Jumat, 25 Mei 2012

“Biarkan Aku Mencintaimu” (bagian 7)



Liontin Merah



Satu hari berlalu...

Aku berjalan terburu-buru melewati koridor rumah sakit. Cemas bukan main. Sampai aku menabrak beberapa suster. Juga tidak sengaja menabrak ember office boy, lantai seketika banjir. Aku meminta maaf. Lantas melanjutkan langkahku.


“Kau kenapa? Bagaimana bisa?” seruku panik begitu membuka pintu. Sia-sia. Aku menutup mulutku cepat, takut membangunkan Mita yang tengah tidur. Aku duduk di kursi dekat ranjang. Hatiku hancur melihat wajah cantik itu pucat pasi. Selang infus menempel di pergelangan tangan kanannya. Aku menggenggam tangan itu teramat pelan.

“Kau baik-baik saja, kan?” desahku khawatir.

“Kau pasti akan cepat sembuh, iya kan, Mita?” bisikku lagi seraya membelai pelan rambutnya.

“Aku tidak apa-apa.” Mita tiba-tiba bersuara, membuatku sedikit gelagapan dan langsung menarik tanganku dari rambutnya. Mita perlahan membuka mata, berkejap-kejap, dan terbuka lebar. Aku memasang senyum lebar.


“Aduh! Sakit..” rintihnya mencoba menggerakan kaki. Aku cemas membuka selimutnya. Gips terpasang di kaki kanannya. Mita mendesah sebal.

“Kau terlalu ceroboh kemarin!” kataku kemudian.

“Andaikan kau tahu mengapa aku bisa begini—” ucapnya pelan.

“Eh, apa?” tanyaku meminta ia mengulangi kalimat itu.

“Lupakan!” Mita membuang muka. Aku mengangkat bahu.

“Kau mau sarapan apa?” tanyaku mencairkan suasana.

“Males,” jawabnya pendek.

“Kapan bisa pulang?” tanyaku lagi.

“Nggak tahu,” jawabnya cuek tanpa melihatku.

“Sekarang tanggal berapa?” kini giliran Mita bertanya.

“Tanggal 2 januari. Memangnya kenapa?” Aku melihat ekspresi tidak biasa dari air mukanya. Memangnya ada apa dengan tanggal itu?

“Sayang sekali aku nggak bisa jalan.” Mita menyeka dahinya. Kecewa.

“Mau kemana? Biar aku antar,” tawarku senang hati.

“Nanti aku sekalian yang meminta izin ke dokter,” tambahku cepat. Mita tersenyum senang.

“Dan, sekarang kau harus sarapan!” hardikku galak. Mita memanyunkan bibir. Bubur, mana dia doyan? Aku nyengir saat berhasil menyuapi Mita sampai tiga suapan. Mita melotot galak ketika aku menyodorkan suapan keempat.

***



“Bunga mawarnya mana?” tanya Mita celingukan melihat tanganku yang kosong.

“Ada di mobil. Buat apa sih?” tanyaku sambil membantu Mita berdiri. Dokter mengizinkan Mita keluar setelah tadi aku sempat bersitegang dengan dokter itu.

“Harus sekarang ya? Apa tidak bisa menunggu sampai kau pulih?” Aku berhenti menatapnya. Mita menggeleng.

“Hanya satu tahun sekali. Mana bisa aku melewatkan hari ini begitu saja?” Mita mengangkat bahunya. Ia tertatih, kesusahan untuk melangkahkan kakinya. Aku segera memutar otak.

“Aku bisa sendiri. Kau dia perlu melakukan ini!” Mita sedikit risih saat aku menggendongnya tanpa menunggu interupsinya.

“Nanti keburu hujan..” sergahku. Mita tidak banyak bicara lagi.


Aku menurunkan Mita di kursi samping kemudi mobil. Mita terlihat semangat sekali. Aku jadi tidak sabar melihat apa yang akan dia lakukan. Lebih penasaran lagi, kemana ia akan pergi? Aku menggaruk kepalaku. Setiap aku menoleh, Mita masih saja mengumbar senyum.


“Kau tidak salah alamat kan?” Aku cukup terkejut saat mobilku berhenti persis di depan sebuah komplek pemakaman.

“Aku memang ingin kesini. Kau tidak ikut juga tidak apa. Aku bisa berjalan—” Mita hampir membuka pintu mobil. Aku cepat mencegah.

“Aku ikut. Itu juga kalau kau tidak keberatan,” kataku nyengir. Aku bergegas membuka pintu mobil. Mendung sudah menggantang di atas sana. Aku membimbing Mita berjalan di jalan setapak. Kepalaku masih dipenuhi dengan pertanyaan-pertanyaan yang sebentar lagi akan terjawab. Mita sepertinya sedikit melupakan sakit di kakinya. Satu buket mawar merah tergenggam erat di tangan bekas infus.


“Metha..” ulangku untuk kedua kalinya setelah membaca nisan keramik di depanku. Mita tertunduk takzim, setelah sebelumnya meletakkan bunga tadi di dekat nisan. Aku bisa melihat ketika Mita memejamkan kedua mata, bibirnya bergerak melantunkan sebuah doa. Aku duduk berjongkok di sebelah Mita yang terpaksa berdiri karena gips itu. Aku masih mengunci mulutku, takut menyela, semua tertahan di tenggorokan. Meskipun pertanyaan lagi-lagi memenuhi kedua otakku.


Mita membuka matanya tepat ketika tetes bening meluncur di kedua pipinya. Aku berdiri dan merengkuh pundaknya.

“Happy birthday—” suara itu terdengar bergetar. Mita masih tersedu, aku mengeratkan dekapanku. Sayang sekali, hujan turun begitu cepat, seperti ingin cepat-cepat menyudahi kebersamaan ini. Sedikit susah untuk membujuk Mita agar meninggalkan pusara itu. Air hujan buncah menjadi titik-titik indah yang membasahi nisan sekaligus bunga mawar. Aku melepas jaketku, menjadikannya payung darurat.


“Metha, maaf, dia siapa?” tanyaku hati-hati. Mita menatap nanar kaca mobil yang berembun.

“Dia separuh hidupku..” Mita beralih menatapku. Aku menelan ludah. Ya, dia mungkin orang yang aku lihat di foto itu. Mereka saudara kembar.

“Bagaimana, emm, maksudku dia sakit apa?” Aku membalas tatapan mata sayu itu.

“Seseorang telah membunuhnya!” suara Mita terdengar sengau. Giliran aku yang tercekat, mendengar Mita mengucapkannya dengan nada geram. Aku tidak heran jika sikap Mita sangat dingin terhadap siapa pun. Selalu menutup diri. Memendam semuanya sendiri.

***

Aku mengantarkan Mita kembali ke rumah sakit. Jam di tanganku menunjukkan pukul lima sore. Mita duduk di tepi ranjang, jendela ruangan tidak tertutup gorden, dan ia sibuk menatap bulir air yang masih menetes dari langit. Aku memandang punggungnya yang membelakangiku. Aku sedang mencoba mengingat-ingat sesuatu. Tadi, Mita sengaja datang mengunjungi pusara saudara kembarnya untuk... Mengucapkan ‘happy birthday’—Astaga! Kenapa aku sampai tidak menyadari hal itu. Itu artinya Mita juga berulang tahun hari ini. Aku mengusap tengkukku. Waktu beranjak petang. Aku cepat membuat pertimbangan dalam waktu yang singkat. Berhitung dengan waktu.

“Mita..” panggilku menyela kesibukannya. Ia sedikit menoleh kepadaku.

“Aku harus pulang sekarang dan mungkin baru kesini lagi besok pagi.” Aku berbohong. Lihat saja nanti, aku akan segera kembali kesini membawa kejutan. Aku tersenyum membayangkan rencana itu.

“Terima kasih untuk hari ini,” ujarnya, aku berbalik ketika hampir membuka pintu.

***

Aku menerabas rintik hujan yang masih membungkus kota. Alhasil, kemejaku sedikit kuyup. Berlarian dari satu toko kue ke toko kue lainnya. Aku menarik napas lega setelah keluar dari sebuah toko membawa kotak kue yang cukup besar.


Pukul 21.00. Kini aku kembali melajukan mobilku ke pusat pembelanjaan di tengah kota, ikut serta dalam kemacetan yang sudah menjadi rutinitas. Jujur aku masih bingung mencari kado untuk Mita. Ketika tiba di mall, mataku terus menyapu sekeliling, melihat berderet-deret boneka. Aku menelan ludah. Boneka? Kurasa tidak. Aku kembali melangkah, dan terhenti ketika mataku menangkap pendar yang berkilau dari kaca etalase. Aku bergegas mendekat. Kalung yang indah, gumamku. Kalung berliontin bentuk hati dengan warna merah yang mendominasi. Aku terus berdecak kagum mengamati setiap detail liontinnya. Sampai sang pemilik toko datang mengagetkanku.

“Ada yang bisa saya bantu?” tegurnya sangat ramah.

“Saya beli kalung ini.” Aku rasa tidak perlu melakukan nego dengan harganya. Sang pemilik toko menyilahkan aku masuk ke toko yang hanya tersekat kaca-kaca etalase yang menjulang tinggi. Seorang pelayan tersenyum membungkus kotak kalung dengan kertas berwarna perak. Aku sumringah melihat bingkisan kecil itu. Setelah selesai membayar, aku langsung kembali ke rumah sakit. Membuat sedikit surprise untuk Mita.

***

Pintu berderit ketika aku pelan-pelan membukanya. Gelap. Aku menatap punggung yang masih terduduk menatap keluar jendela. Sinar rembulan menempa wajah cantiknya. Tanganku terulur menekan saklar di dekat pintu. Lampu ruangan menyala terang. Aku sudah bersiap dengan kue tart di tanganku. Tiga lilin kecil tersemat di tengahnya. Aku mulai melangkah mendekati ranjangnya. Mita bahkan tidak menyadari kedatanganku. Jangan-jangan ia juga tidak sadar kalau barusan lampu di atasnya menyala?

“Ikmal—” Mita menoleh kepadaku, tercekat. Langsung tersenyum melihat kue berhias lilin yang aku bawa.

Happy birthday, Mita.” Aku melihatnya yang mencoba berdiri menghampiriku.

“Kau tadi bilang..” Mita menudingku curiga.

“Sedikit kejutan..” Aku mengangkat bahu sebelah. Mita masih terpaku pada lilin yang sedikit bergeming diterpa semilir angin yang berhembus dari celah jendela.

“Thanks. Tapi seharusnya kau tidak perlu repot-repot seperti ini,” komentarnya begitu aku mendekatkan kue tart kepadanya. Aku menarik kursi untuk duduk di depannya, di samping ranjang. Mita menutup matanya, membatin sebuah doa dan harapan. Aku ikut mengamini. Ia cepat meniup lilin begitu matanya terbuka. Aku sedikit mencondongkan tubuhku ke depan. Kukecup kening itu. Mita merangkul sebelah pundakku. Aku bisa merasakan basah menjalar di bahuku. Mita memelukku, sejenak melupakan kue tart tadi. Lama saling terdiam, aku memberanikan diri mengusap rambutnya. Mita masih tersedu. Aku membiarkan ia meluapkan semuanya malam ini. Sepatah kata pun tak mampu aku lontarkan.


Aku dan Mita terkesiap begitu seseorang membuka pintu. Dokter itu melangkah semakin dekat. Aku mendeham, berpura-pura merapikan lengan kemejaku. Mita menatap sebal ke arah dokter itu. Apalagi kalau bukan memberi obat tidur? Mita sebal disuntik. Itu terlihat ketika jarum suntik menghujam kulitnya, dan saat yang bersamaan pula ia menggenggam tanganku sangat erat. Matanya perlahan terkatup. Dokter itu berlalu, hanya mengangguk kepadaku.


Aku membenarkan posisi selimut Mita. Andaikan waktu masih tersisa banyak. Tapi, ya sudahlah, Mita butuh banyak istirahat. Aku hanya memandang kue tart itu dengan helaan napas. Aku merogoh saku celanaku. Kotak berwarna perak. Ya Tuhan, kenapa aku bisa sampai lupa untuk memberikannya kepada Mita?

***

“Mita sudah pulang, Sus? Kapan? Dan dengan siapa?” cerocosku saking paniknya saat mendapati kamar Mita kosong, seorang suster sibuk merapikan ranjang serta bantal. Bagaimana mungkin? Mita belum sembuh. Aku kembali memasukkan kotak perak yang aku genggam ke dalam saku celana.

“Mbak Mita ada di taman.” Suster itu sempat melongo, lantas cepat memberi sanggahan. Aku mengelus dada, lega.


“Sedang lihat apa?” tanyaku basa-basi. Mita duduk di kursi panjang bercat putih. Mita sudah bisa berjalan, pelan-pelan sekali, tak jauh berbeda dari kura-kura.


“Lihat kupu-kupu,” katanya tanpa menoleh kepadaku. Bohong! umpatku dalam hati. Di depan sana memang ada kupu-kupu kecil yang hinggap di bunga bougenvil. Tetapi mata beningnya justru lebih fokus memandangi dua anak kecil dan seorang ibu muda, mereka bertiga sedang asyik bercengkerama di bawah teduhnya pohon bougenvil. Dua anak yang kembar. Aku menelan ludah. Mita pasti sangat merindukan momen terindah dalam hidupnya, yang sekarang hanya tinggal kenangan. Tanpa sadar aku ikut larut dalam suasana senyap-pekat. Suara tawa anak kecil terdengar sayup terbawa angin semilir yang entah tiba-tiba datang menyeruak. Siapa pun juga pasti iri melihat keluarga kecil itu. Tanganku terangkat untuk menyentuh pundaknya. Mita terhenyak, tersadar dari lamunannya.

“Keluarga yang bahagia.” Mita tersenyum hambar.

“Kau tidak sendiri, Mita. Ada aku disini.” Aku tersenyum meremas punggung tangannya. Mita menyeka hidungnya, menyeringai tipis.

“Aku ada sesuatu untukmu.” Aku menyodorkan kotak berwarna perak dari saku celana. Mita mengernyitkan dahi. Aku memiringkan kepala, terimalah. Mita ragu-ragu mengambil kotak kecil itu dari telapak tanganku.

“Isinya apa?” tanyanya masih mengulur waktu untuk membukanya. Aku mengangkat bahu, buka saja sendiri.

“Kalung?” pekiknya masih dengan nada normal. Menatapku tidak mengerti, seakan meminta penjelasan.

“Kenapa? Kau tidak suka warnanya? Terlalu feminin? Atau—” Aku menelan ludah, ucapanku langsung terpotong begitu tangannya mendekap mulutku tiba-tiba. Aku tidak bisa berkutik lagi.

“Aku suka sekali. Ini bahkan terlalu indah.” Mita melepas tangannya dari mulutku, lalu mengerjap takjub. Aku mengembuskan napas, cukup tersengal. Mita masih mematut-matut kalung itu di tangannya. Senyum tak habis-habisnya tersungging dari sudut bibirnya. Pagi yang indah, gumamku. Aku menyandarkan punggungku pada sandaran kursi. Mita sudah selesai memasang kalung itu di lehernya. Liontin itu berkilau ditempa sinar matahari yang mulai meninggi. Aku hanya tersenyum. Pipiku memerah melihat gadis itu yang semakin hari bertambah cantik.








Bersambung—

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Cari Blog Ini