Sabtu, 05 Mei 2012

Semua Tentang Kita : part 1



Aku menengok ke arah tikungan di depan rumahku, sudah dua kali aku melakukannya. Jam di tanganku sudah hampir menunjukkan jam tujuh pagi. Sementara jarak menuju ke sekolah membutuhkan waktu lima belas menit. Aku mendesah, menggerutu karena Farish tak kunjung datang menjemput. Pikiranku melayang membayangkan hukuman apa yang menunggu di sekolah. Gelisah. Pengen bolos, tapi, ah tidak mungkin. Aku sedikit lega melihat Farish datang, nafasnya tersengal-sengal.

“Maaf, yank. Tadi bangun kesiangan.” Ucapnya menyerahkan helm kepadaku.

“Huh, kebiasaan nonton bola melulu.” Aku membonceng dengan posisi menyamping. Dia hanya nyengir. Sepanjang jalan menuju sekolah, Farish memacu motor dengan kecepatan diatas rata-rata. Aku terpaksa mengeratkan peganganku. Aku menelan ludah, semua lubang di jalan tidak ia pedulikan. Aku komat-kamit membaca doa, takut jika mati konyol, lulus SMA saja belum!


Yang menjadi ketakutanku terjadi juga. Semua pintu gerbang di utara dan selatan sudah dalam keadaan tergembok. Aku menepuk jidat, Farish malah terlihat santai. Aku mencubit lengannya, “Gimana dong? Itu guru STP2K ada di halaman depan semua!” Aku mendesis pelan. Pak satpam membukakan gerbang utara, aku sedikit lega, banyak juga murid yang terlambat. Sedikit takut aku berjalan, sampai-sampai merinding melihat tatapan Bu Lilik, guru yang juga mengampu mapel BK.

“Ayo lepas jaketnya!” Pak Dibyo menegur. Aku buru-buru melepas jaketku, Farish juga. Tanpa ba-bi-bu, Pak Ranto langsung mengambil kontak motor yang masih menggantung. Akhirnya, semua murid yang terlambat disuruh berkumpul di lapangan rumput. Kami diberi aba-aba untuk membuat barisan rapi lima berbanjar. Aku mengeluh, melirik galak ke arah Farish. Aku sudah tahu hukuman apa yang akan diberlakukan untuk murid-murid yang terlambat. Apalagi kalau bukan berlari mengelilingi lapangan sebanyak lima putaran? Hei! Lapangan itu tidak selebar lapangan basket. Ini seukuran lapangan sepakbola! Aku mendumal dalam hati, mengutuk Pak Makruf yang menjatuhkan hukuman ini, dan tentu saja mengutuk Farish.

Kami semua—murid yang terlambat—berlari mengitari lapangan. Aku berlari di samping Farish, sempat juga bergandengan tangan, melepas gandengan ketika Pak Makruf sengaja mendehem. Baru tiga kali putaran saja aku sudah loyo. Bagaimana tidak? Tadi pagi saja aku belum sarapan. Farish meraih tanganku, berusaha menarikku pada putaran keempat. Aku tergugu, teringat sesuatu, kembali menatap punggung Farish yang berlari didepanku. Bukankah dia mempunyai penyakit asma? Aku tidak yakin dia baik-baik saja. Berlari mengelilingi lapangan sebesar ini berbeda dengan urusan dia begadang setiap malam untuk menonton bola. Dalam hitungan sekejap, sepersekian detik, Farish ambruk, jatuh tersuruk. Aku meneriakinya, panik bukan main, semua murid yang ada di lapangan bergegas menghampiri. Aku mendekap tubuh Farish, menangis, aku menyesal, kenapa tadi aku lupa soal penyakit asma? Mengapa aku membiarkan Farish ikut menjalani hukuman ini?

Pak Makruf dan Pak Pitoyo segera datang, menyibak kerumunan, berseru untuk menggotong Farish ke dalam mobil milik Pak Pitoyo untuk dibawa ke puskesmas terdekat. Tanganku gemetar menyentuh bibirku, aku ingin ikut, tapi Bu Lilik mencegahku. Aku sempat protes, aku ini pacarnya, kenapa tidak boleh mendampingi?

Setelah gagal merengek didepan Bu Lilik, akhirnya aku hanya mengalah. Siapa juga sih yang bisa melawan setiap perintahnya? Sepanjang jalan menuju kelas, aku menangis sesenggukan, tanganku menenteng dua buah jaket, sedih teringat keadaan Farish sekarang bagaimana. Berjalan gontai memasuki kelas, semua teman-temanku menatapku, bersiap mencibir, barangkali tadi melihat aku dihukum. Aku tidak menghiraukan, tetap berjalan, menuju bangku yang ada di deretan paling belakang. Aku sedang tidak berminat untuk menanggapi pertanyaan ini-itu. Lebih memilih menutup kepala dengan jaket, terpekur diatas meja, menangis menghadap ke tembok. Teman-temanku sibuk mendekat, membelai rambut panjangku, bertanya-tanya dengan cemas.

“Fel, kok nangis? Kenapa, pasti dimarahin sama Bu Lilik ya?” Dewi bertanya, serba ingin tahu.


Aku terus-terusan menangis, tidak menanggapi, membiarkan mereka penasaran sendiri. Aku sedang sedih memikirkan Farish. Aku menolak saat Dewi mengajak pergi ke kantin. Aku duduk di depan kelas, memandangi kelas Farish dari kejauhan. Biasanya dia akan berjalan ke arahku. Tetapi sekarang? Aku menyeka pipiku.


Saat istirahat kedua aku memilih untuk menyambangi hall. Siapa tahu Farish sudah kembali ke sekolah, pikirku. Aku duduk di salah satu kursi, menghela nafas, mengaitkan jari-jariku, menunggu dengan cemas. Jam di hall menunjukkan pukul dua belas tepat. Ayolah, cepat datang, ah sial! Bel masuk terlanjur berbunyi. Dengan terpaksa aku meninggalkan hall, aku ingat jika jam selanjutnya adalah pelajaran Bu Endang—guru yang paling disegani karena kegalakannya. Aku berjalan lunglai melewati pintu kelas. Baiklah. Aku sangat yakin jika Farish akan baik-baik saja. Selama dua tahun lebih kami berpacaran, Farish bukan tipikal orang yang suka mengeluh, selalu tegar. Malahan selama ini aku yang banyak mengeluh, merajuk, merengek. Aku memang belum bisa se-dewasa Farish, aku selalu menghadapi masalah dengan gegabah. Farish juga tidak pernah memarahiku, jika dia jengkel atau kesal kepadaku cukup dengan mencubit pipiku saja.

Aku menghembuskan nafas pelan, lega sekali, akhirnya bel pulang berbunyi juga, setelah hampir dua jam mental dan nyali menciut. Kelas ditutup dengan doa bersama. Aku biasanya keluar paling terakhir, sangat malas jika harus berjubel-jubelan. Setelah cukup lengang, aku keluar dari kelas seraya menenteng jaket Farish. Aku sangat terkejut ketika melihat Farish duduk manis didepan kelasku.

“Kamu nggak apa-apa kan?” Aku dengan panik mendekatinya.

“Lihat sendiri, nggak apa-apa kan?” Farish tersenyum membuka tangannya, berdiri dari duduknya.

“Iya sih.” Aku mengecek pipi, bahu dan tangannya. Aku melihat bekas infus di pergelangan tangannya.


“Gimana rasanya disuntik?” Aku menyeringai. Dia kan paling takut dengan jarum suntik?

“Sakit lah. Mending pilih digigit kamu aja deh.” Farish bergurau. Aku mendorong pipinya pelan.

“Pulang sekarang aja yuk.” Farish meraih tanganku, menggandengku. Kami berjalan menuju tempat parkir. Sekolah sudah sepi, hanya ada beberapa anggota OSIS yang lalu-lalang, entahlah, barangkali sedang mempersiapkan classmeeting untuk hari senin.


“Kamu yakin bisa?” Aku menarik lengan Farish yang hendak menaiki motornya.

“Kamu nggak percaya sama aku?” Farish menoleh, mengernyitkan dahi.

“Ya, bukannya gitu. Aku aja deh yang nyetir.” Aku memaksa dia pindah posisi. Farish melotot.

“Aduh, nggak lucu dong, yank. Udah, biar aku aja.” Farish tertawa kecil, lalu menyerahkan helm kepadaku.

“Awas, pelan-pelan tapi.” Aku menepuk pundaknya. Farish mengacungkan jempolnya.


“Kamu tadi di puskesmas diapain aja?” tanyaku saat berhenti di lampu merah.

“Di cium sama suster cantik!” Jawabnya santai. Aku mencubit perutnya, “Ih, nggak lucu!”

“Tadi cuma di infus kok, yank. Terus sempet tidur tiga jam.” Farish menyalakan mesin motornya, lampu sudah berwarna hijau. Syukurlah ternyata dia tidak kenapa-kenapa. Kalau sampai terjadi sesuatu dengan Farish, aku tidak bisa memaafkan diriku sendiri.



Handphone-ku bergetar sejak tadi, aku tahu itu panggilan dari Farish. Tapi, ah, bagaimana mungkin mengangkat telepon dalam keadaan tanggung seperti ini? Tanganku saja berlepotan busa, piring-piring yang kotor masih banyak, belum lagi mencuci pakaian dua ember besar. Aku menghembuskan nafas pelan, menoleh ke arah hp yang masih terus saja berkedip. Nanti-nanti saja aku menelepon balik, sekarang kembali fokus ke piring kotor yang ada di tanganku. Begini kalau weekend tiba, tidak leluasa berkomunikasi dengan Farish.


Selesai mencuci piring, aku bergegas merendam pakaian-pakaian kotorku. Aku menoleh lagi, melipat dahi, hp-ku bergetar, entah sudah berapa ratus Farish mencoba meneleponku. Aku mengangkat telepon itu, memakai headset di kedua telinga, seraya tangan sibuk mengucek cucian.

“Aduh, yank, maaf baru aku angkat. Tadi sibuk nyuci piring, sekarang lanjut nyuci baju. Hah? Apa? Oh, udah. Kamu makan belum? Buat istirahat aja. Jangan nonton bola melulu!”

Farish langsung mengakhiri panggilan, katanya, takut mengganggu aku yang sedang sibuk. Aku mendesah, sedikit kecewa. Baiklah. Lebih baik sekarang menyelesaikan pekerjaanku dahulu.


Aku mulai beranjak, mengangkat dua ember ke tiang jemuran. Aku mengibaskan pakaian yang basah, bergidik, terkena percikan. Handphone yang ada di saku celanaku bergetar. Farish? Tidak mungkin. Aku menatap layar sekilas, tersenyum kecut, Dika? Begitu tahu panggilan itu dari dia, aku jadi malas mengangkat. Dika adalah batu sandungan terbesar yang sewaktu-waktu bisa mengancam hubunganku dengan Farish. Dika selalu mengejarku, meskipun sudah aku tolak mentah-mentah, tetap saja dia keukeuh. Aku sampai sebal sendiri, untung saja Farish sangat mengerti kondisi ini. Farish malah berkata, “Waduh, aku punya saingan baru. Tapi, ah, masih gantengan aku dong!”


Aku terkesiap, tadi sempat melamun sebentar. Mataku kembali menatap layar yang berkedip. Jika diberi pilihan, aku ingin sekali mengutuk Dika menjadi kodok! Mau tidak mau, aku sengaja menon-aktifkan handphone-ku. Peduli setan dengan makhluk itu.


Aku mendengar suara pintu diketuk, beranjak dari dudukku, lalu membukanya. Aku sampai menepuk-nepuk pipiku dua kali, ini mimpi atau apa? Lihatlah siapa yang datang membawa setangkai mawar merah. Aku kembali menutup pintu dengan cepat.

“Felisa, kok malah ditutup sih?” Dika mencoba mengetuk pintu lagi dengan nada kecewa.

“Pulang aja sana. Gue nggak suka mawar merah!” Aku berseru dari balik pintu, mengusirnya. Sial bagiku, Dika tetap tidak mau pergi.

“Mau lo apa sih?” tanyaku jengkel.

“Cuma mau ngasih bunga ini kok. Masa sih cewek dikasih mawar nggak suka?” Dika seperti sedang memohon aku mau membukakan pintu. Aku memutar bola mata dengan mangkel. Aku memang suka mawar merah, jika itu pemberian Farish. Aku membuka pintu, akhirnya menerima bunga itu.

“Udah gue terima. Sana pulang!” Aku mengusirnya, mengarahkan telunjuk ke pagar depan rumah. Dika tersenyum, berjalan mundur, mendadah, bahkan memperagakan ‘kiss bye’. Aku bergidik ngeri melihat dia ke-pede-an.






Bersambung...

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Cari Blog Ini