Minggu, 15 April 2012

“Biarkan Aku Mencintaimu” (bagian 3)

Cinta Lamaku


Aku sungguh kesal saat Mama meneleponku barusan. Mengabari kalau Adiesty pulang ke Indonesia. Dan sialnya, Mama menyuruhku untuk menjemputnya di bandara. Aku tidak bisa menolak, terpaksa mengiyakan saat Mama mendesakku.


Aku cukup jenuh berdiri didekat pintu kedatangan. Sampai tidak habis pikir, demi apa aku melakukan ini. Adiesty sudah berkhianat kepadaku. Tapi, Mama sangat menyayangi Adiesty. Bahkan sampai sekarang tetap keukeuh ingin menjadikan Adiesty menantu.


Dari kejauhan aku melihat Adiesty berjalan sumringah ke arahku. Dua tahun tidak cukup untuk mengubahnya. Adiesty berjalan dengan anggun, menyibak poninya dengan kacamata yang tadi menutup matanya.

“Aku kangen banget sama kamu.” Adiesty berbisik, memelukku sangat erat. Aku sedikit bergidik, sayangnya aku sama sekali tidak menginginkan kedatangannya. Dia melepas pelukannya, tanpa canggung menggandeng tanganku. Aku mendesis benci ketika Adiesty bersandar dengan manja di bahuku.


Mama heboh melihat kedatangan Adiesty, menyambut di depan pintu, lalu berlari kecil mendatangi Adiesty. Mereka berdua berpelukan, cipika-cipiki, aku menyaksikannya dengan cengiran. Mama antusias menarik lengan Adiesty masuk ke dalam rumah. Baiklah. Ini kesempatan yang baik untuk cepat-cepat menghindar. Namun, baru saja aku membuka pintu mobil, Mama tiba-tiba berseru diambang pintu.

“Mau kemana, Mal?” Mama bertanya curiga.

“Ehm.” Aku kembali menutup pintu mobil. Mama sudah berbalik masuk ke dalam rumah, aku menendang ban mobil dengan jengkel.


Mama menyendokkan nasi ke atas piringku. Memaksaku untuk makan siang bersama, ada Adiesty tentunya. Papa terlihat cuek, tidak menggubris kehadiranku. Aku gelisah, berulang kali melirik layar hp-ku yang tergeletak di dekat piring. Aku sangat berharap kalau-kalau Mita meneleponku. Lima detik. Layar hp-ku berderap. Mataku mengerjap gembira, dan buru-buru meraihnya. Telepon dari Mita. Tanpa ba-bi-bu, Adiesty menyambar hp-ku secara paksa.

“Mal, kita kan lagi makan. Angkat teleponnya bisa nanti-nanti. Iya kan Tan?” Adiesty menoleh ke Mama.


“Iya. Kamu hargai Adiesty dong!” Mama mendukung kalimat Adiesty. Papa hanya mendehem, sebal mendengar ribut-ribut. Aku rasa Papa juga tidak suka melihat Adiesty. Aku diam, bukan mengalah, hanya sedang berpikir bagaimana cara kabur. Adiesty tersenyum simpul kepadaku, tersenyum menang. Aku ingin muntah melihatnya.


Aku menaiki anak tangga menuju kamarku. Sudah lama aku tidak menyambanginya. Seraya menaiki anak tangga, aku mencoba menelepon Mita, ingin menjelaskan. Namun, ponselnya tidak aktif. Aku jadi khawatir. Berhenti sejenak, dan bergegas menuruni anak tangga kembali. Sekarang, apapun yang menghalangi kepergianku, aku tidak akan gentar. Mita jauh lebih penting ketimbang urusan Adiesty. Aku cukup lega ketika mobil—baruku—keluar dari kompleks rumah. Entah hal apa yang membuat Mama dan Adiesty lengah untuk mengawasiku.



Aku mengetuk pintu dengan pelan. Mita datang dari balik pintu, menyandarkan sebelah lengannya di daun pintu. Dia terlihat berbeda. Marah?

“Maaf, tadi nggak angkat telepon—” Aku menggigit bibir.

“Seharusnya gue nggak ganggu saat lo lagi makan siang sama keluarga.” Mita menyeringai, lalu melangkah masuk, aku berjalan di belakangnya. Dan dia membiarkan aku masuk ke kamarnya. Aku mengusap keningku yang terlipat, lihatlah ini, semua barang berserakan, berantakan disana-sini. Aku menatap punggungnya, dia habis mengamuk?

“Boleh gue tahu?” Aku bertanya canggung. Tidak habis pikir melihat kamar apartemen miliknya yang seperti habis terkena guncangan gempa dahsyat.

“Lo nggak perlu tahu.” Mita menjawab tanpa berbalik, dia masih menatap keluar jendela. Hujan gerimis membasahi bumi di luar sana. Aku melangkah mendekat, meremas bahunya dari belakang. Aku yakin, meski sekarang aku tidak tahu masalah apa yang tengah dihadapinya, Mita pasti bisa bertahan.

“Kalau udah nggak kuat lambaikan tangan ke kamera ya!” Aku tertawa geli. Mita menoleh, mendorong kepalaku, dan akhirnya mengusirku keluar. Tapi aku sempat melihat senyum tertahan di bibirnya. Mita sebenarnya membutuhkan teman untuk menghadapi masalahnya.

***

“Kok nggak ajak-ajak gue sih?” Aku duduk didepannya, mengamati Mita yang tengah menyantap semangkok bakso. Mita menatapku tidak peduli. Aku iseng menarik mangkok itu, melahap satu bakso. Mita menyendok sambal dan menuangkannya ke mangkok, lima-enam sendok, pada takaran ke tujuh aku menahan tangannya. Mita menepis tanganku, dia kembali menarik mangkoknya dariku.

“Gue lagi bad mood,” katanya singkat, sedang tidak ingin diganggu. Dia mengaduk baksonya yang sudah berubah kemerahan, penuh dengan biji cabai.

“Udah nggak mood juga buat ngamen?” tanyaku asal. Mita menatapku, berdiri, dia pergi begitu saja. Aku tidak berani untuk mencegah. Wajahnya terlalu dingin untuk kukenali. Dia berbeda dari Mita yang kulihat beberapa hari yang lalu.



Aku kembali ke kamar apartemenku. Berhenti sejenak ketika mendapati pintu kamar Mita yang sedikit terbuka. Tanganku sudah menyentuh gagang pintu, berniat mendorongnya, aku mengangkat tanganku, urung. Aku lebih tertarik menatap ke arah depan, sedetik kemudian, aku mendengus sebal. Melihat Adiesty berkeliaran dalam hidupku membuat hariku tidak nyaman lagi. Dia semakin mendekat. Kalau begini bagaimana aku bisa kabur?


Adiesty tersenyum, aku tidak membalas. Aku membuka pintu kamar, tanpa diminta pun dia sudah mengekor di belakangku.

“Aku bawa kue kesukaan kamu.” Adiesty meletakkan kotak persegi panjang diatas meja. Memangnya aku akan peduli dan memakannya?

“Darimana tahu apartemenku?” Aku membuka gorden jendela. Udara menjadi gerah, AC ruangan mati sejak semalam.

“Siapa lagi kalau bukan Mama kamu?” Adiesty mengangkat bahu. Aku sangat terkejut saat dia memelukku dari belakang. Aku mencoba melepaskan tangannya, sia-sia, dia malah semakin erat mendekapku. Aku sedikit lega ketika mendengar suara ketukan pintu. Aku yakin yang datang adalah petugas yang akan memperbaiki AC. Aku membuka pintu dengan lebar. Benar dugaanku, seorang petugas tersenyum ramah. Aku mengalihkan pandangan, ada Mita disamping orang itu.

“Tadi dia salah ketuk pintu.” Mita menangkap kebingunganku, buru-buru menjelaskan.

***

Aku seharian berdiam di dalam kamar, menatap takzim ke kaca jendela yang berembun, hujan masih turun. Mita sejak kemarin sepertinya masih enggan bertemu denganku. Aku mengacak rambutku dengan gemas, sebenarnya aku punya salah apa?


“Mita?” kataku spontan saat aku membuka pintu. Aku salah, bukan Mita yang datang.

“Adiesty,” ucapku sedikit malas. Seperti biasa, dia akan nyelonong masuk tanpa permisi.

“Mau apa kesini?” tanyaku tanpa ekspresi. Adiesty duduk di kasur.

“Mau pamitan sama kamu.” Dia tersenyum kepadaku yang berdiri dihadapannya.

“Kamu mau kan anterin aku ke bandara?” tanyanya tersenyum penuh arti. Mengantarnya? Astaga! Siapa juga yang mau?

“Taksi kan banyak diluar sana.” Aku bergidik jengkel, mengusirnya secara halus. Adiesty menggeleng cepat. Sejurus kemudian dia menarik tanganku. Tubuhku jatuh tersungkur diatasnya. Adiesty membelai lembut kedua pipiku, lalu menyentuh bibirku dengan telunjuknya. Aku berontak, berusaha melepaskan diri sebisa mungkin, namun, dia menahanku kuat-kuat. Aku kaget bukan kepalang ketika mendengar pintu terbuka. Mata bening itu menatapku kaku, dia melihat apa yang ada didepan matanya. Aku segera bangkit.

“Seharusnya gue datang lain waktu.” Mita tersenyum lemah. Apa yang baru saja dia lihat sangat berbeda dengan kenyataannya. Mita beringsut mundur beberapa langkah, menghilang dari ambang pintu. Aku ingin mengejarnya, dengan cepat tangan Adiesty mencegahku.

“Pergi.” Aku menunjuk pintu, sudah sangat benci melihatnya.

“Kenapa? Jadi dia yang namanya ‘Mita’? Kamu takut kalau dia cemburu melihat kita bermesraan?” Adiesty menyeringai, bangkit dari duduknya, lalu menggelayut di kedua bahuku. Aku menggeser bahuku.

“Pergi!” ulangku lagi.

“Kamu tega sama aku?” Adiesty menekuk wajahnya.

“Pergi!!” bentakku untuk ketiga kalinya. Dia pergi dengan kecewa, tak lupa juga membanting pintu kamarku dengan kencang. Biarlah. Semakin dia marah maka dia akan cepat illfeel kepadaku, dan itu yang aku inginkan. Membuat dia menghilang dari hidupku, setidaknya setahun ini aku bebas, membuatku sedikit bernapas lega.

***

“Mit, Mit, Mita!” teriakku berkali-kali, dia tetap berjalan tanpa menoleh kepadaku. Aku mencoba meraih tangannya, dia segera menepisnya.

“Hei, dengerin gue dulu!” Aku mempercepat langkahku, mendahului. Aku menutup jalannya dengan berdiri tepat di depan pintu lift. Mita, mau tidak mau harus menghentikan langkahnya.

“Mit, kita perlu bicara.” Bujukku lirih. Mita membuang muka, menatap ke arah lain.

“Bicara tentang apa?” tanyanya tidak tertarik, hanya melirikku sekilas.

“Apa yang lo lihat tadi itu nggak bener—” Aku berkeras berusaha menjelaskan.

“Bukan urusan gue.” Mita memotong cepat, melipat kedua tangannya di dada.

“Ya, gue cuma nggak mau sampai lo salah paham.” Aku menyentuh kedua lengannya. Entahlah, hal apa yang membuatku repot-repot ingin menjelaskannya kepada Mita.

“Udah kan ngomongnya?” Mita menatapku kesal.

“Belum.” Aku menghela nafas panjang, “Lo percaya kan sama gue?”

“Ikmal, buat apa lo jelasin ke gue? Lo mau ngapain aja kek, mana gue peduli. Itu kan urusan lo sama cewek itu.” Mita jengkel, mengomel, dan urung pergi. Dia berbalik, kembali ke dalam kamarnya. Dan aku, aku dibiarkan berdiri seperti orang bodoh. Percuma kan ngotot habis-habisan? Toh, Mita malah enggan menanggapi. Aku hanya tidak ingin mendapat cap sebagai lelaki buruk di matanya.


Hatiku tak karuan memikirkan Mita. Aku mencoba menghilangkannya, tidak berhasil, yang ada aku makin cemas sendiri. Memang benar yang Mita katakan tadi, tetapi, ah, mengapa aku menjadi seperti ini? Perasaan macam apa yang tengah menderaku? Takut, cemas, atau bahkan lebih dari itu. Apa aku mulai mencintainya? Tetapi, aku terlalu ragu untuk hal ini. Mita, mana mungkin dia juga mempunyai rasa yang sama sepertiku? Aku mengerjapkan mata, menatap langit-langit, aku sedang melukis wajah Mita disana. Senyum yang terlontar dari bibir tipisnya, pipi yang merah merona. Aku tiba-tiba tersadar dari lamunanku ketika ponselku bergetar. Aku bangkit dan meraihnya. Tersenyum senang ketika aku memandangi layar LCD. Satu pesan masuk. Aku menekan tombol open.


“Gue percaya sama lo.”







Bersambung—

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Cari Blog Ini