Sabtu, 22 Oktober 2011

Faith In Love


Langkahku terseok-seok menapaki sepanjang jalan trotoar yang mengular. Sore beranjak malam, sorot lampu berpendar-pendar sejauh mata memandang. Gedung-gedung pencakar langit bagai kerlip bintang dalam gelapnya langit. Aku menengadahkan kedua telapak tanganku, perlahan air langit membuncah. Setelah aku rasa hujan mulai deras, aku beringsut mencari tempat untuk berteduh. Napasku terengah-engah, terasa bongkahan batu telah menyumbat jantungku. Aku mencoba meraih tiang lampu disekitar, rasa sakit ini kembali datang. Kepalaku terasa berat, pandanganku remang-remang, semua benda terlihat menjadi dua bayangan.

Aku memijat pelipisku, sementara hujan terus mengguyur tubuhku yang ringkih. Aku memeluk tiang itu kuat-kuat, tubuhku rasanya sudah tidak kuat lagi menopang nyawaku.

Aku mencicit, beringsut duduk dibawah tiang lampu itu. Bagaimanalah orang berpenyakitan sepertiku bisa kambuh suatu saat tanpa mengenal waktu. Penyakit ini bukan keinginanku, juga bukan bagian dari angan-angan yang kulukis. Tapi apalah daya, semua ini sangat jauh dari kehendakku.

Oh Tuhan, jangan ambil nyawaku sekarang.



Aku mengerjap-ngerjapkan mata, untuk kesekian kalinya aku mendengus bosan. Bau ini, ruangan ini, ranjang ini, dan selang infus ini. Semua ini serasa telah mendarah daging dan terpatri kuat menjadi bagian takdir yang harus kulalui.
Sebenarnya, aku sangat beruntung. Beruntung mempunyai Mama yang setia memberi segenggam asa dan Ikmal yang senantiasa ada untukku. Kadang dia lebih protektif ketimbang Mama.
Biasanya Ikmal yang selalu duduk disamping ranjangku, menemani aku melawan penyakit ini. Ikmal dengan senang hati mengatur segala jadwal minum obatku, terkadang marah karena aku ketahuan tidak mau minum obat.

Aku melirik Ikmal dengan takzim.
“Kamu sudah sadar? Biar aku panggil dokter dulu ya,” Ikmal merespon tatapanku. Begitu ia berdiri, tanganku menangkap tangannya.
Aku menggeleng, “Jangan sayang, aku sudah bosan disuntik. Badanku sakit semua,” sergahku. Bukan bosan disuntik, tapi sejujurnya aku sangat apatis dengan jarum suntik.

Ikmal mengusap keningku, mungkin sudah hapal kalau aku tidak bisa dipaksa. Mungkin kalau dipaksa, aku akan nekad melakukan apa saja.

“Mal, kita nggak usah nikah ya?” ragu-ragu aku memberikan pilihan. Ikmal mengerenyit.

“Kenapa sayang?” dengan suara lembut Ikmal mencoba protes.
“Aku rasa, semua ini tak pernah akan terwujud. Aku, aku bukan yang terbaik,” aku menangkap binar matanya yang syahdu.

“Kamu memang bukan yang terbaik, tapi kamu adalah pilihan paling terbaik dalam hidupku,” Ikmal mengecup keningku. Saat-saat seperti ini adalah bagian yang tidak pernah ingin aku lupa. Saat dimana aku mendapatkan cinta yang tulus. Cinta yang beasaskan mata hati.

Ya, Ikmal adalah tunanganku. Sebulan yang lalu ia datang melamarku. Bisa dibayangkan betapa bahagianya aku saat itu. Dan seminggu kemudian, aku dan Ikmal telah resmi bertunangan.

“Aku selalu bersyukur punya kamu. Maafkan aku jikalau aku tidak bisa membalas semua ini,” aku tersenyum mengingat segala bentuk kesabarannya selama ini.

Ikmal menaruh telunjuknya dibibirku, “Kok ngomong gitu sih? Sayang, aku terima kamu apa adanya. Dan aku berharap kamu juga menerima aku apa adanya. Aku ikhlas mencintaimu,”

Aku membalas senyumnya, “Dari awal aku tak pernah berharap lebih. Karena aku tahu, waktuku tidak banyak lagi. Tapi perlu kamu tahu, aku tak pernah meragukan ketulusan cintamu. Aku sangat ikhlas atas hubungan ini. Walaupun semua memang tidak akan berujung kebahagiaan—”

Kali ini Ikmal terdiam takzim, apa ada yang salah dengan perkataanku?
Dari awal aku sudah menjelaskan keadaanku, dengan tangan terbuka Ikmal mencintaiku dengan segala keikhlasannya.

“Kebahagiaan yang hakiki bukanlah di dunia, sayang. Tetapi ada tempat yang jauh lebih sempurna. Tempat yang akan mempersatukan cinta kita. Surga,” Ikmal menyentuh lenganku.

Lagi-lagi aku hanya menyunggingkan bibirku, aku kehabisan kata-kata untuk menjawab kebijaksaannya. Andaikan aku diberi umur panjang, akan kuceritakan pada dunia bahwa aku punya malaikat. Malaikat yang mengubah setiap derai airmata ini menjadi segurat senyuman.
Aku adalah penderita Ataksia. Jadi jangan heran kalau aku ini tidak bisa mengendalikan gerakan tangan dan kakiku secara seimbang. Kadang untuk berbicara saja aku terbata-bata, dan disertai sesak yang menghujam jantungku. Ya Tuhan, rasanya aku ingin mati saja. Aku sudah lelah dengan berbagai macam terapi ini-itu, katanya sih untuk membantu mempertahankan fungsi optimal selama mungkin. Tapi yang kurasa badanku ini makin terasa remuk, terapi tetap tak akan membuat umurku bertambah panjang.

Aku juga sudah bosan menelan tiap butir pil yang teramat pahit dilidah. Dan yang terakhir, aku sangat muak dengan bau Rumah Sakit ini. Bayangkan saja, dalam waktu satu bulan aku harus menghuni ruangan ini paling tidak empat kali.
Bagaimanapun aku ini akan tetap mati, tinggal menunggu waktu sampai malaikat kematian menjemput nyawaku.

***

“Kamu makan ya, sedikit saja. Dari tadi pagi kamu kan belum makan,” Ikmal dengan sendok ditangannya mencoba menyuapiku.
“Mita, kamu coba pelan-pelan. Kasihan lambung kamu sayang—” kali ini Mama angkat bicara melihat aku yang susah dibujuk untuk makan.
Aku menggeleng, Ikmal dan Mama menarik napas dalam. Mungkin mereka mulai gusar atau malah sudah menyerah. Toh kalau aku makan hanya percuma saja, semua makanan yang masuk ke mulutku akan termuntahkan lagi. Aku tidak bisa menelan makanan dengan sempurna, sekalipun itu bubur.

Seiring berjalanannya waktu, penyakit itu membatasi ruang gerakku. Kadang aku terlihat tidak lebih dari patung.

Kulihat Mama keluar dari ruanganku, tangannya membungkam mulutnya. Aku telah membuat Mama menangis dengan ketidakberdayaanku ini. Maafkan aku Ma, jika karena aku Mama harus meneteskan titik demi titik air mata kepedihan. Jujur, aku tidak ingin membuat Mama repot apalagi semua biaya ini terbilang tidak sedikit.

Mataku terasa berat, lalu pelan mulai mengatup. Ikmal menyentuh pipiku, aku terjaga kembali.
“A..a..aku ca...pek Mal, a..ku ma...u tid..ur” terpatah-patah aku menanggapi sentuhannya. Tangannya terasa sejuk dan menghanyutkan. Ikmal melanjutkan mengusap-usap pipiku lagi.

***

Aku berjalan tersuruk-suruk, langkah kakiku sempoyongan. Aku mengedarkan seluruh pandanganku ke kiri dan ke kanan. Yang kulihat hanya tembok berwarna putih, tembok yang seakan mengurungku seorang diri. Tidak ada apa-apa disini kecuali asap putih yang melingkupi ruangan ini. Senyap menusuk tulang-tulangku, sunyi merasup jiwaku. Perasaan gentar menguasai hati dan pikiranku.

Dimana aku?
Kenapa semua terasa asing?
Kenapa tidak ada orang satupun?
Dan mengapa aku disini?
Apa aku sudah mati?
Apa aku berada di Surga?
Tapi bukankah Surga jauh lebih indah daripada ruangan pengap ini?

         “Mama!!!”

         “Ikmal!!”

Kenapa tak ada satupun yang mendengar teriakanku?
Apa memang ruangan ini kedap suara?
Aku lelah, tubuhku terpekur di lantai yang dingin ini. Perlahan kelopak mataku menutup otomatis.

***

Aku memicingkan mataku, melihat dokter dan beberapa suster berlarian menuju ruang UGD. Tubuh mereka menembus tubuhku yang berada di ambang pintu.
Aku melihat Ikmal beranjak keluar, lalu ia duduk di kursi tunggu seraya menelungkupkan wajahnya dikedua telapak tangannya.
Aku duduk disampingnya, “Kamu kenapa sayang?” aku mengelus punggungnya. Terdengar suaranya mengerang-erang, menangis histeris.
“Kenapa kamu pergi Mit? Kamu tega ninggalin aku!” suara itu terasa berat, Ikmal berdiri.
“Aku nggak pergi kemana-mana kok! Hei, aku masih disini Mal,” aku mengikutinya yang berdiri.

Ikmal mengepalkan tangannya, meninju tembok di hadapannya tanpa ampun.
“Aku nggak sanggup hidup tanpa kamu!!”

“Aku disini Mal, aku masih disini!!” aku melihat punggung tangannya yang terluka. Bagaimana tidak, lihatlah tembok itu, hampir terbentuk cekungan bekas hantaman tangannya tadi.

Aku memeluknya dari belakang, aku masih bisa merasakan aroma tubuhnya yang semerbak. Lama aku mendekapnya, pelukanku terlepas begitu saja. Ikmal bergeming begitu melihat ranjang yang didorong keluar dari ruang UGD.

Ikmal menyibak kain putih yang menyelimuti ranjang itu. Hatiku melonjak kaget bukan kepalang. Kenapa mereka menutup wajahku dengan kain putih?
Memangnya aku mau dipindahkan kemana?
“Maaf pak tidak bisa berlama-lama karena jenazah harus segera dibawa ke kamar mayat,” suster itu mengambil alih, mendorong ranjang itu kembali.

Tak sadar bulir bening bergulir, berjatuhan dari sudut mataku yang kebas.
Aku menengadahkan kedua telapak tanganku. Mataku menerawang telapak tanganku, semua terasa ringan di udara.

Aku mati!!

Ya, aku benar-benar mati.

Ya Tuhan, kenapa semua secepat ini?
Bahkan aku belum sempat berpamitan dengan Mama dan Ikmal.

Ikmal terduduk di lantai, kepalanya disandarkan pada tembok ruang tunggu itu.
Ikmal mematung, memeluk kedua lututnya kuat-kuat. Aku tahu, beribu air mata coba ditahannya namun gagal ia pertahankan. Air matanya buncah mengiringi kepergianku. Semua tumpah-ruah menjadi satu.
Sungguh, selama hidupku tak pernah aku melihat ia serapuh ini. Melihat ia menangis bagaikan pukulan telak untuk batinku. Hatiku ikut menjerit ketika aku harus pergi meninggalkannya dalam kesendirian hatinya. Tapi apalah daya?

Aku mengusap pipinya yang basah, “Aku tetap disini sayang... Jangan nangis dong!”

“Entahlah Mit, apa aku masih bisa bernapas sementara belahan nyawaku telah pergi,” Ikmal membenamkan wajahnya dalam-dalam.

“Dengarkan aku sayang. Kamu pernah bilang kan kalau kamu ikhlas mencintaiku? Sekarang aku mohon, ikhlaskan aku untuk pergi—” aku mengusap kepalanya, kali ini terasa berbeda. Aku tidak bisa menyentuhnya lagi, padahal tadi meraih tangannya aku masih sanggup meskipun Ikmal tak bisa melihatku. Namun aku yakin, hatinya bisa merasakan kehadiranku disampingnya.

“Ikmal, kamu percaya kan tentang kepercayaan dalam sebuah cinta? Jika kamu percaya, maka percayalah bahwa segenap rasa ini tercipta untuk kamu dan hanya kamu. Carilah penggantiku, karena di luar sana banyak perempuan yang jauh lebih baik dariku. Temukanlah bidadari dunia yang senantiasa akan membantumu untuk melupakanku,” aku beranjak menjauh darinya, memperpanjang jarak aku dan dia.

“Jaga diri kamu baik-baik sayang. Aku titipkan Mama kepadamu,” Aku melambaikan tangan, mengucap salam perpisahan untuk terakhir kalinya. Selamat tinggal dunia--



Tamat

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Cari Blog Ini