Minggu, 13 Mei 2012

“Biarkan Aku Mencintaimu” (bagian 6)



Aku Mencintaimu




Hari berlalu lebih cepat dari yang aku bayangkan. Jauh dari Mita selama berbulan-bulan, dan aku bisa melewatinya tanpa keluhan. Aku mengusap wajahku, mendengar pintu diketuk. Aku bergegas melangkah untuk membukanya.

“Kerja bagus! Papa bangga sekali. Siapa yang menyangka kau menang proyek itu.” Papa takjub menepuk-nepuk pundakku. Aku menyunggingkan bibir. Papa datang ke ruanganku hanya untuk menyampaikan hal itu. Sebelum pergi, Papa sempat berpesan, “Jangan terlalu diforsir! Malam ini seharusnya kau pergi berkencan, eh, setidaknya pergi bersenang-senang bersama temanmu.” Papa terkekeh, hampir kelepasan menyindirku tentang pacar. Aku balas menyeringai. Papa melangkah keluar.

Aku kembali terduduk di kursi empukku. Mengelus dahi yang berkerut. Aku merasa tidak punya kewajiban untuk merayakan malam tahun baru. Buat apa coba?


Malam beranjak semakin larut. Aku sedikit menyibak gorden, kerlap-kerlip menghias penjuru ibukota. Perasaan yang membuncah memenuhi langit yang entah terlihat begitu menawan, meski bintang enggan bersinar, tersaput awan tipis. Aku kembali melamun. Tiba-tiba saja perasaan itu datang. Mita. Nama itu sekarang memenuhi setiap ruang di otak sekaligus hatiku. Mengapa perasaan itu tak kunjung menghilang? Meski aku berulang kali berusaha membunuhnya. Aku tidak pernah tahu kapan persisnya segumpal rasa itu bersemayam di hatiku. Aku terlalu sibuk untuk menyadarinya. Rasanya, usahaku sekarang untuk menjauhi Mita terasa sangat sia-sia. Detik ini saja, dari jarak puluhan kilometer, aku kewalahan meredamnya. Apa aku harus pergi ke ujung dunia supaya aku bisa melupakannya? Tidak. Aku bukanlah seorang pengecut. Kenapa aku harus memupus seperti ini jikalau di depan sana masih banyak jalan.


Aku meraih kunci. Berjalan melewati ambang pintu. Melangkah ke dalam lift, menekan tombol dengan tidak sabar. Sedikit melirik arlojiku. Pukul 23.30. Aku memacu kecepatan mobil diatas rata-rata. Aku mengumpat berkali-kali. Sial! Jalanan macet. Aku mengaduh, seharusnya tadi aku mengambil jalan alternatif lain.

Aku semakin mendumal, tepat pukul duabelas aku baru sampai di apartemen. Aku berlarian melewati lantai basement. Lift penuh. Aku berinisiatif lewat tangga. Tidak peduli berapa anak tangga yang harus aku lewati. Satu tanganku berpegangan pada pembatas tangga, dan tangan yang satu menggenggam kembang api. Aku sedikit berjongkok ketika sudah sampai di lantai sepuluh. Napasku tersengal-sengal sekian detik. Tanpa menunggu banyak waktu, aku langsung mendatangi kamar Mita. Sedikit gugup saat mengetuk pintu. Sementara menunggu, aku acap kali membenahi rambut mohawk yang terasa kuyup oleh keringat. Aku juga merapikan kemejaku, terampil mengusap wajah yang basah. Aku tersenyum tanggung melihat Mita membuka pintu. Dia kaku menatapku. Dan aku, bodohnya, malah melamun. Sampai-sampai Mita menepuk pipiku. Aku kikuk, mencoba bersikap normal. Tidak banyak yang berubah. Dia masih seperti Mita yang kemarin.

“Ikut gue, yuk!” tanpa menunggu interupsinya, aku langsung saja menarik tangannya. Aku mengajaknya menikmati sisa-sisa malam tahun baru di gedung tertinggi apartemen.

“Yaela! Lo telat kali! Tuh, lihat. Jam duabelas udah lewat!” Mita sengaja mendekatkan jam tangannya. Aku menepis tangannya pelan.

“Nggak ada salahnya, kan?” Aku nyengir, menyerahkan satu kembang api padanya. Mita heran menerimanya. Matanya langsung berkaca-kaca.

“Kenapa? Ada yang salah sama kembang apinya?” tanyaku yang melihat Mita gemetar memegangnya. Dia menggeleng.

“Ng.. Nggak apa-apa. Eh, mana koreknya?” Mita sengaja mengalihkan perhatianku. Aku cepat merogoh saku.


Mita terlihat berbinar ketika cahaya kembang api menempa wajahnya. Aku sangat terpesona. Mita tertawa geli ketika percik api kecil mengenai tangannya. Sampai dia berteriak jengkel saat aku iseng menyodorkan kembang api milikku. Mita mendelik tajam. Aku mengacungkan dua jari tangan. Tanda berdamai.


Aku sangat menikmati detik-detik ini. Aku sampai tidak ingin memalingkan wajahku dari Mita. Entahlah, senyum yang mengembang di bibir tipisnya seakan mampu menghentikan duniaku. Mampu membuatku melayang.

Kami duduk bersebelahan di tepian gedung sejam kemudian. Dari atas sini masih terlihat hingar-bingar yang masih memenuhi setiap sudut kota. Disini, hanya senyap, tidak terdengar suara apapun dari atas gedung. Aku mencuri pandang, tepat sekali, saat itu juga persis ketika Mita menoleh kepadaku. Aku sempat gelagapan. Pura-pura sibuk untuk menyembunyikan pipiku yang memerah, grogi. Mita tiba-tiba merentangkan kedua tangannya. Satu lengannya terjulur tepat di depan wajahku. Aku menoleh lagi. Mita sedang menutup matanya. Aku akan menggunakan kesempatan ini sebaik mungkin. Aku sentuh tangannya, awalnya penuh keraguan, tetapi aku terus meneguhkan hati. Mita terkesiap membuka matanya, lantas menatapku heran. Aku harus mengatakannya sekarang!

“Aku mencintaimu, Mita—” ungkapku. Aku hampir tidak percaya. Entah darimana datangnya keberanian itu, yang tiba-tiba merasup setiap aliran darahku. Aku menggenggam jemarinya. Mita tertunduk.

“Maaf, tapi bukan aku orangnya. Aku yakin, kamu pasti akan mendapatkan wanita yang jauh lebih baik.” Mita menggigit bibir, kepalanya menggeleng tertahan. Aku tercengang demi mendengar penolakannya. Hatiku kembali menciut. Bagai sterofoam disiram bensin. Meleleh.

“Hanya—hanyalah Mita wanita terbaik yang pernah aku temui!” kilahku, sedikit melonggarkan tangannya. Mita menarik tangan yang tadi sempat aku genggam.

“Cukup, Mal! Aku nggak mau kita bertengkar cuma karena masalah sepele ini!” Mita berkata galak. Giliran aku yang tertunduk kaku. Aku mengusap tengkukku yang basah. Apa yang dia bilang? Cuma masalah sepele? Astaga, aku tidak tahu apa arti cinta dimata Mita! Se-rendah itu kah? Aku memang sepatutnya selalu memupus. Nyatanya, apa yang menjadi kecemasanku bukan isapan jempol belaka. Mita memang tidak merasakan apa yang aku rasa.


Mita bangkit berdiri lima menit kemudian. Aku sibuk mematung, membiarkan dia pergi tanpa berkata. Aku bisa mendengar derap langkahnya yang semakin menjauh. Aku mengusap wajah tegangku. Baiklah. Biar, biar saja cinta ini tumbuh sendiri tanpa aku memupuk harapan lagi.


Menjelang pagi, ketika matahari menyemburat kemerahan di ufuk timur, langit yang cerah menyambut pagi. Aku masih tergugu di tepian gedung. Entah berapa lama aku melamun. Aku merasa penolakan itu cukup menikam ulu hatiku. Aku tidak menyesal, aku bahkan sangat lega sudah mengatakannya. Aku akan tetap mencintainya. Dengan atau tanpa Mita menerimanya.


Aku mengucek mata, bahkan rasa kantukku ikut sirna. Aku bergegas bangkit, menepuk-nepuk celana yang kotor kena debu.

“Masih disini ternyata.” Seseorang berseru dari belakangku. Aku memutar tubuhku. Mengatupkan mulut rapat ketika aku tahu siapa yang datang.

“Samalam ketiduran disini,” jawabku tak kalah datar. Tidur? Mana sempat otakku memikirkan tidur, sementara hatiku sedang berkecamuk?


Mita melangkah mendekat. Aku beranikan untuk bersitatap dengannya. Mata indah itu sembab, kantung mata yang lebam.

“Pulang, gih!” usirnya halus. Aku terkesiap dari lamunanku.

“Lupakan soal tadi malam. Anggap saja aku sedang bergurau.” Aku menyeringai tipis. Mita menggeleng. Dahiku langsung berkerut seiring gelengannya. Aku mengibaskan tangan. Terburu-buru melangkah melewatinya.

“Ikmal!” serunya kemudian. Aku berhenti sejenak untuk menatapnya dari jarak cukup jauh.

“Ehm.. Aku mau bilang kalau—” Mita menggigit bibir, urung melanjutkan kalimatnya.


Apa? Hatiku tak sabar menanti kalimat selanjutnya.


“Hati-hati di jalan!” serunya lagi. Jadi hanya itu? Aku tersenyum kaku. Kembali melangkah. Mita mungkin belum mempercayaiku untuk menjadi— Ya, aku sadar betul. Aku baru mengenalnya setengah tahun yang lalu. Dan, ternyata enam bulan memang belum cukup untuk meyakinkan Mita. Entah, berapa lama lagi sampai Mita benar-benar mau membuka hatinya. Memberiku kesempatan itu.


Mobil yang aku kemudikan sudah keluar dari halaman apartemen. Pagi yang indah, gumamku. Sisa-sisa perayaan semalam masih buncah. Aku memperlambat laju mobil, menoleh keluar. Aku tersenyum melihat serombongan anak muda bercengkrama. Aku menelan ludah. Semalam, malam tahun baruku terasa hambar. Hanya ditemani dengan penolakan itu.

***


“Bagaimana acaramu semalam? Pasti seru, bukan?” Papa bertanya dari balik koran yang membentang menutupi wajahnya. Aku duduk di kursi sebelahnya. Menghela napas tertahan.

“Pasti berantakan, ya?” tebak Papa tanpa melirikku. Hanya berdehem, lalu membalik koran ke halaman selanjutnya.

“Ikmal ditolak mentah-mentah…” Aku sempat menceritakan hal ini kepada Papa tempo hari. Dan ia sangat mendukungku.

“Oh ya? Malang sekali gadis itu. Ah, jangan-jangan dia cuma jual mahal. Kau seharusnya tidak boleh menyerah begitu saja!” Papa serampangan melipat korannya, lantas membantingnya ke atas meja. Aku sedikit kaget.

“Dia bukan gadis sembarangan, Pa. Aku terlalu mencintainya. Jadi butuh waktu untuk—” Aku sengaja menghentikan kalimatku, menelan ludah.

“Kau belum mengenalkan gadis itu pada Papa!” sanggahnya galak. Aku memperbaiki posisi duduk.

“Diterima saja tidak. Kenapa harus mengenalkan kepada Papa?” sergahku sebal. Papa terkekeh menepuk bahuku.

“Baru begitu saja kau sudah menyerah!” Papa tergelak menertawakanku. Aku mendengus lirih.

“Kalian berdua sedang memperebutkan apa? Lagaknya seperti rapat DPR!” Mama datang dari balik pintu. Membawa dua cangkir teh di atas nampan.

“Ini, si Ikmal nembak—” Papa menutup mulut dengan tangannya setelah aku berdehem cukup keras. Bisa bahaya kalau Mama tahu tentang ini!

“Nembak? Emangnya nembak siapa?” Mama sibuk menatapku dan Papa secara bergantian.

“Nembak, emm, eh iya, nembak bikin KTP, Ma. Kemarin KTP-ku hilang.” Aku menjelaskan dengan berlepotan. Untungnya, Mama tidak tertarik lagi untuk bertanya. Mama kembali ke dapur. Aku mengelus dada. Papa pura-pura sibuk membuka lipatan koran, membacanya lagi. Papa sedang menutupi rasa malunya karena hampir keceplosan tadi.

“Pa, korannya terbalik!” Aku cengengesan berdiri. Papa buru-buru membenarkan posisi korannya.



Aku berjalan ke arah balkon. Angin pagi masih terasa hening. Aku berpangku tangan di atas besi pembatas balkon. Mataku menatap lurus ke depan. Aku sudah pasrah, biarlah takdir yang akan menentukan kemana hati ini akan berlabuh. Mita? Entahlah.







Bersambung—

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Cari Blog Ini