Jumat, 04 Mei 2012

“Biarkan Aku Mencintaimu” (bagian 5)


 
 Awal Dari Segalanya


“Ehem.” Aku sengaja berdehem untuk mengalihkan perhatiannya. Mita terlalu khidmat menikmati pemandangan di depan sana, sampai tidak menyadari kedatanganku. Entahlah, aku sendiri juga tidak tahu mengapa aku menjadi serba-tanggung untuk menyapanya. Padahal mana pernah aku seperti ini. Mita perempuan pertama yang berhasil membuatku menjadi sekarang ini.

“Sejak kapan ada disini, Mit?” tanyaku sedikit basa-basi. Mita, seperti malam sebelumnya, dia sedang berdiri di pinggiran gedung.

“Sejam yang lalu.” Mita sedikit menoleh, menjawab singkat. Dia kembali menatap hamparan gedung dibawah sana. Kerlip lampu seakan menambah aksen malam yang beranjak matang.

“Gue bawa es krim nih. Mau?” Aku mengangkat plastik putih di tanganku. Meringis.

“Enak nggak?” sergahnya tidak tertarik.

“Cobain dulu.” Aku melangkah mendekatinya. Mita memandangi plastik di tanganku, kemudian dia mengangguk sekilas.

“Gimana? Enak kan?” tanyaku ketika kami duduk bersebelahan, menyantap double dutch bersama. Mita lagi-lagi hanya mengangguk.

“Makan es krim gini, jadi ingat sama seseorang.” Mita menghentikan gerakan tangannya, urung menyendok es krimnya, air mukanya langsung berubah.

“Siapa? Pacar lo ya?” tanyaku tergesa, lebih karena aku penasaran, dan sekaligus untuk memastikan apakah Mita sudah mempunyai pacar atau belum.

“Bukan.” Mita langsung meletakkan es krimnya, matanya menerawang lurus kedepan.

“Lalu siapa?” tanyaku lagi, tidak sabar mendengar jawaban dari Mita.

“Bukan siapa-siapa!” kilahnya cepat. Mita segera bangkit dari duduknya, cepat-cepat melangkah pergi. Aku berlari mengejarnya. Mita berjalan gontai, menuruni anak tangga. Aku mencoba mengimbangi langkahnya, kusentuh lengannya.

“Jangan marah ya.” Aku menarik lengannya, lantas melepasnya saat Mita risih menyingkirkan tanganku. Mita berhenti sebentar, lalu kembali meneruskan langkahnya. Aku melangkah cepat, menutup jalan di depannya. Mita terpaksa berhenti dan kali ini dia menatapku.

“Nggak marah. Cuma lagi—ngantuk!” Mita menyibak tubuhku, aku sedikit terdorong ke samping.

“Eh, awas ya, jangan tanya-tanya lagi!” Mita berbalik, telunjuknya tegas menudingku. Dalam ruangan minim cahaya sekalipun, aku masih bisa melihat Mita melototiku. Aku nyengir sesaat ketika Mita menghilang dari pandanganku.

***

“Lagi bakar apa sih?” Aku sangat penasaran ketika melihat Mita ada di halaman belakang apartemen. Mita mengangkat bahu, tidak menjawab, hanya saja pandangannya tetap berada di tong sampah itu. Aku mengambil jarak lebih dekat lagi, sampai aku akhirnya tahu apa yang barusan dia bakar. Aku bergumam. Majalah? Untuk apa dia membakarnya? Yang lebih mengejutkan lagi, aku melihat cover depan yang sudah setengah hangus. Ada foto Papa terpampang di halaman pertama majalah itu. Tentu saja majalah tentang bisnis.

“Buat apa dibakar?” tanyaku semakin merasa aneh. Untuk apa dia repot-repot membeli majalah hanya untuk membakarnya.

“Isinya jelek. Nggak bermutu! Apalagi covernya bikin muntah!” ucapnya dengan nada yang meletup-letup.

“Kalau udah tahu jelek, ngapain tadi dibeli? Covernya? Kenapa, apanya yang salah?” sanggahku tak terima. Tidak, alasannya bukan karena aku penasaran, lebih karena aku merasakan hal ganjil disini. Apa yang barusan dia katakan itu sungguhan atau apa?

“Bisa kan untuk kali ini lo berhenti bertanya? Tidak semua hal perlu lo ketahui.” Mita seakan menjelaskan kepadaku tentang batas-batas privasinya yang mulai terusik sejak mengenalku. Tetapi mana bisa aku diam? Aku membutuhkan penjelasan yang masuk akal mengapa dia sepertinya sangat membenci Papa? Apa sebenarnya yang telah terjadi? Mita, darimana dia mengenal Papa?

“Kali ini gue mohon, Mit. Jawab pertanyaan gue tadi.” Aku mengoyak bahunya, masih memaksa. Mita kesal menepis tanganku.

“Buat apa, gue tanya, buat apa? Memang dengan gue jawab pertanyaan lo tadi, itu akan menyelesaikan semua masalah? Nggak kan?” Mita membentakku, geram mendorong bahuku. Aku salah jika memaksa kehendak kepada Mita. Dia sangat amat keras kepala.

“Terserah! Gue cuma mau meringankan beban lo, Mit. Gue cuma pengen jadi tempat berbagi. Bukan tempat yang selalu lo bentak-bentak!”

Suaraku meninggi ketika menanggapi perkataan Mita yang tidak tahu berterimakasih. Bukan apa-apa, tidak bermaksud meminta imbalan, aku hanya ingin Mita menganggap aku teman seutuhnya. Bukan seperti ini yang aku harapkan.

“Mulai sekarang lo boleh jauhin gue. Toh, itu yang orang-orang lakukan selama ini. Gue terbiasa sendiri. Anggap aja lo nggak pernah kenal perempuan se-galak gue.” Mita memunggungiku. Tidak, dia bukan seperti Mita yang aku kenal. Bukan hatinya yang berbicara, melainkan emosi.

“Mit, sebenci apapun gue sama lo. Dan semarah apapun lo sama gue. Nggak semudah itu menganggap tidak pernah ada apa-apa diantara kita.” Aku berkata dari belakangnya, nyaris menyentuh pundaknya. Aku mengurungkan niat itu, menurunkan tanganku cepat. Mita berbalik untuk menatapku dari jarak yang bisa dibilang cukup dekat.

“Mudah, sangat mudah, Ikmal.” Mita berujar sinis, menyeringai tertahan.

“Oke, mau lo sekarang apa?” kataku mengalah, mencoba meredam suasana.

“Jangan dekat-dekat lagi,” ucapnya datar, nyaris tak terdengar.

“Apa?” tanyaku memperjelas.

“Jangan ikut campur lagi!” Mita berbisik di telingaku. Lantas beranjak pergi. Aku menatapnya tidak mengerti. Aku mengalihkan pandanganku ke tong sampah tadi. Majalah itu sudah menjadi abu.

***

Entah mengapa, sejak kejadian itu, aku benar-benar menjaga jarak dari Mita. Aku hanya berusaha menghargai pilihannya, mau dipaksa juga tidak mungkin. Aku percaya, dia bisa mengatasi masalahnya sendiri, tanpa aku.

“Kamu yakin sudah mantap untuk bekerja di kantor ini?” Papa menghela nafas panjang, menatapku skeptis, rupanya masih meragukan kesungguhanku. Aku sebenarnya belum sempurna yakin dengan keputusan ini. Namun, setelah aku pikir-pikir tidak ada salahnya mencoba. Sebenarnya, ini cara paling efektif untuk menjauh dari Mita, itu salah satu alasan terbesar mengapa aku berdiri di hadapan Papa sekarang.

“Kamu sudah memikirkannya masak-masak?” Papa mengangkat dagunya, sekali lagi menaruh curiga kepadaku.

“Papa.. Ikmal harus apa supaya Papa percaya?” tanyaku jengkel. Papa membenarkan posisi dasinya.

“Pulanglah. Papa tidak ingin melihat kamarmu kosong.” Papa berdiri dari kursi empuknya, berjalan satu-dua langkah ke arah jendela kaca, matanya menatap entah apa yang ada diluar sana. Rambut hitam-tipisnya yang klimis terlihat bercahaya diterpa sinar matahari.

“Harus sekarang ya, Pa? Bagaimana kalau satu bulan lagi? Ehm, seminggu?” tanyaku hati-hati, sedikit memohon. Papa menggeleng dengan tegas.

“Tapi.. Aku masih belum bisa kalau dalam waktu dekat ini meninggalkan apartemen.” Aku mengimbuhkan. Papa beralih menatapku, mengerutkan dahi.

“Papa anggap kamu tidak serius.” Papa menyimpulkan cepat, melipat tangan di dadanya. Seperti segan memberiku kesempatan.

“Baiklah. Terserah kamu, Papa tidak akan memaksa. Hanya saja, Mamamu itu ingin sekali kamu cepat pulang, tinggal di rumah lagi. Papa sampai bosan mendengar rajukannya. Kalau mau Papa bisa saja menyeretmu paksa, tapi itu tidak etis, bukan?” Papa menyeringai sekilas. Tatapannya dingin.

“Aku pikir-pikir dulu deh, Pa. Dan secepatnya aku pasti pulang.” Aku menghembuskan nafas tertahan. Mengapa jadi serba-salah begini. Aku pamit, Papa hanya mengangguk tanpa berkata. Aku melangkah keluar dengan perasaan campur-aduk. Tetapi, memang sudah saatnya aku harus pulang.



Maka sepulang dari kantor Papa. Aku cepat-cepat berkemas. Sepanjang jalan pulang tadi aku sudah mempertimbangkan, mencari sisi baiknya, dan meneguhkan hati. Mungkin aku akan meninggalkan apartemen besok pagi, setelah membereskan segala macamnya. Kurasa aku tidak perlu berpamitan dengan Mita. Dia—mungkin—sangat lega melihat aku pergi jauh dari hidupnya. Dengan begitu dia bebas melakukan apa saja tanpa harus repot-repot mendengarkan interupsi dariku.


Malam hari ini aku habiskan untuk memandangi bulan sabit yang menggelayut indah di punggung langit. Sayang sekali, aku hanya sendiri disini. Senyap. Angin malam tetap berhembus. Mita tidak ada disini, aku juga heran, sekarang dia ada dimana aku juga tidak tahu. Seharian ini aku belum melihatnya. Lagipula kalaupun melihatnya, aku sendiri tidak tahu apa reaksi Mita.

***

Aku menyeret dua koper besar dari kamarku. Cukup kerepotan aku membawanya.

“Biar gue bantu bawa kopernya.” Seseorang datang dari belakangku, mengambil alih satu koperku. Mita? Aku tertegun melihatnya.

“Nggak perlu. Gue bisa sendiri.” Aku menolak secara halus. Mita tetap tidak mau melepas koperku dari tangannya.

“Gue kan jarang berbuat baik sama lo. Jadi kali ini, gue pengen bisa berguna buat orang lain.” Mita tersenyum. Aku mulai menaruh curiga, dia manusia berkepribadian ganda atau bagaimana? Aneh sekali melihat Mita lembut seperti ini. Dia sedang waras atau tidak?

“Emang mau pindah kemana sih?” tanya Mita saat kami sudah di dalam lift, menuju lantai dasar.

“Mau pulang ke rumah,” jawabku pendek.

“Kok serba mendadak?” telisiknya lagi.

“Iya, baru kemarin Papa minta gue pulang.” Aku sedikit canggung, sehingga tak berani menatapnya secara langsung. Tapi aku bisa melihat pantulan wajahnya di dinding lift. Dia seperti kecewa, bukan, melainkan wajah dengan seribu pertanyaan.

“Sampai kapan?” tambahnya. Dari nada bicaranya saja aku sudah bisa menebak. Mita sangat takut kehilanganku. Ya, secara kasarnya, bisa dibilang dia tidak ingin kehilangan seorang sahabat. Aku hanya menggeleng untuk menjawab pertanyaannya barusan sebelum akhirnya lift berdenting, pintu terbuka kemudian.

“Eh, mau ikut ke rumah gue nggak?” tawarku seraya memasukkan koper-koper tadi ke dalam bagasi. Mita masih diam, memikirkan lebih lanjut.

“Mungkin lain waktu aja.” Mita menolaknya.

“Oke. Lo jaga diri baik-baik ya, Mit. Kalau lo sewaktu-waktu butuh bantuan ataupun teman curhat, lo tinggal telepon gue aja. Gue selalu siap kapanpun lo butuh gue.” Aku menggamit bahunya. Mita menunduk, beberapa kali menyeka batang hidungnya.

“Thanks untuk semuanya, Mal. Hari-hari gue selalu indah saat lo datang. Ya, meskipun gue sering marah-marah. Tapi gue salut, bahkan lo terlalu sabar menghadapi gue.” Mita memelukku spontan. Aku hampir belum percaya, ragu untuk membalas pelukannya. Tanganku perlahan mengelus punggungnya. Aku tidak tahu jika Mita menangis di pundakku.

“Lo nangis, Mit?” tanyaku sedikit terkejut, berusaha melihat wajahnya yang tertunduk, aku mengangkat dagunya. Mita sudah menghapusnya, tetapi aku melihat bekas parit di kedua pipinya. Mita mengatupkan mulutnya, sedikit senyum mengembang di pipinya.

“Jangan sedih ya!” seruku mengacak poni pendeknya. Mita menendang kakiku pelan. Dia pura-pura meninju bahuku. Aku sigap menahan tangannya. Lama sekali Mita menatapku. Aku juga balas menatap mata beningnya. Memang sengaja aku tidak mengelak, aku membiarkan pandangan kami saling terkunci. Aku menunggu sampai Mita sendiri yang menyudahi tatapannya. Aku berdehem lirih, dia menatap ke arah lain dengan kikuk.

“Buruan gih, pasti keluarga lo udah kangen banget sama lo.” Mita tersenyum, lantas mendorong tubuhku ke arah pintu mobil, dia gemas memaksaku masuk mobil. Aku menurunkan kaca pintu, lalu mendadah Mita lama sekali. Hingga mobilku keluar dari halaman apartemen, aku masih melihat Mita berdiri ditempat tadi. Kalau dulu, aku tidak pernah menyangka akan bertemu dengan Mita. Tetapi, sekarang, aku tidak pernah menduga jika pada akhirnya harus pergi dari kehidupan Mita. Ya, setidaknya, intesitas bertemu dengan Mita menjadi relatif kecil. Itu bisa dibilang perpisahan. Aku pasti akan sangat merindukan omelannya, tentunya juga rindu menghabiskan malam berdua di taman atau gedung tertinggi apartemen, menatap hamparan langit yang kosong pun akan terasa syahdu jika bersama Mita.





Bersambung...


Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Cari Blog Ini