***
“Kok,
baru pulang Fel?” Mama sudah berdiri di depan pintu, alisnya naik menatapku.
Aku sangat yakin Mama sempat melihat Farish.
“Tadi
kejebak hujan di sekolah, Ma.” Aku menggaruk kepala. Berjalan mengendap-endap
di samping Mama. Aku sedikit lega, setidaknya tidak kena omelan karena baru
pulang pukul lima sore.
Saat
berjalan menuju kamar, aku melihat Icha sedang makan puding di meja makan. Aku
menyeringai jahil, seraya menenteng dua sepatu, aku mendekatinya.
“Enak
nih.” Aku mencolek pipi tembemnya. Icha menatapku galak.
“Nggak
enak!” Icha mulai gusar, mendekap piring pudingnya dengan kedua tangannya.
“Ehm,
kalau nggak enak, sini, buat kak Fel aja.” Aku hampir mendapatkan kesempatan
mencicipi puding itu.
“Mama,
Mama! Kak Fel nakal nih.” Icha berteriak-teriak, mengamuk, memukul-mukulkan
sendok plastiknya ke tanganku, mengusir. Aku menjulurkan lidah, mencibirnya.
Icha malah mengayunkan kakinya. Satu sendal jepitnya melayang ke wajahku. Aku
mengaduh. Sendal itu bukan dari gabus, tetapi dari kayu! Aku berlalu dengan
sebal, ingin menjitak bocah kecil itu, tidak jadi, Mama terlanjur datang, aku
hanya nyengir lalu kembali berjalan ke arah kamar. Keningku cukup nyut-nyutan
terkena lemparan sendal tuyul itu. Besok-besok aku harus menggunakan cara yang
lebih aman. Seperti halnya memakai helm anti pecah.
Icha
sangat berpengaruh dalam hidupku. Anak kecil yang baru berumur lima tahun itu
sangat menyebalkan. Dan lagi-lagi aku yang diwajibkan untuk mengalah. Sama seperti
pada malam-malam sebelumnya, malam ini pintu kamarku diketuk lagi. Aku membuka
pintu dengan malas.
“Apalagi?”
Aku mendelik, Icha berdiri di depan kamarku, tangannya mendekap boneka elmo.
Sebenarnya boneka itu milikku yang beberapa hari lalu dirampas secara paksa.
Dengan berat hati aku merelakan, meskipun itu pemberian Farish.
“Mau
apalagi?” Aku bertanya sekali lagi. Icha bukannya menjawab, malah asyik
menggigit jarinya.
“Ih,
nggak boleh. Nanti bisa cacingan hlo!” Aku membungkuk, mensejajari tinggi badan
Icha, lantas menarik paksa jarinya dari dalam mulutnya.
“Di
kamar kak Fel ada apa aja?” Icha membulatkan mata, memaksa melihat kamarku dari
sela kakiku. Kamarku dikira toserba kali ya? Aku menggelengkan kepala, pasrah,
terpaksa membiarkan Icha masuk sebelum mulut mungilnya berkoar-koar. Icha
lincah menyentuhi satu per satu barangku. Mulai dari jam weker hingga
boneka-boneka, entah malam ini boneka apa yang akan dirampasnya. Aku hanya
melirik polah-tingkahnya dari meja belajarku, mengibaskan tangan, kembali fokus
ke layar laptop.
Aku
baru akan peduli kalau sampai Icha berhasil merobohkan kamarku. Dengan begitu
aku mempunyai modus untuk melarang tuyul itu masuk kamarku lagi. Beberapa menit
kemudian, aku tidak mendengar anak itu rusuh mengobrak-abrik benda lagi. Kali
ini aku menoleh, pantas saja Icha sejak tadi diam saja, orang dia sibuk makan
coklat. Apa? Coklat? Aku cepat
mendekatinya, merampas coklat itu dari tangannya. Percuma saja, tinggal
bungkusnya yang tersisa. Aku tak habis pikir bagaimana Icha bisa menemukannya,
padahal coklat itu sudah kusimpan di tempat yang paling aman. Emang dasarnya
udah tuyul, mau disimpan dimana aja tetap ketahuan. Aku meraih tisu, mengelap
bibir dan tangan Icha yang berlepotan. Jangan sampai Mama tahu jika Icha makan
coklat lagi, bisa-bisa aku yang remuk. Setelah bersih, aku terpaksa menggendong
Icha keluar dari kamarku, malam sudah larut. Aku sempat kesal, bagaimana tidak? Icha keluar dari
kamarku menenteng dua boneka. Itu artinya bonekaku berkurang satu lagi.
***
“Mamaaa..”
Icha berseru manja, matanya mengerjap.
“Apa
sayang? Diapain lagi sama kak Fel?” Mama berteriak dari dapur. Kok aku? Aku menatap Icha galak,
meringis, kedua tanganku terjulur, mendesah seperti mak lampir. Icha
mengerucutkan bibirnya, menangis kencang, melempar apa-saja yang ada
didekatnya. Untung aku masih bisa menghindar, dan untungnya semua alat makan
Icha terbuat dari plastik melamin.
“Aduh,
kenapa ribut-ribut?” Mama berjalan dari arah dapur, membawa dua gelas susu
diatas nampan. Mama panik begitu melihat Icha menangis.
“Icha
diapain sama kak Fel?” Mama menatapku tak kalah galak.
“Ditakut-takutin
pakai itu!” Icha menunjuk tanganku, lebih tepatnya menunjuk kuku-ku yang
panjang.
“Icha
bohong tuh, Ma. Udah ah, Fel berangkat dulu ya.” Aku buru-buru mencium tangan
Mama sebelum kena omelan pagi, aku juga sudah mendengar suara motor Farish.
“Dadah,
monster kecil.” Aku iseng mengacak rambut Icha. Dia balas menepuk tanganku
kencang.
***
“Bianka
satu kelas sama aku.” Farish membuka pembicaraan.
“Terus?”
Aku menatapnya tidak mengerti.
“Nggak
bakal cemburu kan?” Farish mencolek pipiku.
“Aku
percaya sama kamu.” Aku merangkulnya. Pagi ini, mumpung sekolah masih sepi,
kami berdua duduk lesehan di lapangan basket.
“Yank,
aku cinta banget sama kamu.” Farish merubah posisinya. Aku meluruskan kaki,
Farish meletakkan kepalanya di pangkuanku.
“Aku
juga.” Aku melingkarkan tangan di lehernya.
“Berarti
kalau kita pisah nanti, kamu harus bisa menjalani harimu tanpa aku.” Farish
mengelus tanganku yang ada di lehernya.
“Kok
gitu?” Aku cemberut.
“Kamu
mau nggak nikah sama aku?” Farish tidak menjawab pertanyaanku, memilih
menanyakan hal itu.
“Mau.
Tapi nggak mungkin kan nikah sekarang?” Aku tertawa, dia juga ikut tertawa
lebar.
“Nanti,
tunggu sampai aku mapan dulu ya, yank.” Tangan Farish terangkat, menyentuh
pipiku.
“Aku
nggak suka hlo dikasih janji-janji.” Aku menangkap tangannya. Farish
mengangguk. Aku selalu percaya apapun yang dikatakannya.
Aku
mendadah Farish dari kejauhan, kami masuk ke kelas masing-masing. Baru dua
langkah memasuki kelas, Dewi datang menghadangku.
“Huh,
lo tega sama gue. Kemarin masa ditinggalin sendirian di lapangan!” Dewi
mengomel, nyolot.
“Iya,
maaf.” Aku menaikan alisku sebelah.
“Gue
nggak mau tahu, nanti siang lo kudu temenin gue nonton semifinal. Teamnya Dika
masuk!” Dewi menudingku dengan telunjuknya, mengancam, mengoyak kedua bahuku.
“Halah,
gue jamin teamnya Dika nggak bakal masuk final!” Aku menyibak tubuhnya,
berjalan melewatinya. Dewi tidak terima dengan ucapanku tadi, mengintil di
belakangku sambil mendumal.
“Ah,
tega banget lo ngomong gitu.” Dewi duduk di depanku, memprotes.
“Cari
duduk, Wi. Gue capek berdiri terus.” Aku mengeluh. Sial, kenapa tadi aku mau
diajak nonton semifinal nggak penting ini? Apalagi dari kejauhan aku melihat
Dika melambaikan tangan kepadaku. Tetapi dengan girang Dewi membalas
melambaikan tangan. Dika mengerutkan dahi, menurunkan tangannya cepat. Aku
menutup mulutku, menahan tawa yang akan lepas.
“Fel,
gue boleh duduk disini kan?” Bianka tiba-tiba datang, menepuk pundakku, aku
sedikit kaget. Aku hanya mengangguk. Tanpa aku menjawabnya pun dia akan tetap
duduk disampingku.
“Udah
berapa lama pacaran sama Farish?” tanyanya mencoba basa-basi.
“Hampir
tiga tahun.” Aku sama sekali tidak sudi menatap wajahnya.
“Wow,
kalian hebat! Dulu, waktu masih SMP, kita cuma bisa bertahan selama tiga bulan.”
Bianka berdecak kagum, aku menyunggingkan bibir. Jadi, mereka sempat berpacaran? Dan, jangan-jangan Bianka sampai sekarang
masih mengharapkan Farish?
“Farish
masih romantis kan?” Bianka menyentuh lenganku, memaksa agar aku menoleh.
“Masih.”
Jawabku sedikit kesal. Dia sengaja memancingku atau bagaimana?
“Bagus
deh.” Bianka tersenyum licik. Aku membuang muka lagi, amit-amit menatap
wajahnya yang sok-imut. Aku merasa posisiku mulai terancam, apalagi Bianka satu
kelas dengan Farish. Aku benar-benar merasa khawatir, takut jika Bianka akan
merebut Farish dariku.
“Apa
gue bilang, bener kan?” Aku tersenyum menang.
“Iya.”
Jawabnya lesu. Dewi sedih melihat team Dika yang gugur di semifinal.
“Udah
ya, seorang Dewi tuh nggak pantes nangis.” Aku merangkulnya saat berjalan
menuju kelas. Dewi tetap saja menangis, aku sampai heran, begitu besar cintanya
untuk Dika. Aku menepuk-nepuk pundaknya. Setelah mengantar Dewi ke kelas, aku
berniat menemui Farish di lapangan basket. Aku ingin ikut akustikan seperti
kemarin. Dengan riang aku berjalan di tepi lapangan. Langkahku tiba-tiba
terhenti, menggelengkan kepala, sekali lagi menatap kerumunan yang ada di
lapangan itu. Hampir tidak percaya, aku menyeka keningku, bagaimana ini terjadi? Bianka, dia merusak segalanya, selalu
berusaha merebut posisiku.
Bianka
duduk disamping Farish. Kadang menggelayuti lengan Farish dengan manja, tertawa
riang. Hei, itu posisiku! Saking asyiknya sampai-sampai Farish tidak melihat
kehadiranku. Aku disini, di tepi lapangan, menyaksikan semuanya dengan amat
jelas. Aku menyeka pipiku yang hangat, cukup, aku memutuskan untuk beranjak,
untuk apa disini? Hanya akan menambah rasa sakit hatiku. Aku lebih memilih
menangis di kamar mandi, hanya disana aku bisa meluapkan segalanya. Dadaku
sesak mengingatnya, semua terasa nyata didepan mataku. Aku sangat takut
kehilangan Farish. Itu saja.
Bel
pulang sekolah berbunyi, seperti biasa, Farish sudah duduk di depan kelasku,
menungguku.
“Habis
nangis ya?” Farish hampir menyentuh pipiku.
“Cuma
kurang tidur aja.” Aku menepis tangannya.
“Ah,
tadi pagi kamu nggak kayak gini kok.” Farish masih ngeyel. Aku menghembuskan
nafas.
“Aku
mau pulang sekarang aja.” Aku berjalan mendahului, meninggalkan Farish yang
masih duduk. Sebenarnya, aku ingin terlihat baik-baik saja seperti tidak
terjadi apa-apa, tapi aku tidak bisa menutupinya.
Aku
berlalu begitu saja tanpa mengucapkan salam. Mama yang duduk di sofa
terheran-heran menatapku, bahkan sampai tidak sempat menegurku, lebih sibuk
mengamatiku. Aku menghempaskan tubuhku diatas kasur, menatap langit-langit
kamarku dengan mata berkaca. Aku sampai tidak menyadari jika Icha ada di
kamarku. Sedang apa dia? Aku
meliriknya sebentar. Dia hanya berdiri di samping ranjangku. Melakukan apa? Aku penasaran, bangkit
dari kasur, lalu mendekati Icha. Lihat apa yang sedang dilakukan monster kecil
itu! Aku mencembungkan mata, tidak percaya, darimana
dia mempunyai ide gila itu? Aku melihat tangan mungilnya sedang asyik
mengobok-obok aquarium. Jari-jarinya lincah menangkapi ikan emas kecil yang ada
didalamnya. Airmataku langsung berganti dengan darah yang mendidih.
“Icha!!!”
Aku berteriak jengkel. Icha menatapku dengan wajah polosnya.
“Kak
Fel berisik ah! Nanti ikannya lari!” Icha meletakkan telunjuk kirinya di bibir,
menatapku galak. Sejak tadi ikannya juga sudah kalang-kabut!
Bersambung—
Tidak ada komentar:
Posting Komentar