnya yang datar menatap riak
kecil di kolam dekat taman. Tidak ada yang pernah berubah. Lesung pipitnya yang
menawan, sorot matanya yang teduh. Semua detail yang tidak pernah aku lupakan.
Tuhan, andai aku boleh meminta. Kembalikan mata teduh dan lesung pipit itu ke sisiku.
Jangan biarkan waktu memisahkan lagi—
“Rena?”
Wajah
itu menoleh secara tiba-tiba. Aku yang salah tingkah karena ketahuan mengintip
tidak sengaja menjatuhkan stopmap dari tanganku. Aku menepuk jidat. Antara malu
dan grogi berbaur menjadi satu. Sementara Zam mendekat, aku masih kerepotan
memunguti kertas-kertasku yang berantakan.
“Rena?”
ulang Zam, aku sedikit mendongak.
“Eh,
bagaimana keadaanmu?” tanyaku begitu aku selesai merapikan kertasku.
“Udah
agak mendingan, Re.” Zam tersenyum, memperlihatkan lengkungan di pipinya. Ia
mengajakku untuk mengitari taman. Aku tentu tidak menolak. Urusan terlambat
masuk kantor itu masalah belakangan.
“Syukur
kalau gitu. Oh ya, kok aku nggak lihat Prita ya?” tanyaku saat aku mendorong
kursi roda Zam pelan.
“Dia
baru pulang tadi pagi. Aku yang maksa. Setelah urusan di rumah selesai, dia
pasti ke sini.” Zam tampak berbinar. Ada kejanggalan yang aku rasakan. Tapi aku
langsung menepisnya.
“Sekarang
kerja di mana?” Melihat aku yang terdiam, Zam langsung mengalihkan pembicaraan.
Aku menghentikan gerakan tanganku. Zam sedikit menoleh ke belakang.
“Kerja
di perusahaan periklanan,” jawabku singkat. Zam tersenyum. Aku tidak tahu ia
tersenyum untuk apa.
“Kamu
tahu, Re? Aku merasa sangat bersalah. Seharusnya waktu itu aku tidak mempermainkanmu.
Dan sekarang aku menyesal. Kamu mau kan memaafkanku?” Zam berujar dengan nada
bergetar, namun tidak ada keraguan di sana. Ucapan perminta-maafan itu
terdengar tulus.
“Aku
sudah melupakan semuanya, Zam. Tidak ada yang salah. Juga bukan salah takdir.
Barangkali memang begitu cara kita bertemu. Tetapi, sungguh, kamu tidak perlu
meminta maaf.” Aku berhenti mendorong kursi rodanya. Terasa menyakitkan saat
aku mendengar kalimat itu keluar dari mulutku sendiri. Apa yang sudah aku katakan? Membohongi hatiku? Mengelabui perasaanku
sendiri?
“Kamu
baik, Re. Itu yang membuatku menyesali perbuatanku dulu. Tak seharusnya aku—”
Zam tidak meneruskan kalimatnya begitu aku berjongkok di sampingnya dan
menyentuh tangannya.
“Berhentilah
meminta maaf,” kataku. Zam mengangguk patuh. Lengang untuk beberapa saat
kemudian.
Zam
tersenyum, aku belum berdiri dari posisi jongkokku. Aku lantas menoleh ke arah
di mana senyuman Zam mendarat. Sudah bisa ditebak siapa yang datang. Aku
bergegas berdiri, mengambil jarak dari Zam. Ini jauh lebih baik daripada ada
kesalahpahaman. Kulihat langkah Prita semakin lebar, dan begitu sampai ia
langsung mencium kedua pipi Zam. Apa
kalian tahu apa yang sedang terjadi di relung hatiku?
Prita
sepertinya pura-pura tidak melihat kehadiranku. Ia langsung mengajak Zam untuk
kembali ke ruangannya. Dan aku dibiarkan berdiri di sini sendirian. Zam sempat
menoleh ke belakang dua kali, tetapi Prita berhasil mengalihkan perhatian Zam.
Kuusap kening yang berkeringat. Tidak ada yang lebih baik selain meninggalkan
tempat ini dan segera pergi ke kantor. Aku rasa sekarang Gita sudah gemas
menunggu di ruanganku.
***
“Beli
apa sih? Buruan kenapa! Mau hujan, Re!” Gita sempat mengomel saat aku
menghentikan mobilku di pelataran kedai buah. Aku juga sebal, kenapa ia tadi
harus pulang bersamaku!
“Lima
menit, Git. Lo juga nggak bakal kehujanan kalau lo diam dan duduk manis di
dalam mobil.” Aku mendorong pintu mobil, menyisakan Gita yang bersungut-sungut
ria.
“Buat
apa beli parcel buah?” tanyanya spontan setelah enam menit aku keluar dari
kedai itu. Aku tidak menjawab.
“Jangan
bilang kita ke rumah sakit sekarang! Buat apa? Zam kan udah sembuh. Gue sih
nggak mau ya. Nenek lampir itu pasti ada di sana!” Gita bergidik. Aku hanya
menyeringai, tidak ada yang perlu aku jawab.
***
Rumah
sakit, hujan deras turun membalut sore yang kelabu...
Gita
mengekor di belakangku. Ia mencoba mengimbangi langkahku yang tergesa melewati
koridor. Bahkan dengan konyolnya Gita melepas high heelsnya. Aku terus berjalan
tanpa mempedulikan Gita.
Pintu
berderit pelan ketika aku membukanya. Zam terbaring di ranjangnya. Sendiri.
Tidak ada Prita di sini. Mungkin dia belum datang. Aku melangkah masuk.
“Eh,
maaf membangunkanmu..” Aku menggigit bibir melihat Zam yang membuka mata.
“Rena?
Sendirian?” Zam menyelidik. Aku mengangkat bahu, “tadi bareng Gita.”
Aku
duduk di kursi samping ranjangnya. Kami sempat terlibat percakapan ringan.
Mulai dari membahas masa SMA dulu sampai kepindahan Zam. Aku baru tahu jika Zam
ikut pindah kedua orangtuanya. Namun tiga tahun yang lalu Zam memutuskan
kembali ke kota ini.
“Memulai lembaran hidup yang baru.” Itu jawaban yang terlontar dari mulutnya begitu aku tanya alasan ia kembali ke kota ini. Aku hanya manggut-manggut.
“Memulai lembaran hidup yang baru.” Itu jawaban yang terlontar dari mulutnya begitu aku tanya alasan ia kembali ke kota ini. Aku hanya manggut-manggut.
“Zam,
aku bawa Aliya—” Prita menghambur masuk dan langsung tercekat melihat aku duduk
di samping Zam. Aku menoleh, melihat Prita yang membulatkan mata. Ekspresi
keberatan tergambar jelas di raut wajahnya. Aku yang sadar akan tatapan itu
langsung bangkit dari dudukku.
“Selama
ini aku membiarkan kamu datang ke sini. Bukan berarti kamu juga bebas mengambil
tempatku.” Prita berkata dengan mata memerah. Aku merasa bersalah. Prita benar.
Tidak seharusnya aku di sini. Aku menunduk. Ada yang luput dari mataku. Dan aku
baru menyadari setelah aku menundukkan kepala. Anak kecil yang manis.
Mengenakan rok putih selutut. Rambutnya yang ikal dikuncir kuda. Ia menatap
tidak mengerti. Sesekali menggenggam tangan Prita lebih kencang. Giliran aku
yang terhenyak saat melihat pipi anak manis itu. Pipi yang berlesung pipit, sama
seperti milik Zam.
“Maaf.
Aku tidak pernah bermaksud untuk mengacaukan kehidupan kalian,” ucapku dengan
gemetar. Mataku terasa hangat. Kumohon,
jangan menetes di sini!
Gita
muncul di depan pintu dengan menenteng high heelsnya di tangan. Ia menatapku
dan Prita dengan curiga. Juga tidak luput menatap anak kecil yang digandeng
Prita. Gita kali ini membisu. Benar-benar tidak mengerti apa yang harus keluar
dari mulutnya. Prita masih menatapku. Aku mengalihkan mataku kepada Zam. Tidak
ada sepatah kata yang keluar dari mulut Zam.
“Ma,
aku pengen peluk Papa!” Gadis kecil yang baru berumur dua tahun itu merajuk
dengan kalimat yang berlepotan. Prita mengangkat gadis itu, tangan Zam yang
menerimanya. Terlanjur sudah. Air mata tanpa bisa kutahan meluncur begitu saja.
Gita menarik tanganku sebelum situasi bertambah menyakitkan.
Dalam
genggaman tangan Gita, aku sempat menoleh ke ruangan itu. Aku sepenuhnya sadar
atas apa yang aku lihat dan dengar tadi. Tidak ada yang bisa mengubahnya
menjadi mimpi.
***
Aku
berjalan lunglai memasuki rumahku dengan mata yang sembab. Gita ikut masuk, barangkali
ia cemas aku akan nekad melakukan apa saja.
“Rena—”
sergahnya. Aku menoleh dan mendapati cermin besar yang merefleksikan diriku.
“Gue
tahu, gue tahu gimana rasanya. Sesakit apa hati lo sekarang, gue ngerti...”
Gita memecah kesunyian dengan suara lembutnya. Aku masih menatap cermin,
sedikit pun tidak menoleh.
Tanganku
meraih guci kaca di atas meja dengan sembarangan. Gita tergesa mencegah, namun
kalah cepat dengan tanganku. Aku melemparnya dalam satu tarikan napas. Gita
berteriak karena terkejut. Cermin besar itu remuk sudah. Serpihan cermin besar
tadi bergemerincing menghujam lantai lantas terberai menjadi serpihan kecil.
Kedua kakiku lemas, bahuku naik turun. Akhirnya aku jatuh terduduk di lantai.
Aku menangis kencang, meremas rambut panjangku. Gita lantas mendekat dengan
hati-hati. Ia merangkulku.
“Jangan
seperti ini, Re. Hidup kalian memang sudah berbeda. Zam bahagia dengan keluarga
kecilnya.” Gita berbisik di telingaku. Ya, aku tahu di mana letak kesalahanku. Karena
sejatinya apa yang terlihat oleh kedua mataku tidak sama dengan apa yang
menjadi rahasia di balik harapan-harapanku. Memori itu terputar dalam otakku.
Malam ketika aku menyebabkan kecelakaan Zam. Ketika aku hendak menyentuh
wajahnya. Saat aku melihat senyum di lesung pipitnya. Pancaran mata teduhnya—Menyakitkan!
Aku terkulai lemah, jatuh di pangkuan Gita.
Aku memasuki lorong yang
sepi. Sejauh mata memandang hanya putih pekat yang bisa tertangkap oleh mataku.
Di mana aku?
Apa aku sudah mati?
Aku berdiri dengan berpegangan pada dinding. Tidak ada siapa pun di sini. Kosong. Seperti ruang hampa. Aku mencoba berteriak. Memanggil nama siapa saja yang aku kenal—termasuk Zam.
‘Rena?’
Aku mencari sumber suara berasal. Yang ternyata dari belakangku. Aku berbalik dan mendapati Zam berdiri di ujung. Ia tersenyum mengulurkan tangannya. Perlahan aku mendatanginya. Saat aku ingin menyambut uluran tangannya. Ia menghilang begitu saja. Jemariku menyentuh udara yang kosong. Aku mulai menangis dan kembali terjatuh ke lantai yang terasa dingin menusuk tulang. Kenapa Tuhan? Kenapa? Mengapa Engkau mendatangkannya kembali ke dalam hidupku hanya untuk membuatku mengerti kalau aku dan Zam tidak ditakdirkan untuk bersama?
Di mana aku?
Apa aku sudah mati?
Aku berdiri dengan berpegangan pada dinding. Tidak ada siapa pun di sini. Kosong. Seperti ruang hampa. Aku mencoba berteriak. Memanggil nama siapa saja yang aku kenal—termasuk Zam.
‘Rena?’
Aku mencari sumber suara berasal. Yang ternyata dari belakangku. Aku berbalik dan mendapati Zam berdiri di ujung. Ia tersenyum mengulurkan tangannya. Perlahan aku mendatanginya. Saat aku ingin menyambut uluran tangannya. Ia menghilang begitu saja. Jemariku menyentuh udara yang kosong. Aku mulai menangis dan kembali terjatuh ke lantai yang terasa dingin menusuk tulang. Kenapa Tuhan? Kenapa? Mengapa Engkau mendatangkannya kembali ke dalam hidupku hanya untuk membuatku mengerti kalau aku dan Zam tidak ditakdirkan untuk bersama?
“...ketika aku memutuskan untuk berhenti dan melupakan, aku
dihadapkan pada dua pilihan; mengenangnya atau menghapusnya? Aku tidak tahu
harus memilih yang mana, waktu hanya memberiku waktu yang singkat untuk
memilih. Jika aku mengenangnya, aku akan tetap hidup di antara bayangnya. Dan
bila aku menghapusnya, maka aku seyogyanya akan membiarkan waktu
melenyapkannya. Aku tidak ingin kehilangannya, waktu yang aku rangkai
bersamanya tidak sebentar. Sang waktu, bila engkau ingin membawanya pergi dari
hidupku, maka beri aku waktu sebentar saja untuk merasakan kehadirannya yang
nyata untuk terakhir kali. Walau hanya sedetik waktu—”
TAMAT