Minggu, 15 April 2012

Jangan Pergi Cinta...


“Rindu!” panggil Eva gemas. Dia terpaksa berbalik saat mengetahui aku tidak ada disampingnya.

“Sebentar.” Aku kembali terpaku melihat ke tengah lapangan. Panggung berwarna biru itu seakan menarik perhatianku.

“Rindu..” Eva mendesis tidak sabaran. Ia berjalan mendatangiku, menarik lenganku, lalu menyeretku menjauh dari tepi lapangan.

“Ayolah, keburu bisnya jalan.” Eva mempercepat langkah ketika sudah sampai di pintu gerbang. Ia pun menggenggam tanganku erat, menyeberangi jalan yang padat merayap. Aku sangat bosan melihat situasi seperti ini. Sangat ramai, penuh kepulan asap kendaraan dan truk maupun bis. Namun, tidak ada yang tahu kalau hatiku berbanding terbalik dengan keramaian ini. Kosong.

“Jangan murung begitu. Nggak enak dilihatnya.” Eva menegur dari sampingku. Kami berdua duduk di kursi paling belakang.

“Lihat kan panggung tadi?” jawabku menatapnya sekilas, lalu kembali menatap keluar jendela.

“Ya, terus?” Eva mengangkat bahu.

“Kau tahu? Itu artinya waktuku tinggal sebentar lagi,” kataku sedih. Eva menatapku prihatin. Aku hanya tidak bisa membayangkan bagaimana jadinya kalau Arya tidak ada di sekolah lagi. Apa aku harus berpura-pura tegar? Atau jalan terbaik, aku harus belajar melupakannya?  Ya, kurasa sebaiknya begitu.

“Rin.. Aku ngerti gimana posisimu sekarang. Tetapi, memang seharusnya begitu, bukan? Kau mau dia tidak lulus?” ucap Eva serius, menarik sebelah bahuku agar menghadap ke wajahnya. Aku menggeleng spontan saat mendengar kalimat terakhirnya.

“Kalau waktu bisa diputar semau kita, aku ingin sekali waktu itu berhenti sekarang. Waktu yang akan membuat dia tetap tinggal di sekolah.” Aku memandangi pepohonan yang seakan bergerak mundur. Eva tertunduk, mungkin sudah lelah membujukku.

***

Aku memang sengaja bangun subuh-subuh hanya sekadar untuk datang paling awal. Tadi Ibu juga heran kepadaku. Sesekali aku melirik jam digital yang melingkar di tanganku. Belum ada jam enam. Aku berjalan gontai melewati pintu koridor. Lalu langkahku lagi-lagi terhenti di tepi lapangan. Aku mematung melihat panggung biru untuk kedua kalinya. Aku merasa sudut mataku yang hangat.

Rasanya aku seperti terbangun dari mimpi burukku. Masa-masa indah itu tidak akan pernah terulang kembali. Waktu telah berlalu dengan sangat cepat. Sampai-sampai aku tidak menyadari kalau kak Arya akan pergi dari sekolah ini. Untuk selamanya.


Setelah mengusap pipiku, aku kembali melangkah menuju lapangan basket. Tidak ada siapa-siapa disana. Hanya ada angin yang bergerak pelan menyeret debu dan daun-daun kering. Aku sering menyendiri seperti ini. Duduk di kursi panjang di sisi lapangan. Aku sudah akrab dengan tempat ini. Tempat yang selalu menjadi peraduanku. Tenang. Tidak akan ada orang iseng yang mengganggu. Terkecuali Eva.


“Beri aku empat alasan mengapa aku harus melupakan kak Arya,” kataku tanpa menoleh sedikitpun. Eva baru saja datang dan segera duduk di sebelahku. Semalaman dia—menelepon—memaksaku untuk melupakan kak Arya. Eva gentar, menggigit bibir bawahnya.


“Pertama—” Eva menarik nafas panjang, “Biarkan dia pergi. Jangan pernah kau menghalanginya. Dan jujur saja, kau tidak mempunyai hak untuk itu. Apa yang bisa kau lakukan? Tidak ada kan?”

Aku terdiam sejenak, Eva benar, aku hanya sebatas adik kelas yang diam-diam mencintai kakak kelas, kak Arya.


“Yang kedua, kau bukan siapa-siapa di mata kak Arya. Hitung saja, sudah berapa perempuan yang dia beri harapan palsu. Dan kau salah satu dari mereka.” Eva berkata sangat serius. Aku bahkan tahu sejak tadi matanya tajam memandangku.


Aku berpikir sebentar, lagi-lagi aku membenarkan perkataan Eva. Selama ini aku selalu berasumsi menggunakan perasaan, dan itu salah. Sehingga perasaan itu mengembang semakin besar sampai sekarang. Dan, mulai sekarang juga perasaan itu kini mulai menyusut. Bahuku naik-turun menahan tangis yang sudah tidak terbendung.


“Dan, yang ketiga—” Eva berniat melanjutkan kalimatnya. Aku memotong dengan cepat, “Cukup! Cukup, Eva!” Aku berdiri cepat, menutup kedua kupingku dengan tangan, aku tidak sanggup mendengar kenyataan-kenyataan itu. Dua dari empat alasan itu sudah cukup membuatku sadar kalau selama ini aku terlalu berharap jika aku bisa memiliki kak Arya.

“Kau harus mendengarkan ini,” ucap Eva pelan, ia menyentuh bahuku dari belakang.

“Bahkan, kau tahu sendiri tentang ini. Kau bilang kak Arya sudah punya pacar, bukan?” Eva melontarkan alasan ketiganya. Aku menurunkan tanganku dari kuping, berbalik, lalu menatapnya lamat-lamat.

“Tapi, aku juga bilang, kalau kak Arya tidak nyaman dengan pacarnya itu. Kak Arya tidak bahagia.” Aku membantah kalimatnya. Eva memang tahu segalanya tentangku, namun dia tidak tahu banyak tentang kak Arya.

“Rindu.. Cinta tidak bisa dipaksa untuk memilih apa yang bukan menjadi pilihannya.” Eva sekali lagi mencoba meyakinkan.

“Aku bahkan tidak pernah memaksa, kan? Aku juga tidak bertingkah aneh-aneh. Aku hanya mencoba menuruti apa kata hatiku. Dan lihat, sampai sekarang apakah kak Arya tahu tentang perasaanku? Tidak!” Aku meraih tas di kursi, lalu melangkah menjauh, aku meninggalkan Eva begitu saja. Perbincangan ini membuatku terpojokkan. Seolah-seolah aku yang bersalah. Eva bilang kalau aku terlalu lembek karena selalu menuruti kata hatiku tanpa melihat kenyataan yang ada didepan mata. Dan Eva juga tidak suka jika aku memendam perasaan ini sendiri tanpa menyatakannya secara langsung kepada kak Arya. Jujur saja, aku tidak pernah mempunyai keberanian untuk itu. Karena aku sudah tahu jawabnya. Kak Arya tentu saja akan menolakku. Dari awal aku memang sudah bersiap menerima kenyataan apapun. Tidak peduli meski hati menjerit pilu. Tidak peduli sekalipun hatiku akan membuat pusaranya sendiri.

***

Sudah lama aku tidak melihat kak Arya. Sejak ujian kelulusan memang otomatis kelas duabelas tidak masuk sekolah lagi. Aku mencoba menyesuaikan diri dengan keadaan ini. Mau dikata apalagi?


Akhir-akhir ini aku jarang membahas tentang kak Arya. Aku rasa Eva juga sudah bosan mendengarnya. Aku selalu mencuri-curi waktu untuk melupakan kak Arya dengan cara menyibukkan diri. Aku tidak mau jatuh terlalu dalam. Semua ini sangat menyakitkan. Melihat orang yang aku cintai beranjak pergi. Aku selalu menutupi kesedihanku didepan teman-temanku. Itu karena aku tidak sanggup memberi alasan keterpurukanku ini.

***

Sabtu malam, langit malam terlihat sangat cerah dari kaca jendela kamarku. Aku bersandar di bingkai jendela, melihat kerlip bintang diatas sana. Tanpa sadar aku melukis wajah kak Arya dengan bintang-bintang itu. Indah sekali. Tetapi, tiba-tiba awan hitam berarak mendekat, menyapu bintang-bintang itu. Aku menghela nafas kecewa. Lalu beranjak duduk di ranjang, aku baru ingat kalau tadi siang aku merengek kepada salah satu kakak kelas agar dipinjami album kelas duabelas yang baru jadi seminggu yang lalu. Aku menelungkupkan tubuhku diatas guling, lalu aku mulai membuka halaman demi halaman secara perlahan. Sampai dipertengahan album, aku menghentikan tanganku. Aku melihat foto itu dengan saksama, senyum indah mengembang dari bibir tipisnya yang tercetak dalam lembaran itu. Aku sangat merindukannya. Sayangnya, hanya lewat foto ini aku bisa menatap matanya yang teduh, melihat pancaran lembut dari bola matanya. Mata yang sejatinya tidak untuk melihatku.


Hp-ku yang berada diatas meja bergetar sangat nyaring. Aku melihat layar putih yang tertera nama ‘Eva’ disana. Aku jadi ingat sesuatu, bukankah malam ini acara perpisahan itu? Aku melamun beberapa detik, sampai terhenyak sendiri mendengar bunyi klakson dari luar. Aku segera membuka pintu jendela, melihat Eva yang melambaikan tangan dari atas motor matic-nya. Aku mengangkat bahu, tidak mengerti, Eva melambaikan tangan lagi. Dari bibirnya aku tahu dia mengisyaratkan agar aku cepat keluar dari kamar. Aku bergegas memakai jaket dan mengambil helm di bawah meja, lalu dengan hati-hati aku lompat keluar melalui bingkai jendela. Sebenarnya, Ayah dan Ibu akan sangat marah jika tahu apa yang baru saja aku lakukan. Tetapi kalau harus izin terlebih dahulu, aku harus mencari alasan yang benar-benar logis, dan itu banyak memakan waktu. Sedangkan waktu terus berputar.


Eva melajukan motor matic-nya dengan kencang. Aku berpegangan di pinggangnya seerat mungkin. Takut-takut kalau aku akan mati konyol bersama Eva dan motor bebeknya. Jalanan cukup padat, sudah beberapa kali Eva melanggar.

Aku melepas helm-ku ketika sudah tiba didepan gerbang sekolah. Eva terpaksa memarkir motornya di luar gerbang, di halaman depan sekolah sudah dipenuhi ratusan motor. Aku dan Eva berjalan hati-hati melewati motor-motor itu. Aku sebenarnya ragu untuk melangkah lebih jauh. Apalagi acara ini memang khusus untuk kelas duabelas. Tetapi Eva malah dengan santai menarik tanganku. Aku menyapu pandanganku, lapangan sudah penuh, panggung biru itu diselimuti pendar lampu-lampu indah yang tergantung di sisi-sisinya. Seakan tidak peduli dengan mendung diatas sana, toh acara itu tetap berjalan dengan meriah. Aku berjinjit, satu tanganku diatas bahu Eva, berpegangan. Aku tidak menemukan kak Arya ditengah-tengah acara itu. Kemana dia?


Aku menarik lengan Eva menjauh dari tepi lapangan. Aku lebih memilih untuk menyambangi tempat peraduanku. Eva sedikit malas namun akhirnya menurut. Seharusnya aku tadi berpikir dua kali untuk datang ke sekolah, untuk apa ke sekolah malam-malam kalau hanya untuk menemukan kenyataan aku tidak bisa bertemu dengan kak Arya. Aku menendang batu kecil didepanku. Eva mengamatiku dari tempat duduknya.


Aku reflek menoleh lalu mendongak ke langit begitu mendengar dentuman kembang api. Melesat dengan sempurna. Membumbung tinggi, seakan membelah gelapnya malam. Satu-dua dentuman lagi bergema. Sempurna kembang api itu membuncah di langit yang gelap. Aku bisa merasakan semua kegembiraan ikut buncah bersama percikan kembang api.


Eva tiba-tiba merangkul pundakku. Ia juga menyaksikan mercusuar buatan itu. Eva mengerjap takjub. Aku kembali menatap sekitar, pertunjukan itu hampir usai. Dan, itu artinya harapanku selesai sampai disini. Aku sangat lelah bila harus menjejali hatiku dengan harapan manis yang jelas-jelas hanya harapan palsu. Detik ini, yah, aku menangis. Air mata ini, aku sangat berharap jika air mata ini adalah untuk yang terakhir. Aku akan mulai menata hatiku dari awal, meski aku tahu kini hatiku tidak utuh seperti sedia kala. Aku akan selalu ingat bagaimana aku bisa mengenalnya hingga aku jatuh hati dengannya.

“Aku yakin kau pasti bisa bangkit lagi. Cayooo!” Eva tersenyum mengusap pipiku dengan tangannya. Lalu mengepalkan tangannya ke udara, memberiku semangat.

“Ya, aku akan segera belajar melupakannya. Tetapi tidak untuk berhenti mencintainya. Aku akan membiarkan namanya tetap hidup didalam hatiku. Sampai aku benar-benar menemukan orang yang tepat sebagai penggantinya.” Aku menatap langit yang kembali gelap dan sepi.

“Kau mau mendengar alasanku yang keempat?” tawar Eva ragu. Aku menoleh, mengangguk, tentu saja.

“Kalau kau percaya, semakin cinta itu dikejar maka cinta akan berlari menjauh. Sebaliknya, jika kau bersabar menunggunya maka cinta akan datang dengan sendirinya, tanpa kau memintanya. Mungkin sekarang belum saatnya. Tuhan barangkali sudah menentukan kabar gembira itu suatu hari nanti, bukan sekarang.” Eva tersenyum menepuk-nepuk pundakku. Aku balas memeluknya. Lagi-lagi air mataku tumpah, aku tidak bisa menahannya.

“Menangislah jika itu sedikit meringankan bebanmu.” Eva mengelus punggungku.

“Dan satu hal, Rin. Jangan berharap waktu akan berhenti sekarang, karena, kau tahu? Cinta membutuhkan waktu untuk tetap hidup.” Eva berkata lirih. Aku kembali terisak. Aku tahu, mustahil memang jika aku berharap secara berlebihan. Bagaimanalah, sampai kapanpun cintaku tidak akan terbalas.

***

Aku tidak pernah menyangka dan hampir tidak percaya ketika aku bertemu dengan kak Arya lagi. Aku menatapnya kaku, rasanya seperti mati rasa. Dia tidak mengenakan seragam sekolah lagi, melainkan T-shirt hitam dengan celana jeans yang senada. Pertemuan ini tidak sengaja. Aku tidak tahu jika dia ada di perpustakaan. Sekian lama aku menatapnya. Dia masih seperti kak Arya yang sangat aku cintai. Kak Arya tersenyum memberiku lipatan kertas. Aku terkejut menerimanya. Dia bahkan tidak bilang apa-apa. Kak Arya berlalu dari hadapanku, tangannya membawa sebuah map besar. Aku yakin isi map itu adalah berkas-berkas tanda kelulusan. Dan itu alasan mengapa dia datang ke perpustakaan sekolah. Aku menatap punggungnya yang semakin menjauh. Jarak itu kini semakin membentang amat jauh. Sangat jauh.. dan aku tidak mampu menjangkaunya.

Sampai di rumah, aku bergegas masuk kamar, tak lupa mengunci pintunya. Aku membuka jendela, membiarkan semilir angin berhembus masuk. Aku duduk di ambang jendela. Tanganku mulai membuka lipatan kertas itu. Aku mulai melihat tinta hitam tertoreh diatas kertas putih.



Rindu...
Aku tidak tahu jika harapan yang aku berikan itu membuat kau sakit..
Aku baru tahu kalau kau sangat mencintaiku..
Tempo hari Eva menemuiku dan menceritakan semuanya..
Aku mohon, tolong lupakanlah aku..
Aku tidak pantas untuk kau beri cinta..
Maafkan aku jika selama ini aku tak pernah memberi kepastian..
Itu karena kau pasti bisa menemukan yang lebih baik dariku..
Dan kau, mungkin kau bukan orang yang aku cari..
Lupakan aku..
Jangan pernah mengingatku jika itu hanya menyakitkanmu..
Biarkan aku pergi, Rindu..
Aku yakin kau akan lebih bahagia setelah tidak melihatku lagi..
Aku percaya, cepat atau lambat kau akan menemukan sekeping hatimu..
Dan itu tidak ada padaku..



Aku menjatuhkan kertas itu ke lantai. Pipiku sempurna basah. Mengapa dia mengharapkan agar aku bisa melupakannya? Apa aku memang tidak berhak untuk mencintainya?

Tuhan.. Bila ini jalan yang Engkau berikan. Aku akan ikhlas. Tapi biarkan cinta ini tetap ada. Aku tidak ingin kehilangan rasa cinta ini. Sekalipun itu sangat menyakitkan. Aku akan terima.


 







Tamat.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Cari Blog Ini