Kamis, 24 Januari 2013

“Cinta Bukan Kita”



“Apa yang terlihat oleh kedua mataku tidak cukup untuk mengubah harapan menjadi kenyataan indah. Aku salah jika menyimpulkan atas apa yang aku lihat saja, tanpa mendengar. Aku yang salah di sini. Karena aku berani mempertaruhkan harapanku pada waktu semu. Aku membiarkan hatiku luruh bersama waktu yang kembali membawa cinta itu. Cinta yang tak akan pernah bisa kusentuh dengan mata hatiku. Cinta yang membutuhkan waktu bertahun-tahun untuk menghapusnya...”


Aku sedang duduk di depan kelas ketika seseorang memanggil namaku. Suara yang sudah tidak asing lagi bagiku. Aku menoleh secara teratur, sambil menahan senyum dengan malu-malu. Orang yang tadi memanggil namaku tersenyum kepadaku. Wajah teduh itu. Sayangnya, aku hanya menatapnya datar. Ingin aku membalas senyumnya. Namun, aku langsung teringat jika semua ini hanya kepalsuan. Aku sudah tahu semuanya, apa maksud dari senyum itu. Sejak saat itu, aku berjanji dengan hatiku, tidak akan pernah berharap kepadanya lagi.

***

“RE! REEEEENA!!” Orang di sampingku berteriak histeris, tidak tahu berapa kali dia memanggilku. Aku spontan menoleh dengan sebal. Seenaknya saja dia memutus lamunanku.

“Aduh! Jangan lihat ke gue! Awas itu di depan!!” Teriaknya lagi. Aku kembali menatap ke depan. Menginjak pedal rem sekuat mungkin. Orang di sampingku sudah menjerit, menutup kedua matanya. Aku juga kalap ketika aku berhasil membanting setir. Mobilku memang tidak kenapa-kenapa.. Tapi, tapi.. Aku langsung gemetar.

“Jantung gue copot!” komentar Gita, mengelus dada sambil mengatur nafas.

“Eh, lo mau kemana? Jangan bilang lo mau nolongin dia!” Gita melotot, menarik sebelah lenganku. Satu tanganku sudah membuka pintu.

“Gue takut dia kenapa-kenapa. Ini semua juga gara-gara gue.” Aku berusaha melepas cengkramannya.

“Bahaya Re. Ini tempat sepi. Lo nggak takut kalau ternyata orang itu penipu?” Gita mulai gelisah, mempererat lenganku.

“Terserah. Lo mau di sini apa ikut gue keluar,” kataku tegas. Gita melepas tanganku. Aku berlari keluar, ke arah sebuah pohon besar di ujung jalan. Kepulan asap mulai mengepul dari mesin mobil. Aku mengetuk kaca pintunya berkali-kali. Coba membuka pintu. Sial. Terkunci dari dalam.

“Udah, Re! Mending kita kabur aja. Gue taku..” Gita menyusul, menarik-narik lenganku.

“Kabur? Lo nggak lihat?!” Aku menunjuk kepulan asap yang menebal.

“Terus.. Terus.. Kita harus berbuat apa?” Gita ikut panik, berusaha membuka pintu.

“Percuma. Sekarang, lo ambil tongkat di bagasi.” Perintahku gusar. Gita menanggapi dengan cepat intruksiku.

Setelah tongkat sudah ada di tanganku, aku mundur selangkah. Tepat dalam satu hantaman, kaca itu retak. Dua hantaman, kaca itu sempurna berguguran menjadi kepingan kecil. Aku melempar tongkat sembarangan. Bergegas tanganku membuka pintu dari dalam, lewat pecahan kaca. Setelah pintu terbuka, aku beralih menatap Gita yang mematung melihat siapa sosok yang ada di dalam mobil.

“Jangan bengong. Bantu gue. Cepat!” teriakku yang kewalahan memapah orang itu keluar dari mobil. Gita tersadar, bergegas membantu. Tepat ketika baru dua langkah dari mobil itu, ledakan hebat terdengar. Aku dan Gita refleks terjatuh bersama orang itu. Aku menarik nafas berat, tidak terbayangkan bagaimana kalau terlambat satu detik saja.
Api mengungkung mobil sampai hangus tak berbentuk. Aku dan Gita bangkit, secepat mungkin melaju ke rumah sakit terdekat. Gita yang mengemudi. Aku duduk di belakang bersama orang itu. Kepalanya yang bersimbah darah kuletakkan di pahaku. Tidak peduli dress putih-ku penuh bercak merah.


Dalam diam, Gita sibuk dengan jalan di depan, sementara tanganku meraba pelipis orang itu yang sobek. Entah datangnya dari mana, air mata tiba-tiba menggelayut di sudut mataku. Aku mengusap rambutnya. Melihat dia yang samar terbatuk kecil. Aku langsung menyingkirkan tanganku dari kepalanya. Nafasku tersendat di dada. Air mataku terlanjur jatuh tanpa bisa kutahan. Dalam diam aku menangis. Dalam diam aku juga mulai mengenali siapa orang ini.

***

Sudah hampir satu jam aku dan Gita tiba di rumah sakit. Aku tidak banyak bicara, menyerahkan orang itu kepada dokter dan suster. Gita duduk di sampingku, membersihkan luka sisa pecahan kaca di tangan kananku dengan kapas.

“Kok dari tadi lo diam terus?” Gita memutus lamunanku, mulai membebatkan kain kasa.

“Nggak kenapa-kenapa,” jawabku pendek.

“Gue kayak pernah lihat orang itu sebelumnya. Tapi di mana ya?” ucap Gita, setelah selesai dengan urusan membebat. Aku berdiri, membelakangi Gita yang masih duduk.

“Siapa?” Gita ikut berdiri, menyentuh bahuku. Aku sedikit menoleh, lantas menunduk.

Aku hanya mampu menggelengkan kepala untuk menjawab pertanyaan Gita. Untuk apa menyebut nama itu lagi. Bertahun-tahun aku habiskan percuma untuk mengubur nama itu. Tapi kini semua usahaku terasa sia-sia.

“Saudari Rena..” Suara dokter menyela, aku bergegas melangkah ke depan pintu.

“Pasien terus-menerus menyebut nama Anda.” Dokter itu berkata jelas. Tanpa menunggu perintah, aku masuk ke ruangan di mana orang itu tergeletak dengan selang-selang plastik di sekujur tubuh. Tidak sempat berhenti ketika Gita mencoba mencegahku.

“Re..na.. Re..na.” Suara yang samar terdengar dari balik alat bantu pernapasan. Tubuhku membeku seketika. Dia memanggil namaku berkali-kali? Dengan mata yang tertutup rapat dia menyebut namaku? Aku tak percaya ini. Tuhan, katakan padaku kalau semua ini tidak nyata.


Lima menit diam mematung di samping ranjangnya. Akhirnya aku terpatah-patah meraih tangannya yang diinfus. Setitik bening menetes di tangannya. Ruangan ini menjadi hampa. Otakku mulai memutar kenangan-kenangan masa lalu. Aku menutup mata, menghilangkan apa yang sedang ada dalam otakku sekarang. Gagal. Tidak ada yang bisa kuhilangkan. Semua sudah terlanjur kembali.

“Aku ada di sini,” kataku pelan sekali, tercekat. Hanya itu kalimat yang mampu keluar dari bibirku. Sisanya hanya diam, membiarkan suara mesin pengontrol detak jantung serta tetesan infus yang memenuhi ruangan.

***

Pagi-pagi sekali aku sudah duduk di balik meja kantor. Duduk diam, menyibak gorden jendela lebar-lebar. Berpangku tangan, memainkan bolpen di tangan. Membiarkan ponselku yang berdering berkali-kali. Juga membiarkan pintu ruanganku diketuk Gita berpuluh kali. Aku menyibak rambutku dengan jari-jariku. Sesak menjalari dadaku sejak semalam. Membuat waktuku berantakan dalam sekejap.

“Re.. Buka pintunya! Ada telepon dari pihak rumah sakit!” Gita berteriak keras, sudah putus asa mengetuk pintuku tanpa hasil. Aku tidak peduli seberapa keras suaranya, berita itu membuatku bertindak cepat. Spontan meraih ponsel di meja, memutar kunci sembarangan. Lantas menarik tangan Gita.

“Suster bilang apa?” tanyaku panik. Antara ingin mendengar jawaban Gita dan takut mendengar berita yang buruk.

“Dia udah sadar,” jawab Gita seadanya. Aku terdiam sekarang. Dia sadar? Apa aku kuat bertemu dengannya sekarang?

“Lo jadi aneh semenjak...” Ucap Gita ragu.

“Apanya yang aneh?” tanyaku tidak terima. Gita fokus mengemudi.

“Gue tahu dari mata lo, Re. Jadi.. Siapa dia?” tanyanya penuh selidik.

“.....”

“RE?”

“Emang penting ya?”

“Gue serius Re..”

“Lo nanti juga bakal tahu sendiri.” Aku memutus percakapan. Gita nampak kesal. Aku menghela nafas.

***

Koridor menuju ruangan tempat ia dirawat terasa lebih panjang. Semakin aku melangkah, maka keraguan semakin menggelayut di hatiku. Tidak. Aku harus tetap melangkah. Aku ingin melihat kondisinya sekarang.


Ruangan itu berada di sudut, aku sudah dekat, dan bisa melihat siapa yang sedang berdiri di depan pintu. Langkah kuperlambat, Gita yang berjalan cepat menyadari aku yang tertinggal di belakang.

“Ayo, Re. Kenapa malah berhenti di sini.” Gita menghampiri, menarik lenganku. Aku diam menurut.

Terlihat wanita anggun berdiri di depan kamar Zam.

“Eh, temannya Zam ya?” Wanita itu menoleh, urung membuka pintu.

“ZAM?!” Gita berkerut dahi.

“I..ya mbak,” jawabku, sebelum Gita bertanya macam-macam.

“Prita..” Wanita itu mengulurkan tangan.

“Rena.” Aku menjabat tangannya. Gita melamun, baru setelah aku menepuk pundaknya, ia menyebut nama.

“Ayo masuk..” Prita mempersilahkan, tersenyum anggun. Gita yang melangkah terlebih dahulu. Aku yang terakhir menutup pintu. Butuh beberapa detik untuk membalikkan badan. Dan.. Ya, aku melihat dia yang sedang berusaha duduk, dengan bantuan Prita. Tapi, tunggu.. Siapa Prita? Hubungan mereka apa?

Prita memeluk Zam begitu melihat Zam membuka matanya. Aku yang berada di belakang Gita hanya menunduk, seperti belum siap bertemu dengan Zam sekarang. Sebenarnya apa yang harus aku takutkan? Tidak ada. Kenapa aku tidak bisa mengendalikan kecemasanku? Aku melamun, dan Gita dengan sengaja menyikut perutku. Aku mengaduh.

“Re..na?” Suara itu mengarah kepadaku. Mampus! Aku menggigit bibir bawahku. Setelah kupikir lagi, lebih baik aku tadi tidak usah memaksa datang kemari.

“Ng.. Iya? Eh, gimana keadaan kamu? Sudah baikan?” Aku menggeser tubuhku ke samping, sejajar dengan Gita. Ya, setidaknya hanya kalimat itu yang mampu keluar.

“Makasih ya,” katanya tersenyum kepadaku.

“Buat apa?” tanyaku tidak mengerti. Aku melirik Gita yang memutar bola matanya. Mungkin ia mulai sebal dengan tingkahku yang aneh.

“Buat malam itu. Meski aku tidak sepenuhnya sadar. Aku melihat kamu berjuang untuk menyelamatkanku. Aku tidak tahu jika terlambat sedetik saja, mungkin aku sudah hangus ikut terbakar.” Zam menceritakan dengan detail. Dia ingat apa yang terjadi malam itu? Apa dia juga melihat aku yang hendak menyentuh wajahnya? Kuharap dia lupa dengan bagian itu.

“Aku yang seharusnya minta maaf. Aku yang—” Kalimatku terpotong begitu Gita sengaja menginjak kakiku. Aku melotot kepada Gita, tidak mau kalah, Gita juga malah mempelototiku. Aku tahu maksudnya mengapa tiba-tiba ia menginjak kakiku. Tapi aku harus tetap mengatakannya. Prita yang sejak tadi memilih diam, sekarang berdehem. Aku menyudahi aksi mata dengan Gita. Zam menunggu aku melanjutkan kalimatku.

“Aku tahu mungkin malam itu kamu nggak konsen nyetir.” Zam mendahului, tersenyum. Aku dan Gita terkesiap. Prita juga ikut membulatkan matanya.

“Maaf...” Ucapku sangat menyesal.

“Iya, aku maafin,” kata Zam singkat. Sepertinya aroma keberatan tercium dari Prita.

“Hloh? Nggak bisa gitu aja dong, Sayang! Dia yang bikin kamu celaka. Nggak mudah dibayar hanya dengan kata maaf!” Prita meledak sudah, galak sekali menatapku. Sampai-sampai membuat Gita tak berkutik. Wanita ini diam-diam menghanyutkan!

Tunggu.. Prita memanggil Zam dengan sebutan Sayang?

“Tenang, Sayang, lagian aku juga nggak apa-apa.” Zam menenangkan wanita di sampingnya itu. Sayang? Aku sesak mendengar sebutan itu. Apa yang harus aku cemburukan? Tidak ada.

“Dan kalian berdua, jangan pernah datang kemari lagi! Sudah cukup Zam seperti ini. Apa kalian belum puas?” Sepertinya usaha Zam sia-sia. Kali ini Prita dengan intonasi tinggi mengusirku dan Gita, menunjuk pintu dengan telunjuknya.

“Biasa aja ya! Emang lo pikir kita apa? Masih mending kita mau tanggung jawab!” Gita menanggapi dengan geram. Ternyata sejak tadi Gita diam bukan karena takut dengan Prita. Tetapi rupanya sedang mengumpulkan tenaganya. Jika tidak cepat kupegang tangan Gita, mungkin mereka berdua sudah saling menjambak rambut. Atau saling mencakar? Ya, mungkin dua-duanya.

“Aku pamit ya, Zam. Semoga cepat sembuh,” kataku berpamitan, Zam mengangguk pelan. Gita menjulurkan lidahnya, sengaja mengejek Prita.


***


“Cewek sinting!” umpat Gita di dalam mobil. Emosinya belum mereda.

“Ngapain sih lo ambil hati. Dia berhak marah, secara dia kan pacarnya Zam.” Ucapku, berat rasanya menyebut kata ‘pacarnya’.

“Kenapa? Jangan bilang lo cemburu!” Gita menudingku, pintar sekali membaca gelagatku.

“Udahlah, yang penting Zam nggak marah dan nuntut kita.” Aku mengalihkan pembicaraan. Untung Gita tidak tertarik membahasnya lagi.

“Eh...”

“Apa lagi?” tanyaku sebal. Kali ini apa yang akan terlontar dari mulut cerewetnya?

“Zam itu siapa sih, Re? Aku yakin banget, aku pernah lihat. Tapi di mana ya?” Gita menggaruk kepalanya yang tidak gatal. Aku mendengus kesal. Kenapa malah pertanyaan ini yang keluar?

“Zam itu kakak kelas kita dulu. Ingat nggak?” tanyaku menoleh kepadanya. Ia sedang mengingat-ingat. Tidak kusangka jika daya ingatnya sudah turun.

“Astaga!! Jadi dia orangnya? Aduh, jodoh kali sama lo, Re!” Gita terkekeh. Apa yang lucu? Aku dengan sengaja menginjak pedal rem. Gita hampir mencium dashboard.

“Lo jangan ngawur deh, Git. Lo bilang jodoh? Bullshit!” Sergahku cepat. Tidak semudah itu, ini terlalu rumit.


***


Beberapa hari aku tidak menjenguk Zam, meski aku sangat mengkhawatirkannya. Aku hanya sekadar ingin tahu kondisinya, tapi Gita berhasil mencegahku. Lagipula ada Prita yang menjaga Zam. Lantas kenapa aku malah gelisah? Bukankah keberadaanku di sana hanya akan mengganggu saja?


Aku tidak pernah mengira jika orang di masa laluku datang kembali. Tanpa permisi. Semesta seperti berkonspirasi mengatur kecelakaan malam itu. Hingga akhirnya aku bertemu Zam. Cinta yang tidak pernah bisa kumiliki sejak dulu hingga sekarang. Tidak ada yang salah dengan takdir. Hanya saja, menyakitkan ketika aku harus menghadapi apa yang seharusnya hilang dari hidupku.


Seperti pagi ini. Aku melajukan mobilku menuju kantor tempatku bekerja. Ada yang berbeda pagi ini. Aku membanting setir, berbelok ke kanan. Tidak, aku tidak lupa jalan ke kantorku. Tapi entah mengapa mendadak aku mengambil keputusan untuk menuju rumah sakit. Sekuat mungkin aku menahan diri. Maka semakin yakin aku ingin melihat keadaan Zam. Aku membuang napas, untung Gita tidak berangkat bersamaku.


Dari jarak lima meter aku memandangnya diam-diam. Zam sedang duduk di teras belakang yang menghadap ke taman. Ia duduk di kursi roda, diam, dan terlihat sendirian. Apa Prita baru saja pulang atau memang belum datang?


Dari tempatku berdiri, aku bisa melihat separuh wajahnya yang datar menatap riak kecil di kolam dekat taman. Tidak ada yang pernah berubah. Lesung pipitnya yang menawan, sorot matanya yang teduh. Semua detail yang tidak pernah aku lupakan. Tuhan, andai aku boleh meminta. Kembalikan mata teduh dan lesung pipit itu ke sisiku. Jangan biarkan waktu memisahkan lagi—


“Rena?”


Wajah itu menoleh secara tiba-tiba. Aku yang salah tingkah karena ketahuan mengintip tidak sengaja menjatuhkan stopmap dari tanganku. Aku menepuk jidat. Antara malu dan grogi berbaur menjadi satu. Sementara Zam mendekat, aku masih kerepotan memunguti kertas-kertasku yang berantakan.

“Rena?” ulang Zam, aku sedikit mendongak.

“Eh, bagaimana keadaanmu?” tanyaku begitu aku selesai merapikan kertasku.

“Udah agak mendingan, Re.” Zam tersenyum, memperlihatkan lengkungan di pipinya. Ia mengajakku untuk mengitari taman. Aku tentu tidak menolak. Urusan terlambat masuk kantor itu masalah belakangan.

“Syukur kalau gitu. Oh ya, kok aku nggak lihat Prita ya?” tanyaku saat aku mendorong kursi roda Zam pelan.

“Dia baru pulang tadi pagi. Aku yang maksa. Setelah urusan di rumah selesai, dia pasti ke sini.” Zam tampak berbinar. Ada kejanggalan yang aku rasakan. Tapi aku langsung menepisnya.

“Sekarang kerja di mana?” Melihat aku yang terdiam, Zam langsung mengalihkan pembicaraan. Aku menghentikan gerakan tanganku. Zam sedikit menoleh ke belakang.

“Kerja di perusahaan periklanan,” jawabku singkat. Zam tersenyum. Aku tidak tahu ia tersenyum untuk apa.

“Kamu tahu, Re? Aku merasa sangat bersalah. Seharusnya waktu itu aku tidak mempermainkanmu. Dan sekarang aku menyesal. Kamu mau kan memaafkanku?” Zam berujar dengan nada bergetar, namun tidak ada keraguan di sana. Ucapan perminta-maafan itu terdengar tulus.

“Aku sudah melupakan semuanya, Zam. Tidak ada yang salah. Juga bukan salah takdir. Barangkali memang begitu cara kita bertemu. Tetapi, sungguh, kamu tidak perlu meminta maaf.” Aku berhenti mendorong kursi rodanya. Terasa menyakitkan saat aku mendengar kalimat itu keluar dari mulutku sendiri. Apa yang sudah aku katakan? Membohongi hatiku? Mengelabui perasaanku sendiri?

“Kamu baik, Re. Itu yang membuatku menyesali perbuatanku dulu. Tak seharusnya aku—” Zam tidak meneruskan kalimatnya begitu aku berjongkok di sampingnya dan menyentuh tangannya.

“Berhentilah meminta maaf,” kataku. Zam mengangguk patuh. Lengang untuk beberapa saat kemudian.


Zam tersenyum, aku belum berdiri dari posisi jongkokku. Aku lantas menoleh ke arah di mana senyuman Zam mendarat. Sudah bisa ditebak siapa yang datang. Aku bergegas berdiri, mengambil jarak dari Zam. Ini jauh lebih baik daripada ada kesalahpahaman. Kulihat langkah Prita semakin lebar, dan begitu sampai ia langsung mencium kedua pipi Zam. Apa kalian tahu apa yang sedang terjadi di relung hatiku?

Prita sepertinya pura-pura tidak melihat kehadiranku. Ia langsung mengajak Zam untuk kembali ke ruangannya. Dan aku dibiarkan berdiri di sini sendirian. Zam sempat menoleh ke belakang dua kali, tetapi Prita berhasil mengalihkan perhatian Zam. Kuusap kening yang berkeringat. Tidak ada yang lebih baik selain meninggalkan tempat ini dan segera pergi ke kantor. Aku rasa sekarang Gita sudah gemas menunggu di ruanganku.


***


“Beli apa sih? Buruan kenapa! Mau hujan, Re!” Gita sempat mengomel saat aku menghentikan mobilku di pelataran kedai buah. Aku juga sebal, kenapa ia tadi harus pulang bersamaku!

“Lima menit, Git. Lo juga nggak bakal kehujanan kalau lo diam dan duduk manis di dalam mobil.” Aku mendorong pintu mobil, menyisakan Gita yang bersungut-sungut ria.

“Buat apa beli parcel buah?” tanyanya spontan setelah enam menit aku keluar dari kedai itu. Aku tidak menjawab.

“Jangan bilang kita ke rumah sakit sekarang! Buat apa? Zam kan udah sembuh. Gue sih nggak mau ya. Nenek lampir itu pasti ada di sana!” Gita bergidik. Aku hanya menyeringai, tidak ada yang perlu aku jawab.

***

Rumah sakit, hujan deras turun membalut sore yang kelabu...


Gita mengekor di belakangku. Ia mencoba mengimbangi langkahku yang tergesa melewati koridor. Bahkan dengan konyolnya Gita melepas high heelsnya. Aku terus berjalan tanpa mempedulikan Gita.


Pintu berderit pelan ketika aku membukanya. Zam terbaring di ranjangnya. Sendiri. Tidak ada Prita di sini. Mungkin dia belum datang. Aku melangkah masuk.

“Eh, maaf membangunkanmu..” Aku menggigit bibir melihat Zam yang membuka mata.

“Rena? Sendirian?” Zam menyelidik. Aku mengangkat bahu, “tadi bareng Gita.”


Aku duduk di kursi samping ranjangnya. Kami sempat terlibat percakapan ringan. Mulai dari membahas masa SMA dulu sampai kepindahan Zam. Aku baru tahu jika Zam ikut pindah kedua orangtuanya. Namun tiga tahun yang lalu Zam memutuskan kembali ke kota ini.
“Memulai lembaran hidup yang baru.” Itu jawaban yang terlontar dari mulutnya begitu aku tanya alasan ia kembali ke kota ini. Aku hanya manggut-manggut.

“Zam, aku bawa Aliya—” Prita menghambur masuk dan langsung tercekat melihat aku duduk di samping Zam. Aku menoleh, melihat Prita yang membulatkan mata. Ekspresi keberatan tergambar jelas di raut wajahnya. Aku yang sadar akan tatapan itu langsung bangkit dari dudukku.

“Selama ini aku membiarkan kamu datang ke sini. Bukan berarti kamu juga bebas mengambil tempatku.” Prita berkata dengan mata memerah. Aku merasa bersalah. Prita benar. Tidak seharusnya aku di sini. Aku menunduk. Ada yang luput dari mataku. Dan aku baru menyadari setelah aku menundukkan kepala. Anak kecil yang manis. Mengenakan rok putih selutut. Rambutnya yang ikal dikuncir kuda. Ia menatap tidak mengerti. Sesekali menggenggam tangan Prita lebih kencang. Giliran aku yang terhenyak saat melihat pipi anak manis itu. Pipi yang berlesung pipit, sama seperti milik Zam.

“Maaf. Aku tidak pernah bermaksud untuk mengacaukan kehidupan kalian,” ucapku dengan gemetar. Mataku terasa hangat. Kumohon, jangan menetes di sini!


Gita muncul di depan pintu dengan menenteng high heelsnya di tangan. Ia menatapku dan Prita dengan curiga. Juga tidak luput menatap anak kecil yang digandeng Prita. Gita kali ini membisu. Benar-benar tidak mengerti apa yang harus keluar dari mulutnya. Prita masih menatapku. Aku mengalihkan mataku kepada Zam. Tidak ada sepatah kata yang keluar dari mulut Zam.

“Ma, aku pengen peluk Papa!” Gadis kecil yang baru berumur dua tahun itu merajuk dengan kalimat yang berlepotan. Prita mengangkat gadis itu, tangan Zam yang menerimanya. Terlanjur sudah. Air mata tanpa bisa kutahan meluncur begitu saja. Gita menarik tanganku sebelum situasi bertambah menyakitkan.


Dalam genggaman tangan Gita, aku sempat menoleh ke ruangan itu. Aku sepenuhnya sadar atas apa yang aku lihat dan dengar tadi. Tidak ada yang bisa mengubahnya menjadi mimpi.


***


Aku berjalan lunglai memasuki rumahku dengan mata yang sembab. Gita ikut masuk, barangkali ia cemas aku akan nekad melakukan apa saja.

“Rena—” sergahnya. Aku menoleh dan mendapati cermin besar yang merefleksikan diriku.

“Gue tahu, gue tahu gimana rasanya. Sesakit apa hati lo sekarang, gue ngerti...” Gita memecah kesunyian dengan suara lembutnya. Aku masih menatap cermin, sedikit pun tidak menoleh.


Tanganku meraih guci kaca di atas meja dengan sembarangan. Gita tergesa mencegah, namun kalah cepat dengan tanganku. Aku melemparnya dalam satu tarikan napas. Gita berteriak karena terkejut. Cermin besar itu remuk sudah. Serpihan cermin besar tadi bergemerincing menghujam lantai lantas terberai menjadi serpihan kecil. Kedua kakiku lemas, bahuku naik turun. Akhirnya aku jatuh terduduk di lantai. Aku menangis kencang, meremas rambut panjangku. Gita lantas mendekat dengan hati-hati. Ia merangkulku.

“Jangan seperti ini, Re. Hidup kalian memang sudah berbeda. Zam bahagia dengan keluarga kecilnya.” Gita berbisik di telingaku. Ya, aku tahu di mana letak kesalahanku. Karena sejatinya apa yang terlihat oleh kedua mataku tidak sama dengan apa yang menjadi rahasia di balik harapan-harapanku. Memori itu terputar dalam otakku. Malam ketika aku menyebabkan kecelakaan Zam. Ketika aku hendak menyentuh wajahnya. Saat aku melihat senyum di lesung pipitnya. Pancaran mata teduhnya—Menyakitkan! Aku terkulai lemah, jatuh di pangkuan Gita.


Aku memasuki lorong yang sepi. Sejauh mata memandang hanya putih pekat yang bisa tertangkap oleh mataku.

Di mana aku?

Apa aku sudah mati?

Aku berdiri dengan berpegangan pada dinding. Tidak ada siapa pun di sini. Kosong. Seperti ruang hampa. Aku mencoba berteriak. Memanggil nama siapa saja yang aku kenal—termasuk Zam.

‘Rena?’

Aku mencari sumber suara berasal. Yang ternyata dari belakangku. Aku berbalik dan mendapati Zam berdiri di ujung. Ia tersenyum mengulurkan tangannya. Perlahan aku mendatanginya. Saat aku ingin menyambut uluran tangannya. Ia menghilang begitu saja. Jemariku menyentuh udara yang kosong. Aku mulai menangis dan kembali terjatuh ke lantai yang terasa dingin menusuk tulang. Kenapa Tuhan? Kenapa? Mengapa Engkau mendatangkannya kembali ke dalam hidupku hanya untuk membuatku mengerti kalau aku dan Zam tidak ditakdirkan untuk bersama?




“...ketika aku memutuskan untuk berhenti dan melupakan, aku dihadapkan pada dua pilihan; mengenangnya atau menghapusnya? Aku tidak tahu harus memilih yang mana, waktu hanya memberiku waktu yang singkat untuk memilih. Jika aku mengenangnya, aku akan tetap hidup di antara bayangnya. Dan bila aku menghapusnya, maka aku seyogyanya akan membiarkan waktu melenyapkannya. Aku tidak ingin kehilangannya, waktu yang aku rangkai bersamanya tidak sebentar. Sang waktu, bila engkau ingin membawanya pergi dari hidupku, maka beri aku waktu sebentar saja untuk merasakan kehadirannya yang nyata untuk terakhir kali. Walau hanya sedetik waktu—”





TAMAT

Cari Blog Ini