Aku
Mencintaimu
Hari
berlalu lebih cepat dari yang aku bayangkan. Jauh dari Mita selama
berbulan-bulan, dan aku bisa melewatinya tanpa keluhan. Aku mengusap wajahku,
mendengar pintu diketuk. Aku bergegas melangkah untuk membukanya.
“Kerja
bagus! Papa bangga sekali. Siapa yang menyangka kau menang proyek itu.” Papa
takjub menepuk-nepuk pundakku. Aku menyunggingkan bibir. Papa datang ke
ruanganku hanya untuk menyampaikan hal itu. Sebelum pergi, Papa sempat
berpesan, “Jangan terlalu diforsir! Malam ini seharusnya kau pergi berkencan,
eh, setidaknya pergi bersenang-senang bersama temanmu.” Papa terkekeh, hampir
kelepasan menyindirku tentang pacar. Aku balas menyeringai. Papa melangkah
keluar.
Aku kembali terduduk di kursi empukku. Mengelus dahi yang berkerut. Aku merasa tidak punya kewajiban untuk merayakan malam tahun baru. Buat apa coba?
Aku kembali terduduk di kursi empukku. Mengelus dahi yang berkerut. Aku merasa tidak punya kewajiban untuk merayakan malam tahun baru. Buat apa coba?
Malam
beranjak semakin larut. Aku sedikit menyibak gorden, kerlap-kerlip menghias
penjuru ibukota. Perasaan yang membuncah memenuhi langit yang entah terlihat
begitu menawan, meski bintang enggan bersinar, tersaput awan tipis. Aku kembali
melamun. Tiba-tiba saja perasaan itu datang. Mita. Nama itu sekarang memenuhi
setiap ruang di otak sekaligus hatiku. Mengapa
perasaan itu tak kunjung menghilang? Meski aku berulang kali berusaha
membunuhnya. Aku tidak pernah tahu kapan persisnya segumpal rasa itu bersemayam
di hatiku. Aku terlalu sibuk untuk menyadarinya. Rasanya, usahaku sekarang
untuk menjauhi Mita terasa sangat sia-sia. Detik ini saja, dari jarak puluhan
kilometer, aku kewalahan meredamnya. Apa
aku harus pergi ke ujung dunia supaya aku bisa melupakannya? Tidak. Aku
bukanlah seorang pengecut. Kenapa aku harus memupus seperti ini jikalau di
depan sana masih banyak jalan.
Aku
meraih kunci. Berjalan melewati ambang pintu. Melangkah ke dalam lift, menekan
tombol dengan tidak sabar. Sedikit melirik arlojiku. Pukul 23.30. Aku memacu
kecepatan mobil diatas rata-rata. Aku mengumpat berkali-kali. Sial! Jalanan
macet. Aku mengaduh, seharusnya tadi aku mengambil jalan alternatif lain.
Aku
semakin mendumal, tepat pukul duabelas aku baru sampai di apartemen. Aku
berlarian melewati lantai basement.
Lift penuh. Aku berinisiatif lewat tangga. Tidak peduli berapa anak tangga yang
harus aku lewati. Satu tanganku berpegangan pada pembatas tangga, dan tangan
yang satu menggenggam kembang api. Aku sedikit berjongkok ketika sudah sampai
di lantai sepuluh. Napasku tersengal-sengal sekian detik. Tanpa menunggu banyak
waktu, aku langsung mendatangi kamar Mita. Sedikit gugup saat mengetuk pintu.
Sementara menunggu, aku acap kali membenahi rambut mohawk yang terasa kuyup oleh keringat. Aku juga merapikan
kemejaku, terampil mengusap wajah yang basah. Aku tersenyum tanggung melihat
Mita membuka pintu. Dia kaku menatapku. Dan aku, bodohnya, malah melamun.
Sampai-sampai Mita menepuk pipiku. Aku kikuk, mencoba bersikap normal. Tidak
banyak yang berubah. Dia masih seperti Mita yang kemarin.
“Ikut
gue, yuk!” tanpa menunggu interupsinya, aku langsung saja menarik tangannya.
Aku mengajaknya menikmati sisa-sisa malam tahun baru di gedung tertinggi
apartemen.
“Yaela!
Lo telat kali! Tuh, lihat. Jam duabelas udah lewat!” Mita sengaja mendekatkan
jam tangannya. Aku menepis tangannya pelan.
“Nggak
ada salahnya, kan?” Aku nyengir, menyerahkan satu kembang api padanya. Mita
heran menerimanya. Matanya langsung berkaca-kaca.
“Kenapa?
Ada yang salah sama kembang apinya?” tanyaku yang melihat Mita gemetar
memegangnya. Dia menggeleng.
“Ng..
Nggak apa-apa. Eh, mana koreknya?” Mita sengaja mengalihkan perhatianku. Aku
cepat merogoh saku.
Mita
terlihat berbinar ketika cahaya kembang api menempa wajahnya. Aku sangat
terpesona. Mita tertawa geli ketika percik api kecil mengenai tangannya. Sampai
dia berteriak jengkel saat aku iseng menyodorkan kembang api milikku. Mita
mendelik tajam. Aku mengacungkan dua jari tangan. Tanda berdamai.
Aku
sangat menikmati detik-detik ini. Aku sampai tidak ingin memalingkan wajahku
dari Mita. Entahlah, senyum yang mengembang di bibir tipisnya seakan mampu menghentikan
duniaku. Mampu membuatku melayang.
Kami
duduk bersebelahan di tepian gedung sejam kemudian. Dari atas sini masih
terlihat hingar-bingar yang masih memenuhi setiap sudut kota. Disini, hanya
senyap, tidak terdengar suara apapun dari atas gedung. Aku mencuri pandang,
tepat sekali, saat itu juga persis ketika Mita menoleh kepadaku. Aku sempat
gelagapan. Pura-pura sibuk untuk menyembunyikan pipiku yang memerah, grogi.
Mita tiba-tiba merentangkan kedua tangannya. Satu lengannya terjulur tepat di
depan wajahku. Aku menoleh lagi. Mita sedang menutup matanya. Aku akan
menggunakan kesempatan ini sebaik mungkin. Aku sentuh tangannya, awalnya penuh
keraguan, tetapi aku terus meneguhkan hati. Mita terkesiap membuka matanya,
lantas menatapku heran. Aku harus mengatakannya sekarang!
“Aku
mencintaimu, Mita—” ungkapku. Aku hampir tidak percaya. Entah darimana
datangnya keberanian itu, yang tiba-tiba merasup setiap aliran darahku. Aku
menggenggam jemarinya. Mita tertunduk.
“Maaf,
tapi bukan aku orangnya. Aku yakin, kamu pasti akan mendapatkan wanita yang
jauh lebih baik.” Mita menggigit bibir, kepalanya menggeleng tertahan. Aku
tercengang demi mendengar penolakannya. Hatiku kembali menciut. Bagai sterofoam disiram bensin. Meleleh.
“Hanya—hanyalah
Mita wanita terbaik yang pernah aku temui!” kilahku, sedikit melonggarkan
tangannya. Mita menarik tangan yang tadi sempat aku genggam.
“Cukup,
Mal! Aku nggak mau kita bertengkar cuma karena masalah sepele ini!” Mita
berkata galak. Giliran aku yang tertunduk kaku. Aku mengusap tengkukku yang
basah. Apa yang dia bilang? Cuma masalah
sepele? Astaga, aku tidak tahu apa arti cinta dimata Mita! Se-rendah itu
kah? Aku memang sepatutnya selalu memupus. Nyatanya, apa yang menjadi
kecemasanku bukan isapan jempol belaka. Mita memang tidak merasakan apa yang
aku rasa.
Mita
bangkit berdiri lima menit kemudian. Aku sibuk mematung, membiarkan dia pergi
tanpa berkata. Aku bisa mendengar derap langkahnya yang semakin menjauh. Aku
mengusap wajah tegangku. Baiklah. Biar, biar saja cinta ini tumbuh sendiri
tanpa aku memupuk harapan lagi.
Menjelang
pagi, ketika matahari menyemburat kemerahan di ufuk timur, langit yang cerah
menyambut pagi. Aku masih tergugu di tepian gedung. Entah berapa lama aku
melamun. Aku merasa penolakan itu cukup menikam ulu hatiku. Aku tidak menyesal,
aku bahkan sangat lega sudah mengatakannya. Aku akan tetap mencintainya. Dengan
atau tanpa Mita menerimanya.
Aku
mengucek mata, bahkan rasa kantukku ikut sirna. Aku bergegas bangkit,
menepuk-nepuk celana yang kotor kena debu.
“Masih
disini ternyata.” Seseorang berseru dari belakangku. Aku memutar tubuhku.
Mengatupkan mulut rapat ketika aku tahu siapa yang datang.
“Samalam
ketiduran disini,” jawabku tak kalah datar. Tidur? Mana sempat otakku
memikirkan tidur, sementara hatiku sedang berkecamuk?
Mita
melangkah mendekat. Aku beranikan untuk bersitatap dengannya. Mata indah itu
sembab, kantung mata yang lebam.
“Pulang,
gih!” usirnya halus. Aku terkesiap dari lamunanku.
“Lupakan
soal tadi malam. Anggap saja aku sedang bergurau.” Aku menyeringai tipis. Mita
menggeleng. Dahiku langsung berkerut seiring gelengannya. Aku mengibaskan
tangan. Terburu-buru melangkah melewatinya.
“Ikmal!”
serunya kemudian. Aku berhenti sejenak untuk menatapnya dari jarak cukup jauh.
“Ehm..
Aku mau bilang kalau—” Mita menggigit bibir, urung melanjutkan kalimatnya.
Apa? Hatiku tak sabar menanti
kalimat selanjutnya.
“Hati-hati
di jalan!” serunya lagi. Jadi hanya itu?
Aku tersenyum kaku. Kembali melangkah. Mita mungkin belum mempercayaiku untuk
menjadi— Ya, aku sadar betul. Aku baru mengenalnya setengah tahun yang lalu.
Dan, ternyata enam bulan memang belum cukup untuk meyakinkan Mita. Entah,
berapa lama lagi sampai Mita benar-benar mau membuka hatinya. Memberiku
kesempatan itu.
Mobil
yang aku kemudikan sudah keluar dari halaman apartemen. Pagi yang indah,
gumamku. Sisa-sisa perayaan semalam masih buncah. Aku memperlambat laju mobil,
menoleh keluar. Aku tersenyum melihat serombongan anak muda bercengkrama. Aku
menelan ludah. Semalam, malam tahun baruku terasa hambar. Hanya ditemani dengan
penolakan itu.
***
“Bagaimana
acaramu semalam? Pasti seru, bukan?” Papa bertanya dari balik koran yang
membentang menutupi wajahnya. Aku duduk di kursi sebelahnya. Menghela napas
tertahan.
“Pasti
berantakan, ya?” tebak Papa tanpa melirikku. Hanya berdehem, lalu membalik
koran ke halaman selanjutnya.
“Ikmal
ditolak mentah-mentah…” Aku sempat menceritakan hal ini kepada Papa tempo hari.
Dan ia sangat mendukungku.
“Oh
ya? Malang sekali gadis itu. Ah, jangan-jangan dia cuma jual mahal. Kau
seharusnya tidak boleh menyerah begitu saja!” Papa serampangan melipat
korannya, lantas membantingnya ke atas meja. Aku sedikit kaget.
“Dia
bukan gadis sembarangan, Pa. Aku terlalu mencintainya. Jadi butuh waktu untuk—”
Aku sengaja menghentikan kalimatku, menelan ludah.
“Kau
belum mengenalkan gadis itu pada Papa!” sanggahnya galak. Aku memperbaiki
posisi duduk.
“Diterima
saja tidak. Kenapa harus mengenalkan kepada Papa?” sergahku sebal. Papa
terkekeh menepuk bahuku.
“Baru
begitu saja kau sudah menyerah!” Papa tergelak menertawakanku. Aku mendengus
lirih.
“Kalian
berdua sedang memperebutkan apa? Lagaknya seperti rapat DPR!” Mama datang dari
balik pintu. Membawa dua cangkir teh di atas nampan.
“Ini,
si Ikmal nembak—” Papa menutup mulut dengan tangannya setelah aku berdehem
cukup keras. Bisa bahaya kalau Mama tahu tentang ini!
“Nembak?
Emangnya nembak siapa?” Mama sibuk menatapku dan Papa secara bergantian.
“Nembak,
emm, eh iya, nembak bikin KTP, Ma. Kemarin KTP-ku hilang.” Aku menjelaskan
dengan berlepotan. Untungnya, Mama tidak tertarik lagi untuk bertanya. Mama
kembali ke dapur. Aku mengelus dada. Papa pura-pura sibuk membuka lipatan
koran, membacanya lagi. Papa sedang menutupi rasa malunya karena hampir
keceplosan tadi.
“Pa,
korannya terbalik!” Aku cengengesan berdiri. Papa buru-buru membenarkan posisi
korannya.
Aku
berjalan ke arah balkon. Angin pagi masih terasa hening. Aku berpangku tangan
di atas besi pembatas balkon. Mataku menatap lurus ke depan. Aku sudah pasrah,
biarlah takdir yang akan menentukan kemana hati ini akan berlabuh. Mita? Entahlah.
Bersambung—
Tidak ada komentar:
Posting Komentar