Minggu, 15 April 2012

“Biarkan Aku Mencintaimu” (bagian 4)

Yang Terpendam


“Masih marah ya sama gue?” tanyaku saat Mita datang dan duduk disampingku, menyantap sarapan bersama.

“Buat apa marah?” Mita menyeringai lebar. Aku tahu, dia sedang menutup-nutupinya dariku. Sepertinya dia segan atau malah tidak tertarik mendengar penjelasanku. Aku diam, tidak bertanya lagi.

“Kapan ke LSM?” Mita menolehku, bertanya antusias.

“Nanti siang. Mau ikut?” tanyaku memastikan.

“Daripada nggak ada kerjaan?” Mita mengangkat bahu, tersenyum lebar.


Dua jam setelah sarapan, aku dan Mita segera meluncur ke LSM.

“Macet!” keluhku. Mobil-mobil serta angkot mengular di jalanan, membuat barisan yang teramat panjang.

“Ada demo kayaknya, Mal.” Mita menyapu pandangannya, menyembulkan kepalanya keluar.

“Bakal lama nih.” Aku mendengus sebal.

“Tungguin aja, nanti juga kelar.” Mita mengeluarkan satu permen karet dari sakunya, “Mau?” tawarnya. Aku menggeleng. Aku ingat kapan terakhir kali mengunyah permen karet, hasilnya permen karet itu tersangkut di behelku. Dan itu sangat menyebalkan.


“Tuh kan, malah hujan!” sesalku. Mita tidak menanggapi, aku menoleh, jelas saja, dia ternyata tertidur. Aku melepas jaketku untuk menyelimutinya. Tanpa sadar aku tergugu melihat wajahnya. Aku melihat banyak sekali masalah di setiap lekuk wajah teduhnya. Aku bergumam, andaikan saja Mita mau membagi masalahnya denganku, aku pasti dengan senang hati akan membantunya. Aku sepertinya harus bersabar menunggu saat itu tiba.


“Ehmm.” Mita terbangun dari tidurnya, meluruskan kedua tangan ke depan, melenguh.

“Eh, kita disini berapa jam?” Mita berpindah menatapku, mengucek matanya.

“Paling baru tiga jam,” kataku menyeringai tipis.

“Tiga jam?” ulangnya tidak percaya.

“Lagian di LSM lagi nggak ada kegiatan kok, jadi santai aja.” Ungkapku menahan bibir yang akan tertawa. Mita melotot, melempar jaket tadi ke arahku.

“Buang-buang waktu gue tahu nggak!” Mita beralih menatap kaca yang terlihat samar. Wajar kalau dia marah. Tetapi, ah, dengan begini aku bisa menghabiskan waktu bersama Mita. Aku malah sangat berharap demo itu bubar malam nanti.

***

Aku bisa merasakan genggaman tangan Mita yang semakin erat. Dia tiba-tiba mengerang ketakutan. Lalu menutup kedua telinganya dengan lengan seraya mendekap lututnya. Tubuhnya bergetar sangat hebat. Aku menjadi panik melihat sikapnya yang mendadak itu. Mita terus-terusan mendesis takut.

“Mit, lo kenapa?” tanyaku tak kalah panik.

“Jangan!!” teriaknya tiba-tiba, kepalanya tetap terbenam di lututnya.

“Jangan—Jangan apanya?” tanyaku tambah bingung. Aku mengedarkan pandanganku. Hanya ada mobil-mobil yang masih terjebak macet, dan baru saja mobil ambulans berhenti tepat disamping mobilku. Apa memang Mita—? Aku langsung merengkuhnya. Aku berkesimpulan kalau Mita takut mendengar suara sirine yang menguar itu. Aku juga merasakan air matanya yang hangat berkali-kali menetes di lenganku. Mita balas memelukku. Aku jadi berpikir, kejadian masa lalu seperti apa hingga membuat dia trauma seperti ini.


Untungnya, tak lama kemudian, kemacetan itu berhasil teratasi. Mobil-mobil di depanku kembali melaju, namun masih dalam kecepatan yang sedang. Mobil ambulans itu sudah melaju terlebih dahulu. Aku segera melepas pelukanku. Mita sedikit tenang, namun tubuhnya masih bergetar. Matanya yang teduh kini menjadi sembab.


Sampai di apartemen pun, Mita tetap diam. Dia berjalan sedikit pelan, tidak seperti biasanya yang selalu terburu-buru. Aku melihat dia langsung menutup pintu kamarnya, padahal, baru saja aku ingin bertanya bagaimana keadaan dia sekarang. Aku tahu, dia sedang tidak baik-baik saja.

***

Keesokan harinya, tanganku sedikit bimbang saat akan mengetuk pintu kamar Mita. Aku takut mengganggunya. Tetapi, aku begitu mengkhawatirkannya. Aku mencoba mengetuknya. Dua-tiga kali ketukan, tetap tidak ada jawaban. Aku memutar gagang pintu, tidak terkunci. Membukanya perlahan, lantas, lagi-lagi aku harus mengerutkan dahi. Kamar ini tak ubahnya seperti beberapa hari yang lalu, malah sekarang jauh lebih berantakan. Aku menghela nafas dalam. Terpaksa melangkahi lampu meja yang tergolek di lantai saat aku bermaksud membangunkan Mita.


Mita tidur sangat pulas, aku jadi tidak tega untuk membangunkannya. Perhatianku langsung beralih ketika melihat beberapa lembar foto berserakan di sampingnya. Aku sangat tertarik untuk melihat lebih dekat, maka dengan pelan aku mengambil foto-foto itu. Aku duduk di lantai, lalu menyandarkan punggungku di tepian ranjang.


Aku mengamati foto itu satu per satu. Foto yang aku yakini sudah tercetak sangat lama. Bagian tepinya saja sudah memudar. Seorang Ibu dan anak kembarnya, hampir semua foto menggambarkan hal demikian. Sampai pada foto terakhir, aku tiba-tiba terenyuh, melihat dua anak kembar sedang meniup lilin angka tujuh belas. Mita, jadi dia mempunyai kembaran?


Aku kembali meletakkan foto itu diatas meja. Mataku cukup berair setelah melihatnya. Selama ini, Mita tidak pernah mau menceritakannya. Aku menatap siluetnya yang tetap terlelap. Dia selalu menyimpan semuanya sendirian. Tanganku berniat membelai rambutnya, namun, terpaksa aku menarik tanganku. Mita tiba-tiba terbangun. Sambil mengucek mata, dia menguap lebar, lalu terkejut melihat aku ada di kamarnya.

“Heh, ngapain disini?” ucapnya seraya melempar bantal ke arahku. Aku sigap menangkapnya.

“Nge-bakso yuk!” Aku menarik selimutnya, sengaja mengalihkan pembicaraan. Mita sebal menendang kakiku.

“Males!!” serunya jengkel, lantas menutup kepalanya dengan bantal.

“Gini aja deh, lo buruan mandi. Gue mau beli bakso di depan, terus kita sarapan sama-sama.” Aku tersenyum, Mita hanya membalas dengan seringaian.


Setengah jam kemudian, aku sudah kembali dengan membawa dua plastik bakso. Tetapi Mita tak juga beranjak dari kasurnya. Aku iseng menarik selimutnya lagi. Aku berhasil, kali ini Mita terbangun. Dia manyun, membuatku gemas mencubit pipinya.

“Sialan!” umpatnya. Aku hanya nyengir.

“Kita sarapannya di kamar gue aja ya.” Aku sengaja berjalan mendahului. Mita baru menyusul semenit kemudian. Rambutnya masih acak-acakan, menguap lebar, lalu menggaruk rambutnya. Aku meringis. Mita berantakan seperti ini saja masih terlihat cantik, apalagi kalau dia rapi. Tetapi, kedua matanya sembab, dia menangis lagi?



“Dimakan dong. Kasihan baksonya!” candaku basa-basi. Habisnya, sedari tadi Mita hanya mengaduk bakso itu tanpa memakannya.

“Jangan pendam semuanya sendiri,” ucapku kemudian. Mita menjatuhkan sendoknya. Dia sedikit kaget.

“Mita—” kataku sambil meremas punggung tangannya.

“Ini hidup gue, Mal. Jangan sekali-kali lo ikut campur!” Mita menepis tanganku, dia berdiri dari duduknya, sekarang, hanya kemarahan yang ada di raut wajahnya. Dia melangkah pergi begitu saja. Aku mengusap wajahku, aku tidak menyangka dia akan semarah ini.

***

Aku tidak habis pikir, waktuku banyak tersita hanya untuk memikirkan Mita, Mita dan Mita lagi. Aku sampai tidak mengerti dengan hatiku sendiri. Yang jelas, aku sering sekali membuat Mita marah-marah.


Berhari-hari Mita bersikap sangat dingin kepadaku. Dan aku memaklumi hal itu. Dia memang berhak marah. Tetapi, kalau sampai berhari-hari seperti ini rasanya membosankan jika harus saling diam-diaman. Setiap kali bertemu Mita, aku juga tidak berani menegur. Tutup mulut adalah alternatif terbaik untuk saat ini.

***

Ramai-ramai orang berkerumun di depan apartemen. Tengah malam begini, pikirku. Aku baru saja datang dan dibuat terkejut melihat pemandangan ini. Aku bergegas mendekat, ada beberapa polisi yang mencegah. Aku baru tahu jika ada orang yang bunuh diri dari lantai lima. Aku jadi teringat, jangan-jangan Mita?


Aku berlari menuju lantai basement. Terburu-buru menekan tombol di dekat pintu lift. Dua detik, lift baru terbuka. Aku menghela nafas lega. Mita ada di dalam lift. Aku mengelus dadaku. Mita membuang muka, dengan acuh dia beranjak keluar, melewatiku. Aku berbalik, melihat Mita hampir sampai di pintu.

“Mit, jangan keluar!” seruku lantang. Mita menoleh sedikit, lalu memutar tubuhnya.

“Lo jangan keluar,” ulangku cepat. Aku tahu, sebentar lagi mungkin ambulans akan segera datang. Dan, aku tidak ingin kejadian tempo hari terulang kembali. Tetapi, aku terlambat. Mita terlanjur mendengarnya. Aku berlari menghampiri, Mita mendekap kepalanya dengan lengan. Aku memeluknya erat. Dia ketakutan, teramat takut.

Mita tidak sadarkan diri sedetik kemudian. Aku sigap menangkap tubuhnya yang akan ambruk. Aku mengangkatnya memasuki lift.


Aku membawa Mita ke kamarku, itu karena kamar Mita terkunci, dan aku tidak tahu dimana kuncinya. Perlahan aku merebahkan tubuhnya diatas kasur, aku lalu menyelimutinya. Air mukanya berubah, terlalu banyak masalah menderanya, tapi aku tidak tahu masalah apa. Itu yang aku sesalkan, Mita menutup rapat masa lalunya, seorang diri.


“Udah bangun?” tegurku melihat Mita berusaha duduk. Aku meletakkan cangkir kopiku diatas meja, dan cepat menghampirinya. Aku membantunya duduk. Mita tersenyum lemah. Dia tiba-tiba menyingkap selimut, dan menginjakkan kedua kakinya di lantai.

“Mau kemana?” tanyaku dengan nada mencegah.

“Mau cari angin.” Mita berdiri, tertatih melangkah menuju pintu. Aku menatap punggungnya.

“Gue antar ya?” dengan senang aku menawarkan diri, dengan nada sedikit memaksa. Mita mengangguk tanpa menoleh ke belakang.



“Yakin tempatnya disini?” tanyaku rada heran.

“Banyak angin, bukan?” Mita tersenyum sekilas. Aku menaikan dagu, melihat sekitar dengan aneh, aku bahkan belum pernah ke tempat ini sebelumnya. Siapa juga yang akan tertarik menyambangi tempat ini? Lantai tertinggi apartemen ini sangat sepi, senyap dan jujur saja aku merinding disini. Langit terbentang luas diatas sana. Aku masih mematung, sementara Mita sudah berdiri di tubir gedung. Aku mulai berjalan mendekatinya.

“Pemandangan yang indah,” ucapku takjub, melihat lampu gedung-gedung di bawah sana yang berpendar indah. Malam yang bermandikan cahaya, tidak peduli meski mendung menggantang di langit malam. Aku berdiri tepat di sebelahnya. Mita menoleh, hanya mengerjapkan matanya, tidak lebih.

“Tadi lo tiba-tiba pingsan,” kataku memecah kesunyian. Angin berhembus sedang, tidak kencang tidak juga pelan.

“Lebih baik pingsan, kan? Daripada harus mendengar suara sirine itu terus-terusan.” Mita memberi penekanan pada setiap kalimatnya, matanya tetap menatap lurus ke depan. Dia seperti sedang mengenang sesuatu di masa lalunya.

“Lo segitu takutnya dengar sirine ambulans,” komentarku. Sebenarnya aku sangat penasaran.

“Setiap mendengarnya bagaikan membuka luka lama yang susah payah aku menutupnya. Namun terasa sia-sia setiap kali aku bertemu ambulans dan terpaksa mendengar suaranya. Jeritan-jeritan pilu seperti kembali terdengar. Semua masa lalu itu seakan tersingkap. Dan itu sangat menyakitkan, melebihi sakit apapun di dunia ini.” Mita terdengar gelisah saat mengatakannya, suaranya bergetar, namun tetap terdengar lembut. Aku mengelus bahunya sebelah. Dia bahkan terlihat jauh lebih tegar. Beberapa kali dia mendongakkan kepala keatas, aku tahu dia sedang mengurangi beban di matanya.

“Gue berjanji akan selalu melindungi lo. Dimanapun dan kapanpun,” janjiku, aku begitu spontan mengatakannya. Aku terlalu menyayanginya. Yah, aku yakin jika aku mulai mencintainya. Rasa takut melihatnya seperti ini adalah motivasi utamaku untuk berjanji menjaganya.

“Andaikan gue bertemu lo sejak awal, gue pasti sangat bahagia. Karna gue punya teman yang selalu paham dan mau mengerti. Thanks untuk tawarannya, tapi gue terbiasa mengatasi semuanya sendiri.” Mita langsung memelukku. Aku sampai tidak percaya dengan apa yang baru saja aku dengar. Aku membelai kepalanya yang terbenam di pundakku. Mungkin aku akan sangat berterima kasih kepada tempat ini. Malam ini, semua terasa indah, meski melihat Mita seperti ini. Namun aku bahagia, Mita sedikit demi sedikit mau terbuka kepadaku. Dia mau menceritakannya, dan itu luar biasa. Padahal aku tahu, Mita bukan tipikal orang yang terbuka kepada sembarangan orang.






Bersambung—

“Biarkan Aku Mencintaimu” (bagian 3)

Cinta Lamaku


Aku sungguh kesal saat Mama meneleponku barusan. Mengabari kalau Adiesty pulang ke Indonesia. Dan sialnya, Mama menyuruhku untuk menjemputnya di bandara. Aku tidak bisa menolak, terpaksa mengiyakan saat Mama mendesakku.


Aku cukup jenuh berdiri didekat pintu kedatangan. Sampai tidak habis pikir, demi apa aku melakukan ini. Adiesty sudah berkhianat kepadaku. Tapi, Mama sangat menyayangi Adiesty. Bahkan sampai sekarang tetap keukeuh ingin menjadikan Adiesty menantu.


Dari kejauhan aku melihat Adiesty berjalan sumringah ke arahku. Dua tahun tidak cukup untuk mengubahnya. Adiesty berjalan dengan anggun, menyibak poninya dengan kacamata yang tadi menutup matanya.

“Aku kangen banget sama kamu.” Adiesty berbisik, memelukku sangat erat. Aku sedikit bergidik, sayangnya aku sama sekali tidak menginginkan kedatangannya. Dia melepas pelukannya, tanpa canggung menggandeng tanganku. Aku mendesis benci ketika Adiesty bersandar dengan manja di bahuku.


Mama heboh melihat kedatangan Adiesty, menyambut di depan pintu, lalu berlari kecil mendatangi Adiesty. Mereka berdua berpelukan, cipika-cipiki, aku menyaksikannya dengan cengiran. Mama antusias menarik lengan Adiesty masuk ke dalam rumah. Baiklah. Ini kesempatan yang baik untuk cepat-cepat menghindar. Namun, baru saja aku membuka pintu mobil, Mama tiba-tiba berseru diambang pintu.

“Mau kemana, Mal?” Mama bertanya curiga.

“Ehm.” Aku kembali menutup pintu mobil. Mama sudah berbalik masuk ke dalam rumah, aku menendang ban mobil dengan jengkel.


Mama menyendokkan nasi ke atas piringku. Memaksaku untuk makan siang bersama, ada Adiesty tentunya. Papa terlihat cuek, tidak menggubris kehadiranku. Aku gelisah, berulang kali melirik layar hp-ku yang tergeletak di dekat piring. Aku sangat berharap kalau-kalau Mita meneleponku. Lima detik. Layar hp-ku berderap. Mataku mengerjap gembira, dan buru-buru meraihnya. Telepon dari Mita. Tanpa ba-bi-bu, Adiesty menyambar hp-ku secara paksa.

“Mal, kita kan lagi makan. Angkat teleponnya bisa nanti-nanti. Iya kan Tan?” Adiesty menoleh ke Mama.


“Iya. Kamu hargai Adiesty dong!” Mama mendukung kalimat Adiesty. Papa hanya mendehem, sebal mendengar ribut-ribut. Aku rasa Papa juga tidak suka melihat Adiesty. Aku diam, bukan mengalah, hanya sedang berpikir bagaimana cara kabur. Adiesty tersenyum simpul kepadaku, tersenyum menang. Aku ingin muntah melihatnya.


Aku menaiki anak tangga menuju kamarku. Sudah lama aku tidak menyambanginya. Seraya menaiki anak tangga, aku mencoba menelepon Mita, ingin menjelaskan. Namun, ponselnya tidak aktif. Aku jadi khawatir. Berhenti sejenak, dan bergegas menuruni anak tangga kembali. Sekarang, apapun yang menghalangi kepergianku, aku tidak akan gentar. Mita jauh lebih penting ketimbang urusan Adiesty. Aku cukup lega ketika mobil—baruku—keluar dari kompleks rumah. Entah hal apa yang membuat Mama dan Adiesty lengah untuk mengawasiku.



Aku mengetuk pintu dengan pelan. Mita datang dari balik pintu, menyandarkan sebelah lengannya di daun pintu. Dia terlihat berbeda. Marah?

“Maaf, tadi nggak angkat telepon—” Aku menggigit bibir.

“Seharusnya gue nggak ganggu saat lo lagi makan siang sama keluarga.” Mita menyeringai, lalu melangkah masuk, aku berjalan di belakangnya. Dan dia membiarkan aku masuk ke kamarnya. Aku mengusap keningku yang terlipat, lihatlah ini, semua barang berserakan, berantakan disana-sini. Aku menatap punggungnya, dia habis mengamuk?

“Boleh gue tahu?” Aku bertanya canggung. Tidak habis pikir melihat kamar apartemen miliknya yang seperti habis terkena guncangan gempa dahsyat.

“Lo nggak perlu tahu.” Mita menjawab tanpa berbalik, dia masih menatap keluar jendela. Hujan gerimis membasahi bumi di luar sana. Aku melangkah mendekat, meremas bahunya dari belakang. Aku yakin, meski sekarang aku tidak tahu masalah apa yang tengah dihadapinya, Mita pasti bisa bertahan.

“Kalau udah nggak kuat lambaikan tangan ke kamera ya!” Aku tertawa geli. Mita menoleh, mendorong kepalaku, dan akhirnya mengusirku keluar. Tapi aku sempat melihat senyum tertahan di bibirnya. Mita sebenarnya membutuhkan teman untuk menghadapi masalahnya.

***

“Kok nggak ajak-ajak gue sih?” Aku duduk didepannya, mengamati Mita yang tengah menyantap semangkok bakso. Mita menatapku tidak peduli. Aku iseng menarik mangkok itu, melahap satu bakso. Mita menyendok sambal dan menuangkannya ke mangkok, lima-enam sendok, pada takaran ke tujuh aku menahan tangannya. Mita menepis tanganku, dia kembali menarik mangkoknya dariku.

“Gue lagi bad mood,” katanya singkat, sedang tidak ingin diganggu. Dia mengaduk baksonya yang sudah berubah kemerahan, penuh dengan biji cabai.

“Udah nggak mood juga buat ngamen?” tanyaku asal. Mita menatapku, berdiri, dia pergi begitu saja. Aku tidak berani untuk mencegah. Wajahnya terlalu dingin untuk kukenali. Dia berbeda dari Mita yang kulihat beberapa hari yang lalu.



Aku kembali ke kamar apartemenku. Berhenti sejenak ketika mendapati pintu kamar Mita yang sedikit terbuka. Tanganku sudah menyentuh gagang pintu, berniat mendorongnya, aku mengangkat tanganku, urung. Aku lebih tertarik menatap ke arah depan, sedetik kemudian, aku mendengus sebal. Melihat Adiesty berkeliaran dalam hidupku membuat hariku tidak nyaman lagi. Dia semakin mendekat. Kalau begini bagaimana aku bisa kabur?


Adiesty tersenyum, aku tidak membalas. Aku membuka pintu kamar, tanpa diminta pun dia sudah mengekor di belakangku.

“Aku bawa kue kesukaan kamu.” Adiesty meletakkan kotak persegi panjang diatas meja. Memangnya aku akan peduli dan memakannya?

“Darimana tahu apartemenku?” Aku membuka gorden jendela. Udara menjadi gerah, AC ruangan mati sejak semalam.

“Siapa lagi kalau bukan Mama kamu?” Adiesty mengangkat bahu. Aku sangat terkejut saat dia memelukku dari belakang. Aku mencoba melepaskan tangannya, sia-sia, dia malah semakin erat mendekapku. Aku sedikit lega ketika mendengar suara ketukan pintu. Aku yakin yang datang adalah petugas yang akan memperbaiki AC. Aku membuka pintu dengan lebar. Benar dugaanku, seorang petugas tersenyum ramah. Aku mengalihkan pandangan, ada Mita disamping orang itu.

“Tadi dia salah ketuk pintu.” Mita menangkap kebingunganku, buru-buru menjelaskan.

***

Aku seharian berdiam di dalam kamar, menatap takzim ke kaca jendela yang berembun, hujan masih turun. Mita sejak kemarin sepertinya masih enggan bertemu denganku. Aku mengacak rambutku dengan gemas, sebenarnya aku punya salah apa?


“Mita?” kataku spontan saat aku membuka pintu. Aku salah, bukan Mita yang datang.

“Adiesty,” ucapku sedikit malas. Seperti biasa, dia akan nyelonong masuk tanpa permisi.

“Mau apa kesini?” tanyaku tanpa ekspresi. Adiesty duduk di kasur.

“Mau pamitan sama kamu.” Dia tersenyum kepadaku yang berdiri dihadapannya.

“Kamu mau kan anterin aku ke bandara?” tanyanya tersenyum penuh arti. Mengantarnya? Astaga! Siapa juga yang mau?

“Taksi kan banyak diluar sana.” Aku bergidik jengkel, mengusirnya secara halus. Adiesty menggeleng cepat. Sejurus kemudian dia menarik tanganku. Tubuhku jatuh tersungkur diatasnya. Adiesty membelai lembut kedua pipiku, lalu menyentuh bibirku dengan telunjuknya. Aku berontak, berusaha melepaskan diri sebisa mungkin, namun, dia menahanku kuat-kuat. Aku kaget bukan kepalang ketika mendengar pintu terbuka. Mata bening itu menatapku kaku, dia melihat apa yang ada didepan matanya. Aku segera bangkit.

“Seharusnya gue datang lain waktu.” Mita tersenyum lemah. Apa yang baru saja dia lihat sangat berbeda dengan kenyataannya. Mita beringsut mundur beberapa langkah, menghilang dari ambang pintu. Aku ingin mengejarnya, dengan cepat tangan Adiesty mencegahku.

“Pergi.” Aku menunjuk pintu, sudah sangat benci melihatnya.

“Kenapa? Jadi dia yang namanya ‘Mita’? Kamu takut kalau dia cemburu melihat kita bermesraan?” Adiesty menyeringai, bangkit dari duduknya, lalu menggelayut di kedua bahuku. Aku menggeser bahuku.

“Pergi!” ulangku lagi.

“Kamu tega sama aku?” Adiesty menekuk wajahnya.

“Pergi!!” bentakku untuk ketiga kalinya. Dia pergi dengan kecewa, tak lupa juga membanting pintu kamarku dengan kencang. Biarlah. Semakin dia marah maka dia akan cepat illfeel kepadaku, dan itu yang aku inginkan. Membuat dia menghilang dari hidupku, setidaknya setahun ini aku bebas, membuatku sedikit bernapas lega.

***

“Mit, Mit, Mita!” teriakku berkali-kali, dia tetap berjalan tanpa menoleh kepadaku. Aku mencoba meraih tangannya, dia segera menepisnya.

“Hei, dengerin gue dulu!” Aku mempercepat langkahku, mendahului. Aku menutup jalannya dengan berdiri tepat di depan pintu lift. Mita, mau tidak mau harus menghentikan langkahnya.

“Mit, kita perlu bicara.” Bujukku lirih. Mita membuang muka, menatap ke arah lain.

“Bicara tentang apa?” tanyanya tidak tertarik, hanya melirikku sekilas.

“Apa yang lo lihat tadi itu nggak bener—” Aku berkeras berusaha menjelaskan.

“Bukan urusan gue.” Mita memotong cepat, melipat kedua tangannya di dada.

“Ya, gue cuma nggak mau sampai lo salah paham.” Aku menyentuh kedua lengannya. Entahlah, hal apa yang membuatku repot-repot ingin menjelaskannya kepada Mita.

“Udah kan ngomongnya?” Mita menatapku kesal.

“Belum.” Aku menghela nafas panjang, “Lo percaya kan sama gue?”

“Ikmal, buat apa lo jelasin ke gue? Lo mau ngapain aja kek, mana gue peduli. Itu kan urusan lo sama cewek itu.” Mita jengkel, mengomel, dan urung pergi. Dia berbalik, kembali ke dalam kamarnya. Dan aku, aku dibiarkan berdiri seperti orang bodoh. Percuma kan ngotot habis-habisan? Toh, Mita malah enggan menanggapi. Aku hanya tidak ingin mendapat cap sebagai lelaki buruk di matanya.


Hatiku tak karuan memikirkan Mita. Aku mencoba menghilangkannya, tidak berhasil, yang ada aku makin cemas sendiri. Memang benar yang Mita katakan tadi, tetapi, ah, mengapa aku menjadi seperti ini? Perasaan macam apa yang tengah menderaku? Takut, cemas, atau bahkan lebih dari itu. Apa aku mulai mencintainya? Tetapi, aku terlalu ragu untuk hal ini. Mita, mana mungkin dia juga mempunyai rasa yang sama sepertiku? Aku mengerjapkan mata, menatap langit-langit, aku sedang melukis wajah Mita disana. Senyum yang terlontar dari bibir tipisnya, pipi yang merah merona. Aku tiba-tiba tersadar dari lamunanku ketika ponselku bergetar. Aku bangkit dan meraihnya. Tersenyum senang ketika aku memandangi layar LCD. Satu pesan masuk. Aku menekan tombol open.


“Gue percaya sama lo.”







Bersambung—

Jangan Pergi Cinta...


“Rindu!” panggil Eva gemas. Dia terpaksa berbalik saat mengetahui aku tidak ada disampingnya.

“Sebentar.” Aku kembali terpaku melihat ke tengah lapangan. Panggung berwarna biru itu seakan menarik perhatianku.

“Rindu..” Eva mendesis tidak sabaran. Ia berjalan mendatangiku, menarik lenganku, lalu menyeretku menjauh dari tepi lapangan.

“Ayolah, keburu bisnya jalan.” Eva mempercepat langkah ketika sudah sampai di pintu gerbang. Ia pun menggenggam tanganku erat, menyeberangi jalan yang padat merayap. Aku sangat bosan melihat situasi seperti ini. Sangat ramai, penuh kepulan asap kendaraan dan truk maupun bis. Namun, tidak ada yang tahu kalau hatiku berbanding terbalik dengan keramaian ini. Kosong.

“Jangan murung begitu. Nggak enak dilihatnya.” Eva menegur dari sampingku. Kami berdua duduk di kursi paling belakang.

“Lihat kan panggung tadi?” jawabku menatapnya sekilas, lalu kembali menatap keluar jendela.

“Ya, terus?” Eva mengangkat bahu.

“Kau tahu? Itu artinya waktuku tinggal sebentar lagi,” kataku sedih. Eva menatapku prihatin. Aku hanya tidak bisa membayangkan bagaimana jadinya kalau Arya tidak ada di sekolah lagi. Apa aku harus berpura-pura tegar? Atau jalan terbaik, aku harus belajar melupakannya?  Ya, kurasa sebaiknya begitu.

“Rin.. Aku ngerti gimana posisimu sekarang. Tetapi, memang seharusnya begitu, bukan? Kau mau dia tidak lulus?” ucap Eva serius, menarik sebelah bahuku agar menghadap ke wajahnya. Aku menggeleng spontan saat mendengar kalimat terakhirnya.

“Kalau waktu bisa diputar semau kita, aku ingin sekali waktu itu berhenti sekarang. Waktu yang akan membuat dia tetap tinggal di sekolah.” Aku memandangi pepohonan yang seakan bergerak mundur. Eva tertunduk, mungkin sudah lelah membujukku.

***

Aku memang sengaja bangun subuh-subuh hanya sekadar untuk datang paling awal. Tadi Ibu juga heran kepadaku. Sesekali aku melirik jam digital yang melingkar di tanganku. Belum ada jam enam. Aku berjalan gontai melewati pintu koridor. Lalu langkahku lagi-lagi terhenti di tepi lapangan. Aku mematung melihat panggung biru untuk kedua kalinya. Aku merasa sudut mataku yang hangat.

Rasanya aku seperti terbangun dari mimpi burukku. Masa-masa indah itu tidak akan pernah terulang kembali. Waktu telah berlalu dengan sangat cepat. Sampai-sampai aku tidak menyadari kalau kak Arya akan pergi dari sekolah ini. Untuk selamanya.


Setelah mengusap pipiku, aku kembali melangkah menuju lapangan basket. Tidak ada siapa-siapa disana. Hanya ada angin yang bergerak pelan menyeret debu dan daun-daun kering. Aku sering menyendiri seperti ini. Duduk di kursi panjang di sisi lapangan. Aku sudah akrab dengan tempat ini. Tempat yang selalu menjadi peraduanku. Tenang. Tidak akan ada orang iseng yang mengganggu. Terkecuali Eva.


“Beri aku empat alasan mengapa aku harus melupakan kak Arya,” kataku tanpa menoleh sedikitpun. Eva baru saja datang dan segera duduk di sebelahku. Semalaman dia—menelepon—memaksaku untuk melupakan kak Arya. Eva gentar, menggigit bibir bawahnya.


“Pertama—” Eva menarik nafas panjang, “Biarkan dia pergi. Jangan pernah kau menghalanginya. Dan jujur saja, kau tidak mempunyai hak untuk itu. Apa yang bisa kau lakukan? Tidak ada kan?”

Aku terdiam sejenak, Eva benar, aku hanya sebatas adik kelas yang diam-diam mencintai kakak kelas, kak Arya.


“Yang kedua, kau bukan siapa-siapa di mata kak Arya. Hitung saja, sudah berapa perempuan yang dia beri harapan palsu. Dan kau salah satu dari mereka.” Eva berkata sangat serius. Aku bahkan tahu sejak tadi matanya tajam memandangku.


Aku berpikir sebentar, lagi-lagi aku membenarkan perkataan Eva. Selama ini aku selalu berasumsi menggunakan perasaan, dan itu salah. Sehingga perasaan itu mengembang semakin besar sampai sekarang. Dan, mulai sekarang juga perasaan itu kini mulai menyusut. Bahuku naik-turun menahan tangis yang sudah tidak terbendung.


“Dan, yang ketiga—” Eva berniat melanjutkan kalimatnya. Aku memotong dengan cepat, “Cukup! Cukup, Eva!” Aku berdiri cepat, menutup kedua kupingku dengan tangan, aku tidak sanggup mendengar kenyataan-kenyataan itu. Dua dari empat alasan itu sudah cukup membuatku sadar kalau selama ini aku terlalu berharap jika aku bisa memiliki kak Arya.

“Kau harus mendengarkan ini,” ucap Eva pelan, ia menyentuh bahuku dari belakang.

“Bahkan, kau tahu sendiri tentang ini. Kau bilang kak Arya sudah punya pacar, bukan?” Eva melontarkan alasan ketiganya. Aku menurunkan tanganku dari kuping, berbalik, lalu menatapnya lamat-lamat.

“Tapi, aku juga bilang, kalau kak Arya tidak nyaman dengan pacarnya itu. Kak Arya tidak bahagia.” Aku membantah kalimatnya. Eva memang tahu segalanya tentangku, namun dia tidak tahu banyak tentang kak Arya.

“Rindu.. Cinta tidak bisa dipaksa untuk memilih apa yang bukan menjadi pilihannya.” Eva sekali lagi mencoba meyakinkan.

“Aku bahkan tidak pernah memaksa, kan? Aku juga tidak bertingkah aneh-aneh. Aku hanya mencoba menuruti apa kata hatiku. Dan lihat, sampai sekarang apakah kak Arya tahu tentang perasaanku? Tidak!” Aku meraih tas di kursi, lalu melangkah menjauh, aku meninggalkan Eva begitu saja. Perbincangan ini membuatku terpojokkan. Seolah-seolah aku yang bersalah. Eva bilang kalau aku terlalu lembek karena selalu menuruti kata hatiku tanpa melihat kenyataan yang ada didepan mata. Dan Eva juga tidak suka jika aku memendam perasaan ini sendiri tanpa menyatakannya secara langsung kepada kak Arya. Jujur saja, aku tidak pernah mempunyai keberanian untuk itu. Karena aku sudah tahu jawabnya. Kak Arya tentu saja akan menolakku. Dari awal aku memang sudah bersiap menerima kenyataan apapun. Tidak peduli meski hati menjerit pilu. Tidak peduli sekalipun hatiku akan membuat pusaranya sendiri.

***

Sudah lama aku tidak melihat kak Arya. Sejak ujian kelulusan memang otomatis kelas duabelas tidak masuk sekolah lagi. Aku mencoba menyesuaikan diri dengan keadaan ini. Mau dikata apalagi?


Akhir-akhir ini aku jarang membahas tentang kak Arya. Aku rasa Eva juga sudah bosan mendengarnya. Aku selalu mencuri-curi waktu untuk melupakan kak Arya dengan cara menyibukkan diri. Aku tidak mau jatuh terlalu dalam. Semua ini sangat menyakitkan. Melihat orang yang aku cintai beranjak pergi. Aku selalu menutupi kesedihanku didepan teman-temanku. Itu karena aku tidak sanggup memberi alasan keterpurukanku ini.

***

Sabtu malam, langit malam terlihat sangat cerah dari kaca jendela kamarku. Aku bersandar di bingkai jendela, melihat kerlip bintang diatas sana. Tanpa sadar aku melukis wajah kak Arya dengan bintang-bintang itu. Indah sekali. Tetapi, tiba-tiba awan hitam berarak mendekat, menyapu bintang-bintang itu. Aku menghela nafas kecewa. Lalu beranjak duduk di ranjang, aku baru ingat kalau tadi siang aku merengek kepada salah satu kakak kelas agar dipinjami album kelas duabelas yang baru jadi seminggu yang lalu. Aku menelungkupkan tubuhku diatas guling, lalu aku mulai membuka halaman demi halaman secara perlahan. Sampai dipertengahan album, aku menghentikan tanganku. Aku melihat foto itu dengan saksama, senyum indah mengembang dari bibir tipisnya yang tercetak dalam lembaran itu. Aku sangat merindukannya. Sayangnya, hanya lewat foto ini aku bisa menatap matanya yang teduh, melihat pancaran lembut dari bola matanya. Mata yang sejatinya tidak untuk melihatku.


Hp-ku yang berada diatas meja bergetar sangat nyaring. Aku melihat layar putih yang tertera nama ‘Eva’ disana. Aku jadi ingat sesuatu, bukankah malam ini acara perpisahan itu? Aku melamun beberapa detik, sampai terhenyak sendiri mendengar bunyi klakson dari luar. Aku segera membuka pintu jendela, melihat Eva yang melambaikan tangan dari atas motor matic-nya. Aku mengangkat bahu, tidak mengerti, Eva melambaikan tangan lagi. Dari bibirnya aku tahu dia mengisyaratkan agar aku cepat keluar dari kamar. Aku bergegas memakai jaket dan mengambil helm di bawah meja, lalu dengan hati-hati aku lompat keluar melalui bingkai jendela. Sebenarnya, Ayah dan Ibu akan sangat marah jika tahu apa yang baru saja aku lakukan. Tetapi kalau harus izin terlebih dahulu, aku harus mencari alasan yang benar-benar logis, dan itu banyak memakan waktu. Sedangkan waktu terus berputar.


Eva melajukan motor matic-nya dengan kencang. Aku berpegangan di pinggangnya seerat mungkin. Takut-takut kalau aku akan mati konyol bersama Eva dan motor bebeknya. Jalanan cukup padat, sudah beberapa kali Eva melanggar.

Aku melepas helm-ku ketika sudah tiba didepan gerbang sekolah. Eva terpaksa memarkir motornya di luar gerbang, di halaman depan sekolah sudah dipenuhi ratusan motor. Aku dan Eva berjalan hati-hati melewati motor-motor itu. Aku sebenarnya ragu untuk melangkah lebih jauh. Apalagi acara ini memang khusus untuk kelas duabelas. Tetapi Eva malah dengan santai menarik tanganku. Aku menyapu pandanganku, lapangan sudah penuh, panggung biru itu diselimuti pendar lampu-lampu indah yang tergantung di sisi-sisinya. Seakan tidak peduli dengan mendung diatas sana, toh acara itu tetap berjalan dengan meriah. Aku berjinjit, satu tanganku diatas bahu Eva, berpegangan. Aku tidak menemukan kak Arya ditengah-tengah acara itu. Kemana dia?


Aku menarik lengan Eva menjauh dari tepi lapangan. Aku lebih memilih untuk menyambangi tempat peraduanku. Eva sedikit malas namun akhirnya menurut. Seharusnya aku tadi berpikir dua kali untuk datang ke sekolah, untuk apa ke sekolah malam-malam kalau hanya untuk menemukan kenyataan aku tidak bisa bertemu dengan kak Arya. Aku menendang batu kecil didepanku. Eva mengamatiku dari tempat duduknya.


Aku reflek menoleh lalu mendongak ke langit begitu mendengar dentuman kembang api. Melesat dengan sempurna. Membumbung tinggi, seakan membelah gelapnya malam. Satu-dua dentuman lagi bergema. Sempurna kembang api itu membuncah di langit yang gelap. Aku bisa merasakan semua kegembiraan ikut buncah bersama percikan kembang api.


Eva tiba-tiba merangkul pundakku. Ia juga menyaksikan mercusuar buatan itu. Eva mengerjap takjub. Aku kembali menatap sekitar, pertunjukan itu hampir usai. Dan, itu artinya harapanku selesai sampai disini. Aku sangat lelah bila harus menjejali hatiku dengan harapan manis yang jelas-jelas hanya harapan palsu. Detik ini, yah, aku menangis. Air mata ini, aku sangat berharap jika air mata ini adalah untuk yang terakhir. Aku akan mulai menata hatiku dari awal, meski aku tahu kini hatiku tidak utuh seperti sedia kala. Aku akan selalu ingat bagaimana aku bisa mengenalnya hingga aku jatuh hati dengannya.

“Aku yakin kau pasti bisa bangkit lagi. Cayooo!” Eva tersenyum mengusap pipiku dengan tangannya. Lalu mengepalkan tangannya ke udara, memberiku semangat.

“Ya, aku akan segera belajar melupakannya. Tetapi tidak untuk berhenti mencintainya. Aku akan membiarkan namanya tetap hidup didalam hatiku. Sampai aku benar-benar menemukan orang yang tepat sebagai penggantinya.” Aku menatap langit yang kembali gelap dan sepi.

“Kau mau mendengar alasanku yang keempat?” tawar Eva ragu. Aku menoleh, mengangguk, tentu saja.

“Kalau kau percaya, semakin cinta itu dikejar maka cinta akan berlari menjauh. Sebaliknya, jika kau bersabar menunggunya maka cinta akan datang dengan sendirinya, tanpa kau memintanya. Mungkin sekarang belum saatnya. Tuhan barangkali sudah menentukan kabar gembira itu suatu hari nanti, bukan sekarang.” Eva tersenyum menepuk-nepuk pundakku. Aku balas memeluknya. Lagi-lagi air mataku tumpah, aku tidak bisa menahannya.

“Menangislah jika itu sedikit meringankan bebanmu.” Eva mengelus punggungku.

“Dan satu hal, Rin. Jangan berharap waktu akan berhenti sekarang, karena, kau tahu? Cinta membutuhkan waktu untuk tetap hidup.” Eva berkata lirih. Aku kembali terisak. Aku tahu, mustahil memang jika aku berharap secara berlebihan. Bagaimanalah, sampai kapanpun cintaku tidak akan terbalas.

***

Aku tidak pernah menyangka dan hampir tidak percaya ketika aku bertemu dengan kak Arya lagi. Aku menatapnya kaku, rasanya seperti mati rasa. Dia tidak mengenakan seragam sekolah lagi, melainkan T-shirt hitam dengan celana jeans yang senada. Pertemuan ini tidak sengaja. Aku tidak tahu jika dia ada di perpustakaan. Sekian lama aku menatapnya. Dia masih seperti kak Arya yang sangat aku cintai. Kak Arya tersenyum memberiku lipatan kertas. Aku terkejut menerimanya. Dia bahkan tidak bilang apa-apa. Kak Arya berlalu dari hadapanku, tangannya membawa sebuah map besar. Aku yakin isi map itu adalah berkas-berkas tanda kelulusan. Dan itu alasan mengapa dia datang ke perpustakaan sekolah. Aku menatap punggungnya yang semakin menjauh. Jarak itu kini semakin membentang amat jauh. Sangat jauh.. dan aku tidak mampu menjangkaunya.

Sampai di rumah, aku bergegas masuk kamar, tak lupa mengunci pintunya. Aku membuka jendela, membiarkan semilir angin berhembus masuk. Aku duduk di ambang jendela. Tanganku mulai membuka lipatan kertas itu. Aku mulai melihat tinta hitam tertoreh diatas kertas putih.



Rindu...
Aku tidak tahu jika harapan yang aku berikan itu membuat kau sakit..
Aku baru tahu kalau kau sangat mencintaiku..
Tempo hari Eva menemuiku dan menceritakan semuanya..
Aku mohon, tolong lupakanlah aku..
Aku tidak pantas untuk kau beri cinta..
Maafkan aku jika selama ini aku tak pernah memberi kepastian..
Itu karena kau pasti bisa menemukan yang lebih baik dariku..
Dan kau, mungkin kau bukan orang yang aku cari..
Lupakan aku..
Jangan pernah mengingatku jika itu hanya menyakitkanmu..
Biarkan aku pergi, Rindu..
Aku yakin kau akan lebih bahagia setelah tidak melihatku lagi..
Aku percaya, cepat atau lambat kau akan menemukan sekeping hatimu..
Dan itu tidak ada padaku..



Aku menjatuhkan kertas itu ke lantai. Pipiku sempurna basah. Mengapa dia mengharapkan agar aku bisa melupakannya? Apa aku memang tidak berhak untuk mencintainya?

Tuhan.. Bila ini jalan yang Engkau berikan. Aku akan ikhlas. Tapi biarkan cinta ini tetap ada. Aku tidak ingin kehilangan rasa cinta ini. Sekalipun itu sangat menyakitkan. Aku akan terima.


 







Tamat.


Cari Blog Ini