Aku
menengok ke arah tikungan di depan rumahku, sudah dua kali aku melakukannya.
Jam di tanganku sudah hampir menunjukkan jam tujuh pagi. Sementara jarak menuju
ke sekolah membutuhkan waktu lima belas menit. Aku mendesah, menggerutu karena
Farish tak kunjung datang menjemput. Pikiranku melayang membayangkan hukuman
apa yang menunggu di sekolah. Gelisah. Pengen bolos, tapi, ah tidak mungkin.
Aku sedikit lega melihat Farish datang, nafasnya tersengal-sengal.
“Maaf,
yank. Tadi bangun kesiangan.” Ucapnya menyerahkan helm kepadaku.
“Huh,
kebiasaan nonton bola melulu.” Aku membonceng dengan posisi menyamping. Dia
hanya nyengir. Sepanjang jalan menuju sekolah, Farish memacu motor dengan
kecepatan diatas rata-rata. Aku terpaksa mengeratkan peganganku. Aku menelan
ludah, semua lubang di jalan tidak ia pedulikan. Aku komat-kamit membaca doa,
takut jika mati konyol, lulus SMA saja belum!
Yang
menjadi ketakutanku terjadi juga. Semua pintu gerbang di utara dan selatan
sudah dalam keadaan tergembok. Aku menepuk jidat, Farish malah terlihat santai.
Aku mencubit lengannya, “Gimana dong? Itu guru STP2K ada di halaman depan
semua!” Aku mendesis pelan. Pak satpam membukakan gerbang utara, aku sedikit
lega, banyak juga murid yang terlambat. Sedikit takut aku berjalan,
sampai-sampai merinding melihat tatapan Bu Lilik, guru yang juga mengampu mapel
BK.
“Ayo
lepas jaketnya!” Pak Dibyo menegur. Aku buru-buru melepas jaketku, Farish juga.
Tanpa ba-bi-bu, Pak Ranto langsung mengambil kontak motor yang masih
menggantung. Akhirnya, semua murid yang terlambat disuruh berkumpul di lapangan
rumput. Kami diberi aba-aba untuk membuat barisan rapi lima berbanjar. Aku
mengeluh, melirik galak ke arah Farish. Aku sudah tahu hukuman apa yang akan
diberlakukan untuk murid-murid yang terlambat. Apalagi kalau bukan berlari mengelilingi lapangan sebanyak lima
putaran? Hei! Lapangan itu tidak selebar lapangan basket. Ini seukuran
lapangan sepakbola! Aku mendumal dalam hati, mengutuk Pak Makruf yang
menjatuhkan hukuman ini, dan tentu saja mengutuk Farish.
Kami
semua—murid yang terlambat—berlari mengitari lapangan. Aku berlari di samping
Farish, sempat juga bergandengan tangan, melepas gandengan ketika Pak Makruf
sengaja mendehem. Baru tiga kali putaran saja aku sudah loyo. Bagaimana tidak? Tadi pagi saja aku
belum sarapan. Farish meraih tanganku, berusaha menarikku pada putaran keempat.
Aku tergugu, teringat sesuatu, kembali menatap punggung Farish yang berlari
didepanku. Bukankah dia mempunyai
penyakit asma? Aku tidak yakin dia baik-baik saja. Berlari mengelilingi
lapangan sebesar ini berbeda dengan urusan dia begadang setiap malam untuk
menonton bola. Dalam hitungan sekejap, sepersekian detik, Farish ambruk, jatuh
tersuruk. Aku meneriakinya, panik bukan main, semua murid yang ada di lapangan
bergegas menghampiri. Aku mendekap tubuh Farish, menangis, aku menyesal, kenapa tadi aku lupa soal penyakit asma?
Mengapa aku membiarkan Farish ikut menjalani hukuman ini?
Pak Makruf dan Pak Pitoyo segera datang, menyibak kerumunan, berseru untuk menggotong Farish ke dalam mobil milik Pak Pitoyo untuk dibawa ke puskesmas terdekat. Tanganku gemetar menyentuh bibirku, aku ingin ikut, tapi Bu Lilik mencegahku. Aku sempat protes, aku ini pacarnya, kenapa tidak boleh mendampingi?
Setelah gagal merengek didepan Bu Lilik, akhirnya aku hanya mengalah. Siapa juga sih yang bisa melawan setiap perintahnya? Sepanjang jalan menuju kelas, aku menangis sesenggukan, tanganku menenteng dua buah jaket, sedih teringat keadaan Farish sekarang bagaimana. Berjalan gontai memasuki kelas, semua teman-temanku menatapku, bersiap mencibir, barangkali tadi melihat aku dihukum. Aku tidak menghiraukan, tetap berjalan, menuju bangku yang ada di deretan paling belakang. Aku sedang tidak berminat untuk menanggapi pertanyaan ini-itu. Lebih memilih menutup kepala dengan jaket, terpekur diatas meja, menangis menghadap ke tembok. Teman-temanku sibuk mendekat, membelai rambut panjangku, bertanya-tanya dengan cemas.
Pak Makruf dan Pak Pitoyo segera datang, menyibak kerumunan, berseru untuk menggotong Farish ke dalam mobil milik Pak Pitoyo untuk dibawa ke puskesmas terdekat. Tanganku gemetar menyentuh bibirku, aku ingin ikut, tapi Bu Lilik mencegahku. Aku sempat protes, aku ini pacarnya, kenapa tidak boleh mendampingi?
Setelah gagal merengek didepan Bu Lilik, akhirnya aku hanya mengalah. Siapa juga sih yang bisa melawan setiap perintahnya? Sepanjang jalan menuju kelas, aku menangis sesenggukan, tanganku menenteng dua buah jaket, sedih teringat keadaan Farish sekarang bagaimana. Berjalan gontai memasuki kelas, semua teman-temanku menatapku, bersiap mencibir, barangkali tadi melihat aku dihukum. Aku tidak menghiraukan, tetap berjalan, menuju bangku yang ada di deretan paling belakang. Aku sedang tidak berminat untuk menanggapi pertanyaan ini-itu. Lebih memilih menutup kepala dengan jaket, terpekur diatas meja, menangis menghadap ke tembok. Teman-temanku sibuk mendekat, membelai rambut panjangku, bertanya-tanya dengan cemas.
“Fel,
kok nangis? Kenapa, pasti dimarahin sama Bu Lilik ya?” Dewi bertanya, serba
ingin tahu.
Aku
terus-terusan menangis, tidak menanggapi, membiarkan mereka penasaran sendiri.
Aku sedang sedih memikirkan Farish. Aku menolak saat Dewi mengajak pergi ke
kantin. Aku duduk di depan kelas, memandangi kelas Farish dari kejauhan.
Biasanya dia akan berjalan ke arahku. Tetapi
sekarang? Aku menyeka pipiku.
Saat
istirahat kedua aku memilih untuk menyambangi hall. Siapa tahu Farish sudah kembali ke sekolah, pikirku. Aku
duduk di salah satu kursi, menghela nafas, mengaitkan jari-jariku, menunggu
dengan cemas. Jam di hall menunjukkan pukul dua belas tepat. Ayolah, cepat
datang, ah sial! Bel masuk terlanjur berbunyi. Dengan terpaksa aku meninggalkan
hall, aku ingat jika jam selanjutnya
adalah pelajaran Bu Endang—guru yang paling disegani karena kegalakannya. Aku
berjalan lunglai melewati pintu kelas. Baiklah. Aku sangat yakin jika Farish
akan baik-baik saja. Selama dua tahun lebih kami berpacaran, Farish bukan
tipikal orang yang suka mengeluh, selalu tegar. Malahan selama ini aku yang
banyak mengeluh, merajuk, merengek. Aku memang belum bisa se-dewasa Farish, aku
selalu menghadapi masalah dengan gegabah. Farish juga tidak pernah memarahiku,
jika dia jengkel atau kesal kepadaku cukup dengan mencubit pipiku saja.
Aku menghembuskan nafas pelan, lega sekali, akhirnya bel pulang berbunyi juga, setelah hampir dua jam mental dan nyali menciut. Kelas ditutup dengan doa bersama. Aku biasanya keluar paling terakhir, sangat malas jika harus berjubel-jubelan. Setelah cukup lengang, aku keluar dari kelas seraya menenteng jaket Farish. Aku sangat terkejut ketika melihat Farish duduk manis didepan kelasku.
Aku menghembuskan nafas pelan, lega sekali, akhirnya bel pulang berbunyi juga, setelah hampir dua jam mental dan nyali menciut. Kelas ditutup dengan doa bersama. Aku biasanya keluar paling terakhir, sangat malas jika harus berjubel-jubelan. Setelah cukup lengang, aku keluar dari kelas seraya menenteng jaket Farish. Aku sangat terkejut ketika melihat Farish duduk manis didepan kelasku.
“Kamu
nggak apa-apa kan?” Aku dengan panik mendekatinya.
“Lihat
sendiri, nggak apa-apa kan?” Farish tersenyum membuka tangannya, berdiri dari
duduknya.
“Iya
sih.” Aku mengecek pipi, bahu dan tangannya. Aku melihat bekas infus di
pergelangan tangannya.
“Gimana
rasanya disuntik?” Aku menyeringai. Dia
kan paling takut dengan jarum suntik?
“Sakit
lah. Mending pilih digigit kamu aja deh.” Farish bergurau. Aku mendorong
pipinya pelan.
“Pulang
sekarang aja yuk.” Farish meraih tanganku, menggandengku. Kami berjalan menuju
tempat parkir. Sekolah sudah sepi, hanya ada beberapa anggota OSIS yang
lalu-lalang, entahlah, barangkali sedang mempersiapkan classmeeting untuk hari
senin.
“Kamu
yakin bisa?” Aku menarik lengan Farish yang hendak menaiki motornya.
“Kamu
nggak percaya sama aku?” Farish menoleh, mengernyitkan dahi.
“Ya,
bukannya gitu. Aku aja deh yang nyetir.” Aku memaksa dia pindah posisi. Farish
melotot.
“Aduh,
nggak lucu dong, yank. Udah, biar aku aja.” Farish tertawa kecil, lalu
menyerahkan helm kepadaku.
“Awas,
pelan-pelan tapi.” Aku menepuk pundaknya. Farish mengacungkan jempolnya.
“Kamu
tadi di puskesmas diapain aja?” tanyaku saat berhenti di lampu merah.
“Di
cium sama suster cantik!” Jawabnya santai. Aku mencubit perutnya, “Ih, nggak
lucu!”
“Tadi
cuma di infus kok, yank. Terus sempet tidur tiga jam.” Farish menyalakan mesin
motornya, lampu sudah berwarna hijau. Syukurlah ternyata dia tidak
kenapa-kenapa. Kalau sampai terjadi sesuatu dengan Farish, aku tidak bisa
memaafkan diriku sendiri.
Handphone-ku
bergetar sejak tadi, aku tahu itu panggilan dari Farish. Tapi, ah, bagaimana
mungkin mengangkat telepon dalam keadaan tanggung seperti ini? Tanganku saja
berlepotan busa, piring-piring yang kotor masih banyak, belum lagi mencuci
pakaian dua ember besar. Aku menghembuskan nafas pelan, menoleh ke arah hp yang
masih terus saja berkedip. Nanti-nanti saja aku menelepon balik, sekarang
kembali fokus ke piring kotor yang ada di tanganku. Begini kalau weekend tiba, tidak leluasa berkomunikasi
dengan Farish.
Selesai
mencuci piring, aku bergegas merendam pakaian-pakaian kotorku. Aku menoleh
lagi, melipat dahi, hp-ku bergetar, entah sudah berapa ratus Farish mencoba
meneleponku. Aku mengangkat telepon itu, memakai headset di kedua telinga,
seraya tangan sibuk mengucek cucian.
“Aduh,
yank, maaf baru aku angkat. Tadi sibuk nyuci piring, sekarang lanjut nyuci
baju. Hah? Apa? Oh, udah. Kamu makan belum? Buat istirahat aja. Jangan nonton
bola melulu!”
Farish
langsung mengakhiri panggilan, katanya, takut mengganggu aku yang sedang sibuk.
Aku mendesah, sedikit kecewa. Baiklah. Lebih baik sekarang menyelesaikan
pekerjaanku dahulu.
Aku
mulai beranjak, mengangkat dua ember ke tiang jemuran. Aku mengibaskan pakaian
yang basah, bergidik, terkena percikan. Handphone yang ada di saku celanaku
bergetar. Farish? Tidak mungkin. Aku
menatap layar sekilas, tersenyum kecut, Dika?
Begitu tahu panggilan itu dari dia, aku jadi malas mengangkat. Dika adalah
batu sandungan terbesar yang sewaktu-waktu bisa mengancam hubunganku dengan
Farish. Dika selalu mengejarku, meskipun sudah aku tolak mentah-mentah, tetap
saja dia keukeuh. Aku sampai sebal sendiri, untung saja Farish sangat mengerti
kondisi ini. Farish malah berkata, “Waduh, aku punya saingan baru. Tapi, ah,
masih gantengan aku dong!”
Aku
terkesiap, tadi sempat melamun sebentar. Mataku kembali menatap layar yang
berkedip. Jika diberi pilihan, aku ingin sekali mengutuk Dika menjadi kodok!
Mau tidak mau, aku sengaja menon-aktifkan handphone-ku. Peduli setan dengan
makhluk itu.
Aku
mendengar suara pintu diketuk, beranjak dari dudukku, lalu membukanya. Aku
sampai menepuk-nepuk pipiku dua kali, ini
mimpi atau apa? Lihatlah siapa yang datang membawa setangkai mawar merah.
Aku kembali menutup pintu dengan cepat.
“Felisa,
kok malah ditutup sih?” Dika mencoba mengetuk pintu lagi dengan nada kecewa.
“Pulang
aja sana. Gue nggak suka mawar merah!” Aku berseru dari balik pintu,
mengusirnya. Sial bagiku, Dika tetap tidak mau pergi.
“Mau
lo apa sih?” tanyaku jengkel.
“Cuma
mau ngasih bunga ini kok. Masa sih cewek dikasih mawar nggak suka?” Dika
seperti sedang memohon aku mau membukakan pintu. Aku memutar bola mata dengan
mangkel. Aku memang suka mawar merah, jika itu pemberian Farish. Aku membuka
pintu, akhirnya menerima bunga itu.
“Udah
gue terima. Sana pulang!” Aku mengusirnya, mengarahkan telunjuk ke pagar depan
rumah. Dika tersenyum, berjalan mundur, mendadah, bahkan memperagakan ‘kiss bye’.
Aku bergidik ngeri melihat dia ke-pede-an.
Bersambung...
Tidak ada komentar:
Posting Komentar