Awal Dari Segalanya
“Ehem.”
Aku sengaja berdehem untuk mengalihkan perhatiannya. Mita terlalu khidmat
menikmati pemandangan di depan sana, sampai tidak menyadari kedatanganku.
Entahlah, aku sendiri juga tidak tahu mengapa aku menjadi serba-tanggung untuk menyapanya.
Padahal mana pernah aku seperti ini. Mita perempuan pertama yang berhasil
membuatku menjadi sekarang ini.
“Sejak
kapan ada disini, Mit?” tanyaku sedikit basa-basi. Mita, seperti malam
sebelumnya, dia sedang berdiri di pinggiran gedung.
“Sejam
yang lalu.” Mita sedikit menoleh, menjawab singkat. Dia kembali menatap
hamparan gedung dibawah sana. Kerlip lampu seakan menambah aksen malam yang
beranjak matang.
“Gue
bawa es krim nih. Mau?” Aku mengangkat plastik putih di tanganku. Meringis.
“Enak
nggak?” sergahnya tidak tertarik.
“Cobain
dulu.” Aku melangkah mendekatinya. Mita memandangi plastik di tanganku,
kemudian dia mengangguk sekilas.
“Gimana?
Enak kan?” tanyaku ketika kami duduk bersebelahan, menyantap double dutch bersama. Mita lagi-lagi
hanya mengangguk.
“Makan
es krim gini, jadi ingat sama seseorang.” Mita menghentikan gerakan tangannya,
urung menyendok es krimnya, air mukanya langsung berubah.
“Siapa?
Pacar lo ya?” tanyaku tergesa, lebih karena aku penasaran, dan sekaligus untuk
memastikan apakah Mita sudah mempunyai pacar atau belum.
“Bukan.”
Mita langsung meletakkan es krimnya, matanya menerawang lurus kedepan.
“Lalu
siapa?” tanyaku lagi, tidak sabar mendengar jawaban dari Mita.
“Bukan
siapa-siapa!” kilahnya cepat. Mita segera bangkit dari duduknya, cepat-cepat
melangkah pergi. Aku berlari mengejarnya. Mita berjalan gontai, menuruni anak
tangga. Aku mencoba mengimbangi langkahnya, kusentuh lengannya.
“Jangan
marah ya.” Aku menarik lengannya, lantas melepasnya saat Mita risih
menyingkirkan tanganku. Mita berhenti sebentar, lalu kembali meneruskan
langkahnya. Aku melangkah cepat, menutup jalan di depannya. Mita terpaksa
berhenti dan kali ini dia menatapku.
“Nggak
marah. Cuma lagi—ngantuk!” Mita menyibak tubuhku, aku sedikit terdorong ke
samping.
“Eh,
awas ya, jangan tanya-tanya lagi!” Mita berbalik, telunjuknya tegas menudingku.
Dalam ruangan minim cahaya sekalipun, aku masih bisa melihat Mita melototiku.
Aku nyengir sesaat ketika Mita menghilang dari pandanganku.
***
“Lagi
bakar apa sih?” Aku sangat penasaran ketika melihat Mita ada di halaman
belakang apartemen. Mita mengangkat bahu, tidak menjawab, hanya saja
pandangannya tetap berada di tong sampah itu. Aku mengambil jarak lebih dekat
lagi, sampai aku akhirnya tahu apa yang barusan dia bakar. Aku bergumam. Majalah? Untuk apa dia membakarnya? Yang
lebih mengejutkan lagi, aku melihat cover depan yang sudah setengah hangus. Ada
foto Papa terpampang di halaman pertama majalah itu. Tentu saja majalah tentang
bisnis.
“Buat
apa dibakar?” tanyaku semakin merasa aneh. Untuk apa dia repot-repot membeli
majalah hanya untuk membakarnya.
“Isinya
jelek. Nggak bermutu! Apalagi covernya bikin muntah!” ucapnya dengan nada yang
meletup-letup.
“Kalau
udah tahu jelek, ngapain tadi dibeli? Covernya? Kenapa, apanya yang salah?”
sanggahku tak terima. Tidak, alasannya bukan karena aku penasaran, lebih karena
aku merasakan hal ganjil disini. Apa yang
barusan dia katakan itu sungguhan atau apa?
“Bisa
kan untuk kali ini lo berhenti bertanya? Tidak semua hal perlu lo ketahui.”
Mita seakan menjelaskan kepadaku tentang batas-batas privasinya yang mulai
terusik sejak mengenalku. Tetapi mana
bisa aku diam? Aku membutuhkan penjelasan yang masuk akal mengapa dia
sepertinya sangat membenci Papa? Apa sebenarnya yang telah terjadi? Mita, darimana dia mengenal Papa?
“Kali
ini gue mohon, Mit. Jawab pertanyaan gue tadi.” Aku mengoyak bahunya, masih
memaksa. Mita kesal menepis tanganku.
“Buat
apa, gue tanya, buat apa? Memang dengan gue jawab pertanyaan lo tadi, itu akan
menyelesaikan semua masalah? Nggak kan?” Mita membentakku, geram mendorong
bahuku. Aku salah jika memaksa kehendak kepada Mita. Dia sangat amat keras
kepala.
“Terserah!
Gue cuma mau meringankan beban lo, Mit. Gue cuma pengen jadi tempat berbagi.
Bukan tempat yang selalu lo bentak-bentak!”
Suaraku
meninggi ketika menanggapi perkataan Mita yang tidak tahu berterimakasih. Bukan
apa-apa, tidak bermaksud meminta imbalan, aku hanya ingin Mita menganggap aku
teman seutuhnya. Bukan seperti ini yang aku harapkan.
“Mulai
sekarang lo boleh jauhin gue. Toh, itu yang orang-orang lakukan selama ini. Gue
terbiasa sendiri. Anggap aja lo nggak pernah kenal perempuan se-galak gue.”
Mita memunggungiku. Tidak, dia bukan seperti Mita yang aku kenal. Bukan hatinya
yang berbicara, melainkan emosi.
“Mit,
sebenci apapun gue sama lo. Dan semarah apapun lo sama gue. Nggak semudah itu
menganggap tidak pernah ada apa-apa diantara kita.” Aku berkata dari
belakangnya, nyaris menyentuh pundaknya. Aku mengurungkan niat itu, menurunkan
tanganku cepat. Mita berbalik untuk menatapku dari jarak yang bisa dibilang
cukup dekat.
“Mudah,
sangat mudah, Ikmal.” Mita berujar sinis, menyeringai tertahan.
“Oke,
mau lo sekarang apa?” kataku mengalah, mencoba meredam suasana.
“Jangan
dekat-dekat lagi,” ucapnya datar, nyaris tak terdengar.
“Apa?”
tanyaku memperjelas.
“Jangan
ikut campur lagi!” Mita berbisik di telingaku. Lantas beranjak pergi. Aku
menatapnya tidak mengerti. Aku mengalihkan pandanganku ke tong sampah tadi.
Majalah itu sudah menjadi abu.
***
Entah
mengapa, sejak kejadian itu, aku benar-benar menjaga jarak dari Mita. Aku hanya
berusaha menghargai pilihannya, mau dipaksa juga tidak mungkin. Aku percaya,
dia bisa mengatasi masalahnya sendiri, tanpa aku.
“Kamu
yakin sudah mantap untuk bekerja di kantor ini?” Papa menghela nafas panjang,
menatapku skeptis, rupanya masih meragukan kesungguhanku. Aku sebenarnya belum
sempurna yakin dengan keputusan ini. Namun, setelah aku pikir-pikir tidak ada
salahnya mencoba. Sebenarnya, ini cara paling efektif untuk menjauh dari Mita,
itu salah satu alasan terbesar mengapa aku berdiri di hadapan Papa sekarang.
“Kamu
sudah memikirkannya masak-masak?” Papa mengangkat dagunya, sekali lagi menaruh
curiga kepadaku.
“Papa..
Ikmal harus apa supaya Papa percaya?” tanyaku jengkel. Papa membenarkan posisi
dasinya.
“Pulanglah.
Papa tidak ingin melihat kamarmu kosong.” Papa berdiri dari kursi empuknya,
berjalan satu-dua langkah ke arah jendela kaca, matanya menatap entah apa yang
ada diluar sana. Rambut hitam-tipisnya yang klimis terlihat bercahaya diterpa
sinar matahari.
“Harus
sekarang ya, Pa? Bagaimana kalau satu bulan lagi? Ehm, seminggu?” tanyaku
hati-hati, sedikit memohon. Papa menggeleng dengan tegas.
“Tapi..
Aku masih belum bisa kalau dalam waktu dekat ini meninggalkan apartemen.” Aku
mengimbuhkan. Papa beralih menatapku, mengerutkan dahi.
“Papa
anggap kamu tidak serius.” Papa menyimpulkan cepat, melipat tangan di dadanya.
Seperti segan memberiku kesempatan.
“Baiklah.
Terserah kamu, Papa tidak akan memaksa. Hanya saja, Mamamu itu ingin sekali
kamu cepat pulang, tinggal di rumah lagi. Papa sampai bosan mendengar
rajukannya. Kalau mau Papa bisa saja menyeretmu paksa, tapi itu tidak etis,
bukan?” Papa menyeringai sekilas. Tatapannya dingin.
“Aku
pikir-pikir dulu deh, Pa. Dan secepatnya aku pasti pulang.” Aku menghembuskan
nafas tertahan. Mengapa jadi serba-salah begini. Aku pamit, Papa hanya
mengangguk tanpa berkata. Aku melangkah keluar dengan perasaan campur-aduk.
Tetapi, memang sudah saatnya aku harus pulang.
Maka
sepulang dari kantor Papa. Aku cepat-cepat berkemas. Sepanjang jalan pulang
tadi aku sudah mempertimbangkan, mencari sisi baiknya, dan meneguhkan hati.
Mungkin aku akan meninggalkan apartemen besok pagi, setelah membereskan segala
macamnya. Kurasa aku tidak perlu berpamitan dengan Mita. Dia—mungkin—sangat
lega melihat aku pergi jauh dari hidupnya. Dengan begitu dia bebas melakukan
apa saja tanpa harus repot-repot mendengarkan interupsi dariku.
Malam
hari ini aku habiskan untuk memandangi bulan sabit yang menggelayut indah di
punggung langit. Sayang sekali, aku hanya sendiri disini. Senyap. Angin malam
tetap berhembus. Mita tidak ada disini, aku juga heran, sekarang dia ada dimana
aku juga tidak tahu. Seharian ini aku belum melihatnya. Lagipula kalaupun
melihatnya, aku sendiri tidak tahu apa reaksi Mita.
***
Aku
menyeret dua koper besar dari kamarku. Cukup kerepotan aku membawanya.
“Biar
gue bantu bawa kopernya.” Seseorang datang dari belakangku, mengambil alih satu
koperku. Mita? Aku tertegun
melihatnya.
“Nggak
perlu. Gue bisa sendiri.” Aku menolak secara halus. Mita tetap tidak mau
melepas koperku dari tangannya.
“Gue
kan jarang berbuat baik sama lo. Jadi kali ini, gue pengen bisa berguna buat
orang lain.” Mita tersenyum. Aku mulai menaruh curiga, dia manusia berkepribadian ganda atau bagaimana? Aneh sekali
melihat Mita lembut seperti ini. Dia
sedang waras atau tidak?
“Emang
mau pindah kemana sih?” tanya Mita saat kami sudah di dalam lift, menuju lantai
dasar.
“Mau
pulang ke rumah,” jawabku pendek.
“Kok
serba mendadak?” telisiknya lagi.
“Iya,
baru kemarin Papa minta gue pulang.” Aku sedikit canggung, sehingga tak berani
menatapnya secara langsung. Tapi aku bisa melihat pantulan wajahnya di dinding
lift. Dia seperti kecewa, bukan, melainkan wajah dengan seribu pertanyaan.
“Sampai
kapan?” tambahnya. Dari nada bicaranya saja aku sudah bisa menebak. Mita sangat
takut kehilanganku. Ya, secara kasarnya, bisa dibilang dia tidak ingin
kehilangan seorang sahabat. Aku hanya menggeleng untuk menjawab pertanyaannya
barusan sebelum akhirnya lift berdenting, pintu terbuka kemudian.
“Eh,
mau ikut ke rumah gue nggak?” tawarku seraya memasukkan koper-koper tadi ke
dalam bagasi. Mita masih diam, memikirkan lebih lanjut.
“Mungkin
lain waktu aja.” Mita menolaknya.
“Oke.
Lo jaga diri baik-baik ya, Mit. Kalau lo sewaktu-waktu butuh bantuan ataupun
teman curhat, lo tinggal telepon gue aja. Gue selalu siap kapanpun lo butuh
gue.” Aku menggamit bahunya. Mita menunduk, beberapa kali menyeka batang
hidungnya.
“Thanks
untuk semuanya, Mal. Hari-hari gue selalu indah saat lo datang. Ya, meskipun
gue sering marah-marah. Tapi gue salut, bahkan lo terlalu sabar menghadapi gue.”
Mita memelukku spontan. Aku hampir belum percaya, ragu untuk membalas
pelukannya. Tanganku perlahan mengelus punggungnya. Aku tidak tahu jika Mita
menangis di pundakku.
“Lo
nangis, Mit?” tanyaku sedikit terkejut, berusaha melihat wajahnya yang
tertunduk, aku mengangkat dagunya. Mita sudah menghapusnya, tetapi aku melihat
bekas parit di kedua pipinya. Mita mengatupkan mulutnya, sedikit senyum
mengembang di pipinya.
“Jangan
sedih ya!” seruku mengacak poni pendeknya. Mita menendang kakiku pelan. Dia
pura-pura meninju bahuku. Aku sigap menahan tangannya. Lama sekali Mita
menatapku. Aku juga balas menatap mata beningnya. Memang sengaja aku tidak
mengelak, aku membiarkan pandangan kami saling terkunci. Aku menunggu sampai
Mita sendiri yang menyudahi tatapannya. Aku berdehem lirih, dia menatap ke arah
lain dengan kikuk.
“Buruan
gih, pasti keluarga lo udah kangen banget sama lo.” Mita tersenyum, lantas
mendorong tubuhku ke arah pintu mobil, dia gemas memaksaku masuk mobil. Aku
menurunkan kaca pintu, lalu mendadah Mita lama sekali. Hingga mobilku keluar
dari halaman apartemen, aku masih melihat Mita berdiri ditempat tadi. Kalau
dulu, aku tidak pernah menyangka akan bertemu dengan Mita. Tetapi, sekarang,
aku tidak pernah menduga jika pada akhirnya harus pergi dari kehidupan Mita.
Ya, setidaknya, intesitas bertemu dengan Mita menjadi relatif kecil. Itu bisa
dibilang perpisahan. Aku pasti akan sangat merindukan omelannya, tentunya juga
rindu menghabiskan malam berdua di taman atau gedung tertinggi apartemen,
menatap hamparan langit yang kosong pun akan terasa syahdu jika bersama Mita.
Bersambung...
Tidak ada komentar:
Posting Komentar