Liontin Merah
Satu
hari berlalu...
Aku
berjalan terburu-buru melewati koridor rumah sakit. Cemas bukan main. Sampai
aku menabrak beberapa suster. Juga tidak sengaja menabrak ember office boy, lantai seketika banjir. Aku
meminta maaf. Lantas melanjutkan langkahku.
“Kau
kenapa? Bagaimana bisa?” seruku panik begitu membuka pintu. Sia-sia. Aku
menutup mulutku cepat, takut membangunkan Mita yang tengah tidur. Aku duduk di
kursi dekat ranjang. Hatiku hancur melihat wajah cantik itu pucat pasi. Selang
infus menempel di pergelangan tangan kanannya. Aku menggenggam tangan itu
teramat pelan.
“Kau
baik-baik saja, kan?” desahku khawatir.
“Kau
pasti akan cepat sembuh, iya kan, Mita?” bisikku lagi seraya membelai pelan
rambutnya.
“Aku
tidak apa-apa.” Mita tiba-tiba bersuara, membuatku sedikit gelagapan dan
langsung menarik tanganku dari rambutnya. Mita perlahan membuka mata,
berkejap-kejap, dan terbuka lebar. Aku memasang senyum lebar.
“Aduh!
Sakit..” rintihnya mencoba menggerakan kaki. Aku cemas membuka selimutnya. Gips
terpasang di kaki kanannya. Mita mendesah sebal.
“Kau
terlalu ceroboh kemarin!” kataku kemudian.
“Andaikan
kau tahu mengapa aku bisa begini—” ucapnya pelan.
“Eh,
apa?” tanyaku meminta ia mengulangi kalimat itu.
“Lupakan!”
Mita membuang muka. Aku mengangkat bahu.
“Kau
mau sarapan apa?” tanyaku mencairkan suasana.
“Males,”
jawabnya pendek.
“Kapan
bisa pulang?” tanyaku lagi.
“Nggak
tahu,” jawabnya cuek tanpa melihatku.
“Sekarang
tanggal berapa?” kini giliran Mita bertanya.
“Tanggal
2 januari. Memangnya kenapa?” Aku melihat ekspresi tidak biasa dari air
mukanya. Memangnya ada apa dengan tanggal
itu?
“Sayang
sekali aku nggak bisa jalan.” Mita menyeka dahinya. Kecewa.
“Mau
kemana? Biar aku antar,” tawarku senang hati.
“Nanti
aku sekalian yang meminta izin ke dokter,” tambahku cepat. Mita tersenyum
senang.
“Dan,
sekarang kau harus sarapan!” hardikku galak. Mita memanyunkan bibir. Bubur,
mana dia doyan? Aku nyengir saat berhasil menyuapi Mita sampai tiga suapan.
Mita melotot galak ketika aku menyodorkan suapan keempat.
***
“Bunga
mawarnya mana?” tanya Mita celingukan melihat tanganku yang kosong.
“Ada
di mobil. Buat apa sih?” tanyaku sambil membantu Mita berdiri. Dokter
mengizinkan Mita keluar setelah tadi aku sempat bersitegang dengan dokter itu.
“Harus
sekarang ya? Apa tidak bisa menunggu sampai kau pulih?” Aku berhenti
menatapnya. Mita menggeleng.
“Hanya
satu tahun sekali. Mana bisa aku melewatkan hari ini begitu saja?” Mita
mengangkat bahunya. Ia tertatih, kesusahan untuk melangkahkan kakinya. Aku
segera memutar otak.
“Aku
bisa sendiri. Kau dia perlu melakukan ini!” Mita sedikit risih saat aku
menggendongnya tanpa menunggu interupsinya.
“Nanti
keburu hujan..” sergahku. Mita tidak banyak bicara lagi.
Aku
menurunkan Mita di kursi samping kemudi mobil. Mita terlihat semangat sekali.
Aku jadi tidak sabar melihat apa yang akan dia lakukan. Lebih penasaran lagi, kemana ia akan pergi? Aku menggaruk
kepalaku. Setiap aku menoleh, Mita masih saja mengumbar senyum.
“Kau
tidak salah alamat kan?” Aku cukup terkejut saat mobilku berhenti persis di
depan sebuah komplek pemakaman.
“Aku
memang ingin kesini. Kau tidak ikut juga tidak apa. Aku bisa berjalan—” Mita
hampir membuka pintu mobil. Aku cepat mencegah.
“Aku
ikut. Itu juga kalau kau tidak keberatan,” kataku nyengir. Aku bergegas membuka
pintu mobil. Mendung sudah menggantang di atas sana. Aku membimbing Mita
berjalan di jalan setapak. Kepalaku masih dipenuhi dengan pertanyaan-pertanyaan
yang sebentar lagi akan terjawab. Mita sepertinya sedikit melupakan sakit di
kakinya. Satu buket mawar merah tergenggam erat di tangan bekas infus.
“Metha..”
ulangku untuk kedua kalinya setelah membaca nisan keramik di depanku. Mita
tertunduk takzim, setelah sebelumnya meletakkan bunga tadi di dekat nisan. Aku
bisa melihat ketika Mita memejamkan kedua mata, bibirnya bergerak melantunkan
sebuah doa. Aku duduk berjongkok di sebelah Mita yang terpaksa berdiri karena
gips itu. Aku masih mengunci mulutku, takut menyela, semua tertahan di
tenggorokan. Meskipun pertanyaan lagi-lagi memenuhi kedua otakku.
Mita
membuka matanya tepat ketika tetes bening meluncur di kedua pipinya. Aku
berdiri dan merengkuh pundaknya.
“Happy
birthday—” suara itu terdengar bergetar. Mita masih tersedu, aku mengeratkan
dekapanku. Sayang sekali, hujan turun begitu cepat, seperti ingin cepat-cepat
menyudahi kebersamaan ini. Sedikit susah untuk membujuk Mita agar meninggalkan
pusara itu. Air hujan buncah menjadi titik-titik indah yang membasahi nisan
sekaligus bunga mawar. Aku melepas jaketku, menjadikannya payung darurat.
“Metha,
maaf, dia siapa?” tanyaku hati-hati. Mita menatap nanar kaca mobil yang
berembun.
“Dia
separuh hidupku..” Mita beralih menatapku. Aku menelan ludah. Ya, dia mungkin
orang yang aku lihat di foto itu. Mereka saudara kembar.
“Bagaimana,
emm, maksudku dia sakit apa?” Aku membalas tatapan mata sayu itu.
“Seseorang
telah membunuhnya!” suara Mita terdengar sengau. Giliran aku yang tercekat,
mendengar Mita mengucapkannya dengan nada geram. Aku tidak heran jika sikap
Mita sangat dingin terhadap siapa pun. Selalu menutup diri. Memendam semuanya
sendiri.
***
Aku
mengantarkan Mita kembali ke rumah sakit. Jam di tanganku menunjukkan pukul
lima sore. Mita duduk di tepi ranjang, jendela ruangan tidak tertutup gorden,
dan ia sibuk menatap bulir air yang masih menetes dari langit. Aku memandang
punggungnya yang membelakangiku. Aku sedang mencoba mengingat-ingat sesuatu.
Tadi, Mita sengaja datang mengunjungi pusara saudara kembarnya untuk...
Mengucapkan ‘happy birthday’—Astaga! Kenapa aku sampai tidak menyadari hal itu.
Itu artinya Mita juga berulang tahun hari ini. Aku mengusap tengkukku. Waktu
beranjak petang. Aku cepat membuat pertimbangan dalam waktu yang singkat.
Berhitung dengan waktu.
“Mita..”
panggilku menyela kesibukannya. Ia sedikit menoleh kepadaku.
“Aku
harus pulang sekarang dan mungkin baru kesini lagi besok pagi.” Aku berbohong.
Lihat saja nanti, aku akan segera kembali kesini membawa kejutan. Aku tersenyum
membayangkan rencana itu.
“Terima
kasih untuk hari ini,” ujarnya, aku berbalik ketika hampir membuka pintu.
***
Aku
menerabas rintik hujan yang masih membungkus kota. Alhasil, kemejaku sedikit
kuyup. Berlarian dari satu toko kue ke toko kue lainnya. Aku menarik napas lega
setelah keluar dari sebuah toko membawa kotak kue yang cukup besar.
Pukul
21.00. Kini aku kembali melajukan mobilku ke pusat pembelanjaan di tengah kota,
ikut serta dalam kemacetan yang sudah menjadi rutinitas. Jujur aku masih
bingung mencari kado untuk Mita. Ketika tiba di mall, mataku terus menyapu sekeliling, melihat berderet-deret
boneka. Aku menelan ludah. Boneka?
Kurasa tidak. Aku kembali melangkah, dan terhenti ketika mataku menangkap
pendar yang berkilau dari kaca etalase. Aku bergegas mendekat. Kalung yang
indah, gumamku. Kalung berliontin bentuk hati dengan warna merah yang
mendominasi. Aku terus berdecak kagum mengamati setiap detail liontinnya.
Sampai sang pemilik toko datang mengagetkanku.
“Ada
yang bisa saya bantu?” tegurnya sangat ramah.
“Saya
beli kalung ini.” Aku rasa tidak perlu melakukan nego dengan harganya. Sang
pemilik toko menyilahkan aku masuk ke toko yang hanya tersekat kaca-kaca
etalase yang menjulang tinggi. Seorang pelayan tersenyum membungkus kotak
kalung dengan kertas berwarna perak. Aku sumringah melihat bingkisan kecil itu.
Setelah selesai membayar, aku langsung kembali ke rumah sakit. Membuat sedikit surprise untuk Mita.
***
Pintu
berderit ketika aku pelan-pelan membukanya. Gelap. Aku menatap punggung yang
masih terduduk menatap keluar jendela. Sinar rembulan menempa wajah cantiknya.
Tanganku terulur menekan saklar di dekat pintu. Lampu ruangan menyala terang.
Aku sudah bersiap dengan kue tart di tanganku. Tiga lilin kecil tersemat di
tengahnya. Aku mulai melangkah mendekati ranjangnya. Mita bahkan tidak
menyadari kedatanganku. Jangan-jangan ia
juga tidak sadar kalau barusan lampu di atasnya menyala?
“Ikmal—”
Mita menoleh kepadaku, tercekat. Langsung tersenyum melihat kue berhias lilin
yang aku bawa.
“Happy birthday, Mita.” Aku melihatnya
yang mencoba berdiri menghampiriku.
“Kau
tadi bilang..” Mita menudingku curiga.
“Sedikit
kejutan..” Aku mengangkat bahu sebelah. Mita masih terpaku pada lilin yang
sedikit bergeming diterpa semilir angin yang berhembus dari celah jendela.
“Thanks.
Tapi seharusnya kau tidak perlu repot-repot seperti ini,” komentarnya begitu
aku mendekatkan kue tart kepadanya. Aku menarik kursi untuk duduk di depannya, di samping
ranjang. Mita menutup matanya, membatin sebuah doa dan harapan. Aku ikut
mengamini. Ia cepat meniup lilin begitu matanya terbuka. Aku sedikit
mencondongkan tubuhku ke depan. Kukecup kening itu. Mita merangkul sebelah
pundakku. Aku bisa merasakan basah menjalar di bahuku. Mita memelukku, sejenak
melupakan kue tart tadi. Lama saling terdiam, aku memberanikan diri mengusap
rambutnya. Mita masih tersedu. Aku membiarkan ia meluapkan semuanya malam ini.
Sepatah kata pun tak mampu aku lontarkan.
Aku
dan Mita terkesiap begitu seseorang membuka pintu. Dokter itu melangkah semakin
dekat. Aku mendeham, berpura-pura merapikan lengan kemejaku. Mita menatap sebal
ke arah dokter itu. Apalagi kalau bukan
memberi obat tidur? Mita sebal disuntik. Itu terlihat ketika jarum suntik
menghujam kulitnya, dan saat yang bersamaan pula ia menggenggam tanganku sangat
erat. Matanya perlahan terkatup. Dokter itu berlalu, hanya mengangguk kepadaku.
Aku
membenarkan posisi selimut Mita. Andaikan waktu masih tersisa banyak. Tapi, ya
sudahlah, Mita butuh banyak istirahat. Aku hanya memandang kue tart itu dengan
helaan napas. Aku merogoh saku celanaku. Kotak berwarna perak. Ya Tuhan, kenapa
aku bisa sampai lupa untuk memberikannya kepada Mita?
***
“Mita
sudah pulang, Sus? Kapan? Dan dengan siapa?” cerocosku saking paniknya saat
mendapati kamar Mita kosong, seorang suster sibuk merapikan ranjang serta
bantal. Bagaimana mungkin? Mita belum
sembuh. Aku kembali memasukkan kotak perak yang aku genggam ke dalam saku
celana.
“Mbak
Mita ada di taman.” Suster itu sempat melongo, lantas cepat memberi sanggahan.
Aku mengelus dada, lega.
“Sedang
lihat apa?” tanyaku basa-basi. Mita duduk di kursi panjang bercat putih. Mita
sudah bisa berjalan, pelan-pelan sekali, tak jauh berbeda dari kura-kura.
“Lihat
kupu-kupu,” katanya tanpa menoleh kepadaku. Bohong!
umpatku dalam hati. Di depan sana memang ada kupu-kupu kecil yang hinggap di
bunga bougenvil. Tetapi mata
beningnya justru lebih fokus memandangi dua anak kecil dan seorang ibu muda,
mereka bertiga sedang asyik bercengkerama di bawah teduhnya pohon bougenvil. Dua anak yang kembar. Aku
menelan ludah. Mita pasti sangat merindukan momen terindah dalam hidupnya, yang
sekarang hanya tinggal kenangan. Tanpa sadar aku ikut larut dalam suasana
senyap-pekat. Suara tawa anak kecil terdengar sayup terbawa angin semilir yang
entah tiba-tiba datang menyeruak. Siapa pun juga pasti iri melihat keluarga
kecil itu. Tanganku terangkat untuk menyentuh pundaknya. Mita terhenyak,
tersadar dari lamunannya.
“Keluarga
yang bahagia.” Mita tersenyum hambar.
“Kau
tidak sendiri, Mita. Ada aku disini.” Aku tersenyum meremas punggung tangannya.
Mita menyeka hidungnya, menyeringai tipis.
“Aku
ada sesuatu untukmu.” Aku menyodorkan kotak berwarna perak dari saku celana.
Mita mengernyitkan dahi. Aku memiringkan kepala, terimalah. Mita ragu-ragu mengambil kotak kecil itu dari telapak
tanganku.
“Isinya
apa?” tanyanya masih mengulur waktu untuk membukanya. Aku mengangkat bahu, buka saja sendiri.
“Kalung?”
pekiknya masih dengan nada normal. Menatapku tidak mengerti, seakan meminta
penjelasan.
“Kenapa?
Kau tidak suka warnanya? Terlalu feminin? Atau—” Aku menelan ludah, ucapanku
langsung terpotong begitu tangannya mendekap mulutku tiba-tiba. Aku tidak bisa
berkutik lagi.
“Aku
suka sekali. Ini bahkan terlalu indah.” Mita melepas tangannya dari mulutku,
lalu mengerjap takjub. Aku mengembuskan napas, cukup tersengal. Mita masih
mematut-matut kalung itu di tangannya. Senyum tak habis-habisnya tersungging
dari sudut bibirnya. Pagi yang indah, gumamku. Aku menyandarkan punggungku pada
sandaran kursi. Mita sudah selesai memasang kalung itu di lehernya. Liontin itu
berkilau ditempa sinar matahari yang mulai meninggi. Aku hanya tersenyum.
Pipiku memerah melihat gadis itu yang semakin hari bertambah cantik.
Bersambung—
Tidak ada komentar:
Posting Komentar