Hijau
dan Merah
“Kau sudah membukanya?” tanya seseorang
diujung telepon.
“Jadi
kotak merah itu darimu? Kenapa tidak memberinya secara langsung? Aku belum
sempat membukanya,” jawab Kinta to the
point. Ia meraih kotak di atas meja. Memandangi setiap sudut kotak dengan
mata terpicing.
“Pokoknya
setelah membukanya. Kau harus pilih salah satu nanti.” Telepon ditutup. Kinta
menghela napas. Selalu saja begitu. Ia sudah hapal benar bagaimana sifat
sahabatnya yang satu ini. Malam beranjak matang, ia sudah menguap lebar. Seraya
menenteng kotak merah itu, ia keluar dari ruangannya setelah menekan saklar.
Ruangan itu berubah gelap gulita.
Rasa
penasaran itu ternyata tak mampu mengalahkan rasa kantuknya. Baru keesokan
paginya, Kinta tiba-tiba terkesiap dari tidurnya, seperti terbangun dari mimpi
buruknya. Lengannya terangkat menutup matanya dari silau matahari, jendela
kamarnya sudah terbuka lebar. Kinta menyingkap selimut tebalnya. Tentu saja ia
terbangun karena teringat dengan kotak itu.
Kinta
duduk di balkon dekat kamarnya. Ia duduk di kursi berpelitur, rambut yang
tergerai menutup wajahnya, beberapa kali harus menyibaknya. Ia membuka
perlahan. Bahkan jantungnya ikut berdebar. Sempurna terbuka. Kinta tidak
sengaja menjatuhkan tutup kotak itu. Berdebam di lantai keramiknya. Isinya? Kinta menggigit bibirnya dengan
gemetar. Tangan kanannya menjangkau ke dalam. Satu kertas tebal ia genggam
erat-erat. Surat undangan.. Pertunangan?
Isinya
ada dua. Satu berwarna hijau pupus. Yang satu lagi berwarna merah marun. Tentu
dengan motif yang berbeda-beda. Kinta menggeleng, ia tidak mengerti apa maksud
semua ini. Satria akan bertunangan? Dengan siapa? Bertahun-tahun Kinta mengenal
Satria. Dan selama itu pula Satria tidak pernah mengenalkan calon tunangannya.
Hanya baru kali ini, Kinta sampai tidak percaya, Satria akan bersanding dengan
wanita—yang entah sangat beruntung itu.
Kinta
cepat menyambar handuk. Ia bergegas mandi. Ada yang harus segera ia luruskan.
Tidak segampang itu ia mempercayai Satria akan bertunangan. Ia sangat tahu
bagaimana Satria.
***
“Pagi,
Tante.” Kinta menyapa ketika mendapati wanita paruh-baya itu duduk dengan kursi
rodanya di halaman samping.
“Pagi,
Kin. Aduh, Satria tadi pagi buta sudah pergi. Entah kemana.” Tante Ema mengangkat
bahu. Kinta menemaninya duduk di taman. Ini kesempatan yang baik untuk mengorek
informasi, pikirnya.
“Satria,
emm..” Kinta gugup melanjutkan kalimatnya.
“Satria
belum bilang ya, Kin? Minggu depan dia akan bertunangan. Kau mungkin bingung
sekali. Semua memang serba mendadak. Mungkin lusa kau mau ikut menjemput Kayla
di bandara?” Tante Ema sumringah menceritakan rencana pertunangan. Kinta
melongo, jadi namanya Kayla? Secantik
apakah dia? Kinta merasa perlu mengerjapkan matanya. Jangan sampai ia tersedu
di depan Tante Ema.
“Kayla?”
ucap Kinta patah-patah.
“Iya.
Teman masa kecil Satria. Tante sudah tidak sabar menanti hari itu, Kin!”
serunya girang, menggenggam tangan Kinta.
“Kinta
juga ikut bahagia, Tan. Memang sudah saatnya Satria menemukan pendamping hidup.”
Kinta mengerjapkan mata lagi, kali ini lebih cepat. Gagal. Airmatanya kadung
menetes deras. Ia cepat-cepat mengusap pipi sebelum tante Ema memalingkan wajah
ke arahnya.
“Tante
yang paksa, Kin. Satria sebenarnya tidak mau, keukeuh, dia bilang, dia
mencintai gadis lain. Tapi entahlah, ketika sebulan lalu tante sakit, tiba-tiba
saja Satria berubah pikiran. Tante sungguh senang mendengarnya.” Ucapnya dengan
menggebu-gebu. Kinta terburu pamit ke kamar mandi. Sudah cukup ia mendengar
kalimat menyakitkan itu.
Kinta
berlari tanpa melihat apa yang ada di depannya. Ia lebih sibuk membungkam
mulutnya. Sementara airmata memenuhi pipi mulusnya. Kinta terkesiap begitu
tubuhnya terpental, tanpa sengaja menabrak Satria yang baru datang. Untungnya
dengan cepat Satria meraih tubuh Kinta. Kalau tidak, mungkin Kinta akan
terjerembab di lantai.
“Hei,
kenapa menangis?” tanyanya tercekat, mengangkat dagu Kinta yang tertunduk.
“Aku
antar pulang, ya?” tawarnya kemudian. Kinta mengangguk lemah.
“Kau
tidak apa-apa kan? Katakan padaku apa yang membuatmu menangis!” ucap Satria
cemas.
“Aku
sangat bahagia mendengar kabar itu dari Mamamu.” Kinta mengusap sisa air mata
dengan tisu. Satria tertegun sejenak.
“Maaf
kalau kau harus mendengarnya dari Mama. Seharusnya aku memberitahumu sejak
awal,” ucap Satria merasa bersalah.
“Sudahlah.
Sekarang, kau harus fokus menyiapkannya dengan matang-matang.” Kinta menepuk
pundaknya. Yang ditepuk hanya mengernyitkan keningnya.
“Kenapa?”
“Aku
tidak mencintainya, Kin.” Satria memperlambat laju mobilnya. Kinta tertunduk,
tak tahu harus berkata apa lagi.
“Tapi
aku akan berusaha mencintainya demi Mama.” Ungkapnya lagi. Kinta masih membisu.
“Aku
akan selalu mendukungmu, Sat.” Kinta tersenyum tipis.
“Mau
mampir dulu? Aku buatkan nasi goreng spesial, gimana?” tawar Kinta sebelum
membuka pintu mobil. Satria langsung mengangguk cepat.
“Tidak
takut apa kalau tinggal sendirian?” tanyanya bergurau. Kinta nyengir.
“Kau
masih suka kopi kan?” Kinta mencoba mengalihkan topik. Satria mengangguk, tentu
saja masih suka.
Kinta
kembali ke dapur, meninggalkan Satria dan secangkir kopi di atas meja. Lima
belas menit berselang, Kinta selesai dengan urusan dapurnya.
“Kau
tidak berpikir untuk mengikuti jejakku?” tanya Satria ketika Kinta datang
dengan dua piring nasi goreng di tangannya.
“Maksudnya?”
“Bertunangan
atau bahkan menikah?” ucap Satria memperjelas. Kinta hanya mengibaskan tangan. Bagaimanalah ia akan mudah menikah dengan
lelaki lain? Sementara lelaki yang sangat ia cintai ada di hadapannya saat ini.
“Maaf
kalau pertanyaanku menyinggung perasaanmu,” ucap Satria agak lirih. Kinta
tersadar dari lamunannya.
“Aku
belum menemukan orang yang cocok. Aku sangat mencintai seseorang, tapi dia akan
segera bertunangan dengan wanita lain. Sayang sekali, aku belum beruntung rupanya.
Eh, itu bukan kau ya! Jangan ge’er.” Kinta menyeringai. Satria lahap menyantap
nasi goreng di hadapannya, tanpa menghiraukan kalimat Kinta, ia berkata, “Sumpah
enak banget! Bikinanmu tetap yang paling mantap!”
Kinta
menelan ludah. Tadinya memang perutnya lapar. Entah mengapa selera makannya
hilang begitu saja.
“Aku
harus cepat-cepat pulang. Thanks untuk sarapannya.” Satria melambaikan tangan.
Kinta bersedekap tangan, menatap Satria yang berjalan ke arah mobil. Ia
langsung teringat sesuatu.
“Satria!”
pekiknya keras.
“Ada
apa?” yang dipanggil menoleh cepat, siapapun akan kaget mendengar seruan itu.
“Aku
pilih warna merah marun!” teriak Kinta lagi. Satria mengacungkan jempolnya,
melambaikan tangan sekali lagi sebelum mobilnya keluar melewati pagar.
***
Hari
itu tiba juga. Kinta akan ikut menjemput Kayla di bandara. Entah, ekspresi
seperti apa yang akan dipasang Kinta saat bertatap muka dengan Kayla. Menjambaknya? Menamparnya? Atau
bahkan...
Satria
menepuk bahu Kinta yang sedang asyik melamun. Satria menunjuk ke arah pintu
kedatangan, Kinta ikut melihat kemana arah jari telunjuk Satria. Dan lihatlah,
wanita dengan perawakan tinggi semampai sedang berjalan anggun. Angin seperti
mengibarkan rambut tergerainya. Lagi-lagi Satria menepuk pundak Kinta. Kayla
sudah mendekat, tersenyum sangat ramah. Bahkan sempat-sempatnya mencium kedua
pipi Satria. Melihat pemandangan itu, Kinta mencak-mencak dalam hati.
“Kinta,”
ucapnya menyodorkan tangan. Kayla balas menjabat tangan Kinta dengan hangat.
Satria membantu membawakan koper ke mobil.
Kinta
sempat mengeluh dalam hati, tapi sekuat mungkin ia tahan. Matanya kosong
menatap pemandangan di depan matanya. Satria dan Kayla sibuk bercanda, saling
melemparkan gurauan satu sama lain. Kinta sampai bosan melihatnya. Ia
sebenarnya sangat sebal, tadi waktu berangkat ke bandara, ia duduk manis di
depan. Sedangkan, setelah Kayla datang, ia harus rela pindah ke kursi belakang.
Kinta memalingkan wajahnya ke samping jalan. Tak masalah jika ia akan pusing
melihat pemandangan yang berjalan mundur. Kinta juga menyumpal kupingnya dengan
headset. Pura-pura asyik sendiri. Padahal dalam hatinya menjerit pilu. Mulai
dari sekarang, Kayla akan menggantikan posisinya. Dan itu artinya, ia harus
membuang jauh-jauh keinginannya untuk tetap berada di dekat Satria. Cepat atau
lambat ia pasti akan tersingkirkan jauh.
Bersambung—
Tidak ada komentar:
Posting Komentar