Selasa, 25 Oktober 2011

“Rahasia Kecil”


Langkah kakinya tegas menjejak tiap lorong-lorong rumah sakit. Buru-buru. Tidak peduli meski lalu-lalang orang menatap aneh, menyeringai tidak mengerti. Memangnya mereka peduli apa? Selain berbisik-bisik, tertawa, lantas melambaikan tangan. Mereka memang tidak mau tahu-menahu. Toh bukan urusan mereka juga. Untuk apa pusing-pusing? Mengerti saja tidak. Dikepala mereka bahkan berjubel masalah yang menjejal penuh tanda tanya.



Tadi pagi-pagi sekali, pihak rumah sakit menelepon, mengabari sesuatu hal yang buruk terjadi. Mendadak. Tidak sempat kompromi dengan waktu apalagi dengan keadaan. Lupa kalau masih mengenakan baju tidur bercelana panjang. Untung semalam tidak memakai boxer. Jadi pagi ini tidak terlalu menanggung malu oleh tatapan aneh para suster dan penjaga. Mita balas menyeringai, masih mending memakai baju tidur ketimbang harus telanjang bulat? Ah, bodoh amat-lah. Pagi ini ada hal yang jauh lebih penting. Bukankah tadi dalam telpon suster bilang kalau Dara mengamuk lagi? Apa penyebabnya? Dia juga tidak tahu. Suster hanya berpesan untuk segera mungkin datang ke rumah sakit. Itu saja. Tidak ada penjelasan yang lebih mendetail lagi.

Mita mendorong pintu, tersentak sendiri oleh keributan-keributan. Bantal-bantal melayang, selimut terhempaskan begitu saja di lantai, orang-orang berseragam putih pontang-panting meredam Dara yang tengah mengamuk. Percuma saja. Mereka, walaupun jumlahnya lebih banyak, nyatanya tetap saja tidak bisa mengendalikan keadaan. Rusuh, teriakan-teriakan, bentakan-bentakan memenuhi langit-langit bercat putih gading. Mita menatap jerih, merangsek maju, menyibak orang-orang berseragam putih yang terlihat mulai putus asa. Mita mengambil alih, meraih tubuh Dara, memeluknya erat. Pelan jemarinya mengelus punggung Dara, menenangkan. Sekejap, keadaan mulai terkendali. Mita selalu bisa mengatasi amukan Dara yang terkadang membabi-buta. Orang-orang berseragam putih tadi menatap lega dari kejauhan, menyeka dahi yang basah oleh peluh. Urusan ini teramat pelik, tetapi masalah ini teramat mudah untuk Mita yang penyabar.

Mita menyibak rambut Dara yang menutupi sudut mata, menatap penuh iba. Mau dikata apa lagi? keadaan memang sudah berbicara seperti ini. Sekian menit, pintu kembali terdorong. Kali ini suster-suster berseragam putih beringsut masuk, tangannya menggenggam erat suntikan. Dara terkesiap, panik, tangannya gemetar bukan main, mencengkram lengan Mita, mencari perlindungan sebisanya. Berteriak histeris, melarang suster-suster itu mendekat. Percuma saja. Mita hanya mendesah, menenangkan lagi. Berusaha membujuk Dara, semakin dibujuk maka semakin keras teriakannya. Tidak mau!! Kali ini satu bantal melayang lagi, mengenai wajah salah satu suster. Yang ditimpuk hanya mendengus sebal. Sudahlah, memutuskan untuk menutup pintu itu kembali, untuk masalah suntik-menyuntik nanti-nanti sajalah. Sekarang? Buang-buang waktu saja. Daripada terkena cakaran, lebih baik mengalah sementara waktu.

Mita mengusap kepala adiknya, yang diusap hanya menunduk dalam. Entah memikirkan apa. Masalah apa? Entahlah. Yang ia tahu sekarang adalah hidup terkungkung dalam ruangan bercat putih yang pengap. Terisolasi. Matanya kebat-kebit menatap Mita yang kini duduk disebelahnya. Bola matanya terlihat nanar, menyimpan segudang kesedihan selama bertahun-tahun. Setiap kali Mita bertanya, ada apa? Kenapa? Bagaimana bisa terjadi? Siapa yang melakukannya? Entahlah, Dara hanya menggeleng tidak mengerti. Sebenarnya, dalam keadaan seperti ini pun, ingatannya masih tajam. Dia sedang tidak kehilangan ingatan, hanya saja malas menjelaskan. Untuk apa dijelaskan? Sama saja mencoreng wajah Mita, dia tidak siap jikalau Mita membencinya. Maka biarkan semua tetap menjadi rahasia, tidak perlu ada yang tahu, sekalipun itu Mita.

“Hei, ke-na-pa? Kamu baik-baik saja kan?” Mita menoleh, menebar senyum lebar, sedari tadi merasa Dara memperhatikannya diam-diam. Dara menggigit bibir, menggeleng kemudian.

“Aku bo-sa-n dengan tempat ini! Setiap hari, setiap jam, mereka selalu memaksaku, menghujam jarum suntik ke tubuhku. Sakit kak...” suaranya sengau, merebahkan kepala dipundak Mita.

Bukankah selama ini hanya Mita yang menjadi sandaran untuknya? Tempat dimana keluh-kesahnya ditumpahkan. Mulai dari malas minum obat, bosan dipaksa-paksa untuk makan, takut jika suster membawa jarum suntik, sebal saat dokter terpaksa mengikatnya dengan baju khusus. Jadi inikah alasan mengapa dia sering mengamuk? Tentu saja tidak. Ada hal yang jauh lebih penting sebagai alasannya. Bukankah saat dia sedang mengamuk, maka tanpa pikir panjang suster penjaga dengan senang hati akan menelpon Mita. Mengabari. Hitungan menit, Mita akan datang, menenangkan.

Setiap minggu? Oh, tentu saja tidak, bahkan setiap hari Mita akan lari tergopoh-gopoh menuju ruangan Dara. Bagaimanalah? Setiap hari Dara mengamuk, membanting piring makan sampai hal sepele menjadi penyebabnya. Lebih tepatnya mencari keributan sendiri.

“Kak, neng nggak gila!! Ke-na-pa semua orang memperlakukan aku ini seperti orang gila? Bahkan, suster-suster itu bilang kalau aku ini anak setan!!” Dara mengadu, lagi-lagi bertanya tentang masalah ini.

 
Mita, demi mendengar aduan sang adik, hatinya melonjak kaget, jantungnya sungsang. Anak setan? Astaga! Apa cuma gara-gara mengamuk, dengan kejam suster-suster itu menjulukinya ‘anak setan’? Mita mengelus dadanya yang sesak. Besok, ia akan segera ambil tindakan, tempat ini sangat tidak layak untuk Dara.

“Besok kita pulang ya?” Mita menggamit pundak Dara, meyakinkan, semua akan berakhir. Tetapi bagaimana kalau dokter tidak mengijinkan? Entahlah, diijinkan atau tidak, ia akan tetap membawa Dara pulang. Tidak ada yang bisa menghalanginya.

Dara, entah malah terlihat cemas, menggeleng-geleng penuh rasa takut. Bukankah dia seharusnya bahagia saat Mita ingin mengajaknya pulang? Tetapi ini tidak. Lantas bagaimana? Tidak mungkin kan Mita menemani Dara tidur di rumah sakit ini? Jam jenguknya saja sangat terbatas, waktu untuk mengawasi Dara juga sangat minim. Huh! Menyeka dahi, mengecup kening Dara, beranjak pergi. Jadwal kunjungannya pagi ini sudah selesai. Dara menatap sebal, ingin rasanya menahan Mita agar tidak pergi. Tapi... Sudahlah.

***

Hari ini, pagi ini, entah mengapa awan berarak-arak, membentuk langit hitam pekat, langit yang gelap-gulita. Bahkan guntur menggelegar dengan angkuhnya, membentuk akar serabut di hamparan langit. Angin-angin menampar bingkai jendela, membuat nyiur melambai. Namun air langit tidak kunjung tumpah. Ada apa gerangan? Entahlah siapa yang akan menjawabnya.

Kerlap-kerlap guntur yang menyalak menerabas lewat tirai-tirai putih, Dara yang melihatnya tak bergeming. Untuk apa? Malah ia berharap guntur akan berbaik hati menyambar dirinya. Untuk apa hidup jika ia harus kembali ke rumah terkutuk itu. Inilah rahasia yang amat dia tutupi. Ya, tentang rumah itu. Tidak ada yang perlu mengetahuinya, biarlah rahasia tetap akan menjadi rahasia itu sendiri.

Sekali-dua guntur bergemuruh, mungkin baru saja menyambar pohon besar. Memangnya Dara peduli dengan suara yang memekakkan telinga itu? Matanya saja sibuk menatap silet ditangannya. Silet? Astaga! Dari mana ia mendapatkan benda itu? Tadi, tidak sengaja saat dia di kamar mandi menemukan benda itu tergeletak begitu saja. Apa mungkin silet itu habis dipakai untuk mencukur kumis salah satu petugas, lantas lupa menyimpannya kembali? Ah, entahlah.

Sekali lagi langit bergemuruh, entah sekarang menyambar apa lagi. Dan lihatlah, Dara mulai menyeringai getir, menyentuh nadi tangannya dengan silet itu. Perlahan, kulit putihnya tergores, darah menetes tak terperikan. Detik-detik yang menyakitkan. P-e-r-l-a-h-a-n.


Satu sisi yang beriringan, dalam dinding waktu yang sama, hanya saja terpisahkan oleh jarak dan tempat. Beberapa kali memukul setir dengan jengkel, membunyikan klakson berkali-kali sebagai wujud protesnya. Sia-sia. Percuma. Semua pengguna jalan juga melakukan hal serupa. Tetapi urusan pohon besar yang tumbang ditengah jalan jauh lebih menyebalkan, kenapa pohon besar itu tidak bisa diajak kompromi? Mengganggu arus lalu-lintas, banyak mobil terjebak dalam antrian yang mengular. Bagaimana ini? Mita punya urusan yang jauh lebih penting ketimbang pohon besar yang tumbang itu. Sudah hampir satu jam Mita terhimpit antrian dadakan.

Langit menumpahkan air, bergulir titik demi titik yang menyakitkan, membuat wajah tampias. Bagaimana tidak, hujan turun membuat tubuh Mita kuyup. Tadi, sekitar lima belas yang lalu, ia memutuskan turun dari mobil, sudah bosan dengan antrian yang tetap berjalan ditempat. Menyibak bulir hujan yang buncah membasuh kota. Perasaannya tiba-tiba terusik, khawatir bila membayangkan Dara, apa mungkin dia sekarang sedang mengamuk? Atau bahkan lebih dari kata ‘mengamuk’? Ah-ya, tentu saja langit mempunyai jawaban itu. Bukankah tadi langit menjadi saksi bisu atas kejadian satu jam yang lalu?

Berlari ditengah derai hujan, napasnya tersengal-sengal, berhenti sejenak mengatur napas. Jarak rumah sakit itu tinggal satu kilometer. Tidak ada waktu lagi untuk menarik napas, Dara pasti sudah menunggu kedatangannya. Sedikitpun ia tidak mau membuat Dara cemberut.

Air menetes dari ujung bajunya, lantai pelataran rumah sakit jiwa itu basah. Gigi saling bergemeletukkan, sibuk mengibas-ngibaskan tangannya yang kuyup. Percikan air kebat-kebit. Sibuk menyibak anak rambut disela sudut mata. Apakah Mita tahu apa yang sudah terjadi? Tentu saja belum. Lihatlah, baru beberapa detik ia sampai.

Sekejap perhatiannya terusik, mengerenyit heran, melihat beberapa suster dan penjaga lari terbirit-birit. Memangnya ada apa? Kebakaran? Ah, tidak mungkin, hujan deras begini kok. Lantas ada apa kok rusuh-rusuh begini?

Mita berlari kecil, mengikuti, sangat penasaran sebenarnya ada apa. Kakinya semakin tangkas melangkah, hatinya berdesir, mulai cemas melihat kerumunan didepan ruangan Dara. Tapi anehnya, kenapa kali ini tidak terdengar teriakan Dara? Jangan-jangan...

Buru-buru tangannya menyibak kerumunan. Kakinya bersimpuh, menangis tertahan, tangisan itu segera membuncah. Tak terperikan. Ya Tuhan, bagaimanalah ini? Tangannya terjulur, patah-patah menyentuh jemari Dara.
 
“Jangan pergi Dar, kumohon... Kita hari ini jadi pulang kan?”

Andai pagi ini tidak hujan. Andai juga  tidak ada guntur yang menyambar-nyambar, pasti pohon itu tidak tumbang dan tidak akan mengganggu perjalanannya. Andai pagi ini langit mau sedikit berbaik hati. Andaikan pagi ini dia tidak datang terlambat. Mungkin semua akan baik-baik saja, bukan begitu?

Sudahlah. Apa boleh dikata? Sekali lagi guntur membelah langit, menggetarkan hati siapapun. Lihatlah, langit pun seakan ikut menangis menyimak guratan takdir yang telah menemukan ujung penyelesaian.

Lantas, soal rahasia itu bagaimana?

Maka biarkan rahasia itu tetap menjadi rahasia itu sendiri—



Tamat

Sabtu, 22 Oktober 2011

Akhir Kisahku


 Aku mematut-matut diriku didepan cermin. Kugoreskan lipstik merah merona di kedua bibirku. Sedikit aksen bulu mata palsu untuk menambah kesan lentik di kelopak mataku. Ditambah bedak tipis yang menghias wajahku yang bertipe oriental. Tidak susah memang untuk berdandan, karena dengan sedikit di poles saja semua sudah terlihat sempurna. Ini memang didukung dengan innerbeauty yang kumiliki.

Sejenak mataku menerawang, aku bertanya pada cermin didepanku. Ini untuk kesekian kalinya, barangkali. Aku tak pernah menghitungnya.

“Wahai cermin. Apakah nasibku akan terus seperti ini? Apa aku harus merusak diriku sendiri dengan pekerjaan hina ini? Tapi sampai kapan? Apa sampai aku mati? Hatiku serasa berat, dosa ini telah menggunung! Menggumpal bagai gunung es. Apa aku akan diampuni Allah? Ah, mustahil! Tapi—”

Ah sudahlah! Inilah kebiasaanku berbicara dengan cermin yang jelas-jelas tidak akan pernah menjawab setiap keluh-kesahku. Percuma saja aku mengadu pada cermin.

Aku menutup pintu rumahku dari luar. Melambaikan tangan begitu melihat taksi melintas didepan rumah. Jarak tempat kerja dari rumah memang cukup jauh, tidak mungkin dong aku jalan kaki. Bisa-bisa betisku mengeras dan hak tinggiku patah.

Aku turun di sebuah tempat hiburan malam yang berbilang cukup mewah. Letaknya di jantung Ibukota. Tempat ini menjadi pusat kehidupan malam seperti diriku. Disinilah tempat orang yang berdompet tebal, bahkan tak jarang pejabat-pejabat tinggi menjadi clientku.

Jujur saja, tempat ini sangat terkutuk, semua yang berada di tempat ini tak lebih dari sampah busuk. Semua punya topeng, bermuka dua, hidung-belang, bangsat!

Apakah mereka semua punya agama?

Tentu saja tidak!
Dan disinilah aku mengais rupiah demi rupiah untuk menyambung hidupku. Hei, aku memang tak jauh berbeda dengan mereka. Apa kalian pikir pekerjaan ini adalah pilihan dalam hidupku?
Tentu saja tidak!
Asal kalian tahu, aku ini anak yatim-piatu. Ibuku meninggal lima tahun yang lalu, sementara Ayahku telah tiada ketika aku baru berumur tiga bulan dikandungan Ibuku.
Dan ketika aku berumur limabelas tahun, Ibu menikah lagi dengan seorang duda. Dari awal aku tak pernah menyetujui, tapi aku melihat Ibu begitu bahagia, sampai hati aku tak tega menjadi penghalang. Jadi kuurungkan niat untuk menolak keputusan Ibu.
Awalnya, aku mulai bisa beradaptasi dengan keluarga baruku. Tetapi semua berawal ketika...
Ketika malam itu aku dinodai, aku diperkosa ayah tiriku. Aku dipaksa melayani nafsu birahinya, tak hanya satu kali. Dia mengancamku! Dia bilang, kalau akan membunuh Ibu jika aku mengadukan perbuatan kejinya.
Beberapa hari aku pasrah, dulu aku masih kecil untuk melakukan perlawanan. Aku hanya membisu, ketika ancaman demi ancaman bertubi-tubi keluar dari mulutnya.
Sampai suatu hari, Ibu melihat semua kebiadaban ayah tiriku. Aku menjerit, Ibu tersungkur dilantai. Lelaki bajingan itu telah membunuh Ibuku, barangkali pikirannya kalap, takut dilaporkan ke polisi. Entahlah, mungkin sekarang lelaki itu sudah mati membusuk dibalik jeruji besi. Seharusnya dulu aku membunuhnya saja, untuk apa dia dibiarkan hidup?

Jadi jangan salahkan aku jika sekarang aku menjadi wanita penghibur. Nyatanya, dari dulu aku memang sudah kotor dan tetap akan kotor!!

Aku mengedarkan seluruh pandanganku, mataku menyapu kerlip lampu yang berpendar-pendar. Samar-samar lagu disco mengalun, menelisik di telingaku. Musik yang sudah biasa terdengar jika malam beranjak matang. Lagu hingar-bingar yang menjadi ciri khas tempat ini.

Tiba-tiba saja kakiku sulit kulangkahkan. Aku mematung di pelataran gedung mewah itu. Berbagai film-film tentang perbuatan hina-ku terputar dalam otakku, tentang aku dan semua keadaan terkutuk ini.

Aku terhenyak, kulihat Ane—teman dekatku— meneriaki namaku berulang kali. Suaranya menggelegar, bisa dibayangkan suaranya saja berkekuatan delapan oktaf, melengking sekaligus memekakkan telinga.

“Kinta!! Tadi Mami cari lo, katanya ada client besar. Minta dilayani sama lo,” Ane berbisik, menepuk pundakku lantas melenggang keluar dari arena gedung. Wajahnya sumringah, mungkin baru saja dapat tips besar dari pelanggannya.

Aku bergegas masuk, mendorong pintu berbahan kaca tebal. Mataku menyapu seluruh sudut ruangan, mencari sosok yang tadi mencariku. Aku menoleh, seseorang melambaikan tangan, menyuruhku untuk mendekat.

Aku mendekat, Mami mencium pipi kanan dan kiriku.
“Rokok Kin?” tawarnya, menjulurkan sebatang rokok beserta korek api.

Aku mendorong tangannya dengan pelan, “Enggak Mi, makasih!” sergahku mengumbar sedikit senyum. Sebejat-bejatnya aku, aku ini tipe orang yang apatis dengan rokok. Pernah aku merokok sekali. Alhasil, aku langsung batuk-batuk. Mungkin karena aku alergi asap rokok. Jadi, kadang aku harus jaga-jarak dengan perokok yang maniak.
Mami tersenyum, “Kamu ditunggu di tempat biasa!”

Aku mengangguk pendek, sudah paham. Menjejakan kakiku dengan gontai menuju kamar yang berada di lantai dua.

Tanganku mengetuk daun pintu, seorang lelaki muncul dari balik pintu. Aku menyambutnya dengan senyum terbaikku. Aku ternganga, melihat penampilan clientku kali ini teramat tampan. Ia berbeda, dari perawakannya mungkin hanya selisih dua tahun lebih tua dariku.
Dia mempersilakan aku masuk, entah aku merasa peluh menetes begitu deras. Beberapa kali aku menyeka dahi. Kadang aku menarik napas panjang untuk mengurangi rasa debar di dada ini. Aku malah terlihat kikuk dan canggung dihadapannya. Padahal, setiap aku melayani client-clientku hanya biasa-biasa saja. Maksudnya aku tak pernah segrogi sekarang. Aku mati gaya dihadapan laki-laki manis ini. Bagaimanalah? Matanya begitu indah dipandang, gurat wajahnya penuh ketegasan. Aku luluh diterpa sorot matanya yang penuh takzim.

“Namaku Bintang. Nama kamu?”

Bintang? Kenapa aku merasa aneh dengan nama ini? Tapi tunggu dulu.
Aku mengerlingkan mata, wajahnya pun seperti sudah sangat familiar untukku.

“Hai, kok malah bengong?” dia melambaikan tangan, aku gelagapan.

“Eh, maaf, maaf. Saya Kinta,” dengan terpatah-patah aku mengulurkan tangan. Berharap ia akan sudi membalas uluran tanganku. Peluh menetes lagi, kali ini lebih deras. Dengan ramah ia menjabat tanganku, hatiku bersorak riang.
Sejurus dia terlihat sibuk merogoh saku celananya, aku mematung memperhatikan setiap gerak-geriknya. Sejurus dia mengeluarkan secarik kertas berukuran KTP.

“Ini kartu namaku. Kalau ada perlu apa-apa, kamu bisa hubungi saya atau langsung menemui saya. Saya ingin membantumu—” dia menyeringai tulus, seperti memberiku sebuah pilihan. Tapi pilihan untuk apa? Aku tak membutuhkan pilihan-pilihan itu! Yang terpenting sekarang adalah uang, karena segalanya butuh uang.

Aku ternganga-nganga,
Hei! Maksudnya apa coba?
Jadi untuk apa ia memesanku malam ini, hah?
Apa untuk masalah kartu nama ini?
Apa dia pikir, aku kenyang dengan kertas itu?
Aku mendengus kesal, ia meletakkan kartu nama dan beberapa lembar uang diatas ranjang. Mungkin ia tahu kalau aku enggan menerima bantuannya.
Ia beringsut keluar. Kali ini, malam ini, detik ini, aku merasa ditolak mentah-mentah, diabaikan! Padahal, mana ada yang bisa menolak pancaran pesonaku?
Apa mungkin aku terlalu rendahan untuk laki-laki macam Bintang?
Ah, sudahlah. Setidaknya ia tetap memberiku uang, tanpa aku melayaninya.

Hari berangsur pagi, pekerja dunia malam mulai beringsut pulang. Biasanya aku pulang sebelum shubuh menjelang.
Pagi ini, dalam taksi ini, aku duduk merenung. Aku menangis, menangis mendengar gema adzan shubuh yang menggetarkan hatiku. Selama ini aku jauh dari Allah, bahkan aku sudah melupakan-Nya. Kadang aku malah mengutuk segala takdir-Nya.
Beberapa kali aku melewati jalan ini. Untuk kesekian kali, aku menengok keluar, jendela kaca sedikit kuturunkan.
Aku selalu takjub demi melihat bangunan megah ini. Hatiku selalu tentram melihat bangunan berpondasi kokoh itu. Rumah Allah.

Ya, hatiku memendam rindu ingin menginjakkan kaki di masjid itu.
Tapi, apakah aku masih pantas?
Aku ini manusia paling kotor!
Berlumuran dosa!
Apa masih pantas aku menyebut nama Allah?

Aku menutup wajahku, menyesali segala ketidakberdayaanku ini. Sudah saatnya aku keluar dari kubangan dosa ini, aku ingin kembali ke jalan kebajikan.
Aku turun tepat di depan papan berplang ‘Jami Al-Falah’. Tanganku bergetar hebat, menunduk dalam-dalam. Aku menatap hampa pada setapak aspal yang kupijak. Bahkan, melangkah pun rasanya bagai berjuta gembok rantai menggelayut di kakiku.
Aku duduk jongkok, rasanya aku sudah jengah dengan keadaan ini. Aku ingin mati! Bukankah semua sesederhana itu? Dengan mati semua urusan akan menjadi mudah, bukan?
Hei, itu hanya pikiran mereka-mereka yang punya nalar cetek!

Aku menengadah, bergeming demi melihat siapa yang telah memakaikan jaket ke tubuhku. Udara sangat dingin, tapi entah kulitku terlalu kebas. Mati rasa sudah.

Berdiri, menelan ludah, menggigit bibir. Lagi-lagi hatiku rontok melihat rona senyumnya.
Kenapa aku harus bertemu dengan Bintang?
Dan apalagi sekarang dia menatapku aneh.

“Mau shalat shubuh ya?” tanyanya antusias.
Aku menggeleng, shalat?
Tak terhitung berapa kali aku meninggalkan kewajiban lima kali itu.

Bintang tersenyum, tanpa diminta langsung menyeret lenganku. Dan bodohnya, aku mau-mau saja. Padahal, kenal saja baru enam jam yang lalu. Entahlah, semakin terasa ringan aku menjejakan kaki. Tanpa aku sadari, nyaman melingkupi hati saat bersamanya.

Aku duduk dipelataran masjid, tadi saat Bintang mengajakku shalat berjamaah aku menolak. Alasannya, “Maaf, aku sedang berhalangan.” Dia hanya mengangguk paham, tidak banyak tanya lagi.

Bintang duduk disampingku.
“Sudah selesai shalatnya?” tanyaku basa-basi.
Ia hanya mengangguk, sibuk menali tali sepatunya kembali.
“Apa kamu butuh bantuan? Aku akan bantu kamu semampuku,” dia menoleh, seolah tahu isi hatiku akhir-akhir ini. Melempar senyum khasnya lagi.

“Aku tidak tahu, tapi mungkin aku akan keluar dari pekerjaan itu!” aku tercekat, spontan mengungkap hal yang tabu dibicarakan di masjid. Tadi aku sempat merenung,
kapan aku berubah kalau tidak sekarang?
Aku sudah muak!!
Jijik dengan diriku sendiri.

Bintang berniat mengantarku pulang, aku tak bisa menolaknya.

“Apa kamu ingat denganku? Kinta Akira Dewi?” tanyanya mantap saat mobil pelan membelah jalanan Ibukota pagi.

Hei! darimana dia tahu nama panjangku?
Aku melipat dahi, Bintang mengusap rambut mohawk-nya berulang kali.

“Kamu ingat kan kejadian lima tahun silam, peristiwa kelam itu. Oh maaf, aku nggak bermaksud untuk mengungkit masalah itu. Tetapi aku disini mempunyai tanggungjawab untuk menebus semua kesalahan-kesalahan itu. Dan berharap kamu bisa memaafkan perbuatan ayahku. Aku mengerti, mungkin ini sangat berat tetapi ayahku sudah menyesali perbuatannya dulu—” dia menoleh, berharap aku mengiyakan. Memangnya dia pikir semua masalah semudah dan sesederhana itu?
Apa dia tidak melihat diriku yang sekarang? Inilah akibat perbuatan bejat lelaki psikopat yang ia sebut sebagai ayah itu!

Aku mendesis benci, sangat mengerti topik pembicaraannya. Sudah cukup aku menderita karena terbayang-bayang potongan kehidupan yang amat kelam itu. Bahkan aku sudah menguburnya dalam-dalam, didalam sumur tak berdasar. Tetapi mengapa kini dia malah mengusik segala perasaanku?
Memaksaku mengingat-ingat kembali sesuatu perangai tak berperikemanusiaan.

Aku memaksa turun di pertigaan, tidak peduli jarak rumahku yang masih sangat jauh. Aku muak dengan segala hal yang berhubungan dengan lelaki bejat itu. Ya, Bintang dulunya adalah kakak tiriku. Jadi, tidak salah kalau pertama bertemu aku sempat mengenalinya, walaupun samar-samar.


Aku tidak membutuhkan bantuannya, mentang-mentang dia punya segalanya, dengan congkak dia menawariku janji manis.
Tanpa bantuannya pun, aku bisa berusaha untuk merubah diriku sendiri. Mulai sekarang aku meneguhkan hati, kemarin malam adalah terakhir kalinya aku menginjak tempat terkutuk itu.

Pagi ini, aku menyempatkan diri singgah di pusara Ibu. Sudah lama aku tidak kesini. Rasanya rindu telah mengembun di relung hatiku. Aku duduk berjongkok disamping gundukan tanah, patah-patah aku mengusap nisan Ibu.

“Ibu apa kabar? Lama ya, Kinta nggak nengok Ibu. Tahu tidak Bu? Mulai sekarang, dihadapan makam Ibu. Kinta berjanji akan selalu menjadi manusia yang berakhlak sempurna. Kinta ingin bertaubat Bu—” aku terpekur, jemariku mengusap-usap gundukan tanah didepanku.



Tamat

Faith In Love


Langkahku terseok-seok menapaki sepanjang jalan trotoar yang mengular. Sore beranjak malam, sorot lampu berpendar-pendar sejauh mata memandang. Gedung-gedung pencakar langit bagai kerlip bintang dalam gelapnya langit. Aku menengadahkan kedua telapak tanganku, perlahan air langit membuncah. Setelah aku rasa hujan mulai deras, aku beringsut mencari tempat untuk berteduh. Napasku terengah-engah, terasa bongkahan batu telah menyumbat jantungku. Aku mencoba meraih tiang lampu disekitar, rasa sakit ini kembali datang. Kepalaku terasa berat, pandanganku remang-remang, semua benda terlihat menjadi dua bayangan.

Aku memijat pelipisku, sementara hujan terus mengguyur tubuhku yang ringkih. Aku memeluk tiang itu kuat-kuat, tubuhku rasanya sudah tidak kuat lagi menopang nyawaku.

Aku mencicit, beringsut duduk dibawah tiang lampu itu. Bagaimanalah orang berpenyakitan sepertiku bisa kambuh suatu saat tanpa mengenal waktu. Penyakit ini bukan keinginanku, juga bukan bagian dari angan-angan yang kulukis. Tapi apalah daya, semua ini sangat jauh dari kehendakku.

Oh Tuhan, jangan ambil nyawaku sekarang.



Aku mengerjap-ngerjapkan mata, untuk kesekian kalinya aku mendengus bosan. Bau ini, ruangan ini, ranjang ini, dan selang infus ini. Semua ini serasa telah mendarah daging dan terpatri kuat menjadi bagian takdir yang harus kulalui.
Sebenarnya, aku sangat beruntung. Beruntung mempunyai Mama yang setia memberi segenggam asa dan Ikmal yang senantiasa ada untukku. Kadang dia lebih protektif ketimbang Mama.
Biasanya Ikmal yang selalu duduk disamping ranjangku, menemani aku melawan penyakit ini. Ikmal dengan senang hati mengatur segala jadwal minum obatku, terkadang marah karena aku ketahuan tidak mau minum obat.

Aku melirik Ikmal dengan takzim.
“Kamu sudah sadar? Biar aku panggil dokter dulu ya,” Ikmal merespon tatapanku. Begitu ia berdiri, tanganku menangkap tangannya.
Aku menggeleng, “Jangan sayang, aku sudah bosan disuntik. Badanku sakit semua,” sergahku. Bukan bosan disuntik, tapi sejujurnya aku sangat apatis dengan jarum suntik.

Ikmal mengusap keningku, mungkin sudah hapal kalau aku tidak bisa dipaksa. Mungkin kalau dipaksa, aku akan nekad melakukan apa saja.

“Mal, kita nggak usah nikah ya?” ragu-ragu aku memberikan pilihan. Ikmal mengerenyit.

“Kenapa sayang?” dengan suara lembut Ikmal mencoba protes.
“Aku rasa, semua ini tak pernah akan terwujud. Aku, aku bukan yang terbaik,” aku menangkap binar matanya yang syahdu.

“Kamu memang bukan yang terbaik, tapi kamu adalah pilihan paling terbaik dalam hidupku,” Ikmal mengecup keningku. Saat-saat seperti ini adalah bagian yang tidak pernah ingin aku lupa. Saat dimana aku mendapatkan cinta yang tulus. Cinta yang beasaskan mata hati.

Ya, Ikmal adalah tunanganku. Sebulan yang lalu ia datang melamarku. Bisa dibayangkan betapa bahagianya aku saat itu. Dan seminggu kemudian, aku dan Ikmal telah resmi bertunangan.

“Aku selalu bersyukur punya kamu. Maafkan aku jikalau aku tidak bisa membalas semua ini,” aku tersenyum mengingat segala bentuk kesabarannya selama ini.

Ikmal menaruh telunjuknya dibibirku, “Kok ngomong gitu sih? Sayang, aku terima kamu apa adanya. Dan aku berharap kamu juga menerima aku apa adanya. Aku ikhlas mencintaimu,”

Aku membalas senyumnya, “Dari awal aku tak pernah berharap lebih. Karena aku tahu, waktuku tidak banyak lagi. Tapi perlu kamu tahu, aku tak pernah meragukan ketulusan cintamu. Aku sangat ikhlas atas hubungan ini. Walaupun semua memang tidak akan berujung kebahagiaan—”

Kali ini Ikmal terdiam takzim, apa ada yang salah dengan perkataanku?
Dari awal aku sudah menjelaskan keadaanku, dengan tangan terbuka Ikmal mencintaiku dengan segala keikhlasannya.

“Kebahagiaan yang hakiki bukanlah di dunia, sayang. Tetapi ada tempat yang jauh lebih sempurna. Tempat yang akan mempersatukan cinta kita. Surga,” Ikmal menyentuh lenganku.

Lagi-lagi aku hanya menyunggingkan bibirku, aku kehabisan kata-kata untuk menjawab kebijaksaannya. Andaikan aku diberi umur panjang, akan kuceritakan pada dunia bahwa aku punya malaikat. Malaikat yang mengubah setiap derai airmata ini menjadi segurat senyuman.
Aku adalah penderita Ataksia. Jadi jangan heran kalau aku ini tidak bisa mengendalikan gerakan tangan dan kakiku secara seimbang. Kadang untuk berbicara saja aku terbata-bata, dan disertai sesak yang menghujam jantungku. Ya Tuhan, rasanya aku ingin mati saja. Aku sudah lelah dengan berbagai macam terapi ini-itu, katanya sih untuk membantu mempertahankan fungsi optimal selama mungkin. Tapi yang kurasa badanku ini makin terasa remuk, terapi tetap tak akan membuat umurku bertambah panjang.

Aku juga sudah bosan menelan tiap butir pil yang teramat pahit dilidah. Dan yang terakhir, aku sangat muak dengan bau Rumah Sakit ini. Bayangkan saja, dalam waktu satu bulan aku harus menghuni ruangan ini paling tidak empat kali.
Bagaimanapun aku ini akan tetap mati, tinggal menunggu waktu sampai malaikat kematian menjemput nyawaku.

***

“Kamu makan ya, sedikit saja. Dari tadi pagi kamu kan belum makan,” Ikmal dengan sendok ditangannya mencoba menyuapiku.
“Mita, kamu coba pelan-pelan. Kasihan lambung kamu sayang—” kali ini Mama angkat bicara melihat aku yang susah dibujuk untuk makan.
Aku menggeleng, Ikmal dan Mama menarik napas dalam. Mungkin mereka mulai gusar atau malah sudah menyerah. Toh kalau aku makan hanya percuma saja, semua makanan yang masuk ke mulutku akan termuntahkan lagi. Aku tidak bisa menelan makanan dengan sempurna, sekalipun itu bubur.

Seiring berjalanannya waktu, penyakit itu membatasi ruang gerakku. Kadang aku terlihat tidak lebih dari patung.

Kulihat Mama keluar dari ruanganku, tangannya membungkam mulutnya. Aku telah membuat Mama menangis dengan ketidakberdayaanku ini. Maafkan aku Ma, jika karena aku Mama harus meneteskan titik demi titik air mata kepedihan. Jujur, aku tidak ingin membuat Mama repot apalagi semua biaya ini terbilang tidak sedikit.

Mataku terasa berat, lalu pelan mulai mengatup. Ikmal menyentuh pipiku, aku terjaga kembali.
“A..a..aku ca...pek Mal, a..ku ma...u tid..ur” terpatah-patah aku menanggapi sentuhannya. Tangannya terasa sejuk dan menghanyutkan. Ikmal melanjutkan mengusap-usap pipiku lagi.

***

Aku berjalan tersuruk-suruk, langkah kakiku sempoyongan. Aku mengedarkan seluruh pandanganku ke kiri dan ke kanan. Yang kulihat hanya tembok berwarna putih, tembok yang seakan mengurungku seorang diri. Tidak ada apa-apa disini kecuali asap putih yang melingkupi ruangan ini. Senyap menusuk tulang-tulangku, sunyi merasup jiwaku. Perasaan gentar menguasai hati dan pikiranku.

Dimana aku?
Kenapa semua terasa asing?
Kenapa tidak ada orang satupun?
Dan mengapa aku disini?
Apa aku sudah mati?
Apa aku berada di Surga?
Tapi bukankah Surga jauh lebih indah daripada ruangan pengap ini?

         “Mama!!!”

         “Ikmal!!”

Kenapa tak ada satupun yang mendengar teriakanku?
Apa memang ruangan ini kedap suara?
Aku lelah, tubuhku terpekur di lantai yang dingin ini. Perlahan kelopak mataku menutup otomatis.

***

Aku memicingkan mataku, melihat dokter dan beberapa suster berlarian menuju ruang UGD. Tubuh mereka menembus tubuhku yang berada di ambang pintu.
Aku melihat Ikmal beranjak keluar, lalu ia duduk di kursi tunggu seraya menelungkupkan wajahnya dikedua telapak tangannya.
Aku duduk disampingnya, “Kamu kenapa sayang?” aku mengelus punggungnya. Terdengar suaranya mengerang-erang, menangis histeris.
“Kenapa kamu pergi Mit? Kamu tega ninggalin aku!” suara itu terasa berat, Ikmal berdiri.
“Aku nggak pergi kemana-mana kok! Hei, aku masih disini Mal,” aku mengikutinya yang berdiri.

Ikmal mengepalkan tangannya, meninju tembok di hadapannya tanpa ampun.
“Aku nggak sanggup hidup tanpa kamu!!”

“Aku disini Mal, aku masih disini!!” aku melihat punggung tangannya yang terluka. Bagaimana tidak, lihatlah tembok itu, hampir terbentuk cekungan bekas hantaman tangannya tadi.

Aku memeluknya dari belakang, aku masih bisa merasakan aroma tubuhnya yang semerbak. Lama aku mendekapnya, pelukanku terlepas begitu saja. Ikmal bergeming begitu melihat ranjang yang didorong keluar dari ruang UGD.

Ikmal menyibak kain putih yang menyelimuti ranjang itu. Hatiku melonjak kaget bukan kepalang. Kenapa mereka menutup wajahku dengan kain putih?
Memangnya aku mau dipindahkan kemana?
“Maaf pak tidak bisa berlama-lama karena jenazah harus segera dibawa ke kamar mayat,” suster itu mengambil alih, mendorong ranjang itu kembali.

Tak sadar bulir bening bergulir, berjatuhan dari sudut mataku yang kebas.
Aku menengadahkan kedua telapak tanganku. Mataku menerawang telapak tanganku, semua terasa ringan di udara.

Aku mati!!

Ya, aku benar-benar mati.

Ya Tuhan, kenapa semua secepat ini?
Bahkan aku belum sempat berpamitan dengan Mama dan Ikmal.

Ikmal terduduk di lantai, kepalanya disandarkan pada tembok ruang tunggu itu.
Ikmal mematung, memeluk kedua lututnya kuat-kuat. Aku tahu, beribu air mata coba ditahannya namun gagal ia pertahankan. Air matanya buncah mengiringi kepergianku. Semua tumpah-ruah menjadi satu.
Sungguh, selama hidupku tak pernah aku melihat ia serapuh ini. Melihat ia menangis bagaikan pukulan telak untuk batinku. Hatiku ikut menjerit ketika aku harus pergi meninggalkannya dalam kesendirian hatinya. Tapi apalah daya?

Aku mengusap pipinya yang basah, “Aku tetap disini sayang... Jangan nangis dong!”

“Entahlah Mit, apa aku masih bisa bernapas sementara belahan nyawaku telah pergi,” Ikmal membenamkan wajahnya dalam-dalam.

“Dengarkan aku sayang. Kamu pernah bilang kan kalau kamu ikhlas mencintaiku? Sekarang aku mohon, ikhlaskan aku untuk pergi—” aku mengusap kepalanya, kali ini terasa berbeda. Aku tidak bisa menyentuhnya lagi, padahal tadi meraih tangannya aku masih sanggup meskipun Ikmal tak bisa melihatku. Namun aku yakin, hatinya bisa merasakan kehadiranku disampingnya.

“Ikmal, kamu percaya kan tentang kepercayaan dalam sebuah cinta? Jika kamu percaya, maka percayalah bahwa segenap rasa ini tercipta untuk kamu dan hanya kamu. Carilah penggantiku, karena di luar sana banyak perempuan yang jauh lebih baik dariku. Temukanlah bidadari dunia yang senantiasa akan membantumu untuk melupakanku,” aku beranjak menjauh darinya, memperpanjang jarak aku dan dia.

“Jaga diri kamu baik-baik sayang. Aku titipkan Mama kepadamu,” Aku melambaikan tangan, mengucap salam perpisahan untuk terakhir kalinya. Selamat tinggal dunia--



Tamat

Cari Blog Ini