Minggu, 15 April 2012

“Biarkan Aku Mencintaimu” (bagian 4)

Yang Terpendam


“Masih marah ya sama gue?” tanyaku saat Mita datang dan duduk disampingku, menyantap sarapan bersama.

“Buat apa marah?” Mita menyeringai lebar. Aku tahu, dia sedang menutup-nutupinya dariku. Sepertinya dia segan atau malah tidak tertarik mendengar penjelasanku. Aku diam, tidak bertanya lagi.

“Kapan ke LSM?” Mita menolehku, bertanya antusias.

“Nanti siang. Mau ikut?” tanyaku memastikan.

“Daripada nggak ada kerjaan?” Mita mengangkat bahu, tersenyum lebar.


Dua jam setelah sarapan, aku dan Mita segera meluncur ke LSM.

“Macet!” keluhku. Mobil-mobil serta angkot mengular di jalanan, membuat barisan yang teramat panjang.

“Ada demo kayaknya, Mal.” Mita menyapu pandangannya, menyembulkan kepalanya keluar.

“Bakal lama nih.” Aku mendengus sebal.

“Tungguin aja, nanti juga kelar.” Mita mengeluarkan satu permen karet dari sakunya, “Mau?” tawarnya. Aku menggeleng. Aku ingat kapan terakhir kali mengunyah permen karet, hasilnya permen karet itu tersangkut di behelku. Dan itu sangat menyebalkan.


“Tuh kan, malah hujan!” sesalku. Mita tidak menanggapi, aku menoleh, jelas saja, dia ternyata tertidur. Aku melepas jaketku untuk menyelimutinya. Tanpa sadar aku tergugu melihat wajahnya. Aku melihat banyak sekali masalah di setiap lekuk wajah teduhnya. Aku bergumam, andaikan saja Mita mau membagi masalahnya denganku, aku pasti dengan senang hati akan membantunya. Aku sepertinya harus bersabar menunggu saat itu tiba.


“Ehmm.” Mita terbangun dari tidurnya, meluruskan kedua tangan ke depan, melenguh.

“Eh, kita disini berapa jam?” Mita berpindah menatapku, mengucek matanya.

“Paling baru tiga jam,” kataku menyeringai tipis.

“Tiga jam?” ulangnya tidak percaya.

“Lagian di LSM lagi nggak ada kegiatan kok, jadi santai aja.” Ungkapku menahan bibir yang akan tertawa. Mita melotot, melempar jaket tadi ke arahku.

“Buang-buang waktu gue tahu nggak!” Mita beralih menatap kaca yang terlihat samar. Wajar kalau dia marah. Tetapi, ah, dengan begini aku bisa menghabiskan waktu bersama Mita. Aku malah sangat berharap demo itu bubar malam nanti.

***

Aku bisa merasakan genggaman tangan Mita yang semakin erat. Dia tiba-tiba mengerang ketakutan. Lalu menutup kedua telinganya dengan lengan seraya mendekap lututnya. Tubuhnya bergetar sangat hebat. Aku menjadi panik melihat sikapnya yang mendadak itu. Mita terus-terusan mendesis takut.

“Mit, lo kenapa?” tanyaku tak kalah panik.

“Jangan!!” teriaknya tiba-tiba, kepalanya tetap terbenam di lututnya.

“Jangan—Jangan apanya?” tanyaku tambah bingung. Aku mengedarkan pandanganku. Hanya ada mobil-mobil yang masih terjebak macet, dan baru saja mobil ambulans berhenti tepat disamping mobilku. Apa memang Mita—? Aku langsung merengkuhnya. Aku berkesimpulan kalau Mita takut mendengar suara sirine yang menguar itu. Aku juga merasakan air matanya yang hangat berkali-kali menetes di lenganku. Mita balas memelukku. Aku jadi berpikir, kejadian masa lalu seperti apa hingga membuat dia trauma seperti ini.


Untungnya, tak lama kemudian, kemacetan itu berhasil teratasi. Mobil-mobil di depanku kembali melaju, namun masih dalam kecepatan yang sedang. Mobil ambulans itu sudah melaju terlebih dahulu. Aku segera melepas pelukanku. Mita sedikit tenang, namun tubuhnya masih bergetar. Matanya yang teduh kini menjadi sembab.


Sampai di apartemen pun, Mita tetap diam. Dia berjalan sedikit pelan, tidak seperti biasanya yang selalu terburu-buru. Aku melihat dia langsung menutup pintu kamarnya, padahal, baru saja aku ingin bertanya bagaimana keadaan dia sekarang. Aku tahu, dia sedang tidak baik-baik saja.

***

Keesokan harinya, tanganku sedikit bimbang saat akan mengetuk pintu kamar Mita. Aku takut mengganggunya. Tetapi, aku begitu mengkhawatirkannya. Aku mencoba mengetuknya. Dua-tiga kali ketukan, tetap tidak ada jawaban. Aku memutar gagang pintu, tidak terkunci. Membukanya perlahan, lantas, lagi-lagi aku harus mengerutkan dahi. Kamar ini tak ubahnya seperti beberapa hari yang lalu, malah sekarang jauh lebih berantakan. Aku menghela nafas dalam. Terpaksa melangkahi lampu meja yang tergolek di lantai saat aku bermaksud membangunkan Mita.


Mita tidur sangat pulas, aku jadi tidak tega untuk membangunkannya. Perhatianku langsung beralih ketika melihat beberapa lembar foto berserakan di sampingnya. Aku sangat tertarik untuk melihat lebih dekat, maka dengan pelan aku mengambil foto-foto itu. Aku duduk di lantai, lalu menyandarkan punggungku di tepian ranjang.


Aku mengamati foto itu satu per satu. Foto yang aku yakini sudah tercetak sangat lama. Bagian tepinya saja sudah memudar. Seorang Ibu dan anak kembarnya, hampir semua foto menggambarkan hal demikian. Sampai pada foto terakhir, aku tiba-tiba terenyuh, melihat dua anak kembar sedang meniup lilin angka tujuh belas. Mita, jadi dia mempunyai kembaran?


Aku kembali meletakkan foto itu diatas meja. Mataku cukup berair setelah melihatnya. Selama ini, Mita tidak pernah mau menceritakannya. Aku menatap siluetnya yang tetap terlelap. Dia selalu menyimpan semuanya sendirian. Tanganku berniat membelai rambutnya, namun, terpaksa aku menarik tanganku. Mita tiba-tiba terbangun. Sambil mengucek mata, dia menguap lebar, lalu terkejut melihat aku ada di kamarnya.

“Heh, ngapain disini?” ucapnya seraya melempar bantal ke arahku. Aku sigap menangkapnya.

“Nge-bakso yuk!” Aku menarik selimutnya, sengaja mengalihkan pembicaraan. Mita sebal menendang kakiku.

“Males!!” serunya jengkel, lantas menutup kepalanya dengan bantal.

“Gini aja deh, lo buruan mandi. Gue mau beli bakso di depan, terus kita sarapan sama-sama.” Aku tersenyum, Mita hanya membalas dengan seringaian.


Setengah jam kemudian, aku sudah kembali dengan membawa dua plastik bakso. Tetapi Mita tak juga beranjak dari kasurnya. Aku iseng menarik selimutnya lagi. Aku berhasil, kali ini Mita terbangun. Dia manyun, membuatku gemas mencubit pipinya.

“Sialan!” umpatnya. Aku hanya nyengir.

“Kita sarapannya di kamar gue aja ya.” Aku sengaja berjalan mendahului. Mita baru menyusul semenit kemudian. Rambutnya masih acak-acakan, menguap lebar, lalu menggaruk rambutnya. Aku meringis. Mita berantakan seperti ini saja masih terlihat cantik, apalagi kalau dia rapi. Tetapi, kedua matanya sembab, dia menangis lagi?



“Dimakan dong. Kasihan baksonya!” candaku basa-basi. Habisnya, sedari tadi Mita hanya mengaduk bakso itu tanpa memakannya.

“Jangan pendam semuanya sendiri,” ucapku kemudian. Mita menjatuhkan sendoknya. Dia sedikit kaget.

“Mita—” kataku sambil meremas punggung tangannya.

“Ini hidup gue, Mal. Jangan sekali-kali lo ikut campur!” Mita menepis tanganku, dia berdiri dari duduknya, sekarang, hanya kemarahan yang ada di raut wajahnya. Dia melangkah pergi begitu saja. Aku mengusap wajahku, aku tidak menyangka dia akan semarah ini.

***

Aku tidak habis pikir, waktuku banyak tersita hanya untuk memikirkan Mita, Mita dan Mita lagi. Aku sampai tidak mengerti dengan hatiku sendiri. Yang jelas, aku sering sekali membuat Mita marah-marah.


Berhari-hari Mita bersikap sangat dingin kepadaku. Dan aku memaklumi hal itu. Dia memang berhak marah. Tetapi, kalau sampai berhari-hari seperti ini rasanya membosankan jika harus saling diam-diaman. Setiap kali bertemu Mita, aku juga tidak berani menegur. Tutup mulut adalah alternatif terbaik untuk saat ini.

***

Ramai-ramai orang berkerumun di depan apartemen. Tengah malam begini, pikirku. Aku baru saja datang dan dibuat terkejut melihat pemandangan ini. Aku bergegas mendekat, ada beberapa polisi yang mencegah. Aku baru tahu jika ada orang yang bunuh diri dari lantai lima. Aku jadi teringat, jangan-jangan Mita?


Aku berlari menuju lantai basement. Terburu-buru menekan tombol di dekat pintu lift. Dua detik, lift baru terbuka. Aku menghela nafas lega. Mita ada di dalam lift. Aku mengelus dadaku. Mita membuang muka, dengan acuh dia beranjak keluar, melewatiku. Aku berbalik, melihat Mita hampir sampai di pintu.

“Mit, jangan keluar!” seruku lantang. Mita menoleh sedikit, lalu memutar tubuhnya.

“Lo jangan keluar,” ulangku cepat. Aku tahu, sebentar lagi mungkin ambulans akan segera datang. Dan, aku tidak ingin kejadian tempo hari terulang kembali. Tetapi, aku terlambat. Mita terlanjur mendengarnya. Aku berlari menghampiri, Mita mendekap kepalanya dengan lengan. Aku memeluknya erat. Dia ketakutan, teramat takut.

Mita tidak sadarkan diri sedetik kemudian. Aku sigap menangkap tubuhnya yang akan ambruk. Aku mengangkatnya memasuki lift.


Aku membawa Mita ke kamarku, itu karena kamar Mita terkunci, dan aku tidak tahu dimana kuncinya. Perlahan aku merebahkan tubuhnya diatas kasur, aku lalu menyelimutinya. Air mukanya berubah, terlalu banyak masalah menderanya, tapi aku tidak tahu masalah apa. Itu yang aku sesalkan, Mita menutup rapat masa lalunya, seorang diri.


“Udah bangun?” tegurku melihat Mita berusaha duduk. Aku meletakkan cangkir kopiku diatas meja, dan cepat menghampirinya. Aku membantunya duduk. Mita tersenyum lemah. Dia tiba-tiba menyingkap selimut, dan menginjakkan kedua kakinya di lantai.

“Mau kemana?” tanyaku dengan nada mencegah.

“Mau cari angin.” Mita berdiri, tertatih melangkah menuju pintu. Aku menatap punggungnya.

“Gue antar ya?” dengan senang aku menawarkan diri, dengan nada sedikit memaksa. Mita mengangguk tanpa menoleh ke belakang.



“Yakin tempatnya disini?” tanyaku rada heran.

“Banyak angin, bukan?” Mita tersenyum sekilas. Aku menaikan dagu, melihat sekitar dengan aneh, aku bahkan belum pernah ke tempat ini sebelumnya. Siapa juga yang akan tertarik menyambangi tempat ini? Lantai tertinggi apartemen ini sangat sepi, senyap dan jujur saja aku merinding disini. Langit terbentang luas diatas sana. Aku masih mematung, sementara Mita sudah berdiri di tubir gedung. Aku mulai berjalan mendekatinya.

“Pemandangan yang indah,” ucapku takjub, melihat lampu gedung-gedung di bawah sana yang berpendar indah. Malam yang bermandikan cahaya, tidak peduli meski mendung menggantang di langit malam. Aku berdiri tepat di sebelahnya. Mita menoleh, hanya mengerjapkan matanya, tidak lebih.

“Tadi lo tiba-tiba pingsan,” kataku memecah kesunyian. Angin berhembus sedang, tidak kencang tidak juga pelan.

“Lebih baik pingsan, kan? Daripada harus mendengar suara sirine itu terus-terusan.” Mita memberi penekanan pada setiap kalimatnya, matanya tetap menatap lurus ke depan. Dia seperti sedang mengenang sesuatu di masa lalunya.

“Lo segitu takutnya dengar sirine ambulans,” komentarku. Sebenarnya aku sangat penasaran.

“Setiap mendengarnya bagaikan membuka luka lama yang susah payah aku menutupnya. Namun terasa sia-sia setiap kali aku bertemu ambulans dan terpaksa mendengar suaranya. Jeritan-jeritan pilu seperti kembali terdengar. Semua masa lalu itu seakan tersingkap. Dan itu sangat menyakitkan, melebihi sakit apapun di dunia ini.” Mita terdengar gelisah saat mengatakannya, suaranya bergetar, namun tetap terdengar lembut. Aku mengelus bahunya sebelah. Dia bahkan terlihat jauh lebih tegar. Beberapa kali dia mendongakkan kepala keatas, aku tahu dia sedang mengurangi beban di matanya.

“Gue berjanji akan selalu melindungi lo. Dimanapun dan kapanpun,” janjiku, aku begitu spontan mengatakannya. Aku terlalu menyayanginya. Yah, aku yakin jika aku mulai mencintainya. Rasa takut melihatnya seperti ini adalah motivasi utamaku untuk berjanji menjaganya.

“Andaikan gue bertemu lo sejak awal, gue pasti sangat bahagia. Karna gue punya teman yang selalu paham dan mau mengerti. Thanks untuk tawarannya, tapi gue terbiasa mengatasi semuanya sendiri.” Mita langsung memelukku. Aku sampai tidak percaya dengan apa yang baru saja aku dengar. Aku membelai kepalanya yang terbenam di pundakku. Mungkin aku akan sangat berterima kasih kepada tempat ini. Malam ini, semua terasa indah, meski melihat Mita seperti ini. Namun aku bahagia, Mita sedikit demi sedikit mau terbuka kepadaku. Dia mau menceritakannya, dan itu luar biasa. Padahal aku tahu, Mita bukan tipikal orang yang terbuka kepada sembarangan orang.






Bersambung—

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Cari Blog Ini