Minggu, 13 Mei 2012

Semua Tentang Kita | part 2



Baru saja aku menutup pintu, tiba-tiba ada yang mengetuk pintu lagi. Aku naik pitam, mengambil sendal jepit, aku ingin menimpuk kalau-kalau yang datang Dika lagi. Tanganku langsung terhenti begitu melihat yang datang bukan Dika, melainkan Farish. Aku meringis melihat Farish yang sedang melipat dahi, menatapku dan sendal ditanganku secara bergantian.

“Mau nimpuk aku?” Farish menunjuk dirinya sendiri. Aku segera melepas sendal itu dari tanganku.

“Bukan. Tadi niatnya buat nimpuk Dika.” Aku nyengir kuda.

“Dika ke sini? Ngapain dia?” tanyanya dengan nada cemburu.

“Tuh, ngasih bunga mawar.” Aku menunjuk tempat sampah di dekat pintu. Farish tertawa terpingkal-pingkal.

“Eh, keluar yuk.” Farish sudah berhenti tertawa, menatapku antusias.

“Rumah lagi nggak ada orang. Jalan-jalan ke depan komplek aja ya.” Farish mengangguk setuju. Aku tersenyum menyambut uluran tangannya.


Kami berjalan saling bergandengan tangan, sesekali Farish merangkul bahuku, saling melempar canda, tertawa.

“Besok kalau udah lulus, mau lanjut kuliah dimana?” Aku bertanya iseng.

“Maunya sih di hati kamu.” Farish mencolek daguku. Aku diam mendengar jawaban itu. Setiap kali aku bertanya tentang hal ini, dia tidak pernah menjawabnya dengan serius.

“Kenapa? Kok sedih sih?” Farish menatap lurus ke depan, tangannya mengacak rambutku pelan.

“Aku sangat takut bila nanti kita tidak bersama lagi.” Aku berkata dengan suara serak, satu tetes menetes dari mataku.

“Yank, nggak boleh ah punya pikiran kayak gitu.” Farish mengusap pipiku.

“Aku hanya takut—” Aku menggigit bibir, tidak melanjutkan kalimatku.

“Justru aku yang harusnya takut. Sekarang, Dika udah berani nyamperin kamu ke rumah, bawa mawar pula.” Farish menyeringai, memotong kalimatku, mengacak poniku.

“Aku kan cintanya cuma sama kamu.” Jawabku melempar senyum. Farish gemas menarik pipiku. Aku balas menendang kakinya. Dia pura-pura mengaduh, aku kira dia tidak akan kesakitan. Begitu aku mendekatinya, Farish malah balas menggelitikiku, tanpa ampun aku langsung menginjak kakinya. Kali ini dia beneran mengaduh.


***


Hari minggu ini aku cukup senang. Farish mau ikut menemaniku pergi ke toko buku. Dia hanya mengekor dibelakangku. Sepertinya dia sedang menutupi rasa bosan. Aku mengangkat bahu, dia memang tidak suka jika kuajak ke toko buku. Entah apa modusnya sehingga siang ini dia mau-mau saja mengantarku mencari buku.

“Yank..” Aku memanggilnya dengan manja.

“Apa?” Farish menoleh, menghampiriku.

“Itu, ambilin.” Aku menunjuk sebuah novel di rak paling atas. Farish ber-oh kemudian, tanpa ba-bi-bu langsung mengangkat tubuhku. Tanganku akhirnya bisa meraih novel tebal itu.

“Udah, buruan turunin. Malu dilihat orang!” Aku mendesis pelan, baru saja aku melihat tatapan aneh dari karyawati toko. Farish hanya nyengir, lalu menurunkan tubuhku. Setelah cukup lelah berkeliling, aku segera menuju tempat kasir. Saat aku menoleh, aku tidak mendapati Farish ada disampingku. Kemana dia? Aku celingukan mencari, meninggalkan novel tadi di meja kasir. Aku mengitari rak-rak buku. Memanyunkan bibir ketika aku melihat Farish berbincang akrab dengan seorang perempuan. Dengan langkah memburu aku menghampiri mereka yang sedang asyik bercengkrama.

“Eh, pacar kamu ya?” Perempuan itu menunjukku sebelum aku sempat menegur mereka. Farish sedikit terkejut melihatku.

“Iya. Ini pacar gue.” Farish cepat merangkulku. Aku tersenyum kaku.

“Bianka.” Perempuan itu mengulurkan tangan, tersenyum tipis.

“Felisa.” Aku menjabat tangannya, aku sedikitpun tidak membalas senyumannya.

“Bianka ini temen SMP-ku.” Farish girang bercerita. Aku melengos, siapa juga yang mau berkenalan lebih dekat dengan perempuan itu? Sejak awal, aku sudah tidak nyaman dengan Bianka. Entah, yang pasti ini bukan soal cemburu.

“Eh, makan bareng kita aja, yuk?” Farish menawarkan dengan antusias. Aku melotot tidak terima.

“Ng.. Boleh deh.” Bianka riang menerima ajakan Farish. Aku gemas sekali, ingin sekadar menimpuk perempuan itu dengan novel tebal tadi. Apa boleh buat, jadinya kami bertiga mampir ke sebuah foodcourt. Aku lebih memilih memesan cappucino saja. Tiba-tiba saja selera makanku hilang.

Aku lebih banyak diam. Bianka malah agresif mengajak Farish mengobrol ini-itu yang bagiku tidak penting sama sekali. Aku seperti kambing congek melihat mereka berdua sibuk dengan perbincangan yang entah membahas apa. Sedikit merasa mangkel, aku dengan sebal memainkan sendok di cangkirku yang sudah kosong. Hello? Di sini aku dianggap apa sih? Angin atau apa!


Farish dengan cepat bisa menangkap ketidaknyamanan-ku. Farish buru-buru berpamitan, meminta maaf kepada Bianka karena tidak bisa berlama-lama. Aku melipat dahi, menggeleng tidak percaya, sempat-sempatnya mereka bertukar nomer telepon.



Sepanjang jalan menuju rumah, aku mematung, tidak memberi reaksi apapun, energiku sudah terlumat habis saat di foodcourt tadi. Tanganku bahkan tidak berpegangan, aku cukup terkesiap ketika Farish menarik tanganku lalu melingkarkan di perutnya. Aku menyandarkan kepalaku di bahunya tanpa ragu.

“Aku nggak suka sikap kamu tadi. Ganjen tahu!” Aku berkata pelan.

“Iya. Maaf ya, yank. Sikapku tadi agak keterlaluan.” Farish menyentuh tanganku. Aku mendongak, aku kira dia tidak mendengar ucapanku tadi. Aku mempererat tanganku, lega sekali karena Farish mau mengakui kesalahannya. Hari ini aku mendapat pelajaran penting tentang sebuah arti kesetiaan. Aku sangat menghargai bagaimana usaha Farish untuk menjaga perasaanku. Ya, meskipun aku sempat jengkel dibuatnya.


***


Sudah terdengar klakson motor di depan rumahku. Aku menyibak gorden jendelaku, melihat Farish yang sudah standby di depan pagar rumah. Aku bergegas, berpamitan dengan Mama, lantas menyambar sepotong roti tawar.

“Kok tumben pagi amat?” tanyaku heran.

“Semalam nggak ada bola.” Farish terkekeh.


Aku kembali melirik layar hp-ku. Jam enam lebih lima belas menit. Pantas saja sekolah masih sepi begini.

“Cari sarapan dulu, yuk.” Aku langsung menarik tangan Farish menuju kantin yang tak jauh dari tempat parkir. Kami duduk berdua, memesan dua mangkok soto dan dua gelas teh hangat.

“Eh, nanti classmeeting apa ya?” Farish bertanya spontan. Aku mengangkat bahu, tidak tahu-menahu soal itu.
“Kalau futsal jangan ikut ya, yank.” Aku melarang mengingat penyakit asmanya.

“Iya.” Jawabnya pendek. Aku menatapnya takzim. Bukan aku sok-ngatur, aku hanya tidak ingin melihat Farish tumbang seperti tempo hari.




“Eh, katanya bakal ada anak baru loh.” Rere berseru, suaranya melengking tajam memenuhi langit-langit kelas. Aku menutup kuping, berlalu dengan cuek di depannya, sedikitpun tidak mau tahu tentang kabar itu. Aku sedikit lega, hari ini kelas free, hanya ada kegiatan classmeeting saja. Aku membuang nafas, sejak lima menit yang lalu, tanganku ditarik-tarik paksa oleh Dewi, sibuk mengajak menonton futsal di lapangan. Aku memilih untuk menyerah, akhirnya aku mau mengikuti rengekan Dewi.

“Aduh, cool man! Lihat Fel, itu Dika ganteng banget!” Dewi heboh menunjuk ke arah lapangan. Hei, apa barusan yang dia bilang? Aku menyeka keningku. Aku menempelkan punggung tanganku dikeningnya, tidak panas, masih waras. Dewi terus saja berseru mendukung Dika. Aku menyeringai, bagaimana kalau Dewi tahu jika Dika masih mengejar-ngejarku sampai saat ini? Aku benar-benar tidak mengerti ekspresi seperti apa yang akan Dewi tujukan kepadaku.


Tiba-tiba saja angin berhembus kencang. Semua pemain di lapangan pun kompak menoleh ke arahku. Tergugu, bahkan sampai melongo. Aku penasaran, ikut menoleh ke belakang. Dewi sepertinya juga ikut bergeming. Adegan ini layaknya slow-motion. Lihatlah siapa yang baru saja berjalan anggun lewat di belakangku. Dewi reflek menunjuk-nunjuk orang itu,
“Itu anak barunya!”


Hah? Aku sepenuhnya belum percaya ini. Apa aku saja yang salah lihat? Bianka bersekolah di SMA ini? Ini sulit kuterima. Bagaimana mungkin perempuan ganjen itu ada di sekolah ini? Lihat saja bagaimana dia mampu membius anak-anak cowok sampai mematung begitu. Aku memajukan bibir, sepertinya sudah takdirku untuk melihat wajah Bianka setiap hari. Aku jadi teringat sesuatu, Farish dimana ya? Aku melirik Dewi yang kini sudah kembali bersorak heboh. Dengan iseng aku meninggalkan Dewi di tepi lapangan seorang diri. Aku berlarian mencari Farish.
Aku berhenti di depan perpustakaan, mengatur nafas, lelah mencari Farish. Akhirnya aku baru menemukan Farish setelah aku berinisiatif menyambangi lapangan basket. Benar saja—setelah tadi aku melarang dia ikut tanding futsal—dia ternyata sedang duduk di tengah lapangan basket bersama teman-temannya, bermain gitar dan bersenandung riang. Farish berhenti memetik gitar begitu melihat aku melambaikan tangan dari tepi lapangan. Dia meletakkan gitar, teman-temannya bersiul-ria ketika Farish berlari kecil menghampiriku.

“Ada apa?” Farish menyentuh lenganku.

“Bianka sekolah di SMA ini!” Aku mengoyak tangannya.

“Oh ya?” Farish menanggapi dengan datar, terkesan tidak mau tahu dan peduli.

“Kok cuma gitu doang reaksinya?” Aku heran sendiri. Bukankah seharusnya dia senang mendengar berita ini?

“Terus, aku harus gimana? Menggelar red carpet buat nyambut dia?” Farish tertawa geli. Aku baru sadar, dia hanya tidak mau aku cemburu lagi seperti kemarin siang. Makanya dia pilih cuek-cuek saja. Farish mengajakku untuk bergabung bersama teman-temannya. Aku juga ikut menyumbangkan suara dan Farish yang memetik gitarnya. Acara ini lebih mengasyikan ketimbang acara classmeeting.



“Eh, kok malah hujan?” Aku bergumam lirih. Sekarang, hanya bisa merapatkan tangan di tepi hall. Farish lebih terlihat tenang daripada aku.

“Ayo, nekad aja, yank.” Farish tiba-tiba menarik tubuhku.

“Nggak mau!!” Aku membentaknya, tidak sengaja. Aku menarik tanganku kembali. Sedikit menyesal tadi membentaknya. Farish berdiri disampingku seraya melipat tangan di dada.

“Aku nggak mau kamu sakit. Tunggu sampai hujannya reda ya.” Aku menyandarkan kepalaku di bahunya. Farish membelai kepalaku. Di hall hanya menyisakan kami berdua. Semua murid sudah pulang sebelum hujan turun. Selang beberapa menit, hal yang tidak pernah kuduga, ternyata Bianka belum pulang. Dia ikut berdiri disamping Farish.

“Kalian juga belum pulang?” Bianka menyapa dengan nada terkejut.

“Belum.” Farish menjawab dengan jutek.

“Kapan sih hujannya reda?” Bianka sibuk mondar-mandir, mengibaskan rambut.







Bersambung—

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Cari Blog Ini