Baru
saja aku menutup pintu, tiba-tiba ada yang mengetuk pintu lagi. Aku naik pitam,
mengambil sendal jepit, aku ingin menimpuk kalau-kalau yang datang Dika lagi.
Tanganku langsung terhenti begitu melihat yang datang bukan Dika, melainkan
Farish. Aku meringis melihat Farish yang sedang melipat dahi, menatapku dan
sendal ditanganku secara bergantian.
“Mau
nimpuk aku?” Farish menunjuk dirinya sendiri. Aku segera melepas sendal itu
dari tanganku.
“Bukan.
Tadi niatnya buat nimpuk Dika.” Aku nyengir kuda.
“Dika
ke sini? Ngapain dia?” tanyanya dengan nada cemburu.
“Tuh,
ngasih bunga mawar.” Aku menunjuk tempat sampah di dekat pintu. Farish tertawa
terpingkal-pingkal.
“Eh,
keluar yuk.” Farish sudah berhenti tertawa, menatapku antusias.
“Rumah
lagi nggak ada orang. Jalan-jalan ke depan komplek aja ya.” Farish mengangguk
setuju. Aku tersenyum menyambut uluran tangannya.
Kami
berjalan saling bergandengan tangan, sesekali Farish merangkul bahuku, saling
melempar canda, tertawa.
“Besok
kalau udah lulus, mau lanjut kuliah dimana?” Aku bertanya iseng.
“Maunya
sih di hati kamu.” Farish mencolek daguku. Aku diam mendengar jawaban itu.
Setiap kali aku bertanya tentang hal ini, dia tidak pernah menjawabnya dengan
serius.
“Kenapa?
Kok sedih sih?” Farish menatap lurus ke depan, tangannya mengacak rambutku
pelan.
“Aku
sangat takut bila nanti kita tidak bersama lagi.” Aku berkata dengan suara
serak, satu tetes menetes dari mataku.
“Yank,
nggak boleh ah punya pikiran kayak gitu.” Farish mengusap pipiku.
“Aku
hanya takut—” Aku menggigit bibir, tidak melanjutkan kalimatku.
“Justru
aku yang harusnya takut. Sekarang, Dika udah berani nyamperin kamu ke rumah,
bawa mawar pula.” Farish menyeringai, memotong kalimatku, mengacak poniku.
“Aku
kan cintanya cuma sama kamu.” Jawabku melempar senyum. Farish gemas menarik
pipiku. Aku balas menendang kakinya. Dia pura-pura mengaduh, aku kira dia tidak
akan kesakitan. Begitu aku mendekatinya, Farish malah balas menggelitikiku,
tanpa ampun aku langsung menginjak kakinya. Kali ini dia beneran mengaduh.
***
Hari
minggu ini aku cukup senang. Farish mau ikut menemaniku pergi ke toko buku. Dia
hanya mengekor dibelakangku. Sepertinya dia sedang menutupi rasa bosan. Aku
mengangkat bahu, dia memang tidak suka jika kuajak ke toko buku. Entah apa
modusnya sehingga siang ini dia mau-mau saja mengantarku mencari buku.
“Yank..”
Aku memanggilnya dengan manja.
“Apa?”
Farish menoleh, menghampiriku.
“Itu,
ambilin.” Aku menunjuk sebuah novel di rak paling atas. Farish ber-oh kemudian,
tanpa ba-bi-bu langsung mengangkat tubuhku. Tanganku akhirnya bisa meraih novel
tebal itu.
“Udah,
buruan turunin. Malu dilihat orang!” Aku mendesis pelan, baru saja aku melihat
tatapan aneh dari karyawati toko. Farish hanya nyengir, lalu menurunkan
tubuhku. Setelah cukup lelah berkeliling, aku segera menuju tempat kasir. Saat
aku menoleh, aku tidak mendapati Farish ada disampingku. Kemana dia? Aku celingukan mencari, meninggalkan novel tadi di meja
kasir. Aku mengitari rak-rak buku. Memanyunkan bibir ketika aku melihat Farish
berbincang akrab dengan seorang perempuan. Dengan langkah memburu aku
menghampiri mereka yang sedang asyik bercengkrama.
“Eh,
pacar kamu ya?” Perempuan itu menunjukku sebelum aku sempat menegur mereka.
Farish sedikit terkejut melihatku.
“Iya.
Ini pacar gue.” Farish cepat merangkulku. Aku tersenyum kaku.
“Bianka.”
Perempuan itu mengulurkan tangan, tersenyum tipis.
“Felisa.”
Aku menjabat tangannya, aku sedikitpun tidak membalas senyumannya.
“Bianka
ini temen SMP-ku.” Farish girang bercerita. Aku melengos, siapa juga yang mau
berkenalan lebih dekat dengan perempuan itu? Sejak awal, aku sudah tidak nyaman
dengan Bianka. Entah, yang pasti ini bukan soal cemburu.
“Eh,
makan bareng kita aja, yuk?” Farish menawarkan dengan antusias. Aku melotot
tidak terima.
“Ng..
Boleh deh.” Bianka riang menerima ajakan Farish. Aku gemas sekali, ingin
sekadar menimpuk perempuan itu dengan novel tebal tadi. Apa boleh buat, jadinya
kami bertiga mampir ke sebuah foodcourt. Aku lebih memilih memesan cappucino
saja. Tiba-tiba saja selera makanku hilang.
Aku
lebih banyak diam. Bianka malah agresif mengajak Farish mengobrol ini-itu yang
bagiku tidak penting sama sekali. Aku seperti kambing congek melihat mereka
berdua sibuk dengan perbincangan yang entah membahas apa. Sedikit merasa
mangkel, aku dengan sebal memainkan sendok di cangkirku yang sudah kosong. Hello? Di sini aku dianggap apa sih?
Angin atau apa!
Farish
dengan cepat bisa menangkap ketidaknyamanan-ku. Farish buru-buru berpamitan,
meminta maaf kepada Bianka karena tidak bisa berlama-lama. Aku melipat dahi,
menggeleng tidak percaya, sempat-sempatnya mereka bertukar nomer telepon.
Sepanjang
jalan menuju rumah, aku mematung, tidak memberi reaksi apapun, energiku sudah
terlumat habis saat di foodcourt tadi.
Tanganku bahkan tidak berpegangan, aku cukup terkesiap ketika Farish menarik
tanganku lalu melingkarkan di perutnya. Aku menyandarkan kepalaku di bahunya
tanpa ragu.
“Aku
nggak suka sikap kamu tadi. Ganjen tahu!” Aku berkata pelan.
“Iya.
Maaf ya, yank. Sikapku tadi agak keterlaluan.” Farish menyentuh tanganku. Aku
mendongak, aku kira dia tidak mendengar ucapanku tadi. Aku mempererat tanganku,
lega sekali karena Farish mau mengakui kesalahannya. Hari ini aku mendapat
pelajaran penting tentang sebuah arti kesetiaan. Aku sangat menghargai
bagaimana usaha Farish untuk menjaga perasaanku. Ya, meskipun aku sempat
jengkel dibuatnya.
***
Sudah
terdengar klakson motor di depan rumahku. Aku menyibak gorden jendelaku,
melihat Farish yang sudah standby di depan pagar rumah. Aku bergegas,
berpamitan dengan Mama, lantas menyambar sepotong roti tawar.
“Kok
tumben pagi amat?” tanyaku heran.
“Semalam
nggak ada bola.” Farish terkekeh.
Aku
kembali melirik layar hp-ku. Jam enam lebih lima belas menit. Pantas saja sekolah
masih sepi begini.
“Cari
sarapan dulu, yuk.” Aku langsung menarik tangan Farish menuju kantin yang tak
jauh dari tempat parkir. Kami duduk berdua, memesan dua mangkok soto dan dua
gelas teh hangat.
“Eh,
nanti classmeeting apa ya?” Farish
bertanya spontan. Aku mengangkat bahu, tidak tahu-menahu soal itu.
“Kalau
futsal jangan ikut ya, yank.” Aku melarang mengingat penyakit asmanya.
“Iya.”
Jawabnya pendek. Aku menatapnya takzim. Bukan aku sok-ngatur, aku hanya tidak
ingin melihat Farish tumbang seperti tempo hari.
“Eh,
katanya bakal ada anak baru loh.” Rere berseru, suaranya melengking tajam
memenuhi langit-langit kelas. Aku menutup kuping, berlalu dengan cuek di depannya,
sedikitpun tidak mau tahu tentang kabar itu. Aku sedikit lega, hari ini kelas
free, hanya ada kegiatan classmeeting
saja. Aku membuang nafas, sejak lima menit yang lalu, tanganku ditarik-tarik
paksa oleh Dewi, sibuk mengajak menonton futsal di lapangan. Aku memilih untuk
menyerah, akhirnya aku mau mengikuti rengekan Dewi.
“Aduh,
cool man! Lihat Fel, itu Dika ganteng
banget!” Dewi heboh menunjuk ke arah lapangan. Hei, apa barusan yang dia bilang? Aku menyeka keningku. Aku menempelkan
punggung tanganku dikeningnya, tidak panas, masih waras. Dewi terus saja
berseru mendukung Dika. Aku menyeringai, bagaimana kalau Dewi tahu jika Dika
masih mengejar-ngejarku sampai saat ini? Aku benar-benar tidak mengerti
ekspresi seperti apa yang akan Dewi tujukan kepadaku.
Tiba-tiba
saja angin berhembus kencang. Semua pemain di lapangan pun kompak menoleh ke
arahku. Tergugu, bahkan sampai melongo. Aku penasaran, ikut menoleh ke
belakang. Dewi sepertinya juga ikut bergeming. Adegan ini layaknya slow-motion. Lihatlah siapa yang baru
saja berjalan anggun lewat di belakangku. Dewi reflek menunjuk-nunjuk orang itu,
“Itu
anak barunya!”
Hah?
Aku sepenuhnya belum percaya ini. Apa aku saja yang salah lihat? Bianka
bersekolah di SMA ini? Ini sulit kuterima. Bagaimana mungkin perempuan ganjen
itu ada di sekolah ini? Lihat saja bagaimana dia mampu membius anak-anak cowok
sampai mematung begitu. Aku memajukan bibir, sepertinya sudah takdirku untuk
melihat wajah Bianka setiap hari. Aku jadi teringat sesuatu, Farish dimana ya?
Aku melirik Dewi yang kini sudah kembali bersorak heboh. Dengan iseng aku
meninggalkan Dewi di tepi lapangan seorang diri. Aku berlarian mencari Farish.
Aku
berhenti di depan perpustakaan, mengatur nafas, lelah mencari Farish. Akhirnya
aku baru menemukan Farish setelah aku berinisiatif menyambangi lapangan basket.
Benar saja—setelah tadi aku melarang dia ikut tanding futsal—dia ternyata
sedang duduk di tengah lapangan basket bersama teman-temannya, bermain gitar
dan bersenandung riang. Farish berhenti memetik gitar begitu melihat aku
melambaikan tangan dari tepi lapangan. Dia meletakkan gitar, teman-temannya
bersiul-ria ketika Farish berlari kecil menghampiriku.
“Ada
apa?” Farish menyentuh lenganku.
“Bianka
sekolah di SMA ini!” Aku mengoyak tangannya.
“Oh
ya?” Farish menanggapi dengan datar, terkesan tidak mau tahu dan peduli.
“Kok
cuma gitu doang reaksinya?” Aku heran sendiri. Bukankah seharusnya dia senang
mendengar berita ini?
“Terus,
aku harus gimana? Menggelar red carpet
buat nyambut dia?” Farish tertawa geli. Aku baru sadar, dia hanya tidak mau aku
cemburu lagi seperti kemarin siang. Makanya dia pilih cuek-cuek saja. Farish
mengajakku untuk bergabung bersama teman-temannya. Aku juga ikut menyumbangkan
suara dan Farish yang memetik gitarnya. Acara ini lebih mengasyikan ketimbang
acara classmeeting.
“Eh,
kok malah hujan?” Aku bergumam lirih. Sekarang, hanya bisa merapatkan tangan di
tepi hall. Farish lebih terlihat
tenang daripada aku.
“Ayo,
nekad aja, yank.” Farish tiba-tiba menarik tubuhku.
“Nggak
mau!!” Aku membentaknya, tidak sengaja. Aku menarik tanganku kembali. Sedikit
menyesal tadi membentaknya. Farish berdiri disampingku seraya melipat tangan di
dada.
“Aku
nggak mau kamu sakit. Tunggu sampai hujannya reda ya.” Aku menyandarkan
kepalaku di bahunya. Farish membelai kepalaku. Di hall hanya menyisakan kami berdua. Semua murid sudah pulang sebelum
hujan turun. Selang beberapa menit, hal yang tidak pernah kuduga, ternyata
Bianka belum pulang. Dia ikut berdiri disamping Farish.
“Kalian
juga belum pulang?” Bianka menyapa dengan nada terkejut.
“Belum.”
Farish menjawab dengan jutek.
“Kapan
sih hujannya reda?” Bianka sibuk mondar-mandir, mengibaskan rambut.
Bersambung—
Tidak ada komentar:
Posting Komentar