Jumat, 25 Mei 2012

Endless Love | part 1


Hijau dan Merah




 “Kau sudah membukanya?” tanya seseorang diujung telepon.

“Jadi kotak merah itu darimu? Kenapa tidak memberinya secara langsung? Aku belum sempat membukanya,” jawab Kinta to the point. Ia meraih kotak di atas meja. Memandangi setiap sudut kotak dengan mata terpicing.

“Pokoknya setelah membukanya. Kau harus pilih salah satu nanti.” Telepon ditutup. Kinta menghela napas. Selalu saja begitu. Ia sudah hapal benar bagaimana sifat sahabatnya yang satu ini. Malam beranjak matang, ia sudah menguap lebar. Seraya menenteng kotak merah itu, ia keluar dari ruangannya setelah menekan saklar. Ruangan itu berubah gelap gulita.


Rasa penasaran itu ternyata tak mampu mengalahkan rasa kantuknya. Baru keesokan paginya, Kinta tiba-tiba terkesiap dari tidurnya, seperti terbangun dari mimpi buruknya. Lengannya terangkat menutup matanya dari silau matahari, jendela kamarnya sudah terbuka lebar. Kinta menyingkap selimut tebalnya. Tentu saja ia terbangun karena teringat dengan kotak itu.


Kinta duduk di balkon dekat kamarnya. Ia duduk di kursi berpelitur, rambut yang tergerai menutup wajahnya, beberapa kali harus menyibaknya. Ia membuka perlahan. Bahkan jantungnya ikut berdebar. Sempurna terbuka. Kinta tidak sengaja menjatuhkan tutup kotak itu. Berdebam di lantai keramiknya. Isinya? Kinta menggigit bibirnya dengan gemetar. Tangan kanannya menjangkau ke dalam. Satu kertas tebal ia genggam erat-erat. Surat undangan.. Pertunangan?


Isinya ada dua. Satu berwarna hijau pupus. Yang satu lagi berwarna merah marun. Tentu dengan motif yang berbeda-beda. Kinta menggeleng, ia tidak mengerti apa maksud semua ini. Satria akan bertunangan? Dengan siapa? Bertahun-tahun Kinta mengenal Satria. Dan selama itu pula Satria tidak pernah mengenalkan calon tunangannya. Hanya baru kali ini, Kinta sampai tidak percaya, Satria akan bersanding dengan wanita—yang entah sangat beruntung itu.


Kinta cepat menyambar handuk. Ia bergegas mandi. Ada yang harus segera ia luruskan. Tidak segampang itu ia mempercayai Satria akan bertunangan. Ia sangat tahu bagaimana Satria.

***

“Pagi, Tante.” Kinta menyapa ketika mendapati wanita paruh-baya itu duduk dengan kursi rodanya di halaman samping.

“Pagi, Kin. Aduh, Satria tadi pagi buta sudah pergi. Entah kemana.” Tante Ema mengangkat bahu. Kinta menemaninya duduk di taman. Ini kesempatan yang baik untuk mengorek informasi, pikirnya.

“Satria, emm..” Kinta gugup melanjutkan kalimatnya.

“Satria belum bilang ya, Kin? Minggu depan dia akan bertunangan. Kau mungkin bingung sekali. Semua memang serba mendadak. Mungkin lusa kau mau ikut menjemput Kayla di bandara?” Tante Ema sumringah menceritakan rencana pertunangan. Kinta melongo, jadi namanya Kayla? Secantik apakah dia? Kinta merasa perlu mengerjapkan matanya. Jangan sampai ia tersedu di depan Tante Ema.

“Kayla?” ucap Kinta patah-patah.

“Iya. Teman masa kecil Satria. Tante sudah tidak sabar menanti hari itu, Kin!” serunya girang, menggenggam tangan Kinta.

“Kinta juga ikut bahagia, Tan. Memang sudah saatnya Satria menemukan pendamping hidup.” Kinta mengerjapkan mata lagi, kali ini lebih cepat. Gagal. Airmatanya kadung menetes deras. Ia cepat-cepat mengusap pipi sebelum tante Ema memalingkan wajah ke arahnya.

“Tante yang paksa, Kin. Satria sebenarnya tidak mau, keukeuh, dia bilang, dia mencintai gadis lain. Tapi entahlah, ketika sebulan lalu tante sakit, tiba-tiba saja Satria berubah pikiran. Tante sungguh senang mendengarnya.” Ucapnya dengan menggebu-gebu. Kinta terburu pamit ke kamar mandi. Sudah cukup ia mendengar kalimat menyakitkan itu.


Kinta berlari tanpa melihat apa yang ada di depannya. Ia lebih sibuk membungkam mulutnya. Sementara airmata memenuhi pipi mulusnya. Kinta terkesiap begitu tubuhnya terpental, tanpa sengaja menabrak Satria yang baru datang. Untungnya dengan cepat Satria meraih tubuh Kinta. Kalau tidak, mungkin Kinta akan terjerembab di lantai.

“Hei, kenapa menangis?” tanyanya tercekat, mengangkat dagu Kinta yang tertunduk.

“Aku antar pulang, ya?” tawarnya kemudian. Kinta mengangguk lemah.

“Kau tidak apa-apa kan? Katakan padaku apa yang membuatmu menangis!” ucap Satria cemas.
“Aku sangat bahagia mendengar kabar itu dari Mamamu.” Kinta mengusap sisa air mata dengan tisu. Satria tertegun sejenak.

“Maaf kalau kau harus mendengarnya dari Mama. Seharusnya aku memberitahumu sejak awal,” ucap Satria merasa bersalah.

“Sudahlah. Sekarang, kau harus fokus menyiapkannya dengan matang-matang.” Kinta menepuk pundaknya. Yang ditepuk hanya mengernyitkan keningnya.

“Kenapa?”

“Aku tidak mencintainya, Kin.” Satria memperlambat laju mobilnya. Kinta tertunduk, tak tahu harus berkata apa lagi.

“Tapi aku akan berusaha mencintainya demi Mama.” Ungkapnya lagi. Kinta masih membisu.

“Aku akan selalu mendukungmu, Sat.” Kinta tersenyum tipis.


“Mau mampir dulu? Aku buatkan nasi goreng spesial, gimana?” tawar Kinta sebelum membuka pintu mobil. Satria langsung mengangguk cepat.


“Tidak takut apa kalau tinggal sendirian?” tanyanya bergurau. Kinta nyengir.

“Kau masih suka kopi kan?” Kinta mencoba mengalihkan topik. Satria mengangguk, tentu saja masih suka.


Kinta kembali ke dapur, meninggalkan Satria dan secangkir kopi di atas meja. Lima belas menit berselang, Kinta selesai dengan urusan dapurnya.

“Kau tidak berpikir untuk mengikuti jejakku?” tanya Satria ketika Kinta datang dengan dua piring nasi goreng di tangannya.

“Maksudnya?”


“Bertunangan atau bahkan menikah?” ucap Satria memperjelas. Kinta hanya mengibaskan tangan. Bagaimanalah ia akan mudah menikah dengan lelaki lain? Sementara lelaki yang sangat ia cintai ada di hadapannya saat ini.

“Maaf kalau pertanyaanku menyinggung perasaanmu,” ucap Satria agak lirih. Kinta tersadar dari lamunannya.

“Aku belum menemukan orang yang cocok. Aku sangat mencintai seseorang, tapi dia akan segera bertunangan dengan wanita lain. Sayang sekali, aku belum beruntung rupanya. Eh, itu bukan kau ya! Jangan ge’er.” Kinta menyeringai. Satria lahap menyantap nasi goreng di hadapannya, tanpa menghiraukan kalimat Kinta, ia berkata, “Sumpah enak banget! Bikinanmu tetap yang paling mantap!”


Kinta menelan ludah. Tadinya memang perutnya lapar. Entah mengapa selera makannya hilang begitu saja.

“Aku harus cepat-cepat pulang. Thanks untuk sarapannya.” Satria melambaikan tangan. Kinta bersedekap tangan, menatap Satria yang berjalan ke arah mobil. Ia langsung teringat sesuatu.

“Satria!” pekiknya keras.

“Ada apa?” yang dipanggil menoleh cepat, siapapun akan kaget mendengar seruan itu.

“Aku pilih warna merah marun!” teriak Kinta lagi. Satria mengacungkan jempolnya, melambaikan tangan sekali lagi sebelum mobilnya keluar melewati pagar.

***

Hari itu tiba juga. Kinta akan ikut menjemput Kayla di bandara. Entah, ekspresi seperti apa yang akan dipasang Kinta saat bertatap muka dengan Kayla. Menjambaknya? Menamparnya? Atau bahkan...


Satria menepuk bahu Kinta yang sedang asyik melamun. Satria menunjuk ke arah pintu kedatangan, Kinta ikut melihat kemana arah jari telunjuk Satria. Dan lihatlah, wanita dengan perawakan tinggi semampai sedang berjalan anggun. Angin seperti mengibarkan rambut tergerainya. Lagi-lagi Satria menepuk pundak Kinta. Kayla sudah mendekat, tersenyum sangat ramah. Bahkan sempat-sempatnya mencium kedua pipi Satria. Melihat pemandangan itu, Kinta mencak-mencak dalam hati.

“Kinta,” ucapnya menyodorkan tangan. Kayla balas menjabat tangan Kinta dengan hangat. Satria membantu membawakan koper ke mobil.


Kinta sempat mengeluh dalam hati, tapi sekuat mungkin ia tahan. Matanya kosong menatap pemandangan di depan matanya. Satria dan Kayla sibuk bercanda, saling melemparkan gurauan satu sama lain. Kinta sampai bosan melihatnya. Ia sebenarnya sangat sebal, tadi waktu berangkat ke bandara, ia duduk manis di depan. Sedangkan, setelah Kayla datang, ia harus rela pindah ke kursi belakang. Kinta memalingkan wajahnya ke samping jalan. Tak masalah jika ia akan pusing melihat pemandangan yang berjalan mundur. Kinta juga menyumpal kupingnya dengan headset. Pura-pura asyik sendiri. Padahal dalam hatinya menjerit pilu. Mulai dari sekarang, Kayla akan menggantikan posisinya. Dan itu artinya, ia harus membuang jauh-jauh keinginannya untuk tetap berada di dekat Satria. Cepat atau lambat ia pasti akan tersingkirkan jauh.







Bersambung—

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Cari Blog Ini