Rabu, 16 November 2011

Aku dan Rinai, part 4 (ending)



Aku menelan ludah, lidahku terasa kaku untuk menyalahkannya lagi. Aku jadi merasa tidak enak hati melihat Wahyu yang jadi muram. Aku malah memberanikan diri untuk menyentuh tangannya.

“Maafkan saya... Saya mengerti, Rinai jauh lebih membutuhkan Anda. Saya tidak akan melarang Anda untuk membawa Rinai pergi. Karena itu bukan hak saya.” Aku menghela napas. Biarkan malam ini semua masalah terasa jelas. Dan keputusan terakhirku: membiarkan Rinai tinggal bersama Ayahnya.

“Terimakasih...” Wahyu balas menggenggam jemariku. Grogi melandaku hebat.

“Terimakasih untuk apa?” Dahiku berkernyit, menatapnya dengan skeptis.

“Untuk semuanya... Boneka-boneka, membacakan buku dongeng, dan petikan gitar itu. Semua yang kamu lakukan untuk Rinai...” Wahyu tersenyum takzim, melepas genggaman tangannya. Bagaimana dia tahu itu semua?

“Saya sangat ikhlas, Rinai sudah saya anggap sebagai adik saya sendiri. Anda sangat beruntung mempunyai anak seperti Rinai,” aku menyunggingkan bibir. Wahyu tersenyum tipis. Aku sempat heran, mungkin malam ini dia sedang tidak pelit untuk membagi senyum indahnya. Dan malam ini, aku merasakan aroma perdamaian yang tercipta antara aku dan dia. Mungkin ini adalah awal yang menyenangkan. Tetapi tetap saja tidak bisa mengusir rasa sedihku karena harus berpisah dengan gadis kecil itu. Suasana dalam mobil hening, hanya suara riak hujan yang terdengar samar-samar.

“Jam berapa berangkat ke London?” Aku bertanya, memastikan.

“Semuanya tergantung sama kamu.” Wahyu mengangkat bahu. Aku tidak mengerti maksudnya.

“Kamu bingung? Oke, akan saya perjelas kalimat tadi. Saya dan Rinai tidak akan pergi ke London asalkan Rinai mendapatkan ‘Bunda’ yang baru. Kamu ngerti kan maksud saya?” Wahyu mendehem. Hujan agak mereda. Oke, aku sangat paham dengan maksud perkataannya.

“Saya harus pulang!” Seketika itu aku memutuskan untuk mengakhiri perbincangan yang semakin lama terasa aneh. Aku segera membuka pintu mobil. Sungguh, aku tidak bisa mendengar kalimat yang akan dia lontarkan selanjutnya. Lebih baik aku mencari aman dengan cara pergi dari hadapannya.

***

Malam itu, aku berhasil ‘melarikan diri’. Tidak bisa terbayangkan jika aku berlama-lama di dalam mobilnya.

Pagi-pagi buta, aku memaksakan mataku untuk terbuka. Mama juga sudah siap menggedor-gedor pintu kamarku. Peduli apa dengan pintu yang akan roboh karena mendapatkan hantaman bertubi-tubi setiap pagi? Tetapi pagi ini Mama tidak perlu mengeluarkan tenaganya untuk membangunkanku. Aku sudah bangun sendiri.

“Tumben bangun pagi Mit? Mau langsung ke Panti ya? Sarapan dulu yuk. Sekalian ada yang ingin Mama tanyakan ke kamu.” Mama menegur, menawariku untuk duduk. Sudah ada satu piring nasi goreng di hadapanku. Aromanya membuat perut keroncongan. Tetapi, aku sedang tidak berselera untuk memakannya. Mama berdehem.

“Sayang, kok cuma di pantengin terus sih? Di makan dong, paling nggak satu suapan saja.” Mama menatapku khawatir. Aku ingin berkata ‘Tapi Ma, aku nggak lapar!’ tetapi mana aku tega melihat Mama kecewa karena aku tidak menghargai masakannya. Aku menyendok nasi goreng, memaksa mulutku untuk menelan. Rasanya hambar di lidahku. Begini nih kalau orang lagi merana di paksa makan.

“Mit, kamu punya calon suami kok nggak pernah bilang sama Mama sih? Pakai main rahasia-rahasiaan segala.” Mama tertawa riang.

Apa?

Seketika nasi goreng gagal tercerna dengan baik. Tersedak-sedak. Tanganku sigap meraih gelas berisi teh. Tapi, ah panas!! Teh panas ternyata isinya. Kebat-kebit aku mengipas-ngipas mulutku. Apa yang di tanyakan Mama tadi? Calon suami? Punya pacar aja belum. Ini malah calon suami.

“Aduh, maaf Mit. Kamu sih, Mama kan cuma tanya soal itu kok sampai salting sendiri?” Mama menutup mulutnya, menahan gelak tawa yang akan lepas.

“Mama... Mita aja nggak punya pacar. Apalagi calon suami?” Aku menggelengkan kepala. Tak habis pikir, ini kenyataan atau mimpi. Atau hanya gurauan Mama saja? Ah, benar-benar konyol.

“Orang yang semalam datang kesini nggak mungkin salah alamat! Jelas-jelas dia bilang ketemu kamu di Panti beberapa hari yang lalu.” Mama ngotot habis-habisan, mempertahankan pendapatnya itu. Aku mendengus sebal.

“Kamu pinter juga cari calon suami. Orangnya ramah, sopan, ganteng, dan mapan pula.” Mama mulai bercerita, terlena sendiri.

“Namanya?” tanyaku dengan sebal. Mama tertawa. Bahagia? Tentu saja saat ini Mama sedang bahagia.

“Wahyu!!” Mama berseru lantang. Aku jadi kepikiran, kira-kira ayam tetangga sebelah mati nggak ya? Mengingat suara Mama naik delapan oktaf.

“Tapi aku tuh nggak cinta sama dia, Ma. Ketemu juga baru dua hari yang lalu,” aku mencoba memberi sanggahan tidak terima.

“Ayolah Mit, cinta kan juga bisa tumbuh setelah kamu menikah dengan Wahyu? Apa kamu nggak kepengin lihat Rinai bahagia?” Mama tetap bersikukuh pada pendiriannya. Memaksa. Membujuk. Menyebalkan.

“Hloh, Rinai kok di bawa-bawa sih Ma?” aku mengaduh, menepuk jidat. Ini adalah salah satu kelemahanku. Semua yang berhubungan dengan Rinai terasa berat untuk aku tolak.

“Asal kamu tahu. Rinai-lah yang meminta Wahyu untuk melamar kamu.” Mama berdiri, merengkuh bahuku. Sepertinya Mama akan mengeluarkan jurus pamungkas-nya.

“Semua keputusan ada di tangan kamu. Mama hanya bisa menyarankan yang terbaik buat kamu. Dan kamu yang akan menentukan sendiri, kamu mau menerima lamaran itu atau menolaknya.” Menepuk-nepuk pundakku, menghela napas panjang, Mama sudah hampir putus asa membujukku.


Aku mengaduk-ngaduk nasi didepanku dengan sendok. Aku bingung. Kenapa harus seperti ini? Apa tidak ada alternatif lain? Apa aku harus menerima lamaran itu dan menikah dengan Wahyu? Tapi, aku belum siap menikah. Penampilanku saja masih seperti ini. Dan Rinai? Bahkan ia sangat berharap aku jadi Bunda-nya. Pikiranku benar-benar kalang kabut. Keputusan ini tidak main-main. Baiklah, mungkin aku bisa sharing masalah ini dengan Ibu Rose. Paling tidak, harus ada jalan lain untuk meredam masalah ini. Kalau bisa, aku ingin Rinai tetap tinggal di Jakarta tanpa aku perlu menikah dengan Wahyu. Itu adalah jalan terbaik.


Aku mengetuk pintu ruangan Ibu Rose. Selang beberapa detik, Ibu Rose membukakan pintu.
“Bu, ada yang perlu saya bicarakan.” Tanpa basa-basi aku mengutarakan tujuanku.
Ibu Rose berjalan mendekati jendela, aku mengekor di belakangnya. Ibu Rose menatap keluar, aku juga ikut-ikutan menatap taman Panti dari kaca jendela.

“Saya sudah mengerti tujuan kamu datang kemari.” Ibu Rose menatapku, tatapannya nanar.
“Kamu lihat gadis kecil itu? Sejak tadi pagi Rinai ngambek. Rinai tidak mau berbicara dengan siapapun kecuali dengan kamu.” Beliau menatapku dengan gelisah.

“Kok bisa Bu? Memangnya ada apa dengan Rinai?” Aku bertanya dengan cemas.

“Ibu juga tidak tahu Mit,” beliau mendesah kecewa.

“Apa tadi ayahnya sudah datang?” Demi melihat Rinai yang murung aku sedikit melupakan tujuan awalku menemui Ibu Rose.

“Rinai sangat susah untuk di bujuk. Wahyu saja kewalahan. Tolong Mit, kamu bujuk Rinai ya.” Ibu Rose menggenggam kedua pergelangan tanganku. Memohon. Aku mengangguk.

Dengan langkah berat aku mendekati Rinai. Gadis kecil itu duduk di sebuah ayunan. Tangan mungilnya mendekap boneka SpongeBob pemberianku dua hari yang lalu. Rinai menangis, aku bisa melihat dari tetesan air matanya yang jatuh di tanah. Ya Tuhan, apa yang terjadi dengan Rinai?


“Aduh, anak manis kok nangis sih? Kasian SpongeBob-nya nanti basah kuyup gara-gara kamu nangis.” Aku sedikit bergurau. Merundukkan badanku, berjongkok, mensejajari posisi Rinai di ayunan itu. Aku menyeka pipinya yang basah. Tangannya terjulur, mencoba meraih tanganku. Rinai menghambur dalam pelukku, hampir saja membuat aku jatuh terjengkang. Untung dengan segera aku bisa menjaga keseimbanganku.

“Rinai nggak boleh nangis dong! Kamu ingin membuat ayah bahagia kan? Kalau begitu Rinai harus menuruti semua perkataan ayah ya,” aku mengelus punggungnya. Rinai terpekur di pundakku.

“Tapi kak, Rinai nggak akan pergi kemana-mana tanpa kak Mita!!’ Rinai berseru jengkel, sesenggukkan menahan tangis.

“Rinai... Kamu percaya kan sama kakak? Walaupun kita jauh, Rinai tetap ada dihati kakak, begitu pula sebaliknya.” Aku melepas pelukannya. Sejurus Rinai mendorong tubuhku, aku jatuh terjengkang ke belakang. Gadis kecil itu berteriak-teriak, “Rinai benci kak Mita!!!!”

Kulihat Ibu Rose beringsut mendekat, mendekap tubuh Rinai. Tanpa banyak bicara beliau membawa Rinai menjauh dariku. Ya, mungkin saat ini Rinai sangat membenciku. Aku memang tidak bisa mengambil keputusan ini dengan bijak.

“Mama? Ngapain kesini?” aku tercengang melihat Mama sudah berdiri dihadapanku.

“Mama cuma nggak habis pikir, Mit.” Mama mendesah kecewa, ada gurat sesal di raut wajahnya.

“Maksud Mama?” aku spontan berdiri, dahiku saling bertaut.

“Tadi sebelum Wahyu pergi, dia sempat menelepon Mama,” ujarnya bersuara serak.

“Wahyu pergi tanpa Rinai?” aku menelan ludah. Jadi ini alasan Rinai marah padaku?

“Karena Wahyu yakin bahwa kamu bisa menjaga Rinai dengan baik. Dia percaya sama kamu, Mit.” Mama menyeka sudut matanya. Aku menatap Mama dengan bingung.

“Jika kamu ingin merubah semuanya, masih ada kesempatan untuk kamu! Pesawat Wahyu berangkat lima belas menit lagi.” Mama mengoyak lenganku. Baiklah, aku tahu apa yang harus aku lakukan sekarang. Semua ini semata-mata hanya untuk Rinai.




Tanpa menunggu perintah dua kali, aku segera bergegas menuju bandara. Aku tidak boleh terlambat. Wahyu tidak boleh pergi.

Aku memaksa kakiku untuk berlari, menyusuri setiap sudut bandara. Beberapa kali aku melihat sosok Wahyu, begitu aku mendekatinya, ternyata salah orang, bukan Wahyu. Aku berhenti sejenak, menyapu pandanganku lagi. Apa memang Wahyu benar-benar sudah pergi? Aku memutar otak, tidak akan menyerah begitu saja. Sekejap, mataku terpicing, aku melihat Wahyu di pintu masuk keberangkatan. Kali ini aku tidak mungkin salah orang lagi.

“Wahyu!!” teriakku lantas berlari ke arahnya. Tetapi, dengan tangkas petugas menghadangku, memaksaku untuk menjauh. Petugas itu tidak hanya satu, dua orang sekaligus mencengkram lenganku, melarang memasuki area itu tanpa tiket. Aku berontak, tapi percuma saja.

“Tolong lepasin pak, dia teman saya!” Wahyu datang menengahi. Dua petugas itu langsung melepas cengkramannya. Sejurus Wahyu menyeret lenganku, mengajakku duduk di kursi tunggu. Wahyu meletakkan koper besarnya di lantai. Dia diam membisu.

Aku memberanikan diri untuk mengelus punggungnya. Tetapi aku tidak berani menatap matanya. Bisa-bisa aku mati kutu kalau bertatapan dengan dia.


“Aku... Aku akan belajar untuk mencintaimu. Berusaha untuk membahagiakan Rinai dengan caraku sendiri.” Aku menarik napas lega, akhirnya kalimat itu bisa terucap.

Wahyu menoleh, eksperesi ‘kaget’ tersirat dari matanya. Dia tersenyum lebar. Membalas menggenggam tanganku.

“Terimakasih... Rinai pasti bahagia mendengarnya. Karena Rinai-lah yang memintaku untuk melamarmu, jujur saja sebelumnya aku tidak mempunyai keberanian untuk itu.”

“Kamu sangat beruntung mempunyai peri kecil seperti Rinai. Jadi, aku mohon urungkan niatmu untuk pergi.” Aku menyentuh bahunya, menggeleng-gelengkan kepalaku (jangan pergi!).

“Mana mungkin aku pergi tanpa Rinai dan calon istriku?” Wahyu mencubit pelan pipiku. Aku tersipu malu di buatnya. Baiklah. Aku merasa sudah mengambil keputusan yang paling tepat. Ah, inikah yang orang bilang tentang cinta? Cinta yang tidak pernah kumengerti sebelumnya. Tentu saja semua ini karena Rinai. Gadis kecil itu. Peri kecil yang menyimpan sejuta kebahagiaan. Lihatlah, semua memang terasa sempurna bila kita mau sedikit saja mengesampingkan rasa ego itu.


Tamat

Aku dan Rinai, part 3


 Pagi ini aku melangkah dengan gontai, membawa gitar di tangan kananku dengan riang hati. Aku pikir Rinai akan merasa senang jika aku mengajaknya bernyanyi. Mataku menyapu ke setiap sudut Panti, mencari wajah polos itu. Tetapi tidak ada. Kemana Rinai?

“Kak Mita!!” seru seseorang mengagetkanku. Aku menengok, gadis kecil itu menyeringai dari balik pintu. Aku segera menghampirinya.

“Kakak hari ini bawa gitar nih. Kita nyanyi bareng yuk? Kamu mau kan?” Rinai mengangguk antusias. Aku membimbingnya menuju halaman belakang.

Kami duduk di kursi panjang berpelitur kayu. Jemariku pelan mulai memetik gitar akustik itu, dengan sedikit iringan lagu tentunya. Rinai menyimak dengan serius, malah suara kecilnya lamat-lamat terdengar, ikut bernyanyi bersamaku. Ah, bahagia sekali menghabiskan waktu bersamanya. Waktu-waktu yang tidak akan pernah terulang kembali dalam lembaran hidupku.

Setelah dirasa bosan bernyanyi, sesekali kami saling melempar canda. Tertawa. Saling menggelitiki. Terpingkal-pingkal.
“Kak Mita hebat!! Andaikan aku punya Bunda seperti kakak, mungkin aku adalah anak yang paling beruntung di dunia ini!” Rinai menyeringai lebar.

“Kamu kangen ya sama Bunda kamu?” Aku menyentuh tangannya, wajah itu berubah murung.

“Kata Ayah, Bunda udah bahagia di tempat lain. Bunda sekarang tinggal bersama malaikat-malaikat di surga.” Rinai mendongakkan kepala, tangannya menunjuk langit. Oke, aku mengerti maksudnya. Gadis sekecil ini tumbuh tanpa kasih sayang seorang Ibu. Aku menyeka sudut mataku.

“Bunda kamu pasti bahagia diatas sana. Rinai jangan bersedih lagi ya.” Aku mengelus rambutnya yang di kepang dua. Air mata meleleh di pipinya.

***

“Anda lagi? Astaga, mimpi apa saya semalam sampai harus bertemu lagi dengan makhluk dingin seperti Anda.” Aku mengibaskan tangan, terkekeh.
“Terserah saya. Memangnya kamu itu siapa? Pemilik Panti ini? Enggak kan?” Wahyu balas menyeringai, berlalu begitu saja dari hadapanku. Untuk kedua kalinya aku merasa dianggap sebagai ‘patung hidup’. Tapi tunggu, kenapa dia masuk ke ruangan Ibu Rose? Aku mengikutinya lagi. Penasaran.


Apa salahnya menguping lagi?


Dengan segera, aku mengintip di celah-celah pintu. Mencari posisi yang strategis untuk mendengarkan pembicaraan mereka berdua.
“Saya sudah ambil keputusan. Besok saya akan membawa Rinai ke London untuk tinggal bersama saya disana. Jujur, disini saya selalu terbayangi dengan rasa bersalah itu.” Wahyu berkata parau, tertunduk dalam.
“Sudahlah, Wahyu. Ikhlaskan istrimu yang sudah pergi. Jangan pernah kamu menyesali apa yang sudah menjadi takdir.” Ibu Rose menyentuh pundak Wahyu, menatap iba.


“Tapi, bagaimana aku bisa tenang Bu? Istri saya meninggal karena kecerobohan saya. Dan Rinai harus kehilangan penglihatannya juga karena saya!” Wahyu semakin terpekur, meremas rambutnya.

Aku menggeleng. Tidak mungkin. Apa yang harus aku rangkai dari penjelasan ini? Aku tak tahu apa yang harus aku lakukan sekarang. Kakiku gemetar, aku terduduk di ambang pintu. Meringkuk, memeluk kedua lututku. Semua ini sangat menyakitkan. Tanpa terasa basah membajiri kedua pipiku. Rinai? Oh Tuhan, gadis kecil itu...

Aku mendongakkan kepala, melihat siapa yang menyodorkan saputangan. Wahyu? Aku beranjak dari dudukku, menatap wajah Wahyu dengan geram.
“Saya butuh semua penjelasan itu! Tentang Rinai—” Aku mendesis. Wahyu menyeka hidungnya.
“Saya rasa kamu tidak perlu mengetahuinya. Ini urusan keluarga saya!” Wahyu berlalu, tetapi aku menahan lengannya.
“Rinai anak kandung Anda? Iya kan?” Aku menatapnya dengan mata berkaca-kaca. Kami saling berhadapan. Wahyu menggeleng, enggan menjelaskan.
“Tetapi, kenapa Anda dengan tega meninggalkan Rinai sendirian di Stasiun Kota dua bulan yang lalu?” Aku berseru, mencengkram kerah kemejanya, emosiku meluap tak tertahankan.
“Itu memang kesalahan saya!” Wahyu menepis tanganku, berjalan meninggalkanku, segan memberi tanggapan lagi. Ya Tuhan, kenapa masalah ini sangat rumit? Aku benar-benar tidak mengerti. Rinai akan di bawa ke London? Bagaimana mungkin aku bisa jauh dari gadis kecil yang amat polos itu. Apa aku bisa merelakan Rinai pergi jauh?

Malam harinya, entah aku tiba-tiba ingin pergi menemui Rinai. Karena aku sadar, besok aku harus membiasakan diri hidup tanpa Rinai. Aku datang membawa sepotong coklat kesukaannya. Aku berharap Rinai belum tidur.


Aku mengetuk pintu kamar Rinai tiga kali. Tidak ada respon. Aku melipat dahi, memanyunkan bibir tanda kekecewaanku. Mungkin saja Rinai sudah tidur. Ya sudahlah, mungkin besok pagi saja aku datang kemari lagi.

Tapi, ada sesuatu yang membuat langkahku terhenti. Lamat-lamat aku melihat halaman Panti dari gorden jendela, ada Rinai disana. Tetapi dia tidak sendirian, lantas dengan siapa?
Setelah mendekat, aku baru tahu kalau Wahyu yang duduk bersama Rinai. Wahyu menoleh, mungkin merasakan kehadiranku.

“Siapa ayah?” Rinai bertanya, ikut-ikutan menoleh ke arahku.


“Bukan siapa-siapa kok.” Wahyu berkata datar, memberiku isyarat agar menjauh. Dan bodohnya, aku menuruti perintahnya.

Lebih sialnya, hujan turun dengan deras. Terpaksa aku mengurungkan niat untuk pulang. Aku menelangkupkan kedua tanganku didada. Hujan membuat malam semakin dingin.


“Kamu belum pulang?” tegurnya, sok perhatian.


“Hujan! Mobil saya terparkir didepan gerbang.” Aku tak mengacuhkannya. Tadi saja dia mengusirku dengan seenaknya.


“Ada sesuatu yang perlu saya bicarakan dengan kamu, tapi tidak disini.” Wahyu berdehem seraya melepas jaketnya.


“Kenapa harus di tempat lain? Disini juga bisa kan?” Mataku terpicing melihat gelagat anehnya. Tanpa basa-basi, Wahyu memayungi kepalaku dengan jaketnya. Oh Tuhan, kami saling bertatapan. Derai hujan seakan tertahan di udara. Lagu romantis seperti mengalun indah di sela-sela angin malam.


“Kita bicara di mobil saya!” Wahyu membuyarkan lamunanku. Aku mengiyakan.


“Memangnya apa sih yang akan kita bicarakan? Sok penting!!” Aku mulai berkomentar dengan sebal.


“Ini tentang Rinai. Oke, saya akan menceritakan semuanya. Kamu memang benar, Rinai adalah putri kandung saya. Dan tepat dua bulan yang lalu, Rinai menghilang dari rumah. Dan saya tidak tahu keberadaannya. Sampai Ibu Rose memberi tahu saya kalau Rinai berada di Panti ini—”




Bersambung...

Aku dan Rinai, part 2


“Tapi Bu, saya bisa kok membiayai keperluan Rinai!” Aku berseru, mengikuti langkah Ibu Rose yang mondar-mandir.
“Bukan itu masalahnya Mita!! Semua ada persyaratannya. Tidak bisa segampang itu untuk melanggarnya. Apalagi sudah ada hitam diatas putih,” Ibu Rose menarik napas panjang, dahinya yang keriput semakin mengerenyit.
“Kenapa Ibu tidak merundingkan ini kepada saya terlebih dahulu? Kenapa harus secara sepihak seperti ini?” Aku berjalan cepat, mencoba mensejajari derap langkahnya yang memburu.


“Ibu sudah mencoba menelepon kamu berulang kali. Tetapi kamu susah untuk dihubungi. Sedangkan keputusan itu harus segera diambil. Tidak bisa menunggu berlama-lama.” Ibu Rose memperbaiki posisi kacamatanya yang melorot.

Aku tertegun sekian lamanya. Pasrah. Percuma. Ibu Rose, setiap kalimat yang keluar dari mulutnya, seperti komando yang pantang untuk dibantah. Ibu Rose menyentuh pundakku.
“Maaf Mita, Ibu tidak bisa membantu kamu. Tetapi kamu masih punya dua hari bersama Rinai. Lusa, orangtua Rinai yang baru akan datang menjemput—” Ibu Rose berlalu meninggalkanku di lorong Panti.

Aku terduduk di lantai, meremas rambut dengan mengkal. Mengusap wajah dengan kedua belah telapak tangan. Aku tidak mau Rinai mendengar kalau aku menangis. Suara tongkat milik Rinai semakin dekat. Aku membatin, apa Rinai tahu kalau sebenarnya aku belum pulang? Ah, lebih baik aku yang datang menghampiri Rinai. Jangan sampai ia curiga kepadaku.

“Ada apa Rinai?” Aku menyentuh tangannya, membuat langkahnya terhenti.

“Kak Mita kemana aja sih? Rinai cari kemana-mana tapi nggak ketemu. Eh, tahunya kak Mita ada disini. Habis ngobrol sama Ibu Rose ya? Soalnya tadi Rinai sempat dengar suaranya.”

“Iya, tadi ngobrol sama Ibu Rose, tapi nggak penting kok. Maaf ya, udah bikin kamu bingung. Ya udah, kita lanjutin cerita yang tadi yuk.” Aku menuntunnya, ia tersenyum lebar. Aku menghela napas lega, untung Rinai tidak mendengar obrolan tadi. Dan sebaiknya Rinai tidak perlu tahu. Aku hanya bisa berharap orangtua asuh Rinai yang baru bisa menyayanginya dengan tulus.


Aku dan Rinai kembali duduk di kursi panjang yang berada di taman belakang Panti.
“Kak, Rinai nggak mau dibacain cerita lagi. Aku udah bosen,” keluhnya, memasang wajah manja.
“Lalu? Kamu pengen apa sekarang?” Aku membereskan tumpukan buku-buku dongeng miliknya.

“Rinai ngantuk kak, pengen tidur aja.” Menguap lebar. Aku melipat dahi, tidak biasanya Rinai tidur siang.

Setelah memastikan mata Rinai terpejam, aku pun memutuskan untuk pulang. Hari ini beban pikiranku sudah cukup membuatku gundah. Baiklah, mungkin ini yang terbaik untuk Rinai. Begitu aku keluar dari pelataran Panti, tidak sengaja aku berpapasan dengan seseorang. Aku tak mengenalnya. Dia memakai kemeja hitam, celana jeans, berkacamata hitam. Hei, siapa dia? Selama aku berkunjung di Panti ini, aku tidak pernah bertemu dengan orang itu sebelumnya. Apa jangan-jangan... Aku membalik badan, urung pulang, lebih memilih mengikuti orang itu. Siapa tahu dia adalah calon orangtua Rinai.
 

Aku membuntutinya, mengendap-endap. Dia masuk ke ruangan Ibu Rose. Aku mengintip dari celah pintu. Obrolan mereka hanya samar-samar terdengar, tidak begitu jelas. Hal itu menambah rasa penasaran tumbuh liar dibenakku.
Pintu terbuka, aku gelagapan; malu karena tertangkap basah kalau sedang menguping pembicaraan mereka. Aku menggaruk kepalaku yang tidak gatal. Sementara Ibu Rose dan orang itu menatapku dengan tatapan aneh.

“Mita?” Ibu Rose berseru kaget. “Kebetulan kamu belum pulang. Ibu mau mengenalkan kamu dengan calon orangtua Rinai yang baru.” Lanjutnya, mengarahkan ekor matanya ke orang yang berdiri disebelahnya.

Dia mengulurkan tangannya, “Wahyu...”

Sedikit segan aku menjabat tangannya, “Mita—”

Sejurus, aku malah sibuk sendiri memandanginya dari ujung kaki sampai kepala. Sepertinya cukup meyakinkan. Tetapi orang ini terlihat dingin dan arogan. Apa dia dan istrinya bisa menjaga Rinai dengan baik? Ah, aku mendengus sebal. Orang itu menyeringai tipis. Mungkin dia merasa menang karena sebentar lagi bisa membawa Rinai pergi dari Panti. Sementara aku, dua hari lagi aku akan kehilangan Rinai.

“Hei! Tunggu!!” Aku berteriak, melambaikan tangan.

“Ada apa?” Wahyu membuka kacamata hitamnya, keluar lagi dari mobilnya.

“Saya mohon, tolong batalkan rencana Anda untuk mengadopsi Rinai!” Aku agak memelas, mengoyak lengannya, agak memaksa.

“Memangnya Anda punya hak apa untuk mengatur-ngatur saya? Anda bukan ibunya kan?” Wahyu menepis tanganku.

Ibunya? Aku memang bukan ibu kandung Rinai. Tetapi, aku sudah terlanjur menyayanginya. Jadi, bagaimana aku bisa rela melihat Rinai tinggal bersama orang aneh ini.

“Arrggh, pokoknya saya minta Anda membatalkan rencana itu. Karena Rinai tidak akan pergi kemana-mana tanpa saya!!” Aku menudingnya. Wahyu mengerenyit heran.

“Sudah selesai? Oke, waktu Anda habis. Saya tidak punya waktu lebih untuk berbasa-basi!” Wahyu menyeringai palsu, beringsut masuk mobilnya. Sial! Aku benar-benar dianggap patung. Berbasa-basi? Hei, aku ini sedang memperjuangkan kebahagiaan Rinai.


***


“Kenapa kok lesu gitu sih? Biasanya kamu pulang dari Panti pasti seneng. Ada masalah apa memangnya?” Mama duduk di sofa, tepat disampingku.

“Rinai Ma...”

“Memangnya Rinai kenapa Mit? Dia sakit? Atau apa?”

“Bukan itu... Jauh lebih buruk lagi!”

“Lantas kenapa dengan Rinai? Kamu nggak cerita sih, makanya Mama nggak tahu.” Mama membelai kepalaku.

“Lusa, Rinai akan di adopsi. Mita nggak rela, Ma.” Aku merebahkan kepalaku dipundaknya.

“Seharusnya kamu bahagia dong, Mit. Apa kamu tidak ingin melihat Rinai bahagia? Jangan egois Mita.”

“Tapi Ma, aku nggak yakin kalau Rinai akan bahagia. Mita juga udah mohon-mohon supaya Ibu Rose mengizinkan Mita mengadopsi Rinai. Tetapi...”

“Tetapi kamu belum bersuami kan?” Mama tergelak, memotong cepat.

“Mita lagi serius, Ma. Jangan diledekin terus dong!” Aku bangun dari pundaknya.

“Aduh, aduh, jangan ngambek dong. Mama kan cuma bercanda. Lagian ya, seusia kamu harusnya sudah berkeluarga dan bahkan sudah mempunyai anak. Nah, lihat kamu, umur sudah seperempat abad belum nikah-nikah juga.” Mama mengibaskan tangan, tawanya makin terpingkal-pingkal.
“Tahu ah, Mita bete!!”




Bersambung...

Aku dan Rinai, part 1


Matahari pagi mulai beranjak dari peraduannya, merangkak naik perlahan hingga menampakkan siluetnya. Aku menggeliat, rasanya malas sekali untuk membuka mata. Terdengar seseorang mendorong pintu, dan lihat siapa yang muncul dibalik pintu. Ah, siapa lagi kalau bukan Mama?
“Ayo, bangun dong Mit! Anak perawan kok bangunnya siang melulu? Nggak malu apa sama ayam tetangga sebelah?” Mama menarik paksa selimutku.
“Lima menit lagi deh Ma, Mita masih ngantuk nih!” Aku merebut kembali selimut itu.

Mama menggeleng heran, mungkin sudah menyerah untuk membangunkanku. “Kamu pagi ini ada janji kan? Katanya mau ke Panti? Ketemu anak kecil itu. Siapa namanya? Ah iya, Rinai...”

Mataku terbelalak, sontak terbangun. Mana mungkin aku sampai melupakan janji itu? Aku sudah berjanji kepada Rinai dua hari yang lalu. Aku tidak boleh membuatnya menunggu lebih lama.
Begitu selesai mandi ala kadarnya, aku menyalakan mesin mobil, dengan segera mobil melaju membelah kepadatan yang merayap. Aku hanya berharap Rinai tidak kecewa karena aku datang terlambat. Aku tidak bisa melihat ia duduk berlama-lama di teras Panti hanya untuk menanti kedatanganku.
Dan benar apa yang menjadi dugaanku, begitu mobilku memasuki halaman Panti, aku melihat gadis kecil itu duduk sendirian di anak tangga yang tepat berada di teras. Aduh, aku menepuk jidat, tuh kan ini gara-gara aku bangun kesiangan. Dengan berjingkat-jingkat aku menghampirinya, lantas duduk disampingnya. Aku juga tidak bersuara, ingin sedikit membuat suprise untuknya.

“Kak Mita?” Rinai mengedarkan pandangannya, tangannya mencoba mencari pegangan.

“Kakak disebelah kamu sayang.” Aku meraih tangannya, ternyata suprise-ku gagal total.
Dengan mudah Rinai merasakan kehadiranku, apa dia sudah hapal dengan bau parfumku? Ah, tidak juga. Aku tadi tidak pakai parfum, mana sempat? Mandi saja buru-buru. Apa nalurinya jauh lebih tajam dari anak seumurannya? Mungkin saja.

Rinai riang menyambut tanganku. Aku tersenyum haru melihat gadis kecil itu tersenyum senang. Apa kehadiranku memang sangat berarti untuknya?

***

Biar aku ceritakan sedikit tentang Rinai. Aku bertemu dengan gadis kecil itu tanpa disengaja. Dua bulan yang lalu, ketika aku pulang dari luar kota. Perhatianku tersedot saat menuruni gerbong kereta, tertegun melihat anak kecil menangis seorang diri, gadis kecil berbilang delapan tahun itu, meringkuk ketakutan, menangis dipojokkan Stasiun Kota. Aku sangat iba melihatnya, bahkan mana ada diantara ribuan orang yang hilir mudik mau mempedulikannya? Gadis kecil yang malang dan kesepian. Hatiku terenyuh demi melihat wajah polosnya. Aku berjalan mendekatinya, menyentuh pundaknya lembut. Takut-takut nanti dia malah berteriak.

“Kamu kenapa menangis? Orangtua kamu dimana? Biar kakak bantu cari ya?” Aku menelan ludah, tidak tega melihat air mata yang berlinangan di lesung pipitnya. Mungkin saja anak kecil ini tidak sengaja terlepas dari gandengan tangan Ibunya. Dia hanya menggeleng sebagai jawabannya.
“Nama kamu siapa?” Aku membelai rambutnya yang dibiarkan tergerai dengan bando pita hijau diatasnya.

“Ri-na-i...” Terpatah-patah ia mengatakan, masih segan berbicara dengan orang yang baru dikenalnya.

Aku tergugu sejenak, mencoba merangkai penjelasan. Apa jangan-jangan orangtua Rinai memang sengaja meninggalkan ia sendirian? Membuangnya? Entahlah, tapi bisa dibilang begitu. Teramat tega memang, hanya karena cacat yang diderita oleh Rinai, maka dengan entengnya mereka lepas tangan dari tanggungjawab itu. Waktu itu sempat terbesit di kepalaku untuk menolongnya, barangkali Rinai lebih aman jika berada di Panti Asuhan.

“Jangan nangis dong! Nanti jelek hlo. Ya udah, kamu ikut sama kakak aja ya.” Aku sedikit menghibur, Rinai menyeka matanya dan mengangguk pendek. Aku tersenyum lega, kukira dia akan menolak.
Dan, hari itu juga Aku mengantar Rinai ke Panti Asuhan. Aku sangat berharap Rinai mendapatkan teman banyak di Panti. Aku tahu jika Rinai berbeda dengan anak sepantarannya. Dia sangat istimewa. Meskipun kekurangannya menjadi batas ruang gerak untuknya, akan tetapi aku masih bisa melihat semangat dipancaran bola matanya.

***

“Coba tebak apa yang kakak bawa buat kamu?!” Aku menyeringai jahil. Ini hal yang biasa aku lakukan saat jadwal rutin kunjunganku; selalu membawakan Rinai sesuatu.

“Apa kak? Rinai penasaran nih!” Matanya mengerjap lincah, tidak sabaran.

“Kamu tebak dong! Aku kasih cluenya deh. Badannya berbentuk kotak, ada lubang-lubangnya, warnanya kuning, terus...”

“Spongebob kan kak? Hahaha,” Rinai memotong, tertawa geli. Ah, ternyata dia pintar soal tebak-menebak.

“Iya deh, kali ini kamu yang menang. Oh ya, besok mau kakak bawain apa lagi?” Aku menaruh boneka itu di pangkuannya. Rinai tertunduk dalam. Kenapa? Aku juga tidak tahu.

“Rinai nggak butuh semua hadiah-hadiah itu, kak. Bukannya Rinai nggak menghargai pemberian kak Mita. Tetapi... Rinai cuma ingin kak Mita jangan pernah tinggalin Rinai ya...” Tangannya terulur, mencoba menyentuh pipiku. Sungguh, Rinai membuatku menjadi orang yang paling berharga didunia ini. Setidaknya, aku bisa menemani setiap lembaran hidupnya yang kosong. Membantunya melewati hari-hari penuh warna, meski hanya gelap yang bisa ia lihat. Ya, Rinai adalah gadis buta. Aku menyayangi Rinai seperti adikku sendiri. Dia seperti secerca cahaya yang hadir dalam hidupku.
“Iya, kakak berjanji akan selalu menjaga dan melindungi kamu. Tapi ingat, Rinai nggak boleh cengeng ya.” Air mataku menetes, aku menangis tanpa bersuara, takut Rinai akan mendengarnya. Tapi tangan mungil itu, sekali lagi membelai pipi, pelan mengusap air mata di kedua pipiku. Aku merengkuh bahunya, lihatlah walaupun mata itu tidak bisa melihat, tetapi Rinai selalu bisa membuatku bangga. Alhasil, hanya suara tangis membuncah yang menjadi ujung pertemuan pagi itu.
***

“Memangnya siapa sih Bu yang akan mengadopsi Rinai? Saya mohon, tolong biarkan Rinai tetap tinggal di Panti ini. Atau biarkan saya saja yang mengadopsinya, Bu.” Aku memohon, berteriak-teriak, menolak dengan lantang. Ibu Rose berdehem.

“Mit, Ibu tidak bisa mencegahnya. Karena semua persyaratan untuk mengadopsi sudah lengkap. Sedangkan kamu, kamu belum mempunyai suami—”



Bersambung...

Jumat, 04 November 2011

“Rahasia Kecil, Season 2”




Pemakaman itu sudah jauh tertinggal. Pusara itu menjadi tonggak awal kehidupan baru yang absurd. Menyisakan kepedihan yang tak terperikan. Seminggu berlalu bak anak panah yang melesat dari busurnya. Ketika janji kehidupan telah punah, sirna sudah atas ketidakberdayaan ini. Ternyata langit telah menentukan takdirnya sendiri.

Dalam sejuknya embun pagi, rintik-rintik kecil turun dari langit. Mengembun di kaca jendela ruangan itu. Ruangan yang sama, dinding yang sama, tirai yang sama pula. Ruangan itu milik Dara dulu.
Pelan jemarinya menyentuh dinding kaca. Dingin dengan segera menelusup pori-pori kulitnya. Pagi ini, hujan turun lebih lama. Bosan. Memutuskan untuk tiduran saja. Memejamkan mata? Tidak bisa. Tidak ada yang bisa ia lakukan sekarang. Dia sedang merindukan dua orang sekaligus.

Pintu ruangan terbuka, Mita terkesiap, bangun dari posisi tidurnya. Dan lihatlah siapa yang datang dengan setangkai mawar putih ditangannya. Ah ya, itu pasti Rio, salah satu orang yang sedang Mita rindukan sekarang. Rio tersenyum lebar, mendekati. Matanya berbinar-binar menatap penuh takzim. Mita membuang muka, mencoba tidak mempedulikan. Hei, bukannya tadi dia sangat merindukan kehadiran Rio? Hatinya merasa bersalah, tidak berani menatap Rio. Sungguh, Mita tidak pernah meragukan cinta Rio. Namun, kali ini cinta memang tidak ditakdirkan untuk saling memiliki. Sebenarnya, sudah jauh-jauh hari terencana mereka akan menikah hari ini. Tetapi pada kenyataannya, semua memang tak sesempurna apa yang telah terencana.

“Dengar Rio! Sampai kapanpun Mama tidak akan pernah mengijinkan kamu menikahi wanita gila itu! Mama tidak sudi mempunyai menantu gila! Memangnya tidak ada wanita yang lebih waras lagi?”

 Kalimat itu seakan menjadi jurang pemisah. Bahkan menghancurkan mimpi-mimpi yang mulai terajut dengan indahnya. Sudahlah. Tetapi Rio, hatinya tetap bersikukuh mempertahankan cintanya terhadap Mita. Cinta itu tidak akan luntur, tidak juga berkurang walau badai meluluh lantakkan raganya. Rio meletakkan setangkai mawar itu tepat dihadapan Mita.

Ini kali ketujuh Rio membawa setangkai mawar putih, dengan senang hati dia mengunjungi Mita setiap harinya. Rio selalu datang tepat waktu. Tidak bosan-bosannya mengumbar senyum meski balasannya hanya seringai dingin dari Mita. Tidak peduli meski Mita akan mengusirnya. Sudah terbiasa dengan hal itu.
         “Kamu sudah sarapan?”

             “Belum!”

      “Aku suapi ya, kamu harus makan.”

          ‘Nggak perlu!”

    "Tapi Mit... Ayolah, satu suap saja!"

         “Cukup Yo! Jangan pernah paksa aku lagi. Aku nggak butuh kamu, lebih baik sekarang kamu pulang!”

Rio beringsut keluar, membiarkan Mita tercenung sendiri. Kenapa Mita berubah secepat itu? Dia sungguh tidak mengerti tentang rahasia kecil itu.
***

Mita duduk bersandar di sebuah pohon besar, dibawah rindangnya dedaunan yang ditempa angin sore. Sore ini, seperti hari-hari sebelumnya, ia akan setia menunggui senja hingga tenggelam. Menikmati semburat jingga di kaki langit. Menyimak eloknya cakrawala sore hari. Burung-burung yang melenguh dari kejauhan. Pemandangan ini sedikit membantu menghilangkan sesak didadanya.

       “Sangat indah, bukan?”

Mita tidak bergeming, sudah tahu siapa yang datang. “Ngapain kamu kesini lagi?”

     “Aku ingin menemani kamu menatap senja sore, apa itu salah?”

     “Tapi aku sudah terbiasa sendiri!”

 
“Tolong Mit, jangan bersikap seperti ini. Apa rasa cinta telah berganti dengan rasa benci? Secepat itu kamu membuang setiap kenangan kita bersama?” Rio menelan ludah, bingung harus merangkai kata apa lagi. Kata-katanya selalu saja tidak ada gunanya. Toh Mita tetap pada pendiriannya.

“Aku cuma ingin mengenang setiap detik yang Dara lewatkan ditempat ini. Jadi, tolong jangan pernah kamu mempermasalahkannya. Sekarang kamu bukan siapa-siapa lagi.” Mita tetap tergugu, menangis dalam hati demi mengatakan ujung kalimatnya. Bagaimanalah, terpaksa ia mengatakannya agar Rio mau menjauh sekaligus melupakannya.

“Aku sangat mengerti posisi kamu yang baru saja kehilangan Dara. Tetapi bukan seperti ini caranya, Mit. Apa kamu pikir Dara akan bahagia melihat kamu larut dalam keadaan ini? Tentu saja tidak!”

“Aku rindu Dara, Yo. Dia adalah belahan nyawaku. Helaan disetiap napasku. Dia sangat berharga dalam hidupku! Jadi, mana bisa aku hidup normal tanpa dirinya?” Mita mengusap sudut-sudut matanya yang basah.

“Percayalah Mit, Dara pasti mendapatkan tempat yang jauh lebih indah. Dia pasti bahagia diatas sana. Mulai dari sekarang kamu harus belajar untuk ikhlas.” Rio mendongak, menunjuk langit yang bersemu kemerahan. Mita mengangguk pendek mengiyakan. Senja kali ini terasa amat berbeda. Mita mulai paham akan arti sebuah keikhlasan bukan hanya sekadar keegoisan semata.
 
 
***


Napasnya tersengal-sengal, langkahnya tergopoh-gopoh. Sekitar satu jam yang lalu, suster penjaga menelepon, terpatah-patah mengabari hal buruk terjadi. Memangnya ada apa dengan Mita? Entahlah. Dia juga tidak tahu.

Rio sudah tahu tempat yang harus ia tuju. Lantai tertinggi rumah sakit itu. Hatinya resah, pikirannya kalap seketika. Bagaimanalah, darahnya berhenti mengalir demi melihat Mita. Hei, lihatlah Mita yang berdiri persis di tubir gedung, disalah satu palang besi yang menjuntai. Kedua tangannya merentang, membiarkan deru angin menyibak rambut pendeknya. Apa yang akan dia lakukan? Bunuh diri? Ah, entahlah.

“Aku mohon, turun Mit!! Jangan bertindak bodoh. Semua ini tidak akan menyelesaikan masalah. Hei, mana Mita yang dulu? Mita yang selalu tegar! Bukan Mita yang cengeng dan rapuh seperti ini.” Rio berjalan mendekat, menelan ludah.

    “Biarkan aku sendiri—”
“Aku sayang kamu, Mit. Dan aku nggak akan membiarkan kamu bertindak bodoh! Aku mohon, kamu turun sekarang ya.” Rio tercekat, mengulurkan tangannya. Mita membalik badan, pipinya kebas oleh air mata. Rio mengangguk, sementara Mita masih saja mematung, tidak mengerti.

Beberapa menit berlalu dengan percuma. Lihatlah, Mita masih terpaku, berdiri seperti mayat hidup. Kosong. Jiwanya terombang-ambing dibatas keraguan hatinya. Ingin sekali ia menyambut uluran tangan itu, namun kenapa terasa berat sekali untuk meraih tangan Rio. Mita pun memupus, membujuk hatinya untuk mengalah. Sampai kapanpun cintanya tidak akan termiliki.


Mita menoleh, mendengar suara ribut-ribut di pelataran gedung. Ada beberapa polisi dibawah sana, berteriak-teriak dengan toa. Tidak ketinggalan dokter, suster-suster, dan penjaga pun melambaikan tangan. Berseru heboh, membujuk agar segera turun. Rio saja tidak berhasil membujuk, apalagi orang lain?

Rio semakin khawatir melihat yang Mita tak kunjung merespon. Bagaimanalah, ia takut jika akan terlambat mencegah. Hatinya mulai berdesir, meremas jari-jemarinya.

“Mit, aku mohon!! Kamu pegang tangan aku!” Rio berseru, suaranya tegas mengendalikan.


Mita mengangguk pendek. Rio menghela napas lega, usahanya tidak sia-sia. Susah-payah ia meluluhkan hati Mita. Dan sekarang, semua kesabarannya telah terjawab. Rio berhasil meraih tangan Mita, mengeratkan pegangan itu.

Tetapi, sekali lagi langit telah menentukan takdirnya sendiri. Saat Mita pelan-pelan menuruni palang besi itu, hujan turun sangat deras, membuat palang besi itu licin. Kakinya terpeleset, hampir saja tubuhnya terjatuh dari gedung empat lantai itu. Namun, untung saja, dengan sigap Rio menarik tubuh Mita. Entah, keberaniannya mencuat seketika, mana bisa ia membiarkan Mita celaka, sekalipun harus mempertaruhkan nyawanya sendiri.

Dibawah guyuran hujan, Mita tertunduk lemah. Lihatlah, apa yang sudah ia perbuat kepada Rio akhir-akhir ini. Dia telah menyakiti hati malaikatnya. Semua perlakuan-perlakuan itu. Ia sangat menyesalinya.

“Kamu nggak apa-apa kan Mit?” Rio mengusap pipi Mita yang basah oleh air hujan dan air mata.

Mita mengangguk, “Aku sangat menyesal Yo. Aku memang bodoh!! Keegoisanku membuat kamu tersakiti.” Mita menangis tertahan. Sendu menikam ulu hatinya.

 
“Sudahlah. Aku menerima kamu apa adanya, Mit. Aku hanya ingin melihat kamu seperti Mita yang dulu. Mita yang selalu tersenyum. Aku berjanji Mit, demi apapun di dunia ini, ketahuilah bahwa takdir kita tidak akan terpisahkan.” Rio mengecup kening Mita dengan takzim.

Ah, langit memang mempunyai takdirnya sendiri. Lihatlah, air mata akan segera berganti dengan tawa bahagia.


Tamat

Cari Blog Ini