Minggu, 13 Mei 2012

Semua Tentang Kita | part 3


***


“Kok, baru pulang Fel?” Mama sudah berdiri di depan pintu, alisnya naik menatapku. Aku sangat yakin Mama sempat melihat Farish.

“Tadi kejebak hujan di sekolah, Ma.” Aku menggaruk kepala. Berjalan mengendap-endap di samping Mama. Aku sedikit lega, setidaknya tidak kena omelan karena baru pulang pukul lima sore.


Saat berjalan menuju kamar, aku melihat Icha sedang makan puding di meja makan. Aku menyeringai jahil, seraya menenteng dua sepatu, aku mendekatinya.

“Enak nih.” Aku mencolek pipi tembemnya. Icha menatapku galak.

“Nggak enak!” Icha mulai gusar, mendekap piring pudingnya dengan kedua tangannya.

“Ehm, kalau nggak enak, sini, buat kak Fel aja.” Aku hampir mendapatkan kesempatan mencicipi puding itu.

“Mama, Mama! Kak Fel nakal nih.” Icha berteriak-teriak, mengamuk, memukul-mukulkan sendok plastiknya ke tanganku, mengusir. Aku menjulurkan lidah, mencibirnya. Icha malah mengayunkan kakinya. Satu sendal jepitnya melayang ke wajahku. Aku mengaduh. Sendal itu bukan dari gabus, tetapi dari kayu! Aku berlalu dengan sebal, ingin menjitak bocah kecil itu, tidak jadi, Mama terlanjur datang, aku hanya nyengir lalu kembali berjalan ke arah kamar. Keningku cukup nyut-nyutan terkena lemparan sendal tuyul itu. Besok-besok aku harus menggunakan cara yang lebih aman. Seperti halnya memakai helm anti pecah.


Icha sangat berpengaruh dalam hidupku. Anak kecil yang baru berumur lima tahun itu sangat menyebalkan. Dan lagi-lagi aku yang diwajibkan untuk mengalah. Sama seperti pada malam-malam sebelumnya, malam ini pintu kamarku diketuk lagi. Aku membuka pintu dengan malas.

“Apalagi?” Aku mendelik, Icha berdiri di depan kamarku, tangannya mendekap boneka elmo. Sebenarnya boneka itu milikku yang beberapa hari lalu dirampas secara paksa. Dengan berat hati aku merelakan, meskipun itu pemberian Farish.

“Mau apalagi?” Aku bertanya sekali lagi. Icha bukannya menjawab, malah asyik menggigit jarinya.

“Ih, nggak boleh. Nanti bisa cacingan hlo!” Aku membungkuk, mensejajari tinggi badan Icha, lantas menarik paksa jarinya dari dalam mulutnya.
“Di kamar kak Fel ada apa aja?” Icha membulatkan mata, memaksa melihat kamarku dari sela kakiku. Kamarku dikira toserba kali ya? Aku menggelengkan kepala, pasrah, terpaksa membiarkan Icha masuk sebelum mulut mungilnya berkoar-koar. Icha lincah menyentuhi satu per satu barangku. Mulai dari jam weker hingga boneka-boneka, entah malam ini boneka apa yang akan dirampasnya. Aku hanya melirik polah-tingkahnya dari meja belajarku, mengibaskan tangan, kembali fokus ke layar laptop.

Aku baru akan peduli kalau sampai Icha berhasil merobohkan kamarku. Dengan begitu aku mempunyai modus untuk melarang tuyul itu masuk kamarku lagi. Beberapa menit kemudian, aku tidak mendengar anak itu rusuh mengobrak-abrik benda lagi. Kali ini aku menoleh, pantas saja Icha sejak tadi diam saja, orang dia sibuk makan coklat. Apa? Coklat? Aku cepat mendekatinya, merampas coklat itu dari tangannya. Percuma saja, tinggal bungkusnya yang tersisa. Aku tak habis pikir bagaimana Icha bisa menemukannya, padahal coklat itu sudah kusimpan di tempat yang paling aman. Emang dasarnya udah tuyul, mau disimpan dimana aja tetap ketahuan. Aku meraih tisu, mengelap bibir dan tangan Icha yang berlepotan. Jangan sampai Mama tahu jika Icha makan coklat lagi, bisa-bisa aku yang remuk. Setelah bersih, aku terpaksa menggendong Icha keluar dari kamarku, malam sudah larut. Aku sempat kesal, bagaimana tidak? Icha keluar dari kamarku menenteng dua boneka. Itu artinya bonekaku berkurang satu lagi.



***


“Mamaaa..” Icha berseru manja, matanya mengerjap.

“Apa sayang? Diapain lagi sama kak Fel?” Mama berteriak dari dapur. Kok aku? Aku menatap Icha galak, meringis, kedua tanganku terjulur, mendesah seperti mak lampir. Icha mengerucutkan bibirnya, menangis kencang, melempar apa-saja yang ada didekatnya. Untung aku masih bisa menghindar, dan untungnya semua alat makan Icha terbuat dari plastik melamin.

“Aduh, kenapa ribut-ribut?” Mama berjalan dari arah dapur, membawa dua gelas susu diatas nampan. Mama panik begitu melihat Icha menangis.

“Icha diapain sama kak Fel?” Mama menatapku tak kalah galak.
“Ditakut-takutin pakai itu!” Icha menunjuk tanganku, lebih tepatnya menunjuk kuku-ku yang panjang.

“Icha bohong tuh, Ma. Udah ah, Fel berangkat dulu ya.” Aku buru-buru mencium tangan Mama sebelum kena omelan pagi, aku juga sudah mendengar suara motor Farish.

“Dadah, monster kecil.” Aku iseng mengacak rambut Icha. Dia balas menepuk tanganku kencang.


***


“Bianka satu kelas sama aku.” Farish membuka pembicaraan.

“Terus?” Aku menatapnya tidak mengerti.

“Nggak bakal cemburu kan?” Farish mencolek pipiku.

“Aku percaya sama kamu.” Aku merangkulnya. Pagi ini, mumpung sekolah masih sepi, kami berdua duduk lesehan di lapangan basket.

“Yank, aku cinta banget sama kamu.” Farish merubah posisinya. Aku meluruskan kaki, Farish meletakkan kepalanya di pangkuanku.

“Aku juga.” Aku melingkarkan tangan di lehernya.

“Berarti kalau kita pisah nanti, kamu harus bisa menjalani harimu tanpa aku.” Farish mengelus tanganku yang ada di lehernya.

“Kok gitu?” Aku cemberut.

“Kamu mau nggak nikah sama aku?” Farish tidak menjawab pertanyaanku, memilih menanyakan hal itu.

“Mau. Tapi nggak mungkin kan nikah sekarang?” Aku tertawa, dia juga ikut tertawa lebar.

“Nanti, tunggu sampai aku mapan dulu ya, yank.” Tangan Farish terangkat, menyentuh pipiku.

“Aku nggak suka hlo dikasih janji-janji.” Aku menangkap tangannya. Farish mengangguk. Aku selalu percaya apapun yang dikatakannya.



Aku mendadah Farish dari kejauhan, kami masuk ke kelas masing-masing. Baru dua langkah memasuki kelas, Dewi datang menghadangku.

“Huh, lo tega sama gue. Kemarin masa ditinggalin sendirian di lapangan!” Dewi mengomel, nyolot.

“Iya, maaf.” Aku menaikan alisku sebelah.

“Gue nggak mau tahu, nanti siang lo kudu temenin gue nonton semifinal. Teamnya Dika masuk!” Dewi menudingku dengan telunjuknya, mengancam, mengoyak kedua bahuku.

“Halah, gue jamin teamnya Dika nggak bakal masuk final!” Aku menyibak tubuhnya, berjalan melewatinya. Dewi tidak terima dengan ucapanku tadi, mengintil di belakangku sambil mendumal.

“Ah, tega banget lo ngomong gitu.” Dewi duduk di depanku, memprotes.

“Cari duduk, Wi. Gue capek berdiri terus.” Aku mengeluh. Sial, kenapa tadi aku mau diajak nonton semifinal nggak penting ini? Apalagi dari kejauhan aku melihat Dika melambaikan tangan kepadaku. Tetapi dengan girang Dewi membalas melambaikan tangan. Dika mengerutkan dahi, menurunkan tangannya cepat. Aku menutup mulutku, menahan tawa yang akan lepas.

“Fel, gue boleh duduk disini kan?” Bianka tiba-tiba datang, menepuk pundakku, aku sedikit kaget. Aku hanya mengangguk. Tanpa aku menjawabnya pun dia akan tetap duduk disampingku.

“Udah berapa lama pacaran sama Farish?” tanyanya mencoba basa-basi.

“Hampir tiga tahun.” Aku sama sekali tidak sudi menatap wajahnya.

“Wow, kalian hebat! Dulu, waktu masih SMP, kita cuma bisa bertahan selama tiga bulan.” Bianka berdecak kagum, aku menyunggingkan bibir. Jadi, mereka sempat berpacaran? Dan, jangan-jangan Bianka sampai sekarang masih mengharapkan Farish?

“Farish masih romantis kan?” Bianka menyentuh lenganku, memaksa agar aku menoleh.

“Masih.” Jawabku sedikit kesal. Dia sengaja memancingku atau bagaimana?

“Bagus deh.” Bianka tersenyum licik. Aku membuang muka lagi, amit-amit menatap wajahnya yang sok-imut. Aku merasa posisiku mulai terancam, apalagi Bianka satu kelas dengan Farish. Aku benar-benar merasa khawatir, takut jika Bianka akan merebut Farish dariku.


“Apa gue bilang, bener kan?” Aku tersenyum menang.

“Iya.” Jawabnya lesu. Dewi sedih melihat team Dika yang gugur di semifinal.

“Udah ya, seorang Dewi tuh nggak pantes nangis.” Aku merangkulnya saat berjalan menuju kelas. Dewi tetap saja menangis, aku sampai heran, begitu besar cintanya untuk Dika. Aku menepuk-nepuk pundaknya. Setelah mengantar Dewi ke kelas, aku berniat menemui Farish di lapangan basket. Aku ingin ikut akustikan seperti kemarin. Dengan riang aku berjalan di tepi lapangan. Langkahku tiba-tiba terhenti, menggelengkan kepala, sekali lagi menatap kerumunan yang ada di lapangan itu. Hampir tidak percaya, aku menyeka keningku, bagaimana ini terjadi? Bianka, dia merusak segalanya, selalu berusaha merebut posisiku.

Bianka duduk disamping Farish. Kadang menggelayuti lengan Farish dengan manja, tertawa riang. Hei, itu posisiku! Saking asyiknya sampai-sampai Farish tidak melihat kehadiranku. Aku disini, di tepi lapangan, menyaksikan semuanya dengan amat jelas. Aku menyeka pipiku yang hangat, cukup, aku memutuskan untuk beranjak, untuk apa disini? Hanya akan menambah rasa sakit hatiku. Aku lebih memilih menangis di kamar mandi, hanya disana aku bisa meluapkan segalanya. Dadaku sesak mengingatnya, semua terasa nyata didepan mataku. Aku sangat takut kehilangan Farish. Itu saja.



Bel pulang sekolah berbunyi, seperti biasa, Farish sudah duduk di depan kelasku, menungguku.

“Habis nangis ya?” Farish hampir menyentuh pipiku.

“Cuma kurang tidur aja.” Aku menepis tangannya.

“Ah, tadi pagi kamu nggak kayak gini kok.” Farish masih ngeyel. Aku menghembuskan nafas.

“Aku mau pulang sekarang aja.” Aku berjalan mendahului, meninggalkan Farish yang masih duduk. Sebenarnya, aku ingin terlihat baik-baik saja seperti tidak terjadi apa-apa, tapi aku tidak bisa menutupinya.



Aku berlalu begitu saja tanpa mengucapkan salam. Mama yang duduk di sofa terheran-heran menatapku, bahkan sampai tidak sempat menegurku, lebih sibuk mengamatiku. Aku menghempaskan tubuhku diatas kasur, menatap langit-langit kamarku dengan mata berkaca. Aku sampai tidak menyadari jika Icha ada di kamarku. Sedang apa dia? Aku meliriknya sebentar. Dia hanya berdiri di samping ranjangku. Melakukan apa? Aku penasaran, bangkit dari kasur, lalu mendekati Icha. Lihat apa yang sedang dilakukan monster kecil itu! Aku mencembungkan mata, tidak percaya, darimana dia mempunyai ide gila itu? Aku melihat tangan mungilnya sedang asyik mengobok-obok aquarium. Jari-jarinya lincah menangkapi ikan emas kecil yang ada didalamnya. Airmataku langsung berganti dengan darah yang mendidih.

“Icha!!!” Aku berteriak jengkel. Icha menatapku dengan wajah polosnya.

“Kak Fel berisik ah! Nanti ikannya lari!” Icha meletakkan telunjuk kirinya di bibir, menatapku galak. Sejak tadi ikannya juga sudah kalang-kabut!








Bersambung—

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Cari Blog Ini