Setiap
pertemuan pasti berakhir dengan perpisahan. Aku benci kalimat itu, muak
mendengarnya. Apa itu juga bagian dari takdir? Sebagian besar orang
menyangkalnya, seakan tidak percaya dengan hukum alam itu. Termasuk aku yang
kini sedang duduk tercenung di antara keramaian. Aku duduk menatap lantai di
bawahku. Satu titik air menetes tanpa kuduga.
“Kamu
nangis?” Seseorang di sebelahku menyentuh pundakku. Dengan cepat aku mengusap
pipiku.
“Nggak..
Mungkin karena kurang tidur.” Aku pura-pura menguap. Orang di sampingku
mengacak rambutku. Entah percaya atau tidak dengan ucapanku tadi.
“Aku
berjanji setelah semua selesai, aku akan kembali. Dan kita akan bersama selamanya...”
Wahyu meraih tanganku, meyakinkanku. Aku mengangguk, kemudian ia mendekapku.
Tidak
ada percakapan lagi setelah itu. Pesawat yang ditumpangi Wahyu akan segera take off. Pengeras suara sudah
memberitahukan penumpang untuk lekas bersiap. Wahyu menggenggam kedua tanganku
sebelum beranjak.
“Hati-hati
ya...” kataku pelan. Ia mengangguk.
“Jaga
kesehatan kamu...” Pesannya balik. Aku mengangguk patuh. Rasanya tidak mungkin
aku menangis di depannya.
“Aku
mencintaimu...” Wahyu mengecup keningku. Aku menjerit dalam hati, tidak tahu
harus menahan air mata dengan cara apa lagi. Perlahan, Wahyu berbalik.
Genggaman tangan kami merenggang, pelan tapi pasti, tangan kami sudah terlepas.
Aku terus menatap punggungnya. Berharap perpisahan ini hanya mimpi buruk.
Tidak. Ini bukan mimpi. Karena aku yang memaksanya pergi. Aku yang mendesaknya
untuk menyelesaikan kuliahnya di sana. Dan ia akhirnya mengalah, meski
bersikeras untuk berhenti kuliah. Kami sempat diam-diaman selama satu bulan
karena masalah ini. Apa aku telah menyesal telah membuat Wahyu pergi? Tidak.
Aku mempercayakan semua kepada takdir. Aku membiarkan takdir dan waktu berjalan
dengan semestinya.
“Aduh,
telat gue!” ucap Ikmal dengan ngos-ngosan.
“Dara
mana?” tanyaku.
“Gue
bukan babysitter dia, Mita.” Ikmal tampak kesal. Lalu duduk sambil mengatur
napas. Kurasa tadi ia lari dari rumah menuju bandara.
“Wahyu
baru aja berangkat. Kamu cepat dikit pasti kekejar,” kataku.
“Macet.
Ini tadi juga udah lari!” keluhnya. Aku tertawa kecil melihat wajahnya yang
berkeringat. Aku mengeluarkan saputangan dari kantong celanaku.
“Nih,
lap tuh muka,” aku menyodorkannya. Ia hanya menatapku tidak berkedip.
“Ikmal!”
bentakku. Ia tersadar lalu menyambar saputangan.
“Kok
nggak ada yang bangunin gue sih? Lo juga Mit! Kenapa nggak ngajak gue. Lihat
kan, gue nggak bisa ikut ngantar Wahyu!” Dara mengamuk dengan tampang kusut
baru bangun. Rambutnya berantakan kesana-kemari. Ikmal cekikikan di sampingku.
Entah sedang menertawakan apa.
“Siapa
yang suruh lo ketawa?!” Dara melotot tajam. Ikmal bukan jadi diam, malah
semakin terpingkal. Mungkin ia sedang membayangkan dua tanduk keluar dari
kepala Dara.
“Wahyu
juga buru-buru. Pesawatnya berangkat pagi,” kataku, membuat Dara tambah kecewa.
“Idih!
Wahyu juga malu kali lo ikut ke bandara. Malu-maluin! Pakai baju tidur, rambut
berantakan, bau iler...” Ikmal mencibir. Dara hampir mencekiknya. Aku
menggelengkan kepala, dan memilih menyingkir dari ruang tengah.
Aku
berdiri di depan pembatas balkon. Pemandangan kebun teh terhampar luas di
hadapanku. Pagi ini masih berkabut. Jadi terasa dingin menyentuh kulit. Setelah
kepergian Wahyu, apakah semua akan berubah? Apa tanpa Wahyu aku bisa melihat
indahnya pelangi seperti saat Wahyu ada di sini? Apakah tanpa Wahyu, hujan akan
turun di musim kemarau? Aku tidak tahu. Jangan tanya itu padaku. Aku tidak mau
mendengarnya, juga tidak sanggup menjawabnya.
“Dara
tahu tentang ini?” tanya Ikmal yang berdiri di sebelahku. Aku tidak tahu kapan
ia menyusulku.
“Tentang
apa?” tanyaku mengerutkan dahi.
“Hubungan
kalian?” Ikmal menatapku. Aku terkesiap mendengarnya.
“Belum.
Aku belum siap melihatnya terluka.” Aku menatap ke depan.
“Iya,
gue paham soal itu. Tapi, Mita, yang gue takut suatu hari nanti lo yang bakal
terluka. Gue nggak bermaksud untuk.. Lo ngerti kan, Mit?” ucap Ikmal yang
membuatku menoleh kepadanya. Apa yang ia katakan tidak salah. Tapi aku mencoba
untuk tetap tenang.
“Gue
tahu, Mal. Tapi untuk sekarang bukan waktu yang tepat,” sergahku. Ikmal diam
sejenak. Sementara aku sedang membuang pikiran-pikiran aneh yang terlintas di
kepalaku.
“Gue
yakin lo bukan wanita sembarangan. Lo kuat, dan lo tahu apa yang seharusnya lo
lakukan. Wahyu beruntung ya, Mit.” Ikmal menyeringai.
“Satu
hal yang perlu lo tahu. Gue juga masih bisa nangis.” Aku terkekeh. Ikmal
tertawa samar seraya manggut-manggut.
“Wahyu
udah telepon?” tanyanya kemudian. Aku menoleh ke belakang, ke ponsel yang
tergeletak di atas meja. Aku menggelengkan kepala. Sudah seminggu ini Wahyu
tidak meneleponku. Saat aku mencoba menghubunginya, nomornya tidak aktif.
Tetapi aku tidak mau berterus-terang kepada Ikmal. Cukup aku saja yang merasa
khawatir.
Bahkan
malam pun terasa hampa. Angin malam bertiup hambar menerpa wajah kami. Aku
melirik ke kanan, dan mendapati Dara membolak-balikkan majalahnya dengan bosan.
Kulirik ke kiri, melihat Ikmal yang menatap layar ponselnya dengan muka kusut.
Aku menghela napas. Bukan hanya mereka yang merasakan bosan. Meski aku tidak
tahu apa yang membuat mereka bosan. Karena aku juga merasakannya, lebih dari
yang mereka rasa.
“IIH!”
pekik Dara yang membanting majalahnya ke meja. Membuat aku dan Ikmal
terperanjat.
“Nah!
Keluar tanduk kan? Nggak ada hujan, nggak ada angin.” Ikmal mengejeknya, ia
sudah kembali fokus pada ponselnya. Dara menatapnya galak.
“Kenapa?”
tanyaku saat melihat Dara beralih memainkan ponselnya.
“Wahyu
dari tadi pagi nggak nelepon gue! Gue telepon balik tapi nomornya nggak aktif.
Nyebelin nggak sih?” Dara nampak kecewa. Dara kecewa? Aku bahkan lebih dari
kecewa saat mendengar apa yang ia katakan barusan. Ikmal langsung terkesiap,
dan menatapku. Dara sepertinya terlalu sibuk untuk melihat ekspresi di wajahku.
“Gue
tidur duluan ya..” Aku segera bangkit. Aku tidak tahu jika Ikmal mengejarku. Ia
menghadangku yang akan membuka pintu kamar.
“Gue
masih percaya lo wanita hebat. Meski sekarang lo nangis..” Ikmal menyentuh
pipiku, mengusap bekas air mataku. Aku menyingkirkan tangannya.
Aku
masuk ke kamar begitu saja. Ikmal masih berdiri di depan pintu. Tetapi aku
sedang ingin sendiri. Agar aku bisa menangis sepuasnya. Wahyu, apa kamu tahu?
Aku menangis malam ini. Untuk pertama kalinya aku menangis karena aku cemburu.
Juga takut akan kehilanganmu. Apa kamu bisa merasakan setiap tetes air mata
yang jatuh karenamu?
“Sini
biar gue aja,” ucap Ikmal merebut koper dari tanganku. Lalu memasukkannya ke
bagasi.
“Kenapa
harus pulang sekarang?” Ikmal bertanya, menatapku sejenak.
“Bunda
nyuruh gue pulang. Mendadak,” kataku beralasan. Sebenarnya bukan itu alasannya.
Hanya saja Ikmal tidak perlu mengetahuinya.
“Terus?
Gimana?” Ikmal teringat sesuatu, wajahnya langsung berubah. Aku mengangkat sebelah
alisku.
“Lo
kan pulang nggak bawa tuh mak lampir. Masa’ iya gue harus..” Ikmal berhenti
berkata ketika aku menepuk bahunya. “Lo jagain dia ya. Yang akur,” kataku yang
tidak bisa menahan tawaku. Ikmal melengos. Aku tahu, berat untuk Ikmal berdamai
dengan Dara.
“Jangan
nangis lagi ya...” Ikmal melambaikan tangannya saat mobilku hendak melaju. Aku
tidak berjanji untuk hal itu. Kalau pun aku menangis, itu adalah cara terakhir
untuk berkata ketika mulutku tak sanggup mengungkapkan.
“Ada
yang kurang deh, Mit?” Bunda menatap sekelilingku. Aku juga ikutan menoleh.
“Dara?”
tanyaku.
“Iya.
Dia mana?” tanyanya.
“Masih
di villa, Bun. Mita pulangnya juga diam-diam, waktu dia masih tidur,” ceritaku.
Aku melepas ranselku, duduk di sofa dan melepas sepatuku. Bunda sedang menata
sarapan di meja.
“Kamu
keterlaluan. Nanti dia ngamuk gimana? Katanya galak?” Bunda tertawa mendengar
kalimatnya sendiri. Aku mendekat ke meja makan. Meraih satu roti tawar dan
melahapnya.
“Kamu
belum punya pacar kan, Mit?” Bunda menatapku. Pertanyaan itu berhasil membuat
roti tidak tertelan dengan sempurna. Aku cepat meraih gelas berisi susu.
“Bunda
tanya apa tadi?” tanyaku, berharap Bunda menarik kembali pertanyaannya.
“Kamu
udah punya calon belum?” Bunda memperjelas kalimatnya. Aku terperanjat sampai
gelas di tanganku hampir jatuh ke lantai.
“Mita
sebenarnya udah punya, Bun. Tapi..” Aku tidak melanjutkan. Kulihat Bunda
menatapku penuh minat.
“Tapi
dia kuliah di Austria,” kataku. “Dua tahun lagi dia selesai.”
“Kamu
sanggup berhubungan jarak jauh dengan dia?” Bunda terlihat sangsi.
“Mita
tahu dengan resiko atas keputusan yang Mita ambil. Bunda percaya kan sama Mita?”
Aku memeluknya. Bunda mengangguk.
“Sarapan
dulu, yuk!”
***
Satu
tahun berlalu dengan cepat. Secepat aku perlahan mulai mengetahui semuanya.
Secepat rahasia yang sedikit demi sedikit terkuak...
Selama
satu tahun hubunganku dengan Wahyu tidak pernah berjalan mulus. Ada saja yang
membuat kami salah paham. Ego kami memang besar. Meski seringnya Wahyu yang
mengalah dan memilih diam. Tetapi aku atau pun Wahyu masih mencoba bertahan
dengan keadaan yang ada. Kadang aku berpikir kalau cinta ini hanya sesaat.
Tetapi setiap kali aku mencoba berpikir demikian, separuh hatiku tidak sepakat.
Ini
untuk entah ke berapa kali aku duduk di kursi ini. Dara duduk manis di
sampingku, diam, tidak seperti biasanya. Kurasa ia sedang gugup. Terlihat
tangannya gemetar. Sementara Ikmal mondar-mandir. Juga terlihat gelisah. Kali
ini aku yakin Dara tidak akan membentaknya untuk duduk. Dara terlalu sibuk dengan
pikirannya sendiri. Aku mengerjapkan mataku, tertunduk menatap lantai yang
mengilat. Suara decit sepatu Ikmal memenuhi kepalaku. Pikiranku juga ikut
kacau. Padahal tadi waktu berangkat ke sini aku masih normal saja. Dara juga
ikutan berdiri, melakukan apa yang Ikmal lakukan.
Aku
memejamkan mata dan menyandarkan tubuhku ke punggung kursi. Wajah Bunda
terlintas di kepalaku. Bunda yang sudah tiga hari tak sadarkan diri di rumah
sakit. Selama ini Bunda sukses menyembunyikan penyakitnya dariku. Hingga aku baru
tahu saat Bunda mengalami komplikasi. Aku mendekap wajahku dengan tangan.
“WAHYU!!”
Aku
membuka mataku. Tepat di depanku Dara merangkul Wahyu. Ikmal menatapku sendu.
Wahyu seperti tidak berusaha melepas pelukan Dara. Aku berdiri dengan kaki yang
gemetar, kepalaku berdenyut. Duniaku terasa berputar kencang.
Ketika
itu aku merasa kehilangan dayaku. Samar aku melihat Wahyu menangkap tubuhku
yang nyaris tertelungkup ke lantai. Sisanya, hanya gelap.
Aku
membuka mataku. Wahyu duduk di sampingku. Ikmal dan Dara juga ada di sini.
Tetapi sepertinya Ikmal pintar membaca situasi. Ia segera membawa Dara keluar
dari kamarku. Membiarkan aku dan Wahyu berbicara empat mata.
“Hei,
kamu kenapa?” Wahyu bertanya dengan suara yang lembut. Ia pelan memijat tanganku.
“Aku
nggak apa-apa,” kataku parau.
“Kamu
nggak usah bohong, Mit. Aku tahu.” Wahyu menatapku. Aku mencoba bangun dengan
bantuan Wahyu.
“Aku
khawatir, Wahyu. Aku takut kehilangan kamu,” ucapku berterus terang.
“Kamu
cemburu? Sama Dara?” tanyanya spontan. Aku terdiam. Tanpa aku menjawab pun
Wahyu seharusnya sudah tahu.
“Bundaku
sakit. Tiga hari tak sadarkan diri di rumah sakit,” ungkapku kemudian, berhasil
mengalihkan perhatian. Wahyu menatapku prihatin. Air mata berderai di pipiku.
Wahyu memelukku.
“Maafkan
aku, Mita. Aku tidak berada di sampingmu saat kamu membutuhkan tempat untuk
bersandar,” katanya dalam pelukanku. Aku menggeleng.
“Kamu
tidak perlu meminta maaf,” ucapku.
“Oh,
jadi gitu ya, Mit?”
Aku
dan Wahyu menoleh dengan posisi tetap berpelukan. Dara berdiri kaku di depan
pintu yang terbuka. Nampan yang dibawanya bergetar, sampai airnya nyaris
tumpah. Aku bergegas melepas pelukan Wahyu. Dara sudah menangis sesenggukan. Ia
sengaja menjatuhkan nampan itu. Gelasnya pecah menjadi kepingan kecil. Aku
tahu, sangat tahu bagaimana perasaannya sekarang. Aku sangat paham bagaimana
dengan hatinya yang sesak. Aku mengerti apa yang Dara rasakan saat melihat
Wahyu memelukku. Aku tahu!
Dara
berlari entah kemana dan Wahyu mengejarnya. Apa Wahyu lebih mementingkan Dara
ketimbang aku?
“Pasien
sudah sadar...” Dokter berkata setelah keluar dari kamar Bunda. Aku senang
mendengarnya. Aku langsung masuk, diikuti Wahyu yang berjalan di belakangku.
“Bunda—”
Aku mengecup tangannya yang tidak terpasang infus. Bunda sedikit tersenyum. Aku
menoleh dan mendapati Wahyu yang mematung di depan pintu.
“Wahyu!
Jangan bengong. Sini.”
“Ini
Wahyu, Bun. Dia yang Mita ceritakan dulu..” Aku menarik tangan Wahyu mendekat.
Bunda menatapku dengan sorotan berbeda.
“Bunda..
Ehm. Tante..” Wahyu mencium tangan Bunda. Aku kira tidak masalah dengan sebutan
yang pertama. Bunda hanya tersenyum lalu terdiam. Tidak banyak kalimat yang
terlontar. Mungkin karena keadaan Bunda yang masih lemas. Waktu itu aku tidak
tahu apa pun. Hingga suatu hari semua tersingkap secara tiba-tiba. Tanpa ampun.
Dan segalanya akan berubah. Aku kira ini adalah awal yang baik. Ternyata aku
salah.
Wahyu
tertidur di sampingku. Kepalanya tersandar di dinding. Ia terlelap dengan
posisi duduk. Sudah larut malam dan aku masih terjaga. Sebenarnya tidak ada
yang harus aku cemaskan. Apalagi sekarang Bunda sudah membaik. Namun tetap saja
ada yang mengganggu pikiranku. Apa ini tentang Dara? Kucoba membuang
ketakutanku jauh-jauh. Aku menoleh. Seharusnya aku mempercayai Wahyu. Bukan
malah berpikir yang tidak-tidak.
“Wahyu!!”
Aku terperanjat. Suara itu menyeruak memenuhi koridor rumah sakit. Wahyu
langsung terbangun.
“Dara?”
Wahyu mengucek matanya. Aku diam, tidak tertarik untuk menanggapi.
“Kenapa
malam-malam begini kesini?” tanya Wahyu.
“Kamu
pasti belum makan. Jadi aku bawa makanan. Aku masak sendiri hlo. Sini. Aku
suapin ya...” Dara membuka kotak makanan setelah duduk di sebelah Wahyu. Aku
sepertinya sama sekali tidak digubris Dara. Aku memilih menyingkir. Wahyu
sempat mencegahku tetapi aku menepis tangannya.
“Kamu
cemburu lagi?” Aku dengan jelas mendengar pertanyaan itu. Kenapa harus itu yang
ia tanyakan?
“Aku
nggak mau ngomong banyak. Toh percuma juga, kamu nggak akan ngerti. Aku cuma
mau kamu ambil keputusan. Kamu pilih aku atau Dara..” Aku menatap ke langit,
menghindari sorot mata Wahyu. Sekaligus menahan air mataku.
“Apa
kamu mulai meragukanku?” Wahyu menggamit bahuku, memaksaku untuk menatapnya.
Namun aku masih menunduk.
“Aku
selalu percaya sama kamu. Tetapi, setiap kali Dara ada di antara kita, aku
merasa ini nggak adil. Aku seperti tersisih,” jelasku, kali ini aku berani
menatap matanya.
“Kamu
tahu jawaban itu, Mita. Tanpa aku harus mengatakannya.” Wahyu menyeka pipiku.
Aku menyingkirkan tangannya saat sekelebatan aku melihat Dara. Tetapi tidak ada
siapa pun saat aku menoleh. Jika benar itu Dara, maka bisa dipastikan ia akan semakin
membenciku. Aku tahu resiko itu.
***
“Bunda
boleh bicara sama kamu sebentar?” Bunda berkata lirih. Wahyu yang juga
mendengarnya langsung berpamitan untuk keluar.
“Bunda
tidak setuju kamu dengan dia. Dengar, Bunda memang belum bisa memberimu alasan
sekarang. Karena nanti kamu akan tahu dengan segera,” kata Bunda tanpa
berbasa-basi. Aku membulatkan mata.
“Maksudnya
apa, Bun? Mita nggak bisa, dan nggak mau!” kataku berkeras hati. Bunda
meredupkan sorot matanya.
“Buang
perasaan itu sekarang, Mita. Sebelum semua terlambat, atau kamu akan menyesal.
Lakukan demi Bunda. Jauhi dia mulai dari sekarang,” Bunda meremas tanganku,
berharap aku mencamkan baik-baik ucapannya. Air mataku menetes tanpa bisa
kutahan.
“Bunda
sangat berat mengatakan ini, Sayang. Tapi Bunda harus tetap mengatakannya.
Bunda tahu perasaan kamu bagaimana. Tetapi tolong, kali ini saja, turuti
perkataan Bunda ya...” Aku menangis lagi mendengarnya. Bunda tidak pernah
seyakin ini. Sorot matanya tegas. Aku diam karena aku tidak bisa memberikan
janji apa pun. Itu tidak mudah untukku. Setelah sekian tahun sulit untuk
menganggap tidak pernah ada apa-apa.
“Mita
mencintainya, Bunda. Sangat mencintainya,” tandasku. Kulihat air matanya
merambat turun dari sudut mata. Bunda memilih untuk bungkam.
***
“Setiap
kamu ada, hujan selalu datang di musim kemarau. Tanpa terduga. Sama seperti
sekarang.” Aku menjulurkan kedua tanganku. Rintik hujan menimpa tanganku. Wahyu
tersenyum di sampingku. Meski kali ini bukan di tempat biasanya saat melihat
pelangi. Tetapi ini cukup membahagiakan, asal ada Wahyu di sisiku. Meski
pelangi tidak akan terlihat dari teras rumah sakit, tetapi ada pelangi yang
jauh lebih indah berdiri di dekatku.
“Nanti
kalau kita berpisah bagaimana ya? Apa.. kita bisa menjalani hidup dengan
normal?” kataku membuka pembicaraan.
“Tidak
ada yang akan memisahkan kita, Mita. Selain kematian,” katanya mantap.
“Tetapi
kita tidak pernah tahu apa yang akan terjadi nanti, besok, lusa, hari
selanjutnya—” Aku teringat kalimat Bunda. Air mataku menggenang, membuat
pandanganku sedikit kabur.
“Aku
hanya takut semua hilang begitu saja dari hidupku. Termasuk kamu.” Menetes
sudah air mataku.
“Aku
tidak akan menghilang kemana-mana. Aku akan di sini, membuat hujan turun di
musim kemarau seperti sekarang.” Wahyu memeluk bahuku, mendekapnya tenang.
Aku
memilih bungkam. Wahyu memilih menatap air yang mengalir turun dari atap teras.
Bagaimana jika ketakutanku terjadi? Bagaimana jika hujan tidak akan turun di
musim kemarau lagi untukku? Bagaimana jika perkataan Bunda terbukti? Aku takut
menghadapinya.
Tetapi
kenapa aku harus berpikiran sejauh itu? Aku menoleh sekilas. Kenyataan kalau
Wahyu masih ada di sampingku sedikit membuatku tenang. Bunda, lihatlah wajah
teduh ini, ia akan tetap berada di sisiku. Dan masih tetap menjadi milikku.
Entah sampai kapan.
Aku
memejamkan mataku. Menikmati dinginnya aroma hujan. Banyak hal yang membuatku
merapuh. Apalagi setelah percakapanku dengan Bunda. Dan sekarang, aku dibuat
bingung dengan—entahlah—aku belum mengerti apa maksud Bunda melarangku
berhubungan dengan Wahyu.
“Hloh,
Bunda pulang sekarang?” aku terkejut melihat Bunda yang sudah rapi duduk di
tepi ranjang.
“Om
siapa?” aku mengalihkan pandanganku pada seseorang yang menenteng tas besar
berisi baju-baju Bunda. Orang itu hanya tersenyum. Aku seperti mengenalnya.
Mereka
kompak terdiam. Aku yang tak kunjung mendapat jawaban semakin dibuat penasaran.
“Bunda,
siapa dia? Kok aku nggak pernah lihat?” tanyaku sedikit mendesak. Bunda hanya
menunduk. Orang itu tidak bergeming dari posisinya. Aku tidak mau
menebak-nebak.
“Ayah?
Ayah di sini?” Pintu terbuka dari luar. Aku menoleh cepat, dan mendapati Wahyu
berdiri di ambang pintu. Jadi, apa yang sedang terjadi sekarang?
“Kalian
sudah saling kenal? Astaga, kabar yang menggembirakan.” Lelaki yang tadi diam
kini membuka mulutnya.
“Jadi
Ayah sudah kenal dengan Mita?” Wahyu bertanya setelah keterkejutannya hilang.
Kulihat Bunda sudah berdiri, melangkah tertatih ke arah Wahyu. Setelah sampai,
Bunda langsung memeluk Wahyu. Kudengar bisik lirih itu. “Anakku, ini Bundamu.
Ibu kandungmu.”
Aku
hampir mati berdiri mendengar apa yang Bunda katakan. Selirih apapun suara itu,
aku bisa mendengarnya dengan sangat jelas. Mataku perih, gumpalan air seperti
mendesak keluar dari pelupuk mataku. Aku tak sempat melihat ekspresi yang ada
di wajah Wahyu.
Lelaki
paruh baya itu mendekat. Menyentuh bahuku, namun aku menepis tangannya. Bunda
belum melepas pelukannya. Aku berlari keluar dari ruangan itu. Berlari melewati
koridor dengan hati yang teriris. Aku tidak bisa membedakan apa ini kebahagiaan
atau malah sebaliknya.
Bahagia
karena aku telah bertemu dengan saudara kandungku. Atau sedih karena itu
berarti aku harus berhenti mencintai Wahyu. Entah! Biarkan aku menangis
sekarang. Biarkan waktu seolah berputar hanya untukku. Biarkan hujan seakan
turun hanya untukku.
Aku
berlari menerabas hujan yang begitu derasnya. Gemuruh di langit menambah
sesaknya hati. Angin menelisik relung jiwa yang rapuh. Tuhan, katakan padaku,
juga pada semua orang, kalau cinta ini tidak pernah terlarang. Cinta ini akan
tetap abadi selamanya.
Aku
berhenti untuk mendongak ke langit. Kilatan langit tak membuatku bergeming.
Satu getaran menghentak bumi. Bertepatan dengan tangan yang menyentuh bahuku
dari belakang.
“Kamu
masih mau bilang kita akan tetap bersama, hanya kematian yang memisahkan?”
“Kita
masih bisa bersama, Mita. Bahkan sampai kapan pun. Sebagai saudara kembar.”
Wahyu memaksaku untuk menatapnya. Aku tertegun di bawah tatapannya.
“Saudara..
Saudara.. Kembar?” aku tercekat, mencoba meyakinkan diriku sendiri. Wahyu
membelai rambutku.
“Jadi
kamu mau bilang kalau perasaan ini hanya kebetulan yang salah tempat? Apa kamu
juga akan bilang jika getaran yang kita rasakan dulu karena kita saudara
kembar?!” Aku marah dan kecewa. Jika ini mudah untuknya, apa ia juga berpikir
akan mudah untukku?
“Aku
tidak akan mengatakannya. Karena aku tidak pernah menyesali apa yang telah kita
lewati bersama. Meski sekarang, kita harus mulai semuanya dari awal lagi. Bukan
sebagai sepasang kekasih.” Wahyu mendekap tubuhku yang basah kuyup. Wajahnya
tetap tenang.
“Aku
takut pelangiku kehilangan warnanya. Aku takut hujan akan meninggalkanku. Aku
takut hujan akan pergi membawa pelangiku dan tak pernah kembali. Aku takut
kehilangan waktu bersamamu.” Aku menangis di dadanya. Ia memelukku lebih erat.
Tangannya bergetar.
Aku
tahu, dalam diam ia menangis. Dalam diam ia menguatkan hati kami. Dalam diam ia
mencoba menerima takdir ini, meski hatinya merapuh. Aku juga tahu, di bawah
hujan yang masih turun mengguyur kami dan langit yang hitam pekat, perasaan ini
selalu kekal.
TAMAT